BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata

  “diversion” pertama

  kali dikemukakan sebagai kosa kata pada pelaporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana

  (President’s Crime Comission)

  Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah Diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak

  (children’s courts) sebelum

  abad ke-19 yaitu Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti dengan negara bagian

22 Queensland pada tahun 1963.

  Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a

  Sociological Aprroach , yaitu:

Diversion ia “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the

juvenile justice system ( diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk

  mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem

  23 peradilan pidana).

  Kenneth Polk mengemukakan yang dimaksud dengan diversi, yaitu: Diversion as program and practices which are employed for young people who

  have initial contact with police, but are diversted from the traditional juvenile 22 Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam

  

justice processes before children’s court adjudication (Diversi adalah suatu

  program dan latihan-latihan yang mana diajarkan bagi anak-anak yang mempunyai urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan anak

  24 seperti biasanya, sebelum diajukan ke pemeriksaan pengadilan).

  Marlina menerangkan lebih lanjut yang dimaksud dengan Diversi: Diversi adalah tindakan aparat penegak hukum untuk mengalihkan proses formal ke informal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dari implikasi-implikasi dan pengaruh negatif sistem peradilan pidana.

  Konsep Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Ide dasar Diversi atau pengalihan ini juga untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional peradilan pidana anak terhadap anak, seperti efek negatif proses peradilan itu sendiri, juga alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik

  25 untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.

  Di Indonesia, istilah Diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal- hal yang disepakati, antara lain ―Diversi‖, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan

  26

  di muka sidang. Ide Diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah 24 Kenneth Polk dalam Made Ayu Citra Maya Sari, Diversi Dalam Sistem Peradilan

  Pidana Anak Di Indonesia ,Denpasar,Udayana,2012.,hlm.6 25 26 Marlina, Op.Cit.,hlm.97

  penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide Diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak. Pelaksanaan peradilan pidana anak diberi pedoman oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam standard Minimum Rules for

  the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) , yang memuat prinsip-

  27

  prinsip sebagai berikut:

  1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal untuk memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

  2. Non diskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

  3. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.

  4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir.

  5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/wali.

  6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.

  7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

  8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan peraturan ini. Prinsip utama pelaksanaan konsep Diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas melakukan upaya Diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan

  28

  kekerasan dan pemaksaan. Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan Diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai 27 The Beijing Rules dalam Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

  29

  otoritas penuh. Tujuan dari diversi lebih lanjut dikemukakan oleh Ridwan

30 Mansyur, yaitu:

  a. Mencapai perdamaian korban dan anak;

  b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

  c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

  d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Tujuan dari Diversi juga disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang

  31 Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, yaitu:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

  2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

  3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

  4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan 5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pelaksanaan program Diversi bagi pelaku tindak pidana dapat dibagi

  32

  menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

  2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

  orientation) , yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, 29 mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku 30 Ibid Selasa, 16-Desember-2014, jam 11.47 WIB 31 dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

  3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

  restorative justice orientation) , yaitu melindungi masyarakat,

  memberikan kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

  Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan

  33

  beberapa contoh program Diversi sebagai berikut: a. Non-Intervensi.

  Dalam banyak kasus, non intervensi merupakan upaya terbaik. Oleh karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi dengan cara yang layak dan membangun.

  b. Peringatan Informal Melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk ini. 33

  c. Peringatan Formal

  Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan dihadapan orang tua/walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi.

  d. Permohonan maaf Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf.

  e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta untuk mengembalikan sampah pada tempatnya. Contoh lain, si anak diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar kembali.

  f. Pelayanan masyarakat Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di tempat-tempat umum. g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara umum.

  h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga Hal ini melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi Korban; mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi masyarakat; memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi. i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional

  Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat tradisional. j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga.

  Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi.

  Pelaksanaan Diversi melibatkan semua aparat penegak hukum dari lini manapun. Diversi dilaksanakan pada semua tingkat proses peradilan pidana.

