MAKALAH FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN SA
MAKALAH FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN,
SALURAN CERNA & SALURAN NAFAS
“OTITIS MEDIA”
DOSEN PENGAMPU:
Sunarti, M.Sc.,Apt
DISUSUN OLEH :
K
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
OTITIS MEDIA
I.
PENDAHULUAN
1.1
Epidemiologi
1.
Otitis Media Akut
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. Pada penelitian Zackzouk dkk di Arab saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (6-35 bulan),
didapatkan 30% mengalami otitis media akut dan 8% sinusitis. Epidemiologi
seluruh dunia terjadinya otitis media berusia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan
anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75%
anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan
hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris
setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia 10 tahun.
Insiden Otitis Media tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan
yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
2.
Otitis Media Efusi
Otitis Media Efusi (OME) merupakan penyakit yang sering di derita oleh
bayi dan anak-anak. Infeksi telinga tengah menjadi masalah medis yang paling
sering pada bayi dan anak-anak umur pra sekolah, dan diagnosa utama yang
paling sering pada anak-anak yang lebih muda dari usia 15 tahun yangdiperiksa di
tempat praktek dokter.
Pada tahun 1990, 12.8 juta kejadian otitis media terjadi pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun. Anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, 17% memiliki
peluang untuk kambuh kembali. 30-45% anak-anak dengan Otitis Media Akut
dapat menjadi Otitis Media Efusi setelah 30 hari, dan 10% lainnya menjadi Otitis
Media Efusi setelah 90 hari, sedikitnya 3,84 juta kasus Otitis Media Efusi terjadi
pada tahun tersebut; 1,28 juta kasus menetap setelah 3 bulan. Statistik
menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah menderita Otitis Media Efusi.
Kasus Otitis media efusi berulang (Otitis Media Efusirekuren) pun menunjukkan
prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 28-38%.
Di Indonesia masih jarang ditemukan kepustakaan yang melaporkan angka
kejadian penyakit ini, hal ini di sebabkan kerena belum ada penelitian yang
khusus mengenai penyakit ini, atau tidak terdeteksi karena minimalnya keluhan
pada anak yang menderita Otitis Media Efusi.
1.2
Klasifikasi
Mengklasifikasikan penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas infeksi
saluran pernapasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah.
1.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas disebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian
atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya
adalah Nasofaringitis akut (salesma), Ototis Media, sinusitis, epiglottitis,
laringitis, Faringitis akut (termasuk Tonsilitis dan Faringotositilitis) dan rhinitis.
2.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Bawah
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas bagian bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit
yang tergolong Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian bawah :
Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronis, Broncho Pneumonia
atau Pneumonia (Suatu peradangan tidak saja pada jaringan paru tetapi juga pada
brokioli.
Secara umum Otitis Media adalah peradangan telinga tengah yang dibagi
menjadi 2 macam, yaitu :
1.
Otitis Media Akut
Otitis media akut (OMA) adalah peradanganakut telinga tengah yang
gejala dan tanda-tandanya muncul cepat. Manifestasi klinik berupa ≥1 gejala:
otalgia, gangguan pendengaran, demam atau gelisah. Penyakit ini masih
merupakanmasalah kesehatan khususnya pada anak-anak.Diperkirakan 70%
anak mengalami satu atau lebihepisode otitis media menjelang usia 3 tahun.
Penyakit initerjadi terutama pada anak dari baru lahir sampai umursekitar 7
tahun, dan setelah itu insidennya mulaiberkurang.
2. Otitis Media Efusi
Otitis media efusi adalah inflamasi pada telinga tengah yang ditandai
dengan adanya penumpukan cairan efusi di telinga tengah dengan membran
timpani utuh tanpa adanya tanda dan gejala inflamasi akut.
1.3
Faktor resiko
1.
Otitis Media Akut
Faktor-faktor resiko terjadinya Otitis Media Akut adalah bayi yang lahir
prematur dan berat badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang
dititipkan ke penitipan anak, variasi musim dimana Otitis Media Akut lebih
sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin, predisposisi genetik,
kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti celah
palatum dan anomali kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat, sosial ekonomi
rendah, dan posisi tidur tengkurap.
2.
Otitis Media Efusi
a.
Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah
palatum, hipertrofi adenoid, dan GERD.
b.
Faktor resiko fungsional: serebral palsy,down syndrome,kelainan
neurologis lainnya, dan imunodefisiensi.
c.
Faktor resiko lingkungan:bottle feeding, menyandarkan botol di mulut
pada posisi tengadah (supine position), rokok pasif, status ekonomi
rendah, banyaknya anak yang dititipkan di fasilitas penitipan anak.
II.
PATOFISIOLOGI
2.1
Patogenesis
1.
Otitis Media Akut
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat
menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan
mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah
dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran
Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila gejala
berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan dengan beberapa faktor
antara lain higiene, terapi yang terlambat, pengobatan yang tidak adekuat,
dan daya tahan tubuh yang kurang baik.
2.
Otitis Media Efusi
Patogenesis OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor lingkungan
dan sosial. Walaupun demikian tekanan telinga tengah yang negatif,
abnormalitas imunologi, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut
diperkirakan menjadi faktor utama dalam pathogenesis OME. Faktor
penyebab
lainnya
termasuk
hipertropi
adenoid,
adenoiditis
kronis,
palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma, terapi radiasi, dan radang
penyerta seperti sinusitis atau rinitis. Merokok dapat menginduksi hiperplasi
limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga merupakan patogenesis
timbulnya OME
2.2
Etiologi
1.
