Politik Pengakuan Perempuan Dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa Di Yogyakarta | Itriyati | Jurnal Pemikiran Sosiologi 23442 45957 2 PB

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.2 , November 2012

Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas
Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Oleh
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani1

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi awal mengenai politik pengakuan perempuan dengan disabilitas pasca
bencana gempa 2006 di Kabupaten Bantul dan Klaten, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam studi awal ini
ditemukan adanya transformasi gerakan disabilitas pasca bencana di kedua daerah tersebut. Penulis
ingin menggarisbawahi bahwa peran perempuan dengan disabilitas baru bisa mendorong adanya
transformasi gerakan perempuan dengan disabilitas. Perubahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi
dimana sebelum gempa terjadi, wacana perempuan dengan disabilitas hanya dilihat sebagai tragedi
personal dimana persoalan disabilitas dilihat sebagai masalah individu sehingga pendekatan yang
dipakai untuk menangani kelompok mereka hanya sebatas charity, pemberian pelatihan-pelatihan yang
sifatnya klinis dengan tujuan supaya mereka bisa kembali seperti orang normal dan punya kemandirian
hidup. Setelah gempa, muncul banyak DPO (Disabled People Organization) dan perkumpulan yang
menjadi organisasi bagi para penyandang disabilitas tidak hanya mereka yang menjadi korban gempa,
tetapi juga penyandang disabilitas lama bukan karena gempa yang selama ini disembunyikan oleh

keluarganya dan terpinggirkan dalam pergaulan sosial. Mereka muncul untuk coming out dan memberi
pelajaran bagi masyarakat bahwa perbedaan merupakan hal yang biasa dan proyek normalisasi
merupakan sesuatu yang berhak untuk ditolak jika tidak diinginkan oleh mereka. Bahkan mereka juga
sudah mampu untuk mengkounter wacana gerakan perempuan mainstream bahwa mereka juga berhak
untuk diakomodasi kepentingannya, dimana perempuan dengan disabilitas mempunyai hak yang sama
dengan perempuan lainnya secara universal. Studi awal yang dilakukan dengan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi ini merupakan preliminary study yang masih berproses dengan
penelitian selanjutnya.

Kata kunci: perempuan dengan disabilitas, gempa bumi, politik pengakuan, DPO (Disabled People
Organization), model individual dan model sosial disabilitas

Abstract
This study is a preliminary study of the politics of recognition of women with disabilities in the aftermath
of the 2006 earthquake in Bantul and Klaten, Yogyakarta and Central Java. In this preliminary study, it is
found that there is transformation in the disability movement in both regions. The authors would like to
underline that the role of new women with disabilities affected by earthquake can encourage the
1 Fina Itriyati adalah staf pengajar Departemen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Desintha Dwi Asrianii
menyelesaikan studi S1 dan S2 di Sosiologi di Universitas Gadjah Mada, saat ini adalah staf pengajar di Jurusan
sosiologi Fisipol UGM.


52

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

transformation of the women with disabilities movement. These changes can be seen from all sides
which before the earthquake, the discourse of women with disabilities are seen as a personal tragedy
wher edisability issues are seen as an individual problem. The common approach used to deal with them
is a charity activities, training services that are clinically aimed to make them as normal people and have
independent lives. After the earthquake, there are a lot of DPO (Disabled People Organization) and
association sfor persons with disabilities which accomodate not just those affected by the earthquake,
but also all persons with disabilities who had been hidden by their families and socially marginalized.
They appear to becoming out and giving a lesson to the people that the differences are common and
normalization project is a choice that they have rights to refuse if it is not desired by them. In fact, they
also have been able to counter the mainstream women s movement discourse that their interests are also
entitled to be accommodated in universal women s discourse. This preliminary study which conducted
by qualitative research methods with an ethnographic approach is still very early and still continuing
with further research.


Keywords: women with disabilities, earthquake, politics of recognition, DPO (Disabled People
Organization), individual and social model of disabilities

melayani penduduk di kantong bencana dan

A. Latar Belakang

menggantikan bangunan yang lama dengan tingkat

Bencana gempa yang terjadi pada bulan Mei tahun

kerusakan

2006 sudah berlalu. Program-program rekonstruksi

infrastruktur yang

parah.


Tingkat

kerusakan dan kerugian infrastruktur tersebut

dan intervensi juga sudah dilakukan. Mayoritas

diperkirakan sejumlah 29, 129 milyar rupiah dan

lembaga-lembaga non pemerintah baik itu nasional

korban jiwa sekitar 5.716 orang dan korban luka

dan internasional yang pada masa tanggap darurat,

berat sebanyak 37.927 jiwa (Budisusila, 2007).

rehabilitasi dan rekonstruksi saling bekerja sama
membantu memulihkan keadaan di titik-titik

Pada saat dan setelah gempa terjadi, kelompok


bencana sudah meninggalkan Yogyakarta dan

perempuan, anak-anak dan lanjut usia menjadi

Klaten, Jawa Tengah. Lembaga-lembaga tersebut

kelompok yang paling rentan dalam menerima

mengalihkan program intervensi mereka di daerah

resiko terburuk akibat gempa. Dikarenakan tingkat

lain yang lebih membutuhkan prioritas bantuan.

kerentanan dan dinamika yang terjadi dalam ketiga
kelompok tersebut berbeda, penulis akan secara

Bangunan infrastruktur yang baru, rumah, fasilitas


spesifik memfokuskan pada kelompok perempuan

pendidikan, kesehatan serta fasilitas pelayanan

rentan

publik yang lain sudah dianggap cukup untuk

yaitu

kelompok

perempuan

dengan

disabilitas.2 Menurut Fatimah (2007), perempuan

Istilah orang dengan disabiltas atau penyandang disabilitas merupakan konsep baru yang muncul setelah
disahkannya Undang-Undang Hak Penyandang Disabilitas No 19 tahun 2011 pada tanggal 18 Oktober 2011 yang

merupakan ratifikasi dari penandatanganan Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas) oleh Pemerintah RI pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Dalam tulisan ini
konsep penyandang disabilitas bisa dipertukarkan dengan konsep orang dengan disabilitas atau disabel. Konsep
Orang dengan Disabilitas menjadi konsep baru setelah sebelumnya konsep penyandang cacat berubah menjadi

