ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF MODE

ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF MODEL MILES DAN HUBERMAN

ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF MODEL MILES DAN HUBERMAN
( Rahmat Sahid, Pasca UMS. 2011)
BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Perkembangan dunia pendidikan menuntut kita untuk selalu berinovasi dalam pembelajaran.
Dengan pembelajaran yang terstruktur, terarah, terinci dan inovatif tentunya akan menghasilkan
kualtitas pembelajaran sesuai dengan yang kita harapkan. Inovasi-inovasi tersebut tidak muncul
serta merta tetapi dibutuhkan suatu penelitian yang tidak “gampang”. Dibutuhkan ketekunan,
ketelitian dan kemauan yang keras untuk dapat menghasilkan inovasi yang mutakhir.
Keseriusan tersebut juga diwujudkan oleh pemerintah dengan ikut ambil bagian dalam usaha
menemukan inovasi baru dalam dunia pendidikan. Salah satunya dengan adanya peraturan
bahwa untuk mencapai golongan tetentu dalam strata PNS, seseorang harus mengusulkan suatu
pengembangan profesi yang berupa penelitian dalam bidangnya masing-masing. Selain itu
lembaga-lembaga di bidang pendidikan juga sedang gencar-gencarnya mengadakan seleksi

sebagai usaha mencari inovasi-inovasi baru hasil penelitian yang untuk selanjutnya
dikembangkan dan disosialisasikan.
Untuk menghasilkan penelitian yang inovatif, banyak hal yang perlu kita perhatikan yaitu
sebelum pelaksanaan penelitian, saat penelitian sampai pada penulisan hasil penelitian.
Rangkaian kegiatan tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam suatu penelitian. Dengan kata
lain, rencana penelitian, proses penelitian dan penulisan hasil penelitian harus menjadi fokus
utama penelitian.
Berbagai tahapan dalam penelitian perlu kita cermati mulai dari ide penelitian, jenis penelitian
yang kita pilih, sampel yang diambil, proses pengambilan data, cara menganalisa data selama
proses penelitian, metode dalam menganalisa data sampai pada pengambilan kesimpulan hasil
penelitian. Analisis data dianggap sebagai kunci utama dalam suatu penelitian, karena dengan
cara menganalisis data yang benar dan sesuai kita dapat menuangkan hasil penelitian sebagai
suatu laporan ilmiah yang dapat diambil manfaatnya. Sehingga peneliti yang bijak harus
mengetahui segala teori-teori yang berkaiatan dengan analisis data agar dapat melakukan
penelitian sesuai yang mereka inginkan.

Dalam dunia pendidikan kita lebih familier bentuk penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Dimana kedua penelitian tersebut mempunyai perbedaan nyata. Mulai dari ide, sudut pandang,
pengambilan sampel, saat pengambilan data di lapangan sampai pada penulisan hasil penelitiaan
sangat berbeda jelas.


B.

PERMASALAHAN

Permasalahan yang ingin penulis kupas dalam makalah ini adalah :
1.

Bagaimana cara menganalisa data kualitatif dengan model Miles dan Huberman?

2. Mengkaji analisis data model Miles dan Hubermen dalam menjawab permasalahan
penelitian kualitatif ?

C.

TUJUAN

Dari permasalahan yang penulis pilih, penulis mempunyai tujuan :
1.


Menjelaskan cara menganalisa data dengan model Miles dan Huberman

2.
Mengkaji analisis data model Miles dan Hubermen dalam menjawab permasalahan
penelitian kualitatif ?

BAB II
ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF MODEL MILES DAN HUBERMAN

Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif sering disebut
dengan penelitian naturalistik, etnografik, studi kasus atau fenomenologi. Penelitian kualitatif
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang atau
perilaku yang dapat di amati. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam
bentuk angka (Depdiknas,2008).
Penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil, dan pengambilannya cenderung
memilih yang purposif daripada acak. Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses
daripada produk; dan biasanya membatasi pada satu kasus.
Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya
wawancara, analisis dokumen, diskusi terfolus, atau observasi yang telah dituangkan dalam


catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif adalah gambar yang peroleh melalui
pemotretan atau rekaman video.
A.