  Prosesnya dimulai dari permohonan suatu instansi atau lembaga pertama yang melaporkan tindak pidana atau korban sendiri yang memberikan pertimbangan untuk dilakukannya Diversi. Adanya perbedaan pandangan dalam setiap permasalahan yang ditangani tergantung dari sudut pandang petugas dalam menentukan keputusan, akan tetapi inti dari konsep Diversi yaitu mengalihkan

  34 anak dari proses formal ke informal.

  Dalam sejarahnya, restorative justice merupakan suatu reaksi terhadap praktek penyelenggaraan peradilan yang tidak memperhatikan justice kepada si korban. Pada prakteknya, keadilan lebih ―memihak‖ kepada pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat kepolisian hingga putusan pengadilan. Praktek tersebut dipandang sebagai suatu yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan factual empiric terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang tidak serta digantikan begitu saja dengan dihukumnya

  35

  pelaku kejahatan. Praktek penyelesaian perkara pidana tersebut tidak melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku.

  Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan restorative justice dimana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak

  36 untuk menyelesaikan konflik.

  Restorative Justice sendiri dimaknai berbagai macam pengertian, antara

  lain seperti berikut:

  34 Senin, 16-Desember-2014 jam 14.03 WIB 36 a. Menurut Eva Achjani Zulfa: ―keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.‖

  37

  b. Menurut Marlina: ―Konsep Restorative Justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa Korban dan Pelaku (tersangka) bersama- sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama- sama berbicara.

38 Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang

  ‖

  lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi menciptakan kesepakatan antara penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

  39 Mekanisme peradilan konvensional mengenal adanya restitusi atau ganti rugi kepada korban, sedangkan Restorasi memiliki makna yang lebih luas.

  Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

40 Konsep restorative justice ini menjadi penting apabila dibandingkan

  37 Eva Achjani Zulfa, keadilan Restoratif, Jakarta, UI,2009.,hlm.3 38 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung,Refika Aditama,2009.,hlm.180 39 Hukumonline.com/berita/baca/it4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-kan justice-i- dalam-sistem-pidana-indonesia —broleh—jecky-tengens—sh-, Kamis, 11-Desember-2014, jam dengan sistem pemidanaan konvensional, dikarenakan adanya perbedaan yang jelas diantara keduanya. Konsep pemidanaan konvensional memberikan batasan atau ruang yang sedikit bagi pihak Korban dan Pelaku untuk berperan aktif di dalam menyelesaikan perkara pidana mereka sendiri, sedangkan pada konsep

  restorative justice sendiri, peran aktif dari pelaku dan korban menjadi dasar di dalam menyelesaikan perkara pidana itu sendiri.

  Bagir Manan menguraikan tentang substansi

  “restorative justice” yang

  berisi prinsip-prinsip, antara lain: ―membangun partisipasi bersama antara Pelaku, Korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan Pelaku, Korban, dan masyarakat sebagai

  “stake holders” yang bekerja sama dan

  langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi bagi

  41 semua pihak (win-win solutions).

  Terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka restorative justice

  

system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore)

  perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada ―perlindungan masyarakat‖ dan ―perlindungan/pembinaan individu

  42 pelaku tindak pidana‖.

41 M.Taufik Makarao dan Tim Pengkajian Hukum, Pengkajian Hukum Tentang

  Penerapan restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak- Anak ,Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI,2013.,hlm.viii 42

  Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada mengusulkan ada 5

  

43

  prinsip kunci dari restorative justice yaitu:

  1. Restorative justice invites full participation and consensus (restorative

  justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban

  dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara tidak langsung merasa tidak aman atas kejahatan tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat /wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku harus diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.

  2. Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). sebuah pertanyaan penting tentang

  restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan,

  untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi permulaan sehingga dia terlibat atau bahkan melakukan kejahatan, dan mereka butuh kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

  3. Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative

  justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara

  utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.

  4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative

  justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang

  telah terpisah atau terpecah belah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Perspektif restorative justice adalah julukan ―korban‖ dan ―pelaku‖ tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tetapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.