Otitis Media Akut
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling
sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus
influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus
aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah
Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus grup
A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di Negev, Israil.
Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada pasien yang berobat
di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan Agustus 2004 –Februari
2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%.
Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA, dan
terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang
sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,
adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu
sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri
atau kombinasi dengan bakteri lain.
2.
Otitis Media Efusi
Etiologi Otitis Media Efusi bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus
atau bakteri, gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor
lingkungan dan sosial. Walaupun demikian tekanan telinga tengah yang negatif,
abnormalitas imunologi, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut diperkirakan
menjadi faktor utama. Faktor penyebab lainnya termasuk hipertropi adenoid,
adenoiditis kronis, palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma, terapi radiasi, dan
radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis.
1.
Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Disebabkan oleh:
a.
Hiperplasia adenoid.
b.
Rinitis kronik dan sinusitis
c.
Tonsilitis kronik. pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi
mekanik pada pergerakan palatum molle dan menghalangi
membukanya tuba Eustachi.
d.
Tumor
nasofaring
yang
jinak
dan
ganas.
Kondisi
ini
selalumenyebabkan timbulnya otitis media unilateral pada orang
dewasa.
e.
Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.
2.
Alergi
Alergi inhalans atau ingestan sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak
hanya menyebabkan tersumbatnya tuba eustachi oleh karena udem tetapi
juga dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa
telinga tengah.
3.
Otitis media yang belum sembuh sempurna
Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan
infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan
infeksi dengan grade yang rendahProses ini dapat merangsang mukosa untuk
menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar
mukus juga bertambah.
4.
Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori Ig
A. immunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum
timpani. Sekretori Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan di kenal
sebagai suatu imunoglobulin yang aktif bekerja dipermukaan mukosa
respiratorik. Kerjanya yaitu menghadang kuman agar tidak kontak langsung
dengan permukaan apitel, dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak
langsung dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari penetrasi
kuman untuk infeksi jaringan. Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi
kuman.
5.
Infeksi virus
Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat
menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.
2.3
Gejala
1.
Otitis Media Akut
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada
usia anak-anak umumnya keluhan berupa
a.
Rasa nyeri di telinga dan demam.
b.
Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
c.
Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan
pendengaran dan telinga terasa penih.
d.
Pada bayi gejala khas Otitis Media akut adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang
telinga yang sakit.
2.
Otitis Media Efusi
Penderita Otitis Media Efusi jarang memberikan gejala sehingga pada anak-
anak sering terlambat diketahui. Gejala Otitis Media Efusi ditandai dengan rasa
penuh dalam telinga, terdengar bunyi berdengung yang hilang timbul atau terus
menerus, gangguan pendengaran, rasa nyeri yang ringan, berkurangnya fungsi
pendengaran (keadaan ini sering ditemukan dan kadang-kadang satu-satunya
gejala, onsetnya tersembunyi dan jarang melebihi 40 dB), percakapan yang
lambat dan bisu (disebabkan oleh ketulian, perkembangan dari fungsi percakapan
menjadi lambat atau bisu), sakit pada telinga tengah (hal ini mungkin disebabkan
adanya infeksi pada saluran pernapasan atas).Dizziness juga dirasakan penderitapenderita Otitis Media Efusi. Gejala kadang bersifat asimtomatik sehingga
adanya Otitis Media Efusi diketahui oleh orang yang dekat dengan anak misalnya
orang tua atau guru.
Anak-anak dengan Otitis Media Efusi juga kadang-kadang sering terlihat
menarik-narik telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat.Pada
kasus yang lanjut sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan
berbahasa. Kadang-kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi
dan keterbelakangan dalam pelajaran.
2.4
Manifestasi klinik
1. Otitis Media Akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat
ringan dan sementara atau sangat berat.Keadaan ini biasanya unilateral pada
orang dewasa.
Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang
yang dapat dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic ( pemberian
tekanan positif atau negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang
dikaitkan ke otoskop ), dapat mengalami perforasi.
a) Sakit telinga yang berat dan menetap.
b) Terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara .
c) Pada anak-anak bisa mengalami muntah, diare dan demam sampai 40,5ºC
d) Gendang telinga mengalami peradangan dan menonjol.
e) Demam
f) Anoreksia
g) Limfadenopati servikal anterior
2. Otitis Media Efusi
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal
dalam telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik,
yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka.Membrane tymphani
tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi
pneumatik,
dan
dapat
terlihat
gelembung
udara
dalam
telinga
tengah.Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran
konduktif.