ANALISIS DATA KUALITATIF

Pada awalnya para peneliti kualitatif tidak menjelaskan secara rinci kegiatan analisis dalam
penelitiannya. Pada perkembangan selanjutnya para peneliti sejenis telah berupaya untuk
menjelaskan proses analisisnya secara rinci, meskipun masih beragam caranya. Namun, hal itu
dapat dipahami sesuai dengan sifat keterbukaan dan kelenturan metode ini (Sutopo, 2002).
Data-data yang diperoleh selama melaksanakan penelitian tidak memiliki arti apapun jika tidak
diolah, dianalisis dan disajikan dengan cermat dan sistematis. Analisis data dalam penelitian
kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan. Tujuan akhir analisis data kualitatif adalah untuk
memperoleh makna, menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep serta mengembangkan
hipotesis atau teori baru. Analisis data kualitatif adalah proses mencari serta menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lainnya
sehingga mudah dipahami agar dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
mana yang akan dikaji dimulai sejak sebelum peneliti memasuki lapangan, dilanjutkan pada saat

peneliti berada di lapangan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas
sehingga datanya jenuh. Kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau
informasi baru.
B.

ANALISIS DATA KUALITATIF SEBELUM DI LAPANGAN

Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan
digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun hal ini bersifat sementara, dan akan
berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. Semisal penelitian difokuskan pada
pohon jati, setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada
pohon jati. Bagi peneliti kuantitatif tentu akan membatalkan penelitiannya, tetapi kalau peneliti
kualitatif tidak, karena fokus penelitiannya bersifat sementara dan akan berkembang setelah di
lapangan. Bagi peneliti kualitatif kalau fokus penelitian yang dirumuskan pada proposal tidak
ada di lapangan, maka peneliti akan merubah fokusnya.
C.
ANALISIS DATA KUALITATIF SELAMA DI LAPANGAN MODEL MILES DAN
HUBERMAN
Miles dan Hubermen (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga

datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau

informasi baru.Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian
data (data display) serta Penarikan kesimpulan dan verifikasi(conclusion drawing / verification).
Sejumlah peneliti kualitatif berupaya mengumpulkan data selama mungkin dan bermaksud akan
menganalisis setelah meninggalkan lapangan. Cara tersebut untuk peneliti kualiatatif salah,
karena banyak situasi atau konteks yang tak terekam dan peneliti lupa penghayaatan situasinya,
sehingga berbagai hal yang terkait dapat berubah menjadi fragmen-fragmen tak berarti. Sehingga
pekerjaan pengumpulan data bagi peneliti kaulitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan
menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi, dan menyajikan; yang selanjutnya
Analisis data kualitatif model Miles dan Hubermen terdapat 3 (tiga) tahap:
Tahap Reduksi Data
Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan Huberman adalah :
Pertama, meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi
penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas dokumen yang
relevan.
Kedua, pengkodean. Pengkodean hendaknya memperhatikan setidak-tidaknya empat hal :
a. Digunakan simbul atau ringkasan.
b. Kode dibangun dalam suatu struktur tertentu.
c. Kode dibangun dengan tingkat rinci tertentu

d. Keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integratif.
Ketiga, dalam analisis selama pengumpulan data adalah pembuatan catatan obyektif.Peneliti
perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana
adanya, faktual atau obyektif-deskriptif.
Keempat, membuat catatan reflektif. Menuliskan apa yang terangan dan terfikir oleh peneliti
dalam sangkut paut dengan catatan obyektif tersebut diatas. Harus dipisahkan antara catatan
obyektif dan catatan reflektif
Kelima, membuat catatan marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti
mengenai subtansi dan metodologinya. Komentar subtansial merupakan catatan marginal.
Keenam, penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan :
a. Pemberian label

b. Mempunyai format yang uniform dan normalisasi tertentu
c. Menggunakan angka indeks dengan sistem terorganisasi baik.
Ketujuh, analisis data selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo. Memo yang
dimaksud Miles dan Huberman adalah teoritisasi ide atau konseptualisasi ide, dimulai dengan
pengembangan pendapat atau porposisi.
Kedelapan, analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada lebih dari satu
lokasi atau dilakukan oleh lebih satu staf peneliti. Pertemuan antar peneliti untuk menuliskan

