RELASI GENDER PERSPEKTIF SACHICKO MURATA

RELASI GENDER PERSPEKTIF SACHICKO MURATA

  Oleh: Farid Permana Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) Amuntai

Kalimantan Selatan

Abstrak:

  Sachiko Murata was a Moslem scholar that introduced Islam in line with gender relation by adopting Tao Philosophy that she wrote in a book entitled The Tao Of Islam. In the book, she explained that gender is a natural phenomenon that is not only found among human beings (micro-cosmos) but also in the macro-cosmos as well as meta- cosmos. Hence, the balance concept of yin and yang can inspire the gender relation to be a partnership among man and women.

  Sachiko Murata adalah seorang sarjana Muslim yang memperkenalkan Islam sejalan dengan relasi gender dengan mengadopsi Filsafat Tao bahwa dia menulis dalam buku yang berjudul The Tao Of Islam. Dalam buku itu, dia menjelaskan bahwa gender merupakan fenomena alam yang tidak hanya ditemukan di antara manusia (mikro-kosmos) tetapi juga di makro-kosmos serta meta-kosmos. Oleh karena itu, konsep keseimbangan yin dan yan dapat menginspirasi relasi gender menjadi kemitraan antara pria dan wanita.

  Keywords: Relasi Gender, Sachiko Murata, The Tao Of Islam

I. PENDAHULUAN

  Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan keislaman sekarang ini yang efeknya mampu menggeser status budaya jumud kepada berperadaban menjadikan Islam sebagai sorotan khususnya di kalangan ilmuwan barat. Salah satu pandangan tentang Islam yang berakar kuat sampai saat ini hampir tidak berubah yaitu kedudukan dan peran wanita atau tentang Relasi Gender. Pandangan ini sudah menjadi hal penting dikalangan Barat, topik ini sering

  1 muncul selama diskusi-diskusi di Roma.

1 Annemarie Schimmel, “Kata Pengantar” dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam:

  

Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti

dan M.S. Nasrullah(Bandung: Mizan, 1999), h. 15

  Dalam sejarahnya, paradigma berfikir tentang gender melalui tahapan-tahapan, misalnya saja di penghujung abad ke 19 dan awal abad ke- 20 yaitu antara tahun 1960 dan 1970-an muncul gerakan feminisme yang bermula dari kesadaran akan subordinasi ketertindasan perempuan oleh

  2

  sistem patriarkhis . Feminisme merupakan kajian tentang perempuan dimana kegiatan ini sangat kuat di Amerika Serikat, di negeri-negeri Eropa dimana Protestan dominan. Dimasa itu gerakan feminisme di Barat banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang berkembang terutama oleh filosof Jean Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai

  3

  sifat alami, fitrah atau esensi (innate nature) yang pada intinya timbul usaha untuk menafikan feminimitas dan menjadikannya sama dengan sifat maskulin, sehingga Barat pada masa itu diwarnai oleh ketidak seimbangan tataran sosial, yaitu terlalu berat pada kualitas maskulin dan kurang pada kualitas feminin seperti cinta, kepedulian pengasuhan dan pemeliharaan. Dapat dibayangkan dunia akan semakin keras dan penuh dominasi sifat lelaki.

  Sadar akan hal ini, maka timbullah pemikiran baru yang di usung oleh kelompok ecofeminism bahwa feminin pada perempuan harus dilestarikan agar dunia menjadi lebih seimbang dan segala kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Namun pada kenyataannya ecofemisme ini secara berlebih-lebihan mengagungkan kualitas feminin dan menganggap kualitas

  

4

  maskulin selalu dalam artian negatif. Hal ini berimplikasi berat sebelah antara kualitas feminin dan kualitas maskulin. Mereka bangga dengan sifat

  

femininnya, seperti rela berkorban, penuh kasih sayang, lembut dan itu

justru dianggap bisa mengubah dunia. Kebalikan dengan feminis radikal,

mereka meninggalkan sifat feminin untuk meruntuhkan sistem patriarki.

  Konsep keseimbangan terdapat pada kebudayaan yang tidak memanifestasikan Tuhan dalam wujud konkret, dalam hal ini adalah kebudayaan Islam. Walau tidak memiliki wujud konkret, namun ia bisa dikenali melalui ciptaannya. Segala ciptaannya merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam berbagai cara yang berbeda, manusialah yang menggabungkan semua kualitas ini.