2.5
Diagnosis
a. Otitis Media Akut
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh
tinggi serta ada riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit
tidur, tiba-tiba menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani,
maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun, dan anak tertidur
tenang. Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat
pula gangguan pendengaran dan rasa penuh dalam telinga. Diagnosis
terhadap OMA tidak sulit, dengan melihat gejala klinis dan keadaan
membran timpani biasanya diagnosis sudah dapat ditegakkan. Penilaian
membran timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan lampu kepala dan
otoskopi. Perforasi yang terdapat pada membran timpani bermacam-macam,
antara lain perforasi sentral, marginal, atik, subtotal, dan total.
b. Otitis Media Efusi
Dokter mendiagnosa serous otitis media dengan melihat perubahan warna
dan penampilan pada gendang telinga dan dengan menekankan udara ke
dalam telinga untuk melihat ke alam telinga untuk melihat apakah gendang
telinga tersebut berubah. Jika gendang telinga tidak berubah tetapi tidak
terdapat kemerahan atau tonjolan dan anak tersebut mengalami beberapa
gejala, kemudian serous otitis media adalah mungkin terjadi. Diagnosis OME
pada anak tidak mudah dan terdapat perbedaan yang bermakna sesuai dengan
kecakapan klinisi, khususnya di tingkat pelayanan primer atau dokter anak
yang mendiagnosisnya. Gejala tidak ada sensitif maupun spesifik, banyak
anak justru tanpa gejala. Pemeriksaan fisik pada anak penderita OME
berpotensi tidak akurat kerena kesan subjektif gambaran membran timpani
sulit dinilai. Belum lagi anak-anak yang tidak kooperatif saat dilakukan
pemeriksaan. Namun enamnesis dan pemeriksaan fisik tetap sangat berperan
dalam mendiagnosis OME.
III.
SASARAN TERAPI
-
Mencegah terjadinya komplikasi intrakrania dan ekstrakrania.
-
Memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari performasi membran timpani,
mengobati infeksi yang terjadi pada bagian telinga oleh karena adanya bakteri.
IV.
TUJUAN TERAPI
-
Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi.
-
Mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari performasi
membran timpani dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik.
V.
STRATEGI TERAPI
Tata LaksanaTerapi
5.1
Guideline Terapi
5.2
Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imun lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur
diatas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagidalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan
10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik
dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian
antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi
supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri
yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of
Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut :
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi.
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
cefdinir.
Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae (Kerschner, 2007).
5.3
Terapi Non Farmakologi
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani otitis media,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpani sintesis dan adenoidektomi.
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah keliang telinga luar. Syaratnya adalah
harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringotomi
pada anak dengan OMA adalah nyeriberat, demam, komplikasi OMA seperti
paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang
respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur.
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
fungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret
untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan
efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan
insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil
dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
VI.
PENYELESAIAN KASUS
A. Kasus
Otitis Media
Seorang anak perempuan berumur 15 bulan pergi ke klinik pediatrik dengan
kondisi 2 hari terkena demam (suhunya sebesar 38,9°C), pilek, dan rewel. Ibunya
menyatakan bahwa dia marah lebih dari biasanya dan menangis berkali-kali sepanjang
malam. Dia tidak nafsu makan hari ini. Dia biasa berada di penitipan anak dan
memiliki saudara 5 tahun yang baru saja terkena pilek. Pemeriksaan fisik
menunjukkan adanya erythema (kondisi kulit berupa kemerahan atau ruam) dan
membran timpani bagian kanan menonjol dan adanya cairan di telinga tengah.
Membran timpani kiri dikaburkan dengan cerumen. Pada pertanyaan lebih lanjut,
ditemukan bahwa anak tersebut alergi terhadap penisilin. Dia terkena ruam
nonurticarial sejak tahun lalu selama pengobatan untuk faringitis. Dia belum
menerima antibiotik sejak saat itu, dan ini adalah infeksi pertama telinganya.
Imunisasi: diperbaharui
Obat : Acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila diperlukan saat
demam atau sakit.
ROS : (+) Hidung tersumbat dan pilek, (-) muntah, diare, atau batuk
Pemeriksaan Fisik
Gen:anak tersebut tergolong pemarah tapi dapat dihibur. VS: Tekanan darah
100/60 mmHg, denyut nadi 120 kali/menit, kecepatan pernafasan 18kali/menit,
dansuhu 38,6°C.
B. Analisis Kasus
1.
Analisis kasus secara SOAP :
- SUBYEKTIF
Seorang anak perempuan berumur 15 bulan pergi ke klinik pediatrik
dengan kondisi 2 hari terkena demam, pilek, dan rewel. Ibunya
menyatakan bahwa dia marah lebih dari biasanya dan menangis berkali-
kali sepanjang malam. Dia tidak nafsu makan hari ini. Dia biasa berada di
penitipan anak dan memiliki saudara 5 tahun yang baru saja terkena pilek.
- OBYEKTIF
Pemeriksaan
Tekanan Darah
HR (Heart Rate)
RR (Respiration Rate)
Suhu
Hasil
Laboratorium
100 / 60 mmHg
120 x /menit
18 x /menit
38,6 °C
Nilai Normal
120 / 80 mmHg
60 - 100 x /menit
18 - 20 x /menit
36,5 – 37,5 °C
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya erythema (kondisi kulit
berupa kemerahan atau ruam) dan membran timpani bagian kanan
menonjol dan adanya cairan di telinga tengah. Membran timpani kiri
dikaburkan dengan cerumen.
Pasien alergi terhadap antibiotik penisilin. Obat yang digunakan
pasien adalah acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila
diperlukan saat demam atau sakit.
- ASSESMENT
1) Pasien mengalami otitis media akut stadium supurasi ditandai dengan
adanya membran timpani bagian kanan menonjol dan terdapat cairan
di telinga tengah, suhu dan denyut nadi meningkat perlu diatasi
2) Paien mengalami demam dan rasa nyeri sudah diatasi dengan
pemberian acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila
perlu.