kembali catatan deskriptif, catatan reflektif, catatn marginal dan memo masing-masing lokasi
atau masing-masing peneliti menjadi yang konform satu dengan lainnya, perlu dilakukan.
Kesembilan, pembuatan ringkasan sementara antar lokasi. Isinya lebih bersifat matriks tentang
ada tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi.
Mencermati penjelasan di atas, seorang peneliti dituntut memiliki kemampuan berfikir sensitif
dengan kecerdasan, keluasan serta kedalaman wawasan yang tertinggi. Berdasarkan kemampuan
tersebut peneliti dapat melakukan aktivitas reduksi data secara mandiri untuk mendapatkan data
yang mampu menjawab pertanyaan penelitian. Bagi peneliti pemula, proses reduksi data dapat
dilakukan dengan mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli. Melalui
diskusi tersebut diharapkan wawasan peneliti akan berkembang, data hasil reduksi lebih
bermakna dalam menjawab pertanyaan penelitian.
Tahap Penyajian Data/ Analisis Data Setelah Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau penampilan (display) dari
data yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya, mengingat bahwa peneliti kualitatif banyak
menyusun teks naratif. Display adalah format yang menyajikan informasi secara tematik kepada
pembaca. Miles dan Huberman (1984) memperkenalkan dua macam format, yaitu : diagram
konteks (context chart) dan matriks.
Penelitian kualitatif biasanya difokuskan pada kata-kata, tindakan- tindakan orang yang terjadi
pada konteks tertentu. Konteks tersebut dapat dilihat sebagai aspek relevan segera dari situasi
yang bersangkutan, maupun sebagai aspek relevan dari sistem sosial dimana seseorang berfungsi

(ruang kelas, sekolah, departemen, keluarga, agen, masyarakat lokal), sebagai ilustrasi dapat
dibaca Miles dan Huberman (1984:133)
Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan,
sehingga makin mudah dipahami dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah
ini peneliti berusaha menyusun data yang yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat
disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan
data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa

yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan
satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal.
Miles and Hubermen (1984) menyatakan : ”the most frequent form of display data for qualitative
research data in the post has been narrative text”/yang paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Miles dan Huberman
membantu para peneliti kualitatif dengan model-model penyajian data yang analog dengan
model-model penyajian data kuantitatif statis, dengan menggunakan tabel, grafiks, amatriks dan
semacamyan; bukan diisi dengan angka-angka melainkan dengan kata atau phase verbal.
Dalam bukunya Qualitative Data Analysis disajikan mengenai model-model penyajian data
untuk analisis kualitatif. Miles dan Huberman dengan model-modelnya itu dimaksudkan untuk
mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya sendiri, bukan hanya sekedar konsumen
model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman menyajikan 9 model dengan 12 contoh

penyajian data kualitatif bentuk matriks, gambar atau grafik analog dengan model yang biasanya
digunakan dalam metodologi penelitian kuantitatif statistik.
Model 1 adalah model untuk mendeskripsikan model penelitian. Dapat berupa sosiogram,
organigram atau menyajikan peta geografis.
Model 2 adalah model yang dipakai untuk memantau komponen atau dimensi penelitian, yaitu
dengan checklist matrik.Karena matriks itu tabel dua dimensi, maka pada barisnya dapat
disajikan komponen atau dimensinya, pada kolom disajikan kurun waktunya.
Isi checklist hanyalah tanda-tanda singkat.
Model 3 adalah model untuk mendeskripsikan perkembangan antar waktu. Isinya bukan sekedar
tanda cek, melainkan ada diskripsi verbal dengan satu kata atau phase.
Model 4 adalah matriks tataperan, yang mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan atau
lainnya dari berbagai pemeranan.
Model 5 adalah matriks konsep terklaster. Digunakan untuk meringkas berbagai hasil penelitian
dari berbagai ahli yang pokok perhatiannya berbeda.
Model 6 adalah matriks tentang efek atau pengaruh. Model ini hanya mengubah fungsi-fungsi
kolom-kolomnya, diganti untuk mendeskripsikan perubahan sebelum dan sesudah mendapat
penyuluhan, sebelum dan sesudah deregulasi dan yang semacamnya.
Model 7 adalah matriks dinamika lokasi. Melalui model ini diungkap dinamika lokasi untuk
berubah. Model ini berguna bagi peneliti yang memang hendak melihat dinamika sosial suatu
lokasi, tetapi memang tidak banyak peneliti yang mengungkap hal tersebut cukup sulit.

Model 8 adalah menyusun daftar kejadian. Daftar kejadian dapat disusun kronologis atau
diklasterkan.