  5. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to

  prevent further harms (restorative justice memberikan ketahanan

  kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya). Kejahatan memang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat, tetapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan di luar kehendak diri seseorang, sehingga terciptalah ―korban‖, ―pelaku‖ dan perilaku kriminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya kriminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada dasarnya sama sekali. Oleh sebab itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk hidup. Konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan utama dari restorative justice adalah perbaikan atau pergantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh korban atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, Korban

  44

  dan masyarakat. Restorative justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku

  45 berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya.

44 Marlina dalam Reyner Timothy Danielt, Penerapan Restorative Justice Terhadap

  Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak DI Bawah Umur , Artikel Skripsi Lex et

  Nasir Djamil di dalam bukunya ―Anak Bukan Untuk Di Hukum‖ juga

  46

  menjelaskan tujuan dari konsep restorative justice yaitu:

  1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

  2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;

  3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;

  4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

  5. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

  6. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 7. Meningkatkan keterampilan hidup anak.

B. Kewajiban Pelaksanaan Diversi 1. Menurut UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan di dalam konstitusi Indonesia, bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi Anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindak lanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak.

  Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak- Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of The Child (Konvensi

  47 tentang Hak-Hak Anak). Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem ini dibangun di atas landasan peraturan perundang-undangan Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sistem Peradilan Pidana Anak ditujukan untuk kesejahteraan Anak. Hal ini ditegaskan dalam United Nations Standard Minimum

  

Rules For the Administration of Juvenile Justice , bahwa tujuan peradilan anak

  adalah: ―Sistem peradilan pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada

  48

  pelanggar- pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya‖ Sistem Peradilan Pidana Anak yang dilandasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum memberikan perlindungan optimal

  49

  bagi Anak. Perlindungan optimal yang dimaksud melihat bahwa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif). Paradigma penangkapan, penahanan, dan peghukuman penjara terhadap Anak tersebut berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan Anak. Sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

47 Sylvester koloay, Kewajiban Melaksanakan Pendekatan Keadilan Restoratif Terhadap

  Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia , Jurnal Vol.II/No.1/Januari-Maret/2014, Manado.,Hlm.77

  Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia 48 United Nations dalam Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia , Jurnal Rechts Vinding, Vol.2

  Perubahan fundamental dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah digunakannya pendekatan

  restorative justice melalui sistem Diversi. Peraturan ini mengatur kewajiban para

  penegak hukum dalam mengupayakan Diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Bagian yang membedakan antara ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah, pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya memungkinkan Diversi dilakukan oleh penyidik berdasarkan kewenangan diskresioner yang dimilikinya dengan cara menyerahkan kembali anak tersebut

  50

  kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. Perubahan signifikan lainnya yang dapat dilihat di dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu adanya pengaturan secara tegas mengenai Diversi yang ditujukan untuk menjauhkan dan menghindarkan anak dari proses peradilan sehingga mengupayakan tidak adanya stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dapat kembali ke lingkungan sosialnya dengan normal.

  Para pihak yang terlibat di dalam proses Diversi membedakannya dengan sistem peradilan pidana konvensional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melibatkan Pekerja Sosial Professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial di dalam proses penyelesaian perkara pidana anak, dengan sistem Diversi. Adapun tugas Pekerja Sosial

  51 Professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial tersebut, sebagai berikut:

  50 a. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial;

  c. Menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif; d. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak;

  e. Membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan;

  f. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak; g. Mendampingi penyerahan Anak kepada orangtua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat, dan h. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali anak di lingkungan sosialnya.

  Sistem Diversi yang merupakan salah satu pendekatan dari restorative

  justice ditegaskan mengenai pelaksanaannya di dalam peraturan perundang-

  undangan di Indonesia, yaitu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu pada Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut:

  52

  (1) Sistem peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan restoratif. (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

  b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. (3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

  Ketentuan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa upaya Diversi wajib dilaksanakan baik dari tahap penyidikan, penuntutan, dan juga masa persidangan. Kewajiban tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

  53 Ketentuan UU

  No.11/2012 Perihal Kewajiban Pengupayaan Diversi

  Pasal 7 Pada semua tingkatan pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib mengupayakan Diversi

  Pasal 28 Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu 7 hari setelah ditemukan anak

  Pasal 37 Penuntut umum wajib mengupayakan Diversi Pasal 49 Hakim wajib mengupayakan Diversi Sumber: Diolah berdasarkan undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak. Pasal-pasal tersebut diatas menyimpulkan bahwa para penegak hukum, baik

  dari penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib untuk mendahulukan dan mengupayakan jalur hukum non-formal yaitu proses Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak, yang dilaksanakan secara musyawarah dengan melibatkan berbagai pihak. Keberlakuan

  

sistem Diversi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan dan keadilan yang utuh

bagi anak dari sistem hukum pidana konvensional.