- PLANNING
2) Mengatasi gejala simptomatis yang ditimbulkan dengan memberikan
terapi obat yang sesuai.
3) Melakukan terapi otitis media baik dengan terapi farnakologi maupun
non-farmakologi.
1) Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan
OMA
tergantung
pada
stadium
penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran
napas dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan
antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari
komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk
anak yang berumur diatas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik.
Dianjurkan pemberian
antibiotik
golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
terhadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagidalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran
timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak
membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut
American Academy of Pediatrics
(2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi
dengan antibiotik sebagai berikut :
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari
39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga
sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya
dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan
gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas
dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi.
Menurut American Academic of
Pediatric (2004), amoksisilin
merupakan first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kgBB/hari sebagai terapi
antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus
penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan
sefalosporin seperti cefdinir.
Second-line terapi seperti amoksisilin-
klavulanat
efektif
terhadap
Haemophilus
influenzae
dan
Moraxella
catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007).
4) Terapi Non-Farmakologi
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani otitis
media, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpani sintesis dan
adenoidektomi.
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah keliang
telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi
miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeriberat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis,
dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu
episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis
dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme
melalui kultur.
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan fungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal
supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi
timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun
tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo
dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis
media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang
tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
5) Evaluasi Obat yang Terpilih
1. Acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam (bila perlu)
-
Indikasi
: Antipiretik dan analgetik.
-
Dosis
: Dewasa 500 mg 3-4 x sehari; Anak-anak dibawah 1
tahun, dosis ½ - 1 sendok teh atau 60-120 mg tiap 4-6 jam, anakanak 1-5 tahun dosis 1-2 sendok teh atau 120-250 mg tiap 4-6 jam.
-
Kontraindikasi
:
Hipersensitif
terhadap
paracetamol
dan
defisiensi glukose-6-fosfat dehidroganase, gangguan fungsi hati.
-
Perhatian : Penyakit ginjal dan konsumsi alkohol.
-
Efek Samping
: Kerusakan hati ( dosis besar dan terapi jangka
panjang).
-
Interaksi Obat
:
Alkohol,
antikonvulsan,
isoniazid,
antikoagulan oral, fenotiazin.
-
Alasan
: Untuk mengurangi rasa nyeri dan demam pada pasien.
2. Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
-
Indikasi
: Infeksi saluran pernafasan bagian atas dan bawah yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti tonsilitis, abses peritonsiler,
faringitis, laringitis, sinusitis, bronkitis akut dan kronis, pneumonia,
dan bronkietaksis; infeksi telinga seperti otitis media dan eksternal,
dan mastoiditis; infeksi pada mulut; infeksi pada mata, mulut, kulit
dan jaringan; infeksi saluran pencernaan.
-
Dosis
: Dewasa 250 mg 4 x sehari atau 500 mg 2 x sehari
(maksimal 4 gram untuk infeksi berat); Anak-anak 30-50 mg/kgBB/
hari dibagi dalam 4 dosis (maksimal 60-100 mg/kgBB/hari untuk
infeksi berat).
-
Kontraindikasi
: Hipersensitif terhadap eritromisin, penyakit
hati, porfiria.
-
Perhatian :
Pengobatan
eritromisin
jangka
panjang
dapat
menimbulkan resistensi kuman, hati-hati penggunaan eritromisin
pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal, wanita hamil dan
menyusui.
-
Efek Samping
: Gangguan saluran pencernaan, nyeri epigastrik,
mual muntah, diare, reaksi hipersensitif.
-
Interaksi Obat
:
Cisapride dapat meningkatkan efek aritmia
dan meningkatkan efek toksik, Karbamazepin dapat menurunkan
kadar eritromisin.
-
Alasan
: Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida
yang bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat
bakteriostatik atau bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan
kadarnya dalam darah. Penggunaan eritomisin dapat mengobati
infeksi telinga (otitis media) yang disebabkan karena adanya infeksi
bakteri.
3. HCl Efedrin 0,5 % nasal drops dalam larutan fisiologik
-
Indikasi
: Asma, bronkitis, emfisema.
-
Dosis
: 1-2 tetes disetiap lubang hidung bila diperlukan. Tidak
lebih dari 4 kali sehari. Jangan digunakan selama lebih dari 7 hari.
-
Kontraindikasi
: Hipertiroid, hipertensi, gangguan jantung,
glaukoma.
-
Efek Samping
: Takikardi, aritmia, eksrasistol dan ventrikuler,
pembesaran prostat, tremor, insomnia.
-
Alasan
: Pemberian HCl Efedrin 0,5% nasal drops dalam
larutan fisiologik ini adalah untuk membuka kembali tuba
eustachius yang tersumbat oleh adanya sekret ataupun cerumen.
6) Monitoring dan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
-
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak.
-
Menangani ISPA dengan pengobatan adekuat.
-
Menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan.
-
Menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok.
-
Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring
-
Dianjurkan untuk berenang, karena kemungkinan besar tidak
meningkatkan risiko otitis media.
VII.
VIII.
IX.