Model 9 adalah jaringan klausal dari sejumlah kejadian yang ditelitinya. Dari deskripsi atau
sajian yang diringkaskan dalam berbagai model tersebut dapat diharapkan agar mempermudah
kita untuk merumuskan prediksi kita.
Selanjutnya disarankan dalam melakukan display data, selain dengan teks yang naratif juga dapat
berupa : bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), pictogram, dan
sejenisnya.Kesimpulan yang dikemukakan ini masih bersifat sementara dan akan berubah bila
ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya.
Tahap Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Langkah selanjutnya adalah tahap penarikan kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan
verifikasi data. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap
pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai
verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh buktibukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke
lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.
Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti sebaiknya masih tetap terbuka untuk menerima
masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang tergolong tidak bermakna. Namun
demikian peneliti pada tahap ini sebaiknya telah memutuskan anara data yang mempunyai
makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam
analisis lebih lanjut seperti absah, berbobot, dan kuat sedang data lain yang tidak menunjang,
lemah, dan menyimpang jauh dari kebiasaan harus dipisahkan.
Kualitas suatu data dapat dinilai melalui beberapa metode, yaitu :
a.

mengecek representativeness atau keterwakilan data

b.

mengecek data dari pengaruh peneliti

c.

mengecek melalui triangulasi

d.

melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat dipercaya

e.

membuat perbandingan atau mengkontraskan data

f.

menggunakan kasus ekstrim yang direalisasi dengan memaknai data negatif

Dengan mengkonfirmasi makna setiap data yang diperoleh dengan menggunakan satu cara atau
lebih, diharapkan peneliti memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mendukung
tercapainya tujuan penelitian. Penarikan kesimpulan penelitian kualitatif diharapkan merupakan
temuan baru yang belum pernah ada. Temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran

suatu objek yang sebelumnya remang-remang atau gelap menjadi jelas setelah diteliti. Temuan
tersebut berupa hubungan kausal atau interaktif, bisa juga berupa hipotesis atau teori.

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
1.

Analisis data penelitian kualitatif menurut Miles dan Hubermen ada tiga tahap, yaitu :

a.

Tahap reduksi data

b.

Tahap penyajian data

c.

Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data

Langkah-langkah dalam tahap reduksi, yaitu :
1.

Meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi penelitian.

2.

Pengkodean.

3.

Pembuatan catatan obyektif.

4.

Membuat catatan reflektif.

5.

Membuat catatan marginal.

6.

Penyimpanan data.

7.

Pembuatan memo.

8.

Analisis antarlokasi.

9.

Pembuatan ringkasan sementara antar lokasi.

Tahap penyajian, pada tahapan ini dikembangkan model-model:
1.

Mendeskripsikan konteks dalam penelitian.

2.

Cheklist matriks

3.

Mendeskripsikan perkembangan antar waktu.

4.

Matriks tata peran

5.

Matriks konsep terklaster.

6.

Matriks efek dan pengaruh

7.

Matriks dinamika lokasi

8.

Daftar Kejadian

Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Kesimpulan hasil penelitian yang diambil dari
hasil reduksi dan panyajian data adalah merupakan kesimpulan sementara. Kesimpulan
sementara ini masih dapat berubah jika ditemukan bukti-bukti kuat lain pada saat proses
verifikasi data di lapangan. Jadi proses verifikasi data dilakukan dengan cara peneliti terjun
kembali di lapangan untuk mengumpulkan data kembali yang dimungkinkan akan memperoleh
bukti-bukti kuat lain yang dapat merubah hasil kesimpulan sementara yang diambil. Jika data
yang diperoleh memiliki keajegan (sama dengan data yang telah diperoleh) maka dapat diambil
kesimpulan yang baku dan selanjutnya dimuat dalam laporan hasil penelitian.
2.
Analisis penelitian kualitatif menurut Miles dan Hubermen dapat disimpulkan mampu
menjawab permasalahan penelitian kualitatif. Hal ini didasarkan pada tahapan-tahapan penelitian
yang tersusun secara sistematis dan runtut, alamiah (tanpa memanipulasi data), logis, aktual dan
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, kesimpulan yang diambil pada penelitian
kualitatif menggunakan analisis data Miles dan Hubermen dapat dipertanggungjawabkan karena
telah melalui tahapan verifikasi data.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, Pengolahan dan Analisis Data Penelitian; 2008
Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication
Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Muhadji, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif.Yogyakarta:
Sonhaji, Ahmad.1994.Penelitian Kualitatif
Keagamaan.Malang:Kalimasada Press

dalam

Bidang

Ilmu-Ilmu

Sosial

dan

Analisis Data Kualitatif Model Miles dan Huberman
Miles dan Huberman (Emzir, 2010) menyatakan bahwa terdapat tiga macam kegiatan analisis
data kualitatif, yaitu:
1.

Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti
dan rinci. Mereduksi data berarti : merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti : komputer , dengan memberikan kode
pada aspek-aspek tertentu. Dengan reduksi , maka peneliti merangkum, mengambil data yang
penting, membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka. Data yang tidak
penting dibuang.