2. Menurut PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan

  Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

  Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik 1966 (International Covenant on and Political Rights, ICCPR) menyatakan bahwa ―Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya‖. Pernyataan ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan

  

54

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  Upaya merealisasikan prinsip-prinsip perlindungan anak seperti mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak dan prinsip non diskriminasi dapat ditemukan dengan diaturnya secara tegas tentang keadilan restoratif dan Diversi di dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Upaya diversi tersebut dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan pada akhirnya anak tersebut dapat kembali ke lingkungan sosialnya secara wajar.

  Apabila melihat Pasal 107 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang salah satunya berisi ketentuan tentang Diversi harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diberlakukan. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud apabila melihat Pasal 15 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, ― Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemer intah.‖

  Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yang dimaksud hingga saat ini belum dikeluarkan. Apabila melihat berlakunya UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014, maka demi keefektifan pelaksanaan upaya Diversi tersebut, perlu ditetapkan suatu peraturan pelaksaan sebagai pedoman di dalam melaksanakan Diversi.

  Kondisi kekosongan peraturan pelaksanaan Diversi tersebut mengakibatkan Mahkamah Agung mengambil kebijakan untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya pada tanggal 24 Juli 2014 dengan ditandatangani oleh ketua Mahkamah Agung, Muhammad Hatta Ali.

  Sama halnya dengan UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PERMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, peraturan ini juga menyatakan dan Hukum. PERMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak

  55

  pidana. Hakim anak berkewajiban untuk mengupayakan Diversi bagi anak yang di dakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan di dakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), sebagaimana dicantumkan di dalam pasal 3 PERMA No.4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Pembeda di antara UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan PERMA No.04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan secara tegas kewajiban pelaksanaan Diversi oleh penegak hukum, baik dari penyidik, penuntut umum, dan juga hakim, sedangkan pada PERMA No.04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak lebih menekankan kewajiban pelaksanaan Diversi oleh Hakim Anak di Pengadilan.

  55

C. Pelaksanaan Diversi di Indonesia 1. Menurut UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi)

  56 dalam penyelesaian masalah, berbeda dengan cara penanganan orang dewasa.

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur tentang Diversi, yang salah satu tujuannya yaitu menghindarkan stigmatisasi pada anak dari proses peradilan yang dijalani oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum tersebut. Penyelesaian perkara pidana anak melalui Diversi ini ditugaskan kepada para penegak hukum, baik dari Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, dan lembaga lainnya dan dilakukan tanpa menggunakan pengadilan formal atau konvensional.

  Diversi yang dimaksudkan dan yang akan diberlakukan kepada anak yang berkonflik dengan hukum adalah dalam bentuk Musyawarah Diversi.

  Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara para pihak yang melibatkan Anak 56 dan orang tua/walinya, Korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial profesional, perwakilan masyarakat dan pihak- pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan Diversi melalui

  57

  pendekatan Keadilan Restoratif. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari

  58 nilai upah minimum provinsi setempat.

  Salah satu syarat penting di dalam pelaksanaan Diversi yaitu adanya pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku dan kesediaanya untuk dilakukan upaya Diversi. Upaya Diversi ini tidaklah hanya sekedar penyelesaian di luar proses hukum formal atas tindak pidana yang dilakukan anak seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Salah satu tujuan Diversi yaitu menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Lebih dari pada itu, upaya Diversi tersebut merupakan upaya untuk pembelajaran dan pemulihan anak sebagai pelaku tindak pidana. Tidak adanya pengakuan/pernyataan bersalah dari pelaku tindak pidana merupakan dorongan

  59 untuk dilakukannya proses hukum secara formal atas suatu tindak pidana.