2

53

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

banyak menjadi korban gempa baik itu meninggal

keluarganya. Bagi mereka yang selamat, belum tentu

dunia maupun korban dengan luka berat karena

hidup menjadi mudah karena banyaknya bantuan


pada saat gempa terjadi, mereka banyak yang

berdatangan. Mereka yang selamat tetapi harus

sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan

mengalami perubahan fungsi tubuh akibat tertimpa

untuk keluarga. Sementara itu, akses untuk

bangunan atau barang berat akibat gempa harus

menyelamatkan diri keluar rumah relatif jauh

menghadapi dampak akibat kondisi tubuhnya yang

karena dalam konstruksi rumah di masyarakat Jawa,

cacat seumur hidup mereka. Kualitas hidup yang


letak dapur berada di bagian paling belakang dari

prima sebelum gempa menjadi turun drastis karena

struktur rumah. Lebih jauh lagi, kondisi bangunan

kondisi kelumpuhan atau kehilangan anggota tubuh

dapur relatif lebih buruk dan lebih rentan untuk

menjadikan kehidupan mereka sehari-hari lebih

ambruk dibanding dengan bangunan lain di dalam

sulit dijalani. Perempuan dengan paraplegia3 sangat

rumah seperti kamar tidur dan ruang tamu sehingga

sulit untuk hidup tanpa bantuan orang lain karena


perempuan menjadi korban karena tidak sempat

kelumpuhan yang mereka alami sementara akses

menyelamatkan diri. Pun ketika sedang tidak berada

dan peluang untuk bisa hidup mandiri di lingkungan

di dapur, perempuan pasti sedang berusaha

mereka sangat bias normal. Semua fasilitas publik

menyelamatkan

sebelum

tidak memungkinkan mereka bisa mengaksesnya,

menyelamatkan diri mereka sendiri sehingga waktu


bahkan yang lebih buruk, konstruksi rumah mereka

yang diperlukan untuk bisa selamat dari bencana

sendiri juga tidak memungkinkan bagi mereka

tersebut semakin panjang sehingga banyak dari

untuk bisa melakukan semuanya dengan mandiri.

mereka dan anak-anak menjadi korban.

Dimulai dari pintu rumah yang tidak bisa diakses

anak-anaknya

kursi roda, kamar mandi yang berundak dan pintu

Setelah gempa berlalu, mereka harus menghadapi

yang sempit sehingga juga tidak memungkinkan

banyak tantangan karena hidup harus terus berjalan

bagi penyandang disabilitas untuk melakukan

meskipun mereka tidak lagi hidup yang selengkap

aktivitas paling pribadi sekalipun secara mandiri.

seperti sebelumnya. Rumah yang belum selesai
dibangun, kesulitan untuk mendapatkan air bersih

Perempuan

sementara makanan yang sehat dan gizi yang baik

penderitaan yang berlapis karena ketika mereka

untuk anak-anak yang harus selalu dicukupi,

menjadi korban hidup, mereka harus menghadapi

Sementara itu, perempuan juga tetap harus bekerja

banyak adaptasi karena kemampuan tubuhnya yang

keras

menghidupi

tidak lagi seperti dulu. Dengan menjadi penyandang

konsep difabel (different ability) yang meskipun istilah
tersebut lebih halus dari istilah sebelumnya, namun
masih mangandung stigma yang melekat bagi
penyandangnya.
3 Paraplegia merupakan kondisi kecacatan bagi seseorang
yang mengalami kelumpuhan pada bagian bawah tubuh
mereka akibat cedera pada sumsum tulang belakang.
Cedera ini disebabkan oleh berbagai hal semisal
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, tertimpa
benda berat atau karena suatu penyakit. Cedera pada

sumsum tulang belakang yang mengenai sistem saraf
pusat tidak hanya menyebabkan kelumpuhan pada kedua
tungkai saja,namun juga seluruh sistem tubuh dibawah
level cedera ikut terganggu. Pada beberapa kasus,
penderita paraplegia masih dapat berjalan meski tidak
bisa dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar
penderitanya bergantung pada kursi roda atau alat
penunjang lainnya. Impotensi dan ketidakmampuan
mengontrol buang air merupakan hal yang umum dialami
oleh penderitanya (news-medical.net)

bersama

suami

untuk

54

dengan

disabilitas

mengalami

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

disabilitas mereka harus berhadapan dengan

membutuhkan banyak bantuan dari orang lain dan

banyak stigma dan pengalaman yang menyulitkan

tentu

mereka untuk melanjutkan hidup. Banyak yang

memungkinkan mereka untuk melakukan mobilitas

menderita depresi dan trauma psikologis yang sulit

seperti misalnya membeli sepeda motor roda tiga,

untuk dilupakan dari memori bahkan kasus

kursi roda yang ringan dan alat bantu yang lainnya.

percobaan bunuh diri menjadi kasus yang umum

Mereka

didengar dari penyandang disabilitas baru korban

tubuhnya, dengan kenyataan baru sebagai orang tua

bencana tersebut. Perempuan-perempuan tersebut

tunggal

juga harus rela ditinggalkan pasangannya karena

keluarganya.

stigma ketidakmampuan mereka untuk melakukan

sebagai

sekaligus

tiang

agar

dengan

ekonomi

bagi

harus menghadapi banyak hambatan karena kondisi

menyebutkan bahwa hampir semua perempuan

tubuh mereka. Mereka harus terus hidup tidak

yang menikah dan menjadi penyandang disabilitas

hanya untuk diri sendiri tetapi juga berpikir

karena gempa ditinggalkan oleh pasangannya baik
dikembalikan

beradaptasi

sedikit

Mereka dengan kehilangan kemampuan bekerjanya

2009 sampai dengan 2011 (Andriani, 2011)

maupun

dan

tidak

tubuh mereka dan berjuang untuk bertahan hidup.

Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak) sejak tahun

resmi

harus

yang

untuk bertahan dan berdaptasi dengan kondisi

yang dilakukan oleh lembaga SAPDA (Sentra

secara

biaya

Prakteknya, mereka harus berjuang setiap hari

aktivitas seksual begitu melekat. Hasil penelitian

itu

saja

bagaimana harus menghidupi anak-anak mereka

ke

serta berpikir setiap saat bagaimana mendapatkan

keluarganya tanpa kejelasan status. Mereka yang

kelangsungan medikalisasi bagi tubuh mereka serta

tidak ditinggalkan pasangannya kerap menerima

asuransi kesehatan yang bisa digunakan setiap

kekerasan dalam rumah tangga dan dieksploitasi

waktu oleh mereka karena praktis dengan menjadi

secara ekonomi oleh suaminya karena mereka

penyandang

mendapatkan bantuan sosial secara rutin dari

disabilitas

mereka

harus

selalu

menghadapi masalah kesehatan yang menuntut

pemerintah dan dari lembaga sosial lainnya.

pada pemenuhan jaminan kesehatan mereka secara

Penelitian tersebut menyebutkan bahwa dari 7

jangka panjang. Disamping masalah dalam hal

responden yang belum menikah ketika menjadi

pemenuhan kebutuhan dasar, mereka juga harus

disabel baru, hanya 1 perempuan yang tidak

menghadapi masalah berkaitan dengan adaptasi

ditinggalkan oleh pasangannya dan menikah pada

mereka dengan kondisi tubuh yang berbeda,

tahun 2011. Perempuan disabel baru tersebut harus

bagaimana menggunakan alat-alat bantu untuk

menghadapi kenyataan pahit barlapis bahwa

secara mandiri, berinteraksi serta menggunakan

mereka tidak lagi bisa beraktivitas secara mandiri,

fasilitas publik dan lain-lain.

ditinggalkan pasangan yang tidak mau bertanggung
Pasca gempa, mereka menerima banyak bantuan

jawab terhadap keluarga serta anak-anak yang
harus

ditopang

hidupnya.