2.

Model Data (Data Display)

Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah mendisplaykan data.Display data dalam
penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk : uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart dan sebagainya. Miles dan Huberman (1984) menyatakan : “the most
frequent form of display data for qualitative research data in the pas has been narative tex”
artinya : yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan
teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display data dapat juga berupa grafik,
matriks, network (jejaring kerja).
Fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis sehingga apa yang ditemukan saat memasuki
lapangan dan setelah berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data.
Peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang
masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangan
ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung data pada saat dikumpulkan di lapangan,
maka hipotesis tersebut terbukti dan akan berkembang menjadi teori yang grounded. Teori
grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di
lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus menerus. Bila pola-pola
yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut menjadi pola
yang baku yang tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya didisplaykan pada laporan akhir
penelitian.

3.

Penarikan/Verifikasi Kesimpulan

Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang
kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun bila kesimpulan
memang telah didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang kredibel (dapat dipercaya).
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang
dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di
lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan
baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu
obyek yang sebelumnya masih belum jelas, sehingga setelah diteliti menjadi jelas.

Referensi:

Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Raja Grafindo
Teori Analisis Data Miles dan Huberman Lengkap dengan Pengertian dan Tahapan
Oleh Malik Muqtadir Pada Jumat, November 27, 2015

Teori Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau
informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data
(data display) serta Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification).
Berikut ini adalah tahap dalam analisis data menurut teori Miles dan Hubermen :

#1. Tahap Analisis atau Pengumpulan Data

Proses analisis pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai macam cara melalui
waancara, pengamatan, observasi, dan dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian. Tahap analisis atau
pengumpulan data ini bisa dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi,
mengumpulkan data, dan lain sebagainya.

#2. Tahap Reduksi
Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan serta
wawasan yang tinggi. Tahap mereduksi data, peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan
dicapai. Tahap ini dilakukan dengan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Contohnya yaitu meringkaskan data
kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi penelitian, pengkodean, pembuatan
catatan obyektif, membuat catatan reflektif, membuat catatan marginal, penyimpanan data,
membuatan memo, menganalisis antarlokasi dan pembuatan ringkasan sementara antar lokasi.

#3. Tahap penyajian
Penyajian data dilakukan untuk memudahkan memahami apa yang terjadi dan merencanakan
kerja selanjutnya. Pada penyajian data, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks narasi
dan tabel. Melalui penyajian data tersebut, data dapat tersusun dalam pola hubungan sehingga
akan semakin mudah dipahami. Pada tahapan ini dikembangkan model-model seperti
mendeskripsikan konteks dalam penelitian, cheklist matriks, mendeskripsikan perkembangan
antar waktu, matriks tata peran, matriks konsep terklaster, matriks efek dan pengaruh, matriks
dinamika lokasi dan daftar kejadian.

#4. Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data
Pada tahap ini dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penyajian data. Penelitian kualitatif
biasanya kesimpulan mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal,
tetapi mungkin juga tidak menjawab rumusan masalah. Kesimpulan awal yang dikemukakan
dapat bersifat sementara jika masih mengalami perubahan saat pengumpulan data berikutnya dan
dapat bersifat kredibel jika sudah didukung bukti yang valid dan konsisten.
Kesimpulan hasil penelitian yang diambil dari hasil reduksi dan panyajian data adalah
merupakan kesimpulan sementara. Kesimpulan sementara ini masih dapat berubah jika
ditemukan bukti-bukti kuat lain pada saat proses verifikasi data di lapangan.

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi
kebijakan publik, Edward III mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:

What is the precondition for successful policy implementation?
What are the primary obstacles to successful policy implementation?

George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat
faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya , komunikasi, disposisi.

2.1.1.1. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada
dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasuskasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan
Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai
hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public
affair).
Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.
Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.
Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan
birokrasi yang mati.
Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak.
Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan
menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan.

Berdasakan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang
fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam
Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard Operational
Procedure (SOP) dan fragmentasi”.

”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan
kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang
kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa
digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan
dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan
yang besar dalam penerapan peraturan.

Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan
bahwa:

”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang
membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakankebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara
yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi”.

”Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai
manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol
yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung
jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah
fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan
penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga
memerlukan koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.
Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi
kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan
dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-154):

”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya
fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masingmasing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang
penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”.