PERTANYAAN DAN JAWABAN SAAT DISKUSI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
SALURAN CERNA & SALURAN NAFAS
“OTITIS MEDIA”
DOSEN PENGAMPU:
Sunarti, M.Sc.,Apt
DISUSUN OLEH :
K
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
OTITIS MEDIA
I.
PENDAHULUAN
1.1
Epidemiologi
1.
Otitis Media Akut
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. Pada penelitian Zackzouk dkk di Arab saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (6-35 bulan),
didapatkan 30% mengalami otitis media akut dan 8% sinusitis. Epidemiologi
seluruh dunia terjadinya otitis media berusia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan
anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75%
anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan
hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris
setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia 10 tahun.
Insiden Otitis Media tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan
yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
2.
Otitis Media Efusi
Otitis Media Efusi (OME) merupakan penyakit yang sering di derita oleh
bayi dan anak-anak. Infeksi telinga tengah menjadi masalah medis yang paling
sering pada bayi dan anak-anak umur pra sekolah, dan diagnosa utama yang
paling sering pada anak-anak yang lebih muda dari usia 15 tahun yangdiperiksa di
tempat praktek dokter.
Pada tahun 1990, 12.8 juta kejadian otitis media terjadi pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun. Anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, 17% memiliki
peluang untuk kambuh kembali. 30-45% anak-anak dengan Otitis Media Akut
dapat menjadi Otitis Media Efusi setelah 30 hari, dan 10% lainnya menjadi Otitis
Media Efusi setelah 90 hari, sedikitnya 3,84 juta kasus Otitis Media Efusi terjadi
pada tahun tersebut; 1,28 juta kasus menetap setelah 3 bulan. Statistik
menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah menderita Otitis Media Efusi.
Kasus Otitis media efusi berulang (Otitis Media Efusirekuren) pun menunjukkan
prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 28-38%.
Di Indonesia masih jarang ditemukan kepustakaan yang melaporkan angka
kejadian penyakit ini, hal ini di sebabkan kerena belum ada penelitian yang
khusus mengenai penyakit ini, atau tidak terdeteksi karena minimalnya keluhan
pada anak yang menderita Otitis Media Efusi.
1.2
Klasifikasi
Mengklasifikasikan penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas infeksi
saluran pernapasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah.
1.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas disebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian
atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya
adalah Nasofaringitis akut (salesma), Ototis Media, sinusitis, epiglottitis,
laringitis, Faringitis akut (termasuk Tonsilitis dan Faringotositilitis) dan rhinitis.
2.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Bawah
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas bagian bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit
yang tergolong Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian bawah :
Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronis, Broncho Pneumonia
atau Pneumonia (Suatu peradangan tidak saja pada jaringan paru tetapi juga pada
brokioli.
Secara umum Otitis Media adalah peradangan telinga tengah yang dibagi
menjadi 2 macam, yaitu :
1.
Otitis Media Akut
Otitis media akut (OMA) adalah peradanganakut telinga tengah yang
gejala dan tanda-tandanya muncul cepat. Manifestasi klinik berupa ≥1 gejala:
otalgia, gangguan pendengaran, demam atau gelisah. Penyakit ini masih
merupakanmasalah kesehatan khususnya pada anak-anak.Diperkirakan 70%
anak mengalami satu atau lebihepisode otitis media menjelang usia 3 tahun.
Penyakit initerjadi terutama pada anak dari baru lahir sampai umursekitar 7
tahun, dan setelah itu insidennya mulaiberkurang.
2. Otitis Media Efusi
Otitis media efusi adalah inflamasi pada telinga tengah yang ditandai
dengan adanya penumpukan cairan efusi di telinga tengah dengan membran
timpani utuh tanpa adanya tanda dan gejala inflamasi akut.
1.3
Faktor resiko
1.
Otitis Media Akut
Faktor-faktor resiko terjadinya Otitis Media Akut adalah bayi yang lahir
prematur dan berat badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang
dititipkan ke penitipan anak, variasi musim dimana Otitis Media Akut lebih
sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin, predisposisi genetik,
kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti celah
palatum dan anomali kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat, sosial ekonomi
rendah, dan posisi tidur tengkurap.
2.
Otitis Media Efusi
a.
Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah
palatum, hipertrofi adenoid, dan GERD.
b.
Faktor resiko fungsional: serebral palsy,down syndrome,kelainan
neurologis lainnya, dan imunodefisiensi.
c.
Faktor resiko lingkungan:bottle feeding, menyandarkan botol di mulut
pada posisi tengadah (supine position), rokok pasif, status ekonomi
rendah, banyaknya anak yang dititipkan di fasilitas penitipan anak.
II.
PATOFISIOLOGI
2.1
Patogenesis
1.
Otitis Media Akut
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat
menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan
mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah
dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran
Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila gejala
berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan dengan beberapa faktor
antara lain higiene, terapi yang terlambat, pengobatan yang tidak adekuat,
dan daya tahan tubuh yang kurang baik.
2.
Otitis Media Efusi
Patogenesis OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor lingkungan
dan sosial. Walaupun demikian tekanan telinga tengah yang negatif,
abnormalitas imunologi, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut
diperkirakan menjadi faktor utama dalam pathogenesis OME. Faktor
penyebab
lainnya
termasuk
hipertropi
adenoid,
adenoiditis
kronis,
palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma, terapi radiasi, dan radang
penyerta seperti sinusitis atau rinitis. Merokok dapat menginduksi hiperplasi
limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga merupakan patogenesis
timbulnya OME
2.2
Etiologi
1.