  Dalam hal gender misalnya, Sachiko Murata (1992), seorang ahli di bidang perbandingan agama, dalam bukunyaThe Tao Of Islam melihat bahwa 2 Patriarkhi berasal dari bahasa Latin atau Yunani, pater yang berarti “bapak” dan arche

  

yang berarti”kekuasaan”. Patriarkhi merupakan sistem struktur atau praktik sosial di mana laki-

laki mendominasi, mengeksploitasi dan menekan perempuan. Sistem ini menekankan bahwa laki-

laki lebih tinggi dari pada perempuan yang akhirnya menimbulkan kerugian di pihak yang lebih

lemah yang dalam hal ini adalah perempuan. Lihat Ahmad Baidowi,

  Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer (Bandung: Nuansa, 2005) hal. 32 3 Sachiko Murata, 4 op.cit. h. 7.

  Ibid., hal. 7 ada sifat feminin pada nama-nama-Nya (Asma al Husna) seperti al-Quddus (Maha Suci), al-Lathif (Maha Lembut) dan ar-Rahiim (Maha Penyayang); juga sifat maskulin pada nama-nama seperti al-Aziz (Maha Perkasa) dan al-

  

Jabbar (Maha Penguasa). Muslimah Jepang ini telah mengupas lengkap

  diskursus relasi gender ini dalam bukunya tersebut dengan lebih objektif dan komprehensif. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui biografi Sachiko Murata, juga untuk mengetahui konsep relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam yang dikemukakan olehnya.

II. PEMBAHASAN

A. Biografi Sachiko Murata dan Bukunya The Tao Of Islam

  Sachiko Murata lahir di Jepang pada tahun 1943. Merupakan profesor studi-studi agama pada Departement of Comparative Studies di State University of New York di Stony Brook, Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai sufi cina melalui beberapa karya dan pemikirannya, di antaranya The

  

Tao of Islam, Chinese Gleams of Sufi Light, The Vision of Islam dan

Temporary Marriage in Islamic Law. Ia tumbuh seiring dengan pas

  Jepang sangat terbatas dan hanya berdasarkan stereotip Barat. Terdapatnya miskonsepsi dalam pengajaran Islam diperkenalkan oleh media Barat, dimana literatur Islam benar-benar sulit ditemui. Akibatnya, kita hanya menemukan bahwa pengetahuan orang- orang Jepang mengenai Islam hanya terbatas seputar poligami, Sunni dan Syiah, Ramadhan, Mekah, Allah adalah Tuhan-nya orang Islam, dan Islam adalah agamanya Muhammad. Faktor inilah yang turut membentuk pemikiran dan tanggapan masyarakat Jepang seputar Islam, khususnya di kalangan mahasiswa. Namun pasca peristiwa 11 September, kaum muslim Jepang semakin meningkatkan aktifitas pengkajiannya baik di lembaga-lembaga maupun institusi universitas salah satunya adalah JAMES Japan Association of Middle East Studies (JAMES) dan banyak menghasilkan sarjana muslim, salah satunya adalah Sachiko Murata.

  Menyelesaikan kuliah Hukum Keluarga di Universitas Chiba Tokyo pinggIran.Selama mempelajari hukum keluarga di Jepang dalam tradisi konfusionis, beliau tertarik dengan hukum keluarga Islam yang berkembang dalam tradisi masyarakat Islam. Terkhusus berkaitan dengan hukum yang membolehkan seorang pria mempunyai empat istri sambil bisa mempertahankan kedamaian dan keharmonisan sekaligus. Bekerja selama setahun di sebuah badan hukum kemudian ditawarkan beasiswa oleh sahabatnya dari Iran untuk belajar hukum Islam di Universitas Teheran. Iran sebagai Negara muslim dengan tradisi dan hukum Islam yang ketat, tentu akan sangat membantu proses belajarnya dalam mengamati dan mempelajari langsung hukum Islam khususnya hukum keluarga Islam yang menarik minatnya. Terkhusus lagi Iran yang berkembang dengan tradisi peradaban Persia tentunya menjadi sumber inspirasi dan ketersediaan sumber informasi pengetahuan dan literatur Islam. Kuliahnya diawali selama 3 tahun dalam bahasa Persia dan menulis disertasi Ph.d dalam sastra Persia/literature Persia tahun 1971 tentang Peranan Kaum Wanita (Haft Paykar) sebuah karya puisi oleh Nizhami. Disini dia belajar dan menyadari pra konsepsinya yang semula di pelajari orang-orang Jepang dari sumber Barat, ternyata sama sekali tidak berkaitan dengan realitas masyarakat Iran. Kemudian ia transfer kuliah di fakultas Teologi, dimana ia menjadi satu-satunya perempuan pertama non muslim. Para temannya kebanyakan mullah dan salah satu gurunya adalah Prof. Abu Al Qasim Gurji yang merupakan murid terkemuka Ayatullah

5 Khu’i yang kemudian meyakinkannya bahwa akan beruntung mengambil mata kuliah tersebut.

  Menetap di Iran selama 12 tahun, Menyelesaikan Disertasi MA di Fakultas Teologi tentang Pernikahan Sementara (Mut’ah) pada tahun 1975 yang menarik minatnya dan pandangan beliau bahwa insitusi ini merupakan institusi yang realistis dan praktis dalam menghadapi penyakit sosial masa kini, khususnya dalam kehidupan di Barat, yang mana topik ini juga sengaja ditujukan terhadap stereotip Barat yang menganggap institusi ini tidak dapat diterima didunia manapun. Pada masa ini pula, ia memeluk agama Islam.

  Tahun 1977 menulis disertasi perbandingan ajaran Islam dan Konghucu tentang keluarga, tetapi terputus karena Revolusi Islam Iran. yang

  6

  mengantar dia dan suaminya, William Chittick meninggalkan Iran menuju New York, kemudian ia melanjutkan risetnya dalam tradisi intelektual, yaitu upaya memahami pemikiran Islam secara mendalam dengan kembali pada teks Al Qur’an dan hadist.

  Tahun 1983 menetap di New York dan mengajar di Stony Brook Department of Comparative Studies, State University of New York Kuliah pertama beliau tentang “Spiritualitas Feminin dalam Agama-agama Dunia”.

  Begitu lekatnya perspektif mahasiswanya tentang prinsip Islam yang memakai perspektif Barat, menyulitkan beliau dalam mengenalkan prinsip- prinsip ajaran Islam. Sehingga terpaksa ia menggunakan perspektif Timur Jauh yaitu, pemikiran keagamaan Cina atau Taoisme dan I Ching dalam mengkonsepsikan ajaran-ajaran Islam tentang prinsip feminin tanpa melanggar teks-teks asli. Disini ia mendapati serangan mahasiswa menjadi reda, yakni, karena mahasiswa pada umumnya tidak punya prasangka buruk pada Taoisme, maka ketika Islam dijelaskan dalam kerangka Taoisme mereka akhirnya menjadi simpatik dan terbuka pada Islam. 5 Ayatullah Khu’i merupakan murid Ayatullah Sistani yang terkenal sangat konservatif

  dan salah satu 6 marja’ dalam mazhab Syi’ah.

  Yang juga mempunyai kemampuan dan keahlian serta fokus studi pada bidang yang

relatif sama. Suaminya, William Chittick berkebangsaan Amerika merupakan seorang pemikir Islam dan mengkaji pemikiran Islam/ seorang tradisionalis. Menjadi direktur pada Japanese Studies yang didirikan sejak 1990 dan aktif mengajar Studi Jepang, Budhisme Jepang, Spiritualitas Feminin dalam agama-agama dunia dan juga kursus mengenai Islam dan Konfusionisme. Beberapa tahun terakhir melakukan penelitian dan tulisannya mengenai “Muslim Konfusionis” dan lahirlah buku “The Tao of Islam” yang merupakan kitab rujukan relasi gender dalam teologi Islam, kosmologi dan psikologi spiritual dengan terminologi Neo Confusionis, Chinese Gleams of

  Sufi Light.

  Buku The Tao of Islam adalah sebuah antologi yang lengkap dan kaya dibidang pemikiran Islam, menyuguhkan tipe pemikiran yang telah berkembang dikalangan otoritas-otoritas muslim tentang hubungan sifat yang berlawanan (Polaritas). Isinya mengulas jelas mengenai relasi gender yang tidak saja pada manusia tetapi pada Tiga Realitas, yaitu Allah, Makrokosmos (alam semesta), dan Mikrokosmos (manusia) dengan memakai perspektif kosmologi dan teologi Islam dan juga mengkomparasikannya dengan konsep pemikiran Cina yang terkenal dengan konsep yin dan yang dalam Taoisme. Hal ini dilakukan karena buku ini ditujukan bagi pembaca Barat yang sudah lebih mengenal konsep yin dan yang ketimbang konsep Islam.

  Kata Tao pada judul bisa diterjemahkan kedalam bahasa Arab Haqq,

  

7

  yang berarti benar, betul, layak, tepat. Jadi judul buku tersebut bisa diartikan “Kebenaran Islam” Dalam penjabarannya Sachiko Murata mengacu pada fikiran pengarang-pengarang muslim ahli hikmah yang otoritatif seperti Ibn Al-‘Arabi, Jalaluddin Al-Rumi, Al-Ghazali dan lainnya. Karena menurutnya ahli hikmah mampu menyingkap hakikat persoalan yang sedang dikajinya, berbeda dengan syariat yang hanya menyampaikan perintah. Menurutnya syariat tidak pernah memberi tahu kita kenapa seorang wanita menerima waris dari orangtuanya lebih sedikit daripada saudara laki-lakinya. Jawaban yang diberikan para fuqaha adalah bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk melakukannya dengan cara seperti itu.

  Dari segi pendekatan, sebagaimana yang dikatakannya dalam pendahuluan bahwa buku ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai pendekatan “kualitatif”. Kualitas-kualitas yang dibicarakan hadir dalam bentuk diskursus, dalam kata sifat dan kata kerja yang digunakan. Buku ini juga dapat dianggap menggunakan pendekatan “fenomenologis”, seperti yang ditunjukkan oleh Schimmel dalam pengantarnya terhadap buku ini. Ciri-ciri fenomenologis itu nampak terlihat pada banyaknya kutipan langsung dari teks-teks asli dimana penulis mencoba membiarkan tokoh yang dikaji “berbicara sendiri”. Selain itu, meskipun Murata secara tegas menyatakan adanya kemiripan pemikiran Taoisme dan Sufisme, dia sama sekali tidak menjelaskan bahwa yang satu mempengaruhi atau dipengaruhi oleh yang 7 Sachiko Murata , op.cit., h. 170 lain. Sebenarnya Izutsu adalah orang pertama yang melihat adanya paralel

  8

  antara Sufisme dan Taoisme, tetapi karya Sachiko Murata sangat orisinil dari segi upayangya membentangkan pemikiran-pemikiran tentang relasi gender dalam Islam.

  Dalam kajiannya, Sachiko Murata sangat memperhatikan konsistensi terjemahan, karena menurutnya semakin dalam ia mengkaji dan menelaah teks, maka semakin ia menyadari bahwa kata-kata “periferal” sama pentingnya dengan kata-kata “penting”. Baginya kata-kata bukan hanya mempunyai makna teknis tetapi juga bayangan atau nada yang mewarnai dan membentuk seluruh diskusi atau pembicaraan.

  Teks-teks yang dia kutip punya rentang waktu sekitar empat ratus tahun bahkan seribu tahun. Sachiko Murata mengaitkan teks tersebut dengan al-Qur’an dan Hadist. Pemikiran madzhab dan aliran-aliran pemikiran yang lain ia tampilkan. Menurutnya jika teks-teks itu diubah terjemahannya sesuai dengan perubahan konteks, maka berbagai korelasi penting pun hilang. Jika kehilangan korelasi-korelasi linguistik maka sulit untuk melahirkan berbagai korelasi konseptual. Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an ia bergantung kepada nash-nash yang ia pakai tidak menurut fikirannya. Pada kesimpulannya, buku ini menyimpulkan bahwa pada Asma al-Husna (nama-nama Allah) terdapat sifat maskulin/ yang dan sifat feminin/yin. Kualitas maskulin bisa ditemukan pada sifat Jalaliyah(agung) Allah pada nama al-‘Azhim, al-Qadir, dan al-

  

Qahhar dan sifat Jamaliyah (keindahan) Allah pada nama ar-Rahman, ar-

Rahim, at-Tawwab, dan al-Ghafur.