”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan.
Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan
berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakankebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

2.1.1.2. Sumber Daya

Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya (resources).
Seorang ahli dalam bidang sumberdaya, Schermerchorn, Jr (1994:14) mengelompokkan
sumberdaya ke dalam: “Information, Material, Equipment, Facilities, Money, People”.
Sementara Hodge (1996:14) mengelompokkan sumberdaya ke dalam: ”Human resources,
Material resources, Financial resources and Information resources”. Pengelompokkan ini
diturunkan pada pengkategorikan yang lebih spesifik yaitu sumberdaya manusia ke dalam:
“Human resources- can be classified in a variety of ways; labors, engineers, accountants, faculty,
nurses, etc”. Sumberdaya material dikategorikan ke dalam: “Material resources-equipment,
building, facilities, material, office, supplies, etc. Sumberdaya finansial digolongkan menjadi:
”Financial resources- cash on hand, debt financing, owner`s investment, sale reveue, etc”. Serta

sumber daya informasi dibagi menjadi: “Data resources-historical, projective, cost, revenue,
manpower data etc”.

Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari : “Staff, information,
authority, facilities; building, equipment, land and supplies”. Edward III (1980:1)
mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari aspek kecukupannya yang
didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan; “Insufficient resources will mean that laws will not
be enforced, services will not be provided and reasonable regulation will not be developed “.

“Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai
implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian
dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan
nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis,
sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi”. (Tachjan, 2006:135)

Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159), sumberdaya merupakan hal penting dalam
implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat
sejauhmana sumberdaya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:

Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level
bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten
dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan
persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan
kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama,
informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai
data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana
dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka
kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal

tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas
akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya
sendiri atau kelompoknya.
Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor
mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas
pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

2.1.1.3. Disposisi

Menurut Edward III dalam Wianrno (2005:142-143) mengemukakan ”kecenderungankecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting
bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau
sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat
kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.
Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi
kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala
yang serius.

Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward III tentang ”zona
ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara
yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan
tindakan penghambatan lainnya.

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006:162):

”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi
karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal
betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya
bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak
mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus (2006:159-160) mengenai
disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:

Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatanhambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak
melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki
dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga
masyarakat.
Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan
kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau
biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana
menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan
pribadi atau organisasi.

2.1.1.4. Komunikasi

Menurut Agustino (2006:157); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan
terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan.
Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang
baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel
komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga variabel tersebut
yaitu:

Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi
yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah
pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui
dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.
Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua.

Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan
jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka
dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Edward III yang dirangkum dalam Winarno (2005:127) Terdapat
beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu:

”Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan
oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan
yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui
berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai
informasi yang dapat mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah penangkapan informasi
juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami
persyaratan-persyaratan suatu kebijakan”.

Menurut Winarno (2005:128) Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam
implementasi kebijakan publik biasanya karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus
mengenai tujuan-tujuan kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan
yang baru serta adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban kebijakan.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjabarkan distori atau hambatan komunikasi? Proses
implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari manajemen puncak
sampai pada birokrasi tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses
pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari
pelaksana, maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan terdistorsi. Untuk itu, Winarno
(2005:129) menyimpulkan: ”semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi”.

Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran
komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran komunikasi yang
dibangun, maka semakin tinggi probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan secara benar.

Dalam kejelasan informasi biasanya terdapat kecenderungan untuk mengaburkan tujuan-tujuan
informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan
informasi berdasarkan pemahaman sendiri-sendiri. Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut
adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai persyaratan, tujuan,
menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi, melaksanakan prosedur dengan hati-hati dan
mekanisme pelaporan secara terinci.

Berdasarkan hasil penelitian tentang implemetasi kebijakan pengembangan usaha mikro terhadap
kinerja Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Cianjur yang dilakukan Patriana (2005:i) bahwa:

”Pengaruh dimensi komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana (disposisi), struktur birokrasi
mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja LKM baik secara parsial (terpisah sendirisendiri) maupuan secara simultan. Namun demikian, ditemukan hambatan komunikasi dimana
terdapat disiplin rendah dan pemahaman tugas serta tanggung jawab yang kurang dari petugas
pelaksana kebijakan”.

Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran,
sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai efektivitas implementasi
kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang
baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi
yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat
berperan.
Edward III, George C,. 1978. Understanding Public Policy. New Jersey: Prantice Hall
Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit Unpad
Tachjan, 2006. Diktat Kuliah Kebijakan Publik. Bandung
Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung