TUGAS MAKALAH AGAMA ISLAM II TENTANG PRO

TUGAS MAKALAH AGAMA ISLAM II
TENTANG PROFESI HAKIM

Disusun Oleh:
Atika Shavia

(041210113059)

D3 AKUNTANSI
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “AGAMA
ISLAM II”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di
dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Agama Islam II di program studi akuntansi

Fakultas vokasi pada Universitas Airlangga. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Irham Zaky, S.Ag., M.EI selaku dosen pembimbing mata kuliah
Agama Islam II dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, Desember 2014

Penulis

Gambaran Umum Peranan Hakim
Definisi
Hakim (Inggris: Judge;Belanda: Rechter) . Istilah "hakim" sendiri berasal dari
kata Arab ‫( حكم‬hakima) yang berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Hakim
biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara.
Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun
2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim

Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo,
S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang
dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung
jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau
tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan
berdasar Tuhan.

Fungsi dan Tugas Hakim
Berdasarkan keturunan-keturunan formal tersebut fungsi dan tugas hakim
adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili.
Kata mengadili merupakan ru,musan yang sederhana, namun didalamnya
terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan
menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian kadilan tersebut
harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas
tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non
politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan

pihak-pihak.

Potensi Penyelewengan Beserta Contoh Kasus

1. Berselingkuh
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) akhirnya memutuskan menjatuhkan sanksi
pemberhentian secara hormat dengan hak pensiun terhadap Hakim PN Jombang, Vica
Natalia. Vica Natalia dinilai terbukti melanggar Keputusan Bersama Mahkamah
Agung (MA) dan Komisi Yudisial Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH), dan Peraturan Bersama (PB) MA dan KY Tahun 2012
tentang Panduan Penegakan KEPPH gara-gara berselingkuh dengan seorang hakim
dan advokat.
MKH berkesimpulan hakim terlapor terbukti beberapa kali menerima Gali Dewangga
(advokat) di rumahnya pada malam hari, keduanya juga bertemu di Bali pada jam
kerja tanpa izin atasannya, dan Vica menulis surat cinta kepada Dewangga. Selain itu
Vica Juga bertemu Agung Wijaksono (hakim) di Hotel Borobudur dan berfoto
bersama.
.
Atas dasar itu, menurut MKH, hakim terlapor terbukti melanggar SKB Tahun 2009
tentang KEPPH huruf c butir 3.1 ayat (1), butir 5.1 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (4a), Pasal

11 ayat (3a) Peraturan Bersama MA dan KY Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan
KEPPH. Ketentuan itu mewajibkan hakim menghindari dan harus berperilaku tidak
tercela, hakim wajib menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan
profesi.

2. Menerima Suap
Hakim yang juga sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah ini dijatuhi sanksi non palu alias tidak boleh bersidang selama 2 tahun. Dalam
masa itu pula Nuril tidak akan diberikan tunjangan apapun dan hanya akan mendapat
gaji pokok sebagai hakim.
Hukuman itu dijatuhkan setelah Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menyatakan
Nuril terbukti menerima uang Rp20 juta dari seorang advokat yang perkaranya
disidangkan oleh Nuril. Menurut MKH, perbuatan Nuril itu sudah termasuk
pelanggaran kode etik. Hukuman yang dijatuhkan MKH ini lebih ringan ketimbang
rekomendasi Komisi Yudisial agar Nuril diberhentikan secara tetap dengan tetap
memperoleh pensiun.

3. Berbuat Curang
Mantan Hakim Agung Achmad Yamanie resmi diberhentikansecara tidak hormat
alias dipecat lantaran terbukti mengubah draf putusan PK, terpidana narkoba Hengky

Gunawan. Surat pemberhentian tersebut diteken Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 10 Januari 2013 lalu.
Sebagaimana di lansir di hukumonline.com, dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim
(MKH) yang diketuai Prof Paulus Efendi Lotulung memutuskan untuk
memberhentikan secara tidak hormat. Yamanie dianggap terbukti melanggar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim lantaran mengubah draf putusan PK, terpidana
narkoba Hengky Gunawan. Yamanie mengubah amar putusan Hengky dari 15 tahun
menjadi 12 tahun penjara karna seorang terpidana merupakan kerabatnya sendiri.

Analisis dan Solusi Islam
1. Memberi Keadilan
Tugas utama seorang hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang
hakim harus menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari
perbuatan yang dapat menjatuhkan martabatnya sebagai hakim. Seorang hakim harus
menjauhkan diri dari keadaan yang dapat mempengaruhi mereka didalam menegakkan
keadilan. Orang yang menjabat sebagai hakim tidak boleh menerima hadiah dari pihakpihak yang berperkara, juga dari orang-orang yang berada dalam lingkup jabatannya. Hal
ini didasarkan kepada sebuah atsar yang shahih disebutkan:
،‫اح‬
ْ َ‫ش ْيئئا ي‬
ْ ِ‫ا‬

َ ‫اح فَلَ ْم يَ ِج ْد فِي بَ ْيتِ ِه‬
َ َ‫شتَ َهى ُع َم ُر بْنُ َع ْب ِد ا ْل َع ِز ْي ِز التُف‬
ِ َ‫ فَتَلَقَاهُ ِغ ْل َمانُ الدِي ِر ِبأ َ ْطب‬،ُ‫ فَ َر ِك ْبنَا َم َعه‬،‫شتَ ِر بِ ِه‬
ٍ َ‫اق تُف‬
َ
َ
َ
ْ
ُ
َ َ‫اح َدةئ ف‬
ُ ‫ ألَ ْم يَ ُكنْ َر‬، ُ‫ فَقُ ْلت‬،‫اجةَ لِي فِ ْي ِه‬
َ ِ‫س ْو ُل ا‬
َ ‫ َل َح‬،‫ فَقُ ْلتُ لَهُ فِي ذلِ َك فَقَا َل‬،َ‫ش َم َها ث َم َر َد ْالطبَاق‬
ِ ‫فَتَنَا َو َل َو‬
ُ‫صلَى ا‬
ُ
َ
ٌ
َ
َ

ٌ‫ إِنَ َها لولَئِ َك َه ِديَة َو ِه َي لِ ْل ُع َما ِل بَ ْع َد ُه ْم ِرش َْوة‬،‫سلَ َم َو أبُ ْو بَ ْك ٍر َو ُع َم ُر يَ ْقبَلُ ْونَ ا ْل َه ِديَة؟ فقَا َل‬
َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬
“Umar bin Abdul Aziz ingin memakan apel, namun dia tidak mendapati di rumahnya
sesuatu yang bisa digunakan untuk membelinya. Kami pun menunggang kuda
bersamanya. Kemudian dia disambut oleh pemuda-pemuda biara dengan piring-piring
yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu
mengembalikannya ke piring. Aku pun bertanya kepadanya mengenai hal itu. Maka dia
berkata, "Aku tidak membutuhkannya". Aku bertanya, "Bukankah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?". Dia menjawab,
"Sesungguhnya ia bagi mereka adalah hadiah dan bagi pejabat sesudahnya adalah suap".
2. Hadiah untuk Hakim
Pada dasarnya memberi dan menerima hadiah sama-sama diperbolehkan oleh syara’.
Bahkan, hadiah bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan kasih sayang di antara sesama,
sebagaimana hadits Nabi, “Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling
mencintai.”
Namun jika hadiah tersebut bisa menimbulkan mafsadat, sebagaimana seorang hakim
menerima hadiah dari dua pihak yang sedang berperkara, maka hadiah dalam konteks
seperti ini tidak diperbolehkan. Imam Ibnu Hajar menjelaskan, Umar bin Abdul Aziz
radliallahu ‘anhu menyamakan hadiah untuk pejabat sebagai suap. Orang yang menerima
suap disebut murtasyi, orang yang menyuap disebut rasyi, orang yang menjadi

perantaranya disebut ra’isy. Sementara telah disebutkan dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi tentang laknat bagi orang yang menyuap,
mengambil suap dan yang menjadi perantara suap. Makna yang disebut oleh Umar bin
Abdul Aziz terdapat pula dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Imam Ath Thabrani,
‫هَدَايَا ْال ُع َمال ُغلُول‬