  Kualitas maskulin dan feminin pada manusia dalam buku ini adalah kualitas perangai dimana kualitas maskulin adalah aktif, melimpahkan sedangkan kulitas feminin adalah pasif, menerima dan berserah diri. Kualitas-kualitas ini dibagi kepada empat yaitu maskulin positif, maskulin negatif, feminin positif dan feminin negatif. Jiwa yang ingin berkuasa, mendominasi, meninggikan dan mempertuhankan diri adalah sifat maskulin negatif. Sedangkan jiwa yang ingin mengalahkan, menguasai nafsu amarah dan ingin naik mencapai nafsu muthma’innah yang damai bersama Tuhan adalah sifat maskulin positif. Sementara jiwa yang berserah diri pada yang 8 Taoisme adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari Cina. Taoisme sudah berumur

  

ribuan tahun, dan akar-akar pemikirannya telah ada sebelum masa Konfusiusme. Hal ini dapat

disebut sebagai tahap awal dari Taoisme. Bentuk Taoisme yang lebih sistematis dan berupa aliran

filsafat muncul kira-kira 3 abad SM. Selain aliran filsafat, Taoisme juga muncul dalam bentuk

agama rakyat, yang mulai berkembang 2 abad setelah perkembangan filsafat Taoisme. Ajaran

Taoisme yang popular adalah yin dan yang. (wikipedia).

  Adapun konsep yin yang bersumber dari Kitab Perubahan (I Ching). Yin dapat

disamakan dengan atribut gelap, sedih, negatif, pasif, dingin, feminin, sedang Yang mempunyai

atribut terang, gembira, aktif, positif, panas, maskulin, dll. Selengkapnya lihat Leman, The Best of Chinese Life Philosophies, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. 3, 2007, h. 12. lebih rendah (materi, dunia dan sifat-sifat negatif) adalah feminin yang negatif. Sedangkan jiwa yang berserah diri pada yang lebih tinggi, yaitu Akal, Ruh dan Tuhan adalah sifat feminin positif.

  Dalam bukunya, Sachiko Murata mengajak pembaca agar dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadist tidak hanya merujuk kepada makna lahiriah saja, tetapi lebih mendalam lagi kepada makna batin yang memiliki nilai absolut universal. Karena dalam nash-nash al-Qur’an maupun Hadist tidak ada satu katapun yang tidak memiliki makna karena semua itu berasal dari Allah Swt.

  

B. Konsep Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam menurut

Sachiko Murata

  Istilah gender memang sudah lazim kita dengar. Konsep gender merupakan konsep penting yang ditemukan feminis untuk menentang diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan biologis. Sikap kritis mereka terhadap “pembagian” peran yang didasarkan pada kelamin, telah berhasil membuka mata, baik pria ataupun wanita untuk membedakan apa yang

  9

  bersifat kodrati dan non kodrati (gender). Senada dengan defines tersebut, di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan

  10

  perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Adapun Mansour Fakih menggambarkan konsekuensi logis dari pemahaman gender berdasarkan peran-peran sosial dan bukan identitas jenis kelamin bahwa pembatasan apapun yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin dalam memahami gender adalah diskriminasi. Wanita atau pria berhak menentukan

  11

  peran apapun yang ingin dan mampu dilakukannya. Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada

  12 rekayasa sosial.

  9 10 Nasaruddin, Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 23 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I (New York: Green Wood Press), h.153. 11 Fakih, Mansour, dkk., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Persfektif Islam

  (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 46 12 Nasaruddin Umar, “ Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No.1, Juli–Desember 1998, h. 99.

  Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Boleh dikatakan gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut pandang non-biologis.

  Dalam kaitannya dengan konsep relasi gender menurut Sachiko Murata, beliau melihatnya dari persfektif kosmologi dan teologi Islam. Kebanyakan dari mereka yang membahas tentang relasi gender mengambil terma-terma berikut: a. Dualitas Ilahi Ketika “Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu bisa dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, kita bisa memandang

  Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, di mana kita mengesampingkan kosmos, yakni segala sesuatu selain Tuhan. Dimensi inilah yang sebut