Otitis Media Akut
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling
sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus
influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus
aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah
Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus grup
A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di Negev, Israil.
Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada pasien yang berobat
di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan Agustus 2004 –Februari
2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%.
Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA, dan
terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang
sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,
adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu
sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri
atau kombinasi dengan bakteri lain.
2.
Otitis Media Efusi
Etiologi Otitis Media Efusi bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus
atau bakteri, gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor
lingkungan dan sosial. Walaupun demikian tekanan telinga tengah yang negatif,
abnormalitas imunologi, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut diperkirakan
menjadi faktor utama. Faktor penyebab lainnya termasuk hipertropi adenoid,
adenoiditis kronis, palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma, terapi radiasi, dan
radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis.
1.
Kegagalan fungsi tuba Eustachi. Disebabkan oleh:
a.
Hiperplasia adenoid.
b.
Rinitis kronik dan sinusitis
c.
Tonsilitis kronik. pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi
mekanik pada pergerakan palatum molle dan menghalangi
membukanya tuba Eustachi.
d.
Tumor
nasofaring
yang
jinak
dan
ganas.
Kondisi
ini
selalumenyebabkan timbulnya otitis media unilateral pada orang
dewasa.
e.
Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.
2.
Alergi
Alergi inhalans atau ingestan sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak
hanya menyebabkan tersumbatnya tuba eustachi oleh karena udem tetapi
juga dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa
telinga tengah.
3.
Otitis media yang belum sembuh sempurna
Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan
infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan
infeksi dengan grade yang rendahProses ini dapat merangsang mukosa untuk
menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar
mukus juga bertambah.
4.
Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori Ig
A. immunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum
timpani. Sekretori Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan di kenal
sebagai suatu imunoglobulin yang aktif bekerja dipermukaan mukosa
respiratorik. Kerjanya yaitu menghadang kuman agar tidak kontak langsung
dengan permukaan apitel, dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak
langsung dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari penetrasi
kuman untuk infeksi jaringan. Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi
kuman.
5.
Infeksi virus
Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat
menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.
2.3
Gejala
1.
Otitis Media Akut
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada
usia anak-anak umumnya keluhan berupa
a.
Rasa nyeri di telinga dan demam.
b.
Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
c.
Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan
pendengaran dan telinga terasa penih.
d.
Pada bayi gejala khas Otitis Media akut adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang
telinga yang sakit.
2.
Otitis Media Efusi
Penderita Otitis Media Efusi jarang memberikan gejala sehingga pada anak-
anak sering terlambat diketahui. Gejala Otitis Media Efusi ditandai dengan rasa
penuh dalam telinga, terdengar bunyi berdengung yang hilang timbul atau terus
menerus, gangguan pendengaran, rasa nyeri yang ringan, berkurangnya fungsi
pendengaran (keadaan ini sering ditemukan dan kadang-kadang satu-satunya
gejala, onsetnya tersembunyi dan jarang melebihi 40 dB), percakapan yang
lambat dan bisu (disebabkan oleh ketulian, perkembangan dari fungsi percakapan
menjadi lambat atau bisu), sakit pada telinga tengah (hal ini mungkin disebabkan
adanya infeksi pada saluran pernapasan atas).Dizziness juga dirasakan penderitapenderita Otitis Media Efusi. Gejala kadang bersifat asimtomatik sehingga
adanya Otitis Media Efusi diketahui oleh orang yang dekat dengan anak misalnya
orang tua atau guru.
Anak-anak dengan Otitis Media Efusi juga kadang-kadang sering terlihat
menarik-narik telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat.Pada
kasus yang lanjut sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan
berbahasa. Kadang-kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi
dan keterbelakangan dalam pelajaran.
2.4
Manifestasi klinik
1. Otitis Media Akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat
ringan dan sementara atau sangat berat.Keadaan ini biasanya unilateral pada
orang dewasa.
Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang
yang dapat dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic ( pemberian
tekanan positif atau negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang
dikaitkan ke otoskop ), dapat mengalami perforasi.
a) Sakit telinga yang berat dan menetap.
b) Terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara .
c) Pada anak-anak bisa mengalami muntah, diare dan demam sampai 40,5ºC
d) Gendang telinga mengalami peradangan dan menonjol.
e) Demam
f) Anoreksia
g) Limfadenopati servikal anterior
2. Otitis Media Efusi
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal
dalam telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik,
yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka.Membrane tymphani
tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi
pneumatik,
dan
dapat
terlihat
gelembung
udara
dalam
telinga
tengah.Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran
konduktif.