  Proses Diversi sudah dimulai dari tahap penyidikan. Sebelum ketentuan Diversi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem 57 Pasal 1 ayat (1) PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. 58 Sofian Parerungan,

  , pn- Penerapan Diversi Dalam Persidangan Anak bangil.go.id/data/?p=207, Rabu, 27 Januari 2015, jam 22.49 59 Muhammad Fahmi Zaimir, Peran Penyidik Dalam Penerapan Diversi Terhadap Peradilan Pidana Anak, sebenarnya pihak Penyidik Polri telah memiliki dasar dalam pelaksanaan upaya Diversi, yaitu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:

  1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian negara Republik Indonesia.

  Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam menerapkan konsep Diversi dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum adalah TR Kabareskrim Polri No.Pol.:TR/1124/XI/2006 yang memberikan petunjuk dan aturan tentang teknik Diversi yang dapat dilakukan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada

  Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia membahas masalah Diskresi Kepolisian. Aturan tersebut memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani Anak

  60 yang Berhadapan dengan Hukum.

  Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan Penyidik yaitu yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidikan terhadap Anak dalam hal Anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan oleh Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Aturan tersebut menyatakan Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak yang berkonflik Dengan Hukum,

  61 kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut.

  Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menguraikan syarat-syarat untuk menjadi Penyidik Anak, yaitu:

  3. Telah berpengalaman sebagai penyidik; 4. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Penyidikan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan yang telah diuraikan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

  Diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa Tersangka Anak, Penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan

  62 pendekatan secara efektif, aktif dan simpatik.

  Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses Diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. Apabila proses Diversi tersebut mencapai kata sepakat dari pihak korban atau keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum atau keluarganya, maka selanjutnya penyidik bertugas menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Apabila proses Diversi yang diupayakan oleh Penyidik terhadap Korban atau keluarga Korban dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau keluarganya gagal, maka penyidik wajib 61 melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan

  63 melampirkan Berita Acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

  Pemeriksaan perkara pidana Anak selanjutnya akan dilakukan oleh penuntut umum. Dalam hal penuntutan terhadap perkara Anak, dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat

  64

  lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. penuntut umum di dalam menjalankan tugasnya di dalam penuntutan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum, memiliki tugas yang tidak jauh berbeda dengan penyidik. penuntut umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik. Upaya Diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 hari setelah dimulainya Diversi. Apabila upaya Diversi yang dilakukan penuntut umum kepada korban atau keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum atau keluarganya mendapatkan kesepakatan, penuntut umum kemudian bertugas untuk menyampaikan Berita Acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Apabila upaya Diversi gagal, maka penuntut umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian

  65 kemasyarakatan.

  Upaya Diversi yang gagal dari Penuntut Umum, selanjutnya akan diperiksa oleh hakim di persidangan pada pada pengadilan. Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak 63 Pasal 29 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

  peradilan Pidana Anak 64 Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 65 paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum. Apabila melihat ketentuan PERMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, adapun Hakim yang bertugas di dalam melaksanakan upaya Diversi bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah Hakim Anak. Hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan kemudian wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim. Diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Diversi dimulai, dan dapat

  66 dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 F.nucleatum sebagai salah satu bakteri yang terdapat pada infeksi endodonti - Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif B

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Komparasi Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pdrb Antar Provinsi Di Indonesia

0 0 9

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN (STUDI PUTUSAN NOMOR : 06PID.SUS-ANAK2014PN.MDN) SKRIPSI

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Return saham - Pengaruh Struktur Aset, Struktur Modal Dan Profitabilitas Terhadap Return Saham Perusahaan Perbankan Yang Telah GO Publik Dan Terdaftar DI BEI Tahun 2010-2013

0 0 26

ABSTRAK PENGARUH STRUKTUR ASSET, STRUKTUR MODAL, DAN PROFITABILITAS TERHADAP RETURN SAHAM PERUSAHAAN PERBANKAN GO PUBLIC YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2010-2013

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva - Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 1 9

Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 0 11