Sementara

dari pemerintah maupun dari LSM lokal maupun

bagi

internasional.

perempuan-perempuan tersebut, bekerja di luar
merupakan

hal

yang

mustahil

karena

Terkadang,

mereka

juga

mendapatkan bantuan lainnya dari sumber dana

akan

yang
55

lain

seperti

donatur,

perkumpulan-

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

perkumpulan

yang

peduli

terhadap

sementara bagi keluarga miskin, karena mereka

keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka

tidak dapat terus menerus bergantung pada

yang menjadi penyandang disabilitas. Program-

keluarga besarnya mereka lalu menempuh jalan

program pemberdayaan dan intervensi juga banyak

dengan menjual apa saja untuk bisa bertahan hidup.

dilakukan tidak hanya untuk disabel baru tetapi juga

Kelompok orang dengan disabilitas merupakan

untuk disabel bukan korban gempa. Namun, setelah

bagian dari kelompok masyarakat yang tertindas

program-program pemberdayaan dan intervensi

dan terstigma seperti yang dikatakan oleh Bishop

tersebut selesai, bagaimana dengan bagaimana

(dalam Mullaly, 2002) bahwa kelompok tertindas

kualitas dan kelangsungan hidup mereka belum

selalu dilekatkan paling tidak satu mitos seksual

banyak diteliti lebih jauh.

negatif seperti tidak bisa mengontrol nafsu

Sebagian besar perempuan penyandang disabilitas

seksualnya, tidak bermoral atau terbelakang. Lebih

sangat tergantung dengan keluarga besar mereka.

spesifik lagi bagi penyandang disabilitas, mereka

Ketika pasangan meninggalkan mereka, mereka

dipandang sebagai kelompok yang pasif, tidak

bergantung kepada simpati keluarga besar agar bisa

produktif dan digolongkan sebagai kelompok orang

bertahan hidup. Meskipun mereka mendapatkan

tanpa seksualitas. Penyandang disabilitas juga

bantuan berupa pelatihan-pelatihan dan alat kerja

direpresentasikan sebagai kelompok tanpa gender,

baik itu dari pemerintah maupun dari LSM lokal dan

makhluk

internasional,namun

(Meekosha,

kenyataannya

modal

dan

aseksual,

aneh

2004).

dan

Mayoritas

tidak

normal

orang

dalam

bisnis yang dijalankan tidak dapat bertahan lama.

masyarakat juga masih memandang disabilitas

Kebanyakan yang mendapatkan alat kerja berupa

sebagai penyakit sehingga sangat umum terjadi

komputer tidak lagi mendapatkan pelanggannya

ketika mereka melihat orang dengan disabilitas

karena

sudah

selalu diasosiasikan sebagai kelompok dengan

menggunakan komputer jinjing karena harganya

sebutan-sebutan negatif yang selalu bergantung dan

yang terjangkau. Mereka yang mendapatkan alat

membutuhkan pertolongan orang lain (Edwards,

menjahit dan ketrampilannya juga tidak dapat

2004). Perempuan dengan disabilitas mengalami

bertahan karena masyarakat sekarang lebih suka

penindasan dan diskriminasi berlapis karena

membeli pakaian jadi yang lebih murah dan jika

mereka

mendapatkan order, mereka dibayar dengan sangat

sehingga ketika tidak produktif dianggap tidak

murah dan kebanyakan juga tidak sanggup untuk

normal, dan karena mereka berasal dari kelompok

memenuhi pesanan partai besar. Sementara itu,

masyarakat miskin. Dalam konteks perempuan

kebutuhan hidup menuntut untuk terus dipenuhi,

dengan disabilitas sebagai korban bencana gempa,

termasuk membayar sekolah anak-anak, membeli

mereka harus menghadapi banyak peristiwa yang

peralatan sekolah serta kebutuhan membeli obat-

mengguncang hidup mereka seperti kehilangan

obatan untuk perawatan rutin kesehatan mereka.

keluarga dekat, anak-anak sampai kehilangan

Bagi mereka yang berasal dari keluarga menengah

anggota tubuh mereka yang menyebabkan mereka

ke atas tidak mengalami masalah seperti diatas,

kehilangan kemampuan bekerja.

sebagian

besar

masyarakat

56

disabel,

karena

mereka

perempuan

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

Namun, dibalik semua bencana yang terjadi,

juga merasa tersuarakan aspirasinya yang selama

ternyata kelompok perempuan dengan disabilitas

ini

akibat korban gempa bisa memberi warna bagi

marginalisasi yang dilakukan oleh keluarga dan

gerakan disabel secara umum di Yogyakarta.

masyarakat. Perempuan disabel merasa mengalami

Penyandang disabilitas akibat gempa di Bantul dan

kondisi yang lebih baik sejak bergabung dalam DPO

Klaten

dan

(Disabled People Organization). Saat ini, ada 8 DPO

perkumpulan yang tujuannya membantu anggota

dan 2 koperasi yang dibentuk oleh Yakkum4 dan

kelompoknya mulai dari strategi dalam pemenuhan

masih berlangsung kegiatannya. Sementara itu,

ekonomi,

membantu

masih banyak paguyuban penyandang disabilitas

domestik,

serta

membentuk

banyak

organisasi

memecahkan

problem

bagaimana

mendapatkan

mengenai

disabilitas

masalah

lainnya

termasuk

perhatian
serta

terbungkam

lainnya

publik

yang

karena

diskriminasi

mempunyai

memberdayakan

kegiatan

anggota-anggotanya

dan

inti
yang

melakukan

merupakan penyandang disabilitas. Selain Yakkum,

pengarusutamaan disabilitas dalam masyarakat

LSM lainnya seperti KARINAKAS5 dan SAPDA6 juga

lebih luas. Organisasi-organisasi tersebut mayoritas

mempunyai kegiatan yang serupa yang memberi

diketuai oleh perempuan dan itu memberi dampak

perhatian terhadap penyandang disabilitas. Setelah

yang signifikan bagi perubahan sosial dibandingkan

program pemberdayaan dan intervensi tersebut

dengan situasi sebelum bencana terjadi. Sebelum

selesai, organisasi dan paguyuban tersebut menjadi

bencana terjadi, organisasi penyandang disabilitas

organisasi

tersentral dalam Yayasan Persatuan Penyandang

kegiatan dan pendanaannya sendiri tanpa supervisi

Cacat Indonesia (PPCI) dan semua distribusi

dari lembaga payung. Mereka berjuang demi hak-

bantuan dari pemerintah serta kegiatannya terpusat

hak mereka sebagai warga yang utuh, memberikan

pada yayasan tersebut. Setelah gempa, banyak

pelayanan

untuk

organisasi dan perkumpulan penyandang disabilitas

disabilitas,

memberikan

bermunculan dan menjadi wadah bagi disabel untuk

keuangan, mengusahakan asuransi kesehatan bagi

menyuarakan

kelompok

kepentingannya.

Tidak

hanya

independen

yang

teman

mereka

mengusahakan

sesama
kredit

serta

atau

ikut

bantuan

membantu

penyandang disabilitas baru yang bergabung dalam

menyelesaikan

organisasi

penyandang disabilitas seperti persoalan rumah

dan

perkumpulan-perkumpulan

persoalan

penyandang

tangga,

4

sekat agama, suku, ras, dan kepentingan. Sejak bencana
gempa Yogyakarta 2006, KARINAKAS terus bergulat bersama
masyarakat di wilayah Jateng – DIY dalam pemberdayaan
difabel, pengurangan risiko bencana, dan pengembangan
ekonomi masyarakat lemah.
6

alat

bantu

dihadapi

tersebut, tetapi disabel lama bukan korban gempa
Pusat Rehabilitasi YAKKUM adalah sebuah lembaga non
pemerintah, organisasi sosial Kristen yang merupakan
bagian dari YAKKUM (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan
Umum). Pusat Rehabilitasi YAKKUM memberikan pelayanan
kepada
para
penyandang
disabilitas
(yakkumrehabilitation.org)

mengusahakan

yang

untuk

LSM yang bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat
daerah, pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan
terhadap perempuan, difabel dan anak khususnya dalam
sektor kesehatan dan pendidikan di Daerah istimewa
Yogyakarta.

5

KARINAKAS (Karitas Indonesia Keuskupan Agung
Semarang) adalah sebuah lembaga kemanusiaan di bawah
naungan Keuskupan Agung Semarang yang memberi
perhatian lebih pada difabel, pengurangan risiko bencana,
dan pemberdayaan ekonomi masyarakat tanpa dibatasi

57

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

dalam

maka hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada satu

berkegiatan sehari-hari. Sebagai kelompok disabel

orang pun yang akan luput dari sosialisasi gender.

baru, ternyata kegiatan mereka bisa memberi warna

Sosialisasi gender yang terjadi melalui berbagai

dalam

seluruh

mekanisme

berlapis,

penyandang disabilitas di Yogyakarta. Jaringan

masyarakat

hingga

mereka juga mampu memberikan kekuatan sebagai

menghadirkan individu sebagai subjeknya. Oleh

kelompok yang diakui eksistensinya dan mampu

karena itu pada setiap pola interaksi dapat

memperjuangkan anggotanya dalam mengakses

dipastikan akan muncul sebuah persoalan yang

haknya

mengadvokasi

terkait dengan gender seperti dalam tarik menarik

kepentingan mereka termasuk dalam melakukan

kekuasaan, hubungan berbasis kekerasan hingga

pengarusutamaan

gerakan

komodifikasi tubuh. Menariknya, di berbagai bentuk

perempuan di Yogyakarta. Tulisan ini akan melihat

dinamika interaksi gender tersebut, perempuan

sejauh mana praktek politik pengakuan perempuan

justru

dengan disabilitas pasca gempa terutama setelah

teridentifikasi sebagai korban. Mengapa? Sebab

tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi selesai

konstruksi sosial yang sampai saat ini semakin

dilakukan. Tulisan ini juga hendak mengkaitkan

menimbulkan kegamangan karena belum juga

bagaimanapola

berakhir, perempuan sering ditempatkan pada

mempermudah

mobiltas

mengadvokasi

ke

maupun

kepentingan

pemerintah

dan

disabilitas

gerakan

dalam

perempuan

dengan

sering

mulai
negara

menjadi

dari

keluarga,

akan

pihak

senantiasa

yang

akan

posisi minor atau subordinat.

disabilitas ini dalam mengkounter marginalisasi
terhadap kelompok mereka ditengah gerakan

Dalam struktur patriarkhis, kehadiran perempuan

perempuan mainstream di Yogyakarta.

hanya dijadikan sebagai pelengkap atau peyongkong
setiap kegiatan utama yang sama sekali menutup
peluang-peluang untuk berdaya. Sebagai contoh,

B. Absennya Isu Disabilitas dalam Gerakan

dalam kehidupan keluraga, anak-anak perempuan

Perempuan

akan cenderung mendapatkan pola pengasuhan
domestik

dengan

harapan

dapat

menjadi

Diskusi mengenai gender dalam konteks perempuan

pendamping dan pengasuh yang berkarakter serupa

difabel tampaknya memang belum menjadi wacana

dengan internalisasi nilai seperti kepatuhan dan

yang populer. Meskipun gender memposisikan

kelemahan.

dirinya sebagai kajian partikular sebagai sebuah

perempuan tidak dianjurkan memiliki ambisi untuk

kontras atas mainstream-mainstream universal

bersekolah

namun masyarakat akan lebih mudah jika mencari

berkarakter keras sebagai pemimpin. Sehingga pada

kedalaman isu gender tentang peran sosial, politik,

periode pertumbuhan jangka panjang, perempuan

ekonomi,

dengan

akan semakin matang untuk menjadi pengikut laki-

tentang

laki-penguasa-pemilik keputusan. Demikian halnya

perempuan disabel. Padahal jika hendak merujuk

di ranah publik yang terkenal dengan feminisasi

pada teori peran West dan Zimmerman (1987),

kerjanya. Perempuan hanya seolah-olah telah keluar

pembahasan

seksualitas
yang

dibandingkan
lebih

menukik

58

Implikasi

tinggi,

konkritnya

berwawasan

luas

adalah,

atau

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

dari kungkungan diskriminatif, namun sebetulnya

gender tertentu terhadap anak tersebut. Anak-anak

masuk dalam perangkap domestifikasi dalam ruang

dengan

baru bernama publik.

mendapatkan peluang dalam memahami konstruksi

Pada kondisi yang dikatakan normatif untuk tidak

maupun realitas peran gender bahkan memiih

penghalang

sebuah refleksi besar. Masih dalam konteks peran
(dalam

Gerschick,

sulit

untuk

yang hampir menjadi bagian kehidupannya menjadi

maka keberadaan perempuan disabel menjadikan

Goffman

cenderung

sendiri peran gendernya karena persoalan stigma

melakukan dikotomi atas normal dan tidak normal,

sosial,

disabilitas

tersendiri

untuk

keluar

menjadi

individu yang bebas. Meskipun teori gender

2000)

mengarahkan agar setiap orang memiliki peluang

menggarisbawahi bahwa disabilitas bukan hanya

yang sama untuk mempelajari, memahami dan

persoalan fisik atau mental namun juga terkait

merespon tentang konstruksi peran gender yang

dengan relasi sosial dan stigma. Manusia dengan

disosialisaikan namun perlu digarisbawahi bahwa

disabilitas cenderung akan mendapatkan sangkaan

derajat kesempatan bagi anak-anak disabel jauh

buruk dari orang lain seperti cacat, abnormal,

lebih terbatas dibandingkan yang bukan disabel.

bahkan gila. Mereka didiskriminasi atas kondisi
yang tidak serupa dengan kebanyakan orang

Studi tentang gender dan disabilitas pada akhirnya

sehingga sering dikategorikan sebagai yang lain atau

sama-sama

tidak terdaftar sebagai subjek dalam keseharian.

diskriminasi dan akses atas pemenuhan hak dasar.

Demikian halnya dalam peran gender, dimana

Oleh

labelitas terlekat pada proses interaksi sehari-hari,

sebetulnya dua hal tersebut memiliki ruh dan spirit

maka legitimasi atas maskulin dan feminin sering

yang serupa dalam melihat, memahami dan

lahir dari konstruksi yang diberikan oleh orang lain

menerjemahkan

seiring dengan stigma yang terjadi.

Namun ternyata, dalam prakteknya, kasus-kasus

dijelaskan

gendernya juga menjadi bersarat dan sekali lagi

meskipun

yang ada di sekitarnya akan menetapkan anak

ringan

rentan.

dengan

pendekatan-pendekatan

laki-laki

dan

perempuan

memiliki

isolasi dan diskriminasi namun variasi atas jumlah

namun tidak memiliki ekspektasi terhadap peran

disabilitas

kelompok-kelompok

pengalaman yang serupa tentang marginalisasi,

tersebut dalam kategori jenis kelamin teretntu

kondisi

perjuangan

disabel. Gerschick (2000) menuliskan bahwa

disabilitas bawaan maka orang tua atau orang-orang

memiliki

agenda

dibanding perempuan bukan disabel dan laki-laki

mencontohkan bahwa anak yang lahir dengan

anak-anak

dalam

isu

berlapis yang dimiliki oleh perempuan disabel

dalam hal ini orang tua. Gerschick (2000)

dengan

itu

pada

disabilitas. Hal ini disebabkan oleh persoalan

sangat ditentukan oleh kekuasaan orang lain atau

Berbeda

karena

tekanan

perempuan disabel tidak cukup hanya dapat

Dalam ranah keluarga, kepemilikan seseorang atas

gendernya.

memberikan

ketidakbaikan tersebut mengantarkan mereka pada

yang

porsi analisis yang berbeda. Misalnya, perempuan

seperti

disabel menjadi lebih rentan untuk menjadi sasaran

ketidakmampuan melihat (buta), maka para orang

perkosaan

tua akan memiliki harapan yang besar untuk

atau

pelecehan

seksual.

Hal

ini

dikarenakan konstruksi berlapis yang dilekatkan.

mensosialisasikan dan menginternalisasikan peran
59

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

Perempuan dasarnya dianggap lemah akan semakin

laki dan perempuan. Sayangnya, dikotomi ini justru

disangka tidak memiliki arti apapun ketika didapati

membatasi perempuan dalam mengartikulasikan

kondisi tubuhnya dalam kategori disabel. Secara

pilihan-pilihan-nya sebagai manusia. Namun lebih

ekstrim, perempuan dengan disabilitas hanya akan

jauh menjelaskan tentang relasi yang terjadi pada

dimaknai sebagai objek atau benda yang tidak

perempuan dengan disabilitas juga masih belum

bermanfaat selain alat pemuas pihak lain yang lebih

nampak. Padahal unit keluarga merupakan sebuah

berkuasa.

organisasi kecil dalam lingkungan masyarakat yang
memiliki porsi dominan dalam membentuk nilai

Secara teoritis, pendekatan gender dan feminisme

serta pola perilaku setiap individu.

telah berupaya untuk mencapai seluruh ranah yang
menjadi bagian dari interaksi gender. Chafetz

Demikian halnya ketika masuk pada ruang politik

(1999) misalnya, dalam Handbook of the Sociology of

yang dianggap sebagai arena yang lebih menjanjikan

Gender

bagi

juga

telah

menurunkan

pendekatan gender hampir

beberapa

individu

untuk

menegosiasikan

ritual

kepentingan atas keberadaanya sebagai agency.

berinteraksi.

Tanpa terkecuali perempuan, area politik ini

Penjelasan teori yang paling mendekati adalah yang

menjadi sasaran penting yang harus diagendakan

disebutkan Kronenfeld (1999) tentang penyakit

agar perempuan tidak lagi diabaikan dari proses

mental. Namun penjelasan tersebut hanya terbatas

perumus kebijakan hingga eksekusi pengambilan

pada

keputusan.

keseharian

masyarakat

argumentasi

ke dalam

setiap

dalam

tentang

perbedaan

status

Esterchild

(1999)

berargumentasi

penyakit mental antara perempuan dan laki-laki.

bahwa absennya perempuan dalam percaturan

Disebutkan bahwa jumlah pengidap penyakit

politik sudah jelas bahwa memang ada konstruksi

mental antara laki-laki dan perempuan lebih

yang dimainkan secara sosial dan budaya untuk

disebabkan oleh perbedaan beban peran gender

mengukuhkan anggapan bahwa perempuan tidak

yang dibebankan oleh struktur masyarakat. Akan

layak untuk dipasangkan dengan laki-laki dalam

tetapi hal tersebut belum cukup memberikan

kemampuan berpolitiknya. Perempuan terlalu sulit

sumbangsih teori pada dinamika perempuan

untuk beradaptasi karena kewajiban-kewajiban

disabel. Selain ada istilah yang juga masih

domestik yang dilekatkan. Adanya wacana bias

diskriminatif yakni penyakit

illness , berbagai

tersebut yang menjadi dasar kuat untuk mendobrak

masalah-masalah yang mungkin menjadi bagian dari

berbagai batasan agar perempuan mulai dapat

perempuan dengan disabilitas sama sekali belum

diperhitungkan. Di Indonesia, gagasan ini direspon

nampak.

kuat dengan wacana kuota 30% perempuan di
jajaran legislatif. Alasannya, adalah untuk menjamin

Dalam unit terkecil keluarga, melalui catatan Bielby

perempuan sebagai kelompok rentan yang memiliki

(1999) dijelaskan tentang pola perubahan yang

kepentingan berbeda seperti kesehatan reproduksi

terjadi dalam relasi rumah tangga antara terkait

dan seksual. Namun sepertinya gerakan-gerakan ini

dengan kehadiran pola ekonomi modern dimana
kemudian

sebuah

keseimbangan

juga kembali menarik paham universal dalam

hubungan

kelompok perempuan itu sendiri. Gerakan-gerakan

diterjemahkan melalui pembagian kerja antara laki60

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

perempuan sedikit mengabaikan bahwa perempuan

perempuan yang lesbian atau perempuan yang

juga terdiferensiasi lagi ke dalam beberapa jenis

waria. Namun, lagi-lagi Butler juga tidak secara

seperti perempuan dengan disabilitas. Dalam

eksplisit mengakomodir fenomena lain di luar

beberapa

variasi

hal

atau

pada

konteks

kesehatan

identitas

perempuan-perempuan

yang

reproduksi misalnya, seluruh perempuan memang

lesbian atau waria tersebut. Argumentasinya

dapat dikatakan memiliki kebutuhan yang berbeda

berhenti pada perdebatan tentang keberadaan

dengan laki-laki. Namun ternyata porsi atau besaran

perempuan

kebutuhan setiap perempuan berbeda dan inilah

homoseksual.

yang penting untuk menjadi perhatian serius agenda

dalam

relasi

heteroseksual

dan

Oleh karena itu Thomson (2002) menggarisbawahi

perjuangan perempuan yang belum final tersebut.

untuk perlunya menghadirkan kelengkapan studi

Butler sebetulnya dapat menjadi harapan untuk

feminis dengan mempertimbangkan keberadaan

mendekatkan pendekatan-pendekatan feminisme

perempuan dengan disabilitas. Teori yang dinamai

untuk membedah tentang kehidupan perempuan

dengan Feminist Disability memiliki misi besar untuk

dan disabilitas. Dalam bukunya Bodies That Matter,

melampaui topik-topik umum disabilitas yang

berbagai macam penjelasan bahwa konsepsi tubuh

cenderung

merupakan wilayah yang sangat politis dalam

kesehatan (health), kecantikan, genetik, usia, dan

menerjemahkan identitas manusia. Bagi Butler

teknologi reproduksi. Lebih jauh, Feminist Disability

(1993), tubuh merupakan sebuah hasil ciptaan yang

akan lebih menfokuskan pada perempuan yang

berulang-ulang dipertontonkan untuk sampai pada

mengkaitkan konsep tubuh, politik, medikalisasi

asumsi tentang kebenaran. Proses ini dianggap tidak

tubuh, multikulturalisme, seksualitas, konstruksi

dapat menjelaskan tentang pangkal dari kelahiran

sosial atas identitas dan komitmen untuk integrasi

sebuah

(Thomson, 2002).

tubuh

sebagai

sebuah

definisi

yang

terbatas

pada

penyakit

(illness),

sebenarnya. Tubuh akan bertahan sebagai sebuah
bagian dari kehidupan hanya jika memiliki label
gender tertentu seperti laki-laki atau perempuan
C. Politik Pengakuan Perempuan dengan
Disabilitas: Transformasi Disabilitas Model
Individu ke Model Sosial

dimana seseorang akhirnya kehilangan makna
individunya

dalam

menentukan

pilihannya.

Pendekatan tentang konsep tubuh ini sebetulnya
menarik untuk dijadikan landasan berfikir dalam
Perempuan dengan disabilitas korban gempa

menjelaskan perempuan dengan disabilitas bahwa

mampu mengartikulasikan kepentingan kelompok

ternyata dimensi tubuh setiap perempuan itu tidak

disabel secara umum di Yogyakarta. Perempuan

hanya berhenti pada identitas perempuan yang

yang sejak kecil disosialisasikan untuk bisa bertahan

dilekatkan sebelumnya. Namun mereka mengalami
akumulasi

pengalaman

yang

dalam kondisi apapun ternyata membuktikan

akhirnya

bahwa mereka tidak hanya bisa bertahan saja tetapi

menempatkan mereka untuk menyandang status
perempuan

dengan

disabilitas,

sama

mampu

dengan
61

merubah

konstruksi

sosial

dalam

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

masyarakat

dalam

memandang

disabilitas,

menganggap mereka penyandang disabilitas adalah

setidaknya di lingkungan tempat tinggal mereka.

anggota

Dengan hadir sebagai penyandang disabilitas baru,

beruntung

dan

mereka

disabilitas

adalah

memberikan

masyarakat

bahwa

perspektif

baru

yang

tidak

terbelakang,

menganggap

masalah

sosial.

tidak

masalah
Mereka

merupakan

menganggap masalah disabilitas adalah masalah

keniscayaan termasuk keberagaman dalam hal fisik

individu disabel dan keluarganya sehingga tidak

sehingga masyarakat tidak lagi terkotak dalam

layak untuk dicampuri. Bahkan stigma yang berakar

kriteria normalcy bahwa yang memiliki kondisi fisik

kuat dalam masyarakat masih menganggap bahwa

berbeda dengan yang umumnya dimiliki oleh

menjadi atau terlahir sebagai disabel merupakan

anggota masyarakat dianggap sebagai tidak normal.

hukuman dari

Kriteria

menghegemoni

keluarganya layak menjalani penderitaan tersebut

masyarakat sehingga anggota masyarakat dengan

di dunia. Cara pandang moral model tersebut

disabilitas

kemudian

tersebut

keberagaman

dalam

masyarakat

sejak

cenderung

lama

disembunyikan

oleh

Tuhan sehingga mereka dan

bergeser

setelah

gempa

terjadi.

keluarganya, seolah-olah dilindungi supaya tidak

Perempuan yang porsinya lebih banyak menjadi

menjadi bahan ejekan di lingkungan sekitarnya dan

penyandang disabilitas karena gempa mampu

tidak pantas untuk disejajarkan sama dengan

menggerakkan aktivitas dalam DPO (Disabled People

anggota masyarakat lainnya. Kini, dalam konteks

Organization) yang banyak tersebar di Bantul dan

perjuangan perempuan, tidak hanya kesetaraan

Yogyakarta. Mereka mampu terus menjalankan

dengan laki-laki saja yang diperjuangkan tetapi juga

aktivitas dalam organisasi karena sudah terbiasa

bagaimana

martabat

melakukan multitasking meskipun mereka juga

perempuan disabel tidak hanya dalam konteks

punya tanggung jawab bekerja dan merawat

kultur androsentris tetapi mengakui keberadaan

keluarganya. Salah satu informan yang juga salah

perempuan tersebut dalam konteks pergaulan yang

satu Ketua DPO mengatakan:

mengakui

derajat

dan

heterogen (Lugones and Spelman 1983; Spelman
1988 dalam Baum, 2004).

Secara presentase ibu-ibu disabel punya

Dalam studinya, Henriatta Moore (dalam Baum,

SDM lebih bagus daripada bapak-bapak

2004) menyebutkan bahwa mengakui perbedaan

disabel. Mereka rata-rata lulusan SMA,

tidak hanya sekedar mendiamkan keberbedaan itu

sementara bapak-bapak hanya lulusan SD.

terjadi, tetapi realisasi dari pengakuan itu juga harus

Melihat kemampuan mereka, maka pantas

diwujudkan yaitu transformasi sosial dalam konteks

kalau jadi ketua. Karena ibu-ibunya punya

dimana kelompok masyarakat hidup. Dalam konteks

lumayan banyak waktu, sedangkan bapak-

perempuan korban gempa, keberadaan mereka

bapak kerja untuk kehidupan ekonomi

menjadi pembelajaran bagi masyarakat di Bantul,

sehingga jarang bisa aktif dalam organisasi.

Klaten dam Yogyakarta bahwa ada perbedaan lain

Yang jelas, kalau ibu-ibu pendidikannya

selain perbedaan budaya, agama, etnis, dan jenis

tinggi sehingga bisa organisasi tetap bisa

kelamin. Sebelum gempa terjadi, masyarakat

jalan sampai sekarang.
62

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

Keterlibatan
disabilitas

perempuan
ternyata

dalam

tidak

organisasi

Saya selalu diberi alat-alat dan kursi roda

memberi

baru dari lembaga baik itu lokal dan

hanya

pembelajaran bagi masyarakat akan keberbedaan,

internasional.

tetapi mampu merubah perspektif medikalisasi atau

bantuan-bantuan

perspektif individual model disabilitas menuju ke

kenyataannya tidak saya pakai, karena kursi

perspektif sosial model disabilitas. Cara pandang

roda itu yang dikatakan lebih mempermudah

medical model yang juga disebut sebagai individual

kita untuk melakukan mobilitas ternyata

model melihat disabilitas dari sudut pandang medis

justru membuat tubuh kita mudah lelah dan

(kesehatan). Cara pandang ini mendefinisikan

menyulitkan saya untuk melakukan aktivitas

disabilitas sebagai sebuah kelemahan fisik dan

pribadi dengan mandiri

Saya

selalu

menerima

tersebut

tetapi

mental yang berakibat pada keterbatasan individu
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Medical atau
Cara pandang medis dam individual ini oleh Michael

individual model memahami disabilitas sebagai

Oliver (1996) kemudian dibantah dan membuat

personal tragedy atau kecelakaan individu yang

paradigma baru dalam melihat disabilitas yaitu

harus disembuhkan seperti orang normal lainnya

paradigma social model dimana disabilitas dilihat

dalam kacamata medis. Para dokter, perawat

sebagai persoalan sosial yang menyangkut masalah

kesehatan dan ahli terapi fisik adalah kelompok

sistem ekonomi, kebijakan, prioritasi terhadap

yang memiliki kekuasaan dalam menentukan

sumber daya, soal kemiskinan, pengangguran, dan

keputusan dan kebijakan atas kehidupan para

sistem pelayanan medik yang sudah dilakukan oleh

penyandang disabilitas. Dari sini muncul ide

masyarakat sejak lama terhadap penyandang

pembangunan Pusat Rehabilitasi Medik yang

disabilitas. Masalah dasar yang dhadapi oleh

tujuannya adalah menormalisasi tubuh pasien

penyandang disabilitas dalam paradigma ini adalah

sehingga bisa mendekati normal. Akibatnya mereka

rendahnya pengakuan atau penerimaan masyarakat

justru tereksklusi dan frustasi karena proses
penormalan

yang

menyakitkan

dan

terhadap

terjadi

dihadapi oleh panyandang disabilitas adalah tidak

normal dianggap sebagai disabel yang malas, tidak

meratanya distribusi atau akses teknologi, asistensi

mau belajar dan putus asa. Padahal untuk kembali

terhadap penyandang disabilitas

menjadi normal jelas tidak mungkin sehingga proses
membuat

disabilitas

Adapun bentuk nyata dari permasalahan yang

disabel. Seolah-olah yang tidak berusaha menjadi

hanya

penyandang

sebagai bagian intergral dari kehidupan masyarakat.

pengabaian hak mereka untuk tetap menjadi

normalisasi

keberadaan

yang

masih

menggunakan paradigma medik, tidak adanya

frustasi

pencitraan yang baik di media massa dan

berkepanjangan, rendah diri dan menjadikan

penempatan penyandang disabilitas dalam pusat

kelompok disabel seperti objek yang bisa menjadi

rehabilitasi. Lebih jauh oleh Maduqi (2011)

bahan intervensi dan percobaan dokter kapan saja.

dijelaskan bahwa paradigma social model ini

Salah seorang informan mengatakan bahwa:
63

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

memandang persoalan penyandang disabilitas

pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi mereka mulai

secara utuh dan menyeluruh sehingga pandangan

bertransformasi

ini banyak dianut oleh para aktivis disabilitas di

kepentingan dan hak-hak individual mereka secara

seluruh dunia. Penempatan disabilitas sebagai

kolektif. Pengusahaan akan terpenuhinya hak-hak

persoalan kolektif masyarakat telah merangsang

sosial dan sipil tersebut merupakan tindakan yang

berkembangnya

penyandang

membawa perubahan yang sangat berarti bagi

disabilitas di banyak negara tidak terkecuali di

disabel lain secara keseluruhan. Berikut komentar

Indonesia. Sosial model tersebut oleh Oliver (1996)

salah satu informan:

gerakan

sosial

dengan

mengekspresikan

digambarkan sebagai berikut:
Kalau di Pleret semuanya relatif lebih mudah
bagi disabel. Disini kan ada kelompok DPO

Disability Model

namanya Barakah ketuanya Mbak Purwanti

The Individual Model

The Social Model

Personal tragedy theory
Personal problem
Individual treatment
Medicalisation
Professional dominance

Social oppression theory
Social problem
Social action
Self help
Individual and collective
responsibilities
Experience
Affirmation
Collective identity
Discrimination
Behaviour
Rights
Choice
Politics
Social change

beliau

Expertise
Adjustment
Individual identity
Prejudice
Attitudes
Care
Control
Policy
Individual adaptation

pinter

sekali.

Beliau

pernah

mengadakan pertemuan antar DPO dengan
Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan
dan dengan Pemerintah Kabupaten Bantul
yaitu Dinas Sosial. Dalam pertemuan tersebut
dicapai kesepakatan bahwa kegiatan DPO
dimasukkan

ke

dalam

agenda

Musrenbangdes. Alhamdulillah sudah gol
sehingga kemarin desa di Pleret dana
stimulan untuk DPO Barokah. Harapan saya
bisa ditindaklanjuti kelompok-kelompok lain
karena yang nama-nya mengurusi orang
cacat bukan tugas kita semata

Sumber: Michale Oliver dalam Understanding
Disability: From Theory to Practice , Palgrave (1996)

Perjuangan gerakan mereka tentu saja tidak
Bagaimana kualitas hidup penyandang disabilitas

semudah membalikkan telapak tangan karena

terutama kaum perempuan setelah 6 tahun gempa

stigma negatif yang kuat terhadap penyandang

dan

dalam

disabilitas tidak mudah dihilangkan dari benak

lainnya

masyarakat. Dengan prestasi-prestasi kecil di

membawa keuntungan bagi gerakan penyandang

tingkat desa, mereka mulai membangun citra positif

disabilitas secara umum daerah Bantul, Klaten dan

mengenai

Yogyakarta. Jika melihat perjuangan meningkatkan

menguntungkan bagi kondisi penyandang disabel

kualitas

secara

bagaimana

mengadvokasi

hidup

aktivitas

perempuan

mereka

mereka
disabel

masih

sebatas

pada
64

penyandang

keseluruhan.

disabilitas

Mereka

yang

dan

ini

dulunya

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

tersembunyi dalam ruang-ruang kotak di rumah

perempuan seperti Rifka Annisa supaya

mereka mulai berani coming-out dan bergabung

mereka juga mengerti bahwa ada eksklusi

dalam aktivitas sosial di DPO. Aktivitas-aktivitas

jika

yang beragam dalam DPO yang banyak tersebar di

kondisinya sama. Harus ada pembahasan dan

Bantul, Klaten dan Yogyakarta disabel juga mulai

penanganan yang berbeda jika berbicara

diakui oleh pemerintah sehingga mereka bisa secara

mengenai perempuan dengan disabilitas.

menganggap

semua

perempuan

langsung mengkases dana dari pemerintah yang
sebelumnya

dimonopoli

oleh

YPCI

(Yayasan
Selain itu, perjuangan bagi pengakuan kelompok

Penyandang Cacat Indonesia). Seorang aktivis salah

perempuan dengan disabilitas adalah perjuangan

satu LSM disabilitas yang bernama Nina mengakui

supaya mereka bisa melakukan mobilitasfisik secara

bahwa jalan panjang bagi kesetaraaan masih

mandiri, coming out dan berpartisipasi dalam

panjang tetapi ada optimisme bagi perjuangan

kegiatan di masyarakat. Selain itu, akses terhadap

gerakan perempuan disabel di daerah Yogyakarta

jaminan kesehatan terhadap penyandang disabilitas

dan sekitarnya karena makin banyak perempuan
yang

terlibat

dalam

advokasi

bagi

merupakan prioritas utama dari gerakan ini.

disabel

Anggota-anggota dalam DPO selalu dimotivasi tetap

perempuan mengingat perempuan sangat rentan

bertahan dalam aktivitas di DPO supaya mereka

pelecahan, penindasan dan kekerasan. Dalam hal

tidak tersembunyi dalam pergaulan di masyarakat.

seksualitas mereka juga masih terpinggirkan artinya

Mereka tetap berupaya supaya masyarakat umum

belum dibahas dalam diskursus gender dan

terbiasa melihat dan bergaul dengan disabel

seksualitas. Padahal banyak miskonsepsi mengenai
dinamika

perempuan

dengan

disabilitas

sehingga

dan

dari

pelibatan

akses ke lapangan pekerjaan dan lain-lain. Meskipun

yang masih bisa melakukan aktivitas seksual dan

sangat sedikit dari mereka yang bekerja di ranah

secara biologis produktif tetapi wacana umum

publik tetapi beberapa yang berhasil masuk menjadi

menganggap mereka sebagai makhluk tidak utuh,

dalam industri service seperti menjadi operator

aseksual dan tidak mempunyai gairah. Menurut

telepon hotel berbintang, menjadi manajer proyek di

aktivis tersebut, pendidikan mengenai disabilitas

LSM lokal maupun internasional dan lain-lain.

dan seksualitas sangat diperlukan terutama untuk
bagi

luput

berupaya mengatasi masalah hambatan dalam hal

dan tidak produktif sama sekali tidak benar. Banyak

kenyamanan

pernah

pengambilan keputusan dan lain-lain. Mereka juga

seksualitas. Pemahaman bahwa mereka aseksual

memberikan

tidak

Pengakuan akan hak sipil mereka juga dibuktikan

penyandang

dengan diijinkannya secara resmi bagi penyandang

disabilitas dan meluruskan stigma yang selama ini

disabilitas untuk mengendarai sepeda motor roda

melekat pada diri mereka. Dalam wawancara

tiga dengan dikeluarkannya SIM D untuk mereka.

dengan aktivis tersebut didapat informasi mengenai

Perjuangan bagi pengakuan tersebut tidak hanya

perjuangan mereka:

terhenti pada advokasi dalam mengakses asuransi

Ya sedikit-sedikit mbak kita melakukan

kesehatan,

advokasi ke lembaga-lembaga advokasi
65

bantuan

pemerintah,

tetapi

juga

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 2, 2012
Politik Pengakuan Perempuan dengan Disabilitas Pasca Bencana Gempa di Yogyakarta
Fina Itriyati dan Desintha Dwi Asriani

elaborasi lebih lanjut. Mulai dari being bagaimana

pengakuan dalam kancah pergaulan secara umum,
bagaimana masyarakat menyadari keberadaan

terpenuhi kebutuhan kesehatan fisik, psikologis dan

disabel sama eksisnya dengan mereka yang bukan

spiritual menuju Belongingyaitu bagaimana mereka

disabel.

terpenuhi kebutuhan dalam mengakses lingkungan

Saat

ini,

pengakuan

yang

sedang

diperjuangkan oleh perempuan dengan disabilitas

fisiknya,

secara khusus dan penyandang disabilitas secara

pendapatan serta yang paling penting adalah

umum

mengatasi

becoming bagaimana mereka bebas dan mandiri

masalah utama yaitu dalam mengakses fasilitas

dalam melakukan aktivitas keseharian, mempunyai

publik dan mengkampanyekan bagi pembangunan

waktu dan kondisi yang nyaman bagi peningkatan

infrastruktur yang ramah disabel. Di India, dalam

pengetahuan dan ketrampilannya.

adalah

bagaimana

mereka

struktur patriarki yang begitu kuat dan dogma
agama

yang

sangat

kental,

kondisi

disabel

tidak tersentuh oleh penyandang disabilitas mulai
berkurangnya

perjalanan udara, hotel berbintang dan parkir mobil

stigma

terhadap

penyandang

disabilitas secara umum, akses terhadap hak sipil,

khusus disabel yang notabene hanya sedikit dari

sosial dan politik serta pengakuan dari masyarakat

populasi disabel di India yang bisa mengaksesnya.

akan hadirnya mereka di tengah pergaulan yang

Dari pengalaman tersebut, sosialisasi dan solusi

heterogen. Gerakan perempuan disabel pasca

yang diperlukan bagi gerakan perempuan dan

gempa mampu menginspirasi bagi