  13

  dengan al-Ahadiyyah oleh Ibn ‘Arabi. Pada dimensi ini seolah kita tidak akan pernah mungkin mengenal dan mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri, hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya. Hampir semua pemikir Muslim berkesimpulan bahwa Tuhan dalam diri-Nya sendiri, esensi (dzat) Tuhan tidak bisa diketahui. Dia tidak bisa kita pahami, ini mengantar kita pada perspektif ketakterbandingan Tuhan (tanzih). Kedua, jika kita menyebut-nyebut kosmos, maka kita mesti mempertimbangkan sejumlah hubungan yang terjalin antara Tuhan dan kosmos. Pada dimensi ini Tuhan dimungkinkan untuk diketahui, diidentifikasi, dan didefinisikan. Dimensi ini

  14

  disebut al-Wahidiyyah oleh Ibn ‘Arabi. . Pada dimensi ini kita dimungkinkan untuk mengenal dan mendekati Tuhan, tidak pada diri-Nya sendiri, tetapi melalui lokus dimana Ia memanifestasikan diri-Nya. Kita bisa mengatakan bahwa ada keserupaan tertentu yang bisa diamati.

  Di dalam al-Qur’an diisyaratkan mekanisme dualitas makhluk makrokosmos yang dapat digunakan untuk memahami konsep dualitas Ilahi, antara lain dalam Q.S. al-Dzariyat (51) :49

          13 Terjemahnya:

http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/94-tafsir/127-

al-asmaul- al-huna-jendela-untuk-mengintip-tuhan. (Diakses 01 Desember 2015). 14 Sachiko Murata, op.cit., h. 33

  Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. Redaksi serupa ini dapat ditemukan di beberapa ayat lainnya dalam al-Qur’an. Makna zaujain di sini ialah Allah Swt menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, yakni dengan dua realitas yang berbeda, namun saling melengkapi satu sama lain. Dualitas Ilahi di sini sama sekali Sachiko Murata

  15

  tidak bermaksud untuk mengusik konsep keesaan Allah Swt. Sebagai ilustrasi untuk dan demi memudahkan pemahaman, ibarat sebuah mata uang yang mempunyai dua sisi yang berbeda. Meskipun dua sisinya berbeda bahkan mungkin kontras, tetapi tetap satu mata uang. Pada sebuah mata uang bisa saja pada satu sisinya dapat dikenali karena terdapat nama dan angkanya. Akan tetapi pada sisinya yang lain tidak dikenali karena memang tidak terdapat identitas yang dapat dikenali atau tertutup.

  b. Dua Tangan Allah Istilah “dua tangan Allah” muncul dalam Q.S. Shad (38):75 yaitu:

  

           

   

  Terjemahnya: Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"

  Bagi kalangan tradisi hikmah, istilah dua tangan Tuhan itu dipandang sebagai salah satu simpul yang merangkum dan menyimpan banyak misteri dalam tataran hubungan antara manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Banyak Teolog memandang ini sebagai simbol bagi hubungan antara ketakterbandingan dan keserupaan, atau keagungan dan keindahan.

  Dalam analisisnya Sachiko Murata mengatakan bahwa “kedua tanganku” adalah sebagai kiasan bahwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan sendiri. Karena itu manusia memanifestasikan seluruh nama Allah baik yang melukiskan kekerasan 15 Ibid. ataupun kelembutan. Sebaliknya, malaikat-malaikat rahmat diciptakan hanya dengan tangan kanan Allah, sementara setan diciptakan hanya dengan tangan kiri-Nya. Hanya manusia saja yang diciptakan dengan keseimbangan sempurna dari kedua jenis nama. Sesuatu lainnya memberikan gambaran atau

  16

  citra tak sempurna uang didominasi oleh satu tangan saja. Inilah kemuliaan yang Allah Swt. berikan kepada Adam/manusia sebagai mikrokosmos sempurna.

  c. Langit dan Bumi Jika segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan, maka segala sesuatu selain Tuhan pastilah berpasangan, yaitu dibuat dari dualitas yang berbeda namun saling melengkapi. Pasangan yang paling sering disebut dalam al-Qur’an yang dapat ditafsirkan sebagai gambaran keseluruhan kosmos adalah langit dan bumi. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa langit dan bumi disebutkan sebagai dua titik acuan dasar di dunia ini seperti yang ada pada Q.S. Az-Zukhruf (43) : 84 sebagai berikut:

              

  Terjemahnya: Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

  Dan masih ada beberapa ayat lagi yang menjelaskan tentang langit dan bumi. Harus dicatat bahwa makna dasar dari kata sama’ (langit) adalah yang lebih tinggi, lebih atas atau paling tinggi, paling atas, bagian dari segala sesuatu. Sebaliknya akar verbal dari kata ardh (bumi) berarti berusaha dan menghasilkan; membuahkan hasil, bersikap merendah, menyerah, secara

  

17

alamiah terpanggil untuk berbuat baik.

  Hubungan antara langit dan bumi adalah hubungan antara yang dan

  yin, pria dan wanita, suami dan istri. Seperti baris-baris syair Rumi: Dalam pandangan akal, langit adalah pria dan bumi adalah wanita Apapun yang dijatuhkan oleh yang satu, akan terpelihara oleh yang

  18 lain

  Bila merujuk pada al-Qur’an dan hadis, terdapat tiga pola relasi di antara pria dan wanita, yaitu: 16 17 Ibid. 18 Ibid., h. 167.

  Ibid., h. 197.

  1. Kaum pria mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di atas kaum

  19

  wanita. Hal ini didasarkan atas ayat Q.S. al-Baqarah (2) : 228

  ٌﺔ َﺟ َرَد ﱟرﻠِﻟ َو ِلﺎَﺟ ﱠنِﮭْﯾَﻠَﻋ

  Terjemahnya: Bahwa kaum pria mempunyai satu derajat di atas kaum wanita Dalam konteks ini dikaitkan dengan Q.S. al-Nisa (4) : 34, adalah suami merupakan pengayom dan bertanggung jawab dalam hal pemberian nafkah kepada isterinya.

  

           

  

  Terjemahnya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri.

  Ada beragam penafsiran terhadap ayat tersebut, sebagian orang mungkin menganggapnya sebagai bukti Islam mendiskriditkan perempuan. Akan tetapi bagi mereka yang mengkajinya lebih mendalam akan beranggapan semuanya sebagai bukti kekuatan kaum perempuan yang menguasai masyarakat. Sachiko Murata berpendapat di satu sisi, perkataan- perkataan tersebut dimaksudkan untuk menekankan makna penting dari ikatan pernikahan sebagai pondasi umat. Mereka juga menetapkan hal-hal tertentu yang tidak dapat diubah dalam hubungan antara suami dan istri. Suami menyangdang fungsinya sendiri, begitu pula sang istri juga

  20 menyangdang fungsinya sendiri.

  2. Tidak ada perbedaan antara kaum pria dan wanita, mereka setara di hadapan Allah Swt. Ini didasarkan pada ayat al-Qur’an Q.S. al- 19 Ahzab (33) : 35 yaitu:

  Ayat ini menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan ulama muslim, bila dikaitkan

dengan ayat-ayat mengenai kepemimpinan (QS. 4 : 34), dan penciptaan manusia (QS. 4: 1)

mengesankan adanya inferioritas kaum wanita. 20 Ibid., h. 245.

  

      

     

     

         

   

  Terjemahnya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

  Ayat ini mengungkapkan bahwa dalam hal amal, profesi dan aktualisasi diri, kaum pria dan wanita adalah setara di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah hirarkie ketakwaannya terhadap Allah, bukan jenis kelaminnya. Sachiko Murata dalam memahami ayat 33:35, sepakat dengan para mufassir lain, bahwa ayat ini menunjukkan adanya kesetaraan antara pria dan wanita, dengan memberikan argumentasi sebuah

  21 hadis, yaitu: “Kaum wanita adalah padanan kaum pria”.

  3. Kaum wanita berada dalam posisi di atas kaum pria. Hal ini sebenarnya didasarkan pada hadis dari Nabi, yaitu bahwa “surga

  22

  berada di bawah telapak kaki Ibu” dan juga hadis mengenai

  23 keutamaan seorang Ibu atas seorang ayah.

  Berkenaan dengan yang pertama dalam surat Al-Baqarah (2):228 dijelaskan bahwa laki-laki memiliki tingkat lebih tinggi sering dijadikan 21 22 Abi Isa Muhammad Ibn Abi Surah, Sunan at-Tirmidzi 23 Hadis tersebut menunjukkan betapa tingginya seorang ibu bagi anak-anaknya.

  Nabi bersabda, “Nabi ditanya, “di antara semua orang, siapakah yang paling pantas

menerima kebaikan cinta kasih (birr) ?”. dia bertanya lagi, “setelah itu siapa ? Nabi berkata,

“Ibumu. Setelah itu baru ayahmu’. (Sahih al-Bukharî juz. VII, h. 69., Sahih muslim, Juz. VIII, h. 2). legitimasi bahwa laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Akan tetapi Qusyairi mengatakan sifat kelemahan dan ketidakmampuan (sifat yin) yang biasa dilekatkan pada perempuan merupakan keadaan penghambaan yang sangat dibutuhkan dalam hubungannya dengan yang nyata. Menurut Qusyairi laki-laki cenderung untuk menuntut kekuasaan dan kekhalifahan (yang), akan tetapi hal ini merupakan bahaya besar disebabkan mereka tidak mempunyai hak atasnya tanpa terlebih dahulu berada dalam keadaan sebagai seorang hamba. Sedangkan kaum perempuan mempunyai keuntungan dari kelemahannya yang relatif dan ketidak mampuannya di bidang lahiriah.

  Sehingga mereka tidak cenderung untuk membuat tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mengakui sifat-sifat yin seseorang dihadapan Tuhan akan membantu menuju tauhid, sebab hal itu dapat membuat seseorang mengakui

  24 adanya kekuatan, kejayaan, penciptaan milik yang nyata.

  Adapun yang kedua hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi dan bukan hubungan yang saling dipertentangkan ataupun mempertentangkan. Laki-laki dan perempuan sama- sama merupakan hamba Allah Swt., yaitu sama-sama wajib menyembah Allah. Keduanya memiliki peluang dan potensi yang sama untuk menjadi hamba ideal. Dalam al-Qur’an yang dimaksud dengan hamba ideal diistilahkan dengan “orang-orang yang bertakwa”. Rumi mengatakan bahwa manusia sempurna tidak mempermasalahkan tentang jenis kelamin biologis. Sehingga keduanya dapat menjadi manusia sempurna, dalam hal ini dimaksud juga dengan hamba ideal, serta sama-sama memiliki peluang untuk mencapai prestasi spiritual. Tokoh perempuan yang mampu mencapai prestasi tersebut seperti: Maryam (ibunda nabi Isa), Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah dan Hafsah binti Umar (keempatnya adalah istri Rasulullah), dan Robiah Al- Adawiyah (seorang sufi yang memiliki kelebihan sama atau bahkan melebihi laki-laki) dan masih banyak lagi contoh-contoh wanita Islam yang yang mempunyai prestas-prestasi layaknya seorang pria.

III. PENUTUP

  Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Sachicko Murata merupakan wanita Jepang yang mampu memberikan kontribusi pemikiran yang sangat bermanfaat bagi keilmuan Islam, khususnya mengenai masalah relasi gender yang marak diperbincangkan pada masanya. Dalam menyampaikan ke-Islaman di negaranya, ia mampu mengaitkannya dengan konsep pemahaman lokal yaitu Taoisme sehingga mudah untuk diterima dan merubah pandangan tentang Islam kepada yang semestinya. Mengenai pemikirannya tentang relasi gender, Sachicko Murata memaparkan bahwa relasi gender tidak hanya terjadi pada manusia (mikrokosmos) namun juga terdapat pada metakosmos (tuhan) seperti pada asma al-Husna, dan pada 24 Spiritualitas Feminis Sebagai Roh Gerakan" diakses dari psp.ugm.ac.id/spiritualitas- feminis-sebagai-roh-gerakan-perempuan.html (Diaksed pada 11 Desember 2015). makrokosmos (alam semesta) seperti pada bumi dan langit dan lainnya. Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir, bukan konstruksi masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN

  Al-Qur’an al-Karim Baidowi, Ahmad,

  Tafsir Feminis Kajian Perempuan Dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005. Fakih, Mansour, dkk.,

  Membincang Feminisme: Diskursus Gender Persfektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Helen Tierney (ed),

  Women’s Studies Encylopedia, vol. I, New York: Green Wood Press, t.th. Leman,

  The Best of Chinese Life Philosophies, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Murata, Sachiko, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1999.

  Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina, 2001. __________, “ Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol.

  I. No.1, Juli–Desember 1998, h. 99.