“Hadiah-Hadiah Untuk Pegawai Pemerintah Adalah Pengkhianatan.” (Imam Ibnu Hajar
menyatakan sanadnya dhaif).
3. Gaji Hakim
Gaji hakim yang dimaksud di sini adalah gaji yang diberikan oleh Negara Khilafah
kepadanya dari Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugas yang dipikulnya. Sebagian
fuqaha’ ada yang menyatakan, bahwa status gaji yang diambil oleh hakim tersebut
hukumnya makruh, kecuali jika dia membutuhkan. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i
dan al-Maziri dari mazhab Maliki menyatakan, bahwa orang yang diangkat menjadi
hakim dan tidak membutuhkan gajinya, maka dia tidak berhak mengambil sedikit pun
dari Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugasnya. Namun, jika dia membutuhkan, maka
hukumnya mubah.
Ibn Qudamah dari mazhab Hanbali, setelah mengutip pendapat sejumlah fuqaha’ dalam
masalah ini berkomentar, “Yang benar adalah boleh mengambil gaji sebagai kompensasi

atas pekerjaan hakim – dalam kondisi apapun. Sebab, Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu
ketika diangkat menjadi khalifah, maka para sahabat menetapkan kompensasi untuk
beliau sebesar dua dirham setiap hari. ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu juga memberikan
kompensasi kepada Zaid, Syuraih dan Ibn Mas’ud, serta menginstruksikan kompensasi
tersebut untuk orang yang menjalankan peradilan. Selain karena masyarakat
membutuhkannya. Jika itu tidak boleh, maka hak-haknya akan terabaikan.” (Lihat, Ibn
Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38)
Bahkan ‘Umar bin al-Khatthab pernah menulis surat kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu
‘Ubaidah al-Jarrah ketika keduanya dikirim ke Syam, yang isinya, “Perhatikanlah orangorang shalih di antara kalian, lalu angkatlah mereka menjadi hakim, kemudian
lapangkanlah urusan mereka, serta berikanlah kompensasi kepada mereka dan cukupilah
kebutuhan mereka dengan harta Allah.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38; adDasuqi, Hasyiyah ad-Dasyuqi, Juz IV/138)
Dari sini bisa dipahami, bahwa seorang hakim berhak menerima gaji dari negara, dan
gajinya pun tidak hanya sekedar pas-pasan, tetapi bisa dipatok dengan jumlah yang
tinggi hingga kebutuhannya terpenuhi, dan dia pun tidak perlu mempunyai bisnis
sampingan. Inilah kebijakan yang dijalankan oleh ‘Umar.

KESIMPULAN
1. Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa profesi hakim dalam
perspektif Syari’at Islam itu harus memiliki moralitas yang tinggi dan memiliki
tanggung jawab intelektual dalam mengemban tugas mulianya yang sarat dengan

resiko dan tantangan, sehingga adakalanya harus melakukan suatu “ Ijtihad “, yaitu
Ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan Ijtihad dalam penerapan
hukumnya, yang disebut Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi.. Jika seorang hakim
memiliki intelektualitas dan moralitas yang tinggi maka ia akan menyadari bahwa
tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara semata, tetapi memiliki tanggung
jawab moral sebagai tugas keagamaan yang di dalamnya terdapat masalah pahala dan
dosa. Jika hal ini dapat direalisasikan maka tindakan “pelecehan hukum” akan dapat
diminimalisir dan upaya “penegakan supremasi hukum” akan dapat direalisir. Seorang
hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
professional, dan berpengalaman di bidang hukum (Al-Qur’an dan Al-Hadits), agar
tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.
2. Praktek peradilan Islam dalam memutus suatu perkara, ternyata sangat sederhana,
dalam arti bahwa pembuktian dalam Hukum Islam itu, hanya didasarkan atas bukti
saksi dan sumpah saja, dengan asumsi bahwa semua orang yang menghadap hakim
untuk menyelesaikan perkaranya itu adalah orang-orang yang bertujuan untuk
menegakkan Syari’at Islam, termasuk hakimnya. Dengan demikian, apa yang telah
menjadi putusan hakim maka itulah hukumnya yang benar, sehingga dengan
kesederhanaan itulah peradilan dalam rangka menegakkan Syari’at Islam ini menjadi
sangat sakral karena menjunjung tinggi Hukumulloh, yang telah diwahyukan Alloh
Swt.


Daftar Pustaka

Wikipedia. “Hakim”. 13 Desember 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Hakim
Yasin, Sanjaya. “Pengertian Hakim Tugas dan Fungsi Kedudukan hakim”. 13 Desember
2014. http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html
Sanwirja, Nakim. “Inilah 6 Hakim Pelanggar Kode Etik Sepanjang Tahun”. 14
Desember 2014. http://nakimsanwirja.wordpress.com/2014/01/06/inilah-6hakim-pelanggar-kode-etik-sepanjang-tahun-2013/