2.5
Diagnosis
a. Otitis Media Akut
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh
tinggi serta ada riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit
tidur, tiba-tiba menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani,
maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun, dan anak tertidur
tenang. Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat
pula gangguan pendengaran dan rasa penuh dalam telinga. Diagnosis
terhadap OMA tidak sulit, dengan melihat gejala klinis dan keadaan
membran timpani biasanya diagnosis sudah dapat ditegakkan. Penilaian
membran timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan lampu kepala dan
otoskopi. Perforasi yang terdapat pada membran timpani bermacam-macam,
antara lain perforasi sentral, marginal, atik, subtotal, dan total.
b. Otitis Media Efusi
Dokter mendiagnosa serous otitis media dengan melihat perubahan warna
dan penampilan pada gendang telinga dan dengan menekankan udara ke
dalam telinga untuk melihat ke alam telinga untuk melihat apakah gendang
telinga tersebut berubah. Jika gendang telinga tidak berubah tetapi tidak
terdapat kemerahan atau tonjolan dan anak tersebut mengalami beberapa
gejala, kemudian serous otitis media adalah mungkin terjadi. Diagnosis OME
pada anak tidak mudah dan terdapat perbedaan yang bermakna sesuai dengan
kecakapan klinisi, khususnya di tingkat pelayanan primer atau dokter anak
yang mendiagnosisnya. Gejala tidak ada sensitif maupun spesifik, banyak
anak justru tanpa gejala. Pemeriksaan fisik pada anak penderita OME
berpotensi tidak akurat kerena kesan subjektif gambaran membran timpani
sulit dinilai. Belum lagi anak-anak yang tidak kooperatif saat dilakukan
pemeriksaan. Namun enamnesis dan pemeriksaan fisik tetap sangat berperan
dalam mendiagnosis OME.
III.
SASARAN TERAPI
-
Mencegah terjadinya komplikasi intrakrania dan ekstrakrania.
-
Memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari performasi membran timpani,
mengobati infeksi yang terjadi pada bagian telinga oleh karena adanya bakteri.
IV.
TUJUAN TERAPI
-
Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi.
-
Mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari performasi
membran timpani dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik.
V.
STRATEGI TERAPI
Tata LaksanaTerapi
5.1
Guideline Terapi
5.2
Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imun lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur
diatas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagidalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan
10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik
dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian
antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi
supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri
yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of
Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut :
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi.
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
cefdinir.
Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae (Kerschner, 2007).
5.3
Terapi Non Farmakologi
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani otitis media,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpani sintesis dan adenoidektomi.
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah keliang telinga luar. Syaratnya adalah
harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringotomi
pada anak dengan OMA adalah nyeriberat, demam, komplikasi OMA seperti
paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang
respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur.
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
fungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret
untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan
efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan
insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil
dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
VI.
PENYELESAIAN KASUS
A. Kasus
Otitis Media
Seorang anak perempuan berumur 15 bulan pergi ke klinik pediatrik dengan
kondisi 2 hari terkena demam (suhunya sebesar 38,9°C), pilek, dan rewel. Ibunya
menyatakan bahwa dia marah lebih dari biasanya dan menangis berkali-kali sepanjang
malam. Dia tidak nafsu makan hari ini. Dia biasa berada di penitipan anak dan
memiliki saudara 5 tahun yang baru saja terkena pilek. Pemeriksaan fisik
menunjukkan adanya erythema (kondisi kulit berupa kemerahan atau ruam) dan
membran timpani bagian kanan menonjol dan adanya cairan di telinga tengah.
Membran timpani kiri dikaburkan dengan cerumen. Pada pertanyaan lebih lanjut,
ditemukan bahwa anak tersebut alergi terhadap penisilin. Dia terkena ruam
nonurticarial sejak tahun lalu selama pengobatan untuk faringitis. Dia belum
menerima antibiotik sejak saat itu, dan ini adalah infeksi pertama telinganya.
Imunisasi: diperbaharui
Obat : Acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila diperlukan saat
demam atau sakit.
ROS : (+) Hidung tersumbat dan pilek, (-) muntah, diare, atau batuk
Pemeriksaan Fisik
Gen:anak tersebut tergolong pemarah tapi dapat dihibur. VS: Tekanan darah
100/60 mmHg, denyut nadi 120 kali/menit, kecepatan pernafasan 18kali/menit,
dansuhu 38,6°C.
B. Analisis Kasus
1.
Analisis kasus secara SOAP :
- SUBYEKTIF
Seorang anak perempuan berumur 15 bulan pergi ke klinik pediatrik
dengan kondisi 2 hari terkena demam, pilek, dan rewel. Ibunya
menyatakan bahwa dia marah lebih dari biasanya dan menangis berkali-
kali sepanjang malam. Dia tidak nafsu makan hari ini. Dia biasa berada di
penitipan anak dan memiliki saudara 5 tahun yang baru saja terkena pilek.
- OBYEKTIF
Pemeriksaan
Tekanan Darah
HR (Heart Rate)
RR (Respiration Rate)
Suhu
Hasil
Laboratorium
100 / 60 mmHg
120 x /menit
18 x /menit
38,6 °C
Nilai Normal
120 / 80 mmHg
60 - 100 x /menit
18 - 20 x /menit
36,5 – 37,5 °C
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya erythema (kondisi kulit
berupa kemerahan atau ruam) dan membran timpani bagian kanan
menonjol dan adanya cairan di telinga tengah. Membran timpani kiri
dikaburkan dengan cerumen.
Pasien alergi terhadap antibiotik penisilin. Obat yang digunakan
pasien adalah acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila
diperlukan saat demam atau sakit.
- ASSESMENT
1) Pasien mengalami otitis media akut stadium supurasi ditandai dengan
adanya membran timpani bagian kanan menonjol dan terdapat cairan
di telinga tengah, suhu dan denyut nadi meningkat perlu diatasi
2) Paien mengalami demam dan rasa nyeri sudah diatasi dengan
pemberian acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam bila
perlu.
- PLANNING
2) Mengatasi gejala simptomatis yang ditimbulkan dengan memberikan
terapi obat yang sesuai.
3) Melakukan terapi otitis media baik dengan terapi farnakologi maupun
non-farmakologi.
1) Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan
OMA
tergantung
pada
stadium
penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran
napas dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan
antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari
komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk
anak yang berumur diatas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik.
Dianjurkan pemberian
antibiotik
golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
terhadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagidalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran
timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak
membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut
American Academy of Pediatrics
(2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi
dengan antibiotik sebagai berikut :
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari
39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga
sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya
dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan
gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas
dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi.
Menurut American Academic of
Pediatric (2004), amoksisilin
merupakan first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kgBB/hari sebagai terapi
antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus
penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan
sefalosporin seperti cefdinir.
Second-line terapi seperti amoksisilin-
klavulanat
efektif
terhadap
Haemophilus
influenzae
dan
Moraxella
catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007).
4) Terapi Non-Farmakologi
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani otitis
media, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpani sintesis dan
adenoidektomi.
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah keliang
telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi
miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeriberat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis,
dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu
episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis
dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme
melalui kultur.
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan fungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal
supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi
timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun
tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo
dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis
media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang
tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
5) Evaluasi Obat yang Terpilih
1. Acetaminophen tetes 120 mg peroral setiap 4-6 jam (bila perlu)
-
Indikasi
: Antipiretik dan analgetik.
-
Dosis
: Dewasa 500 mg 3-4 x sehari; Anak-anak dibawah 1
tahun, dosis ½ - 1 sendok teh atau 60-120 mg tiap 4-6 jam, anakanak 1-5 tahun dosis 1-2 sendok teh atau 120-250 mg tiap 4-6 jam.
-
Kontraindikasi
:
Hipersensitif
terhadap
paracetamol
dan
defisiensi glukose-6-fosfat dehidroganase, gangguan fungsi hati.
-
Perhatian : Penyakit ginjal dan konsumsi alkohol.
-
Efek Samping
: Kerusakan hati ( dosis besar dan terapi jangka
panjang).
-
Interaksi Obat
:
Alkohol,
antikonvulsan,
isoniazid,
antikoagulan oral, fenotiazin.
-
Alasan
: Untuk mengurangi rasa nyeri dan demam pada pasien.
2. Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
-
Indikasi
: Infeksi saluran pernafasan bagian atas dan bawah yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti tonsilitis, abses peritonsiler,
faringitis, laringitis, sinusitis, bronkitis akut dan kronis, pneumonia,
dan bronkietaksis; infeksi telinga seperti otitis media dan eksternal,
dan mastoiditis; infeksi pada mulut; infeksi pada mata, mulut, kulit
dan jaringan; infeksi saluran pencernaan.
-
Dosis
: Dewasa 250 mg 4 x sehari atau 500 mg 2 x sehari
(maksimal 4 gram untuk infeksi berat); Anak-anak 30-50 mg/kgBB/
hari dibagi dalam 4 dosis (maksimal 60-100 mg/kgBB/hari untuk
infeksi berat).
-
Kontraindikasi
: Hipersensitif terhadap eritromisin, penyakit
hati, porfiria.
-
Perhatian :
Pengobatan
eritromisin
jangka
panjang
dapat
menimbulkan resistensi kuman, hati-hati penggunaan eritromisin
pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal, wanita hamil dan
menyusui.
-
Efek Samping
: Gangguan saluran pencernaan, nyeri epigastrik,
mual muntah, diare, reaksi hipersensitif.
-
Interaksi Obat
:
Cisapride dapat meningkatkan efek aritmia
dan meningkatkan efek toksik, Karbamazepin dapat menurunkan
kadar eritromisin.
-
Alasan
: Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida
yang bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat
bakteriostatik atau bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan
kadarnya dalam darah. Penggunaan eritomisin dapat mengobati
infeksi telinga (otitis media) yang disebabkan karena adanya infeksi
bakteri.
3. HCl Efedrin 0,5 % nasal drops dalam larutan fisiologik
-
Indikasi
: Asma, bronkitis, emfisema.
-
Dosis
: 1-2 tetes disetiap lubang hidung bila diperlukan. Tidak
lebih dari 4 kali sehari. Jangan digunakan selama lebih dari 7 hari.
-
Kontraindikasi
: Hipertiroid, hipertensi, gangguan jantung,
glaukoma.
-
Efek Samping
: Takikardi, aritmia, eksrasistol dan ventrikuler,
pembesaran prostat, tremor, insomnia.
-
Alasan
: Pemberian HCl Efedrin 0,5% nasal drops dalam
larutan fisiologik ini adalah untuk membuka kembali tuba
eustachius yang tersumbat oleh adanya sekret ataupun cerumen.
6) Monitoring dan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
-
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak.
-
Menangani ISPA dengan pengobatan adekuat.
-
Menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan.
-
Menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok.
-
Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring
-
Dianjurkan untuk berenang, karena kemungkinan besar tidak
meningkatkan risiko otitis media.
VII.
VIII.
IX.
PERTANYAAN DAN JAWABAN SAAT DISKUSI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA