Mikroenkapsulasi Vitamin E Pfad Dengan Campuran Galaktomanan Kolang-Kaling dan Gum Acasia Menggunakan Metode Spray Drying

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vitamin E
Vitamin E adalah nama umum untuk dua kelas molekul (tokoperol dan tokotrienol)
yang memiliki aktivitas vitamin E dalam nutrisi. Vitamin E bukan nama untuk setiap
satuan bahan kimia spesifik namun, untuk setiap campuran yang terjadi di alam yang
menyediakan fungsi vitamin E dalam nutrisi.
Vitamin E alami secara normal diperoleh kembali dari PFAD bukan dari
minyak nabati yang sudah direfining (Fizet, 1993). Vitamin E stabil pada pemanasan
suhu rendah namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Vitamin E bila terkena
oksigen di udara, akan teroksidasi secara perlahan-lahan. Sedangkan bila terkena
cahaya warnanya akan menjadi gelap secara bertahap.
Vitamin E mempunyai delapan bentuk yang berbeda, empat rantai tokoperol
dan empat rantai tokotrienol, dengan gugus hidroksil yang dilingkari atom hidrogen
untuk menghasilkan radikal bebas dan sebuah rantai hidrofobik sebagai penetrasi
dalam membran biologi. Tokoperol dan tokotrienol terdiri dari bentuk alfa, beta,
gamma dan delta yang dibedakan dari gugus metil pada cincin kromonol. Tiap bentuk
mempunyai aktivitas biologi yang berbeda-beda.
Semua tokoperol alami mempunyai 3 pusat kiral dan masing-masing
mempunyai konfigurasi R (misalnya α-tokoperol alami : 2R, 4’R, 8’R) sedangkan

untuk vitamin E sintetik secara umum menggunakan campuran rasemat yang memiliki
konfigurasi R dan S ( 2R, S, 4’RS, 8’RS, α-tokoperol). Aktivitas biologi stereoisomer
α-tokoperol terutama dilakukan kiralitas atom karbon nomor 2 atom karbon kromonol
cincin siklik yang mengikat rantai hidrokarbon panjang.

7

Universitas Sumatera Utara

8
R1

OH

R2

O
R3

Tokoperol

R1

OH

R2

O
R3

Tokotrienol

R1, R2, R3 = CH3 α-tokoperol atau tokotrienol
R1, R3 = CH3, R2= H β- tokoperol atau tokoterienol
R1=H, R2, R3= CH3 γ- tokoperol atau tokotrienol
R1,R2 =H , R3 = CH3 γ- tokoperol atau tokotrienol
Gambar 2.1. Struktur Vitamin E dalam bentuk Tokoperol dan Tokotrienol
Minyak sawit mengandung vitamin E antara 600-1000 ppm yang merupakan
campuran tokoperol (21-31%) dan tokotrienol (66-79%). Sayangnya, vitamin E yang
terdapat dalam minyak sawit sebagian hilang selama proses pengolahan. Tokoperol
dan tokotrienol diyakini memiliki aktivitas anti oksidan yang kuat. Keduanya dapat

memainkan peran untuk menghambat peroksidasi lipida dengan mematahkan serangan
singlet oxygen oxidation

(oksidasi oksigen singlet) dan memusnahkan serangan

radikal bebas. Dengan demikian berperan sebagai quenching singlet oxygen karena

Universitas Sumatera Utara

9

reaksinya dapat memberikan elektron kepada oksigen singlet dan sebagai free radical
scavenger karena kemampuanya menangkap radikal bebas (Schwartz et al., 2008).

2.2. Aren (Arenga pinnata)
Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah
tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai agroklimat mulai dari
dataran rendah hingga 1.400 meter diatas permukaan laut. Aren merupakan tumbuhan
berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah.
Aren banyak ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh,

Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Selatan. Tanaman aren belum dibudidayakan dan sebagian besar masih
menerapakan teknologi yang minim (Anonim, 2009). Adapun sistematika tanaman
aren adalah sebagai berikut:
Kingdom

:

Plantae

Divisi

:

Magnoliophyta

Kelas

:


Liliopsida

Ordo

:

Arecales

Famili

:

Areacaceae

Genus

:

Arenga


Spesies

:

A. pinnata

Tinggi batang tanaman aren berkisar antara 8-20 m sehingga untuk menyadap
nira diperlukan tangga. Tanaman berbunga setelah berumur 7-12 tahun. Tandan bunga
muncul dari setiap pelepah atau bekas pelepah daun, mulai dari atas kira-kira
seperempat dari pucuk kearah bawah. Bunga pada tandan pertama hingga kelima atau
enam adalah bunga betina, baru disusul bunga jantan yang muncul secara bertahap
hingga ke pangkal batang atau 2-3 m di atas tanah.
Seluruh bunga betina akan masak dalam 1-3 tahun. Bunga betina yang masih
muda dapat diolah menjadi buah aren atau kolang-kaling. Buah aren terbentuk setelah
terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah aren

Universitas Sumatera Utara

10


berbentuk bulat berdiameter 4 – 5 cm, di dalamnya berisi biji 3 buah, masing masing
terbentuk seperti satu siung bawang putih.
Bagian – bagian dari buah aren terdiri dari :
1. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning
setelah masak.
2. Daging buah, berwarna putih kekuning – kuningan.
3. Kulit biji, berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam
yang keras setelah buah masak.
4. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak
pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada
waktu buah sudah masak.
Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian
buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah
aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit,
karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat
kolang-kaling.
Kolang-kaling adalah endosperm biji buah aren yang berumur setengah masak
setelah melalui proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang-kaling, maka benda
ini mejadi lunak, kenyal, dan berwarna putih agak bening (Sunanto, 1993).Tiap buah
aren mengandung tiga biji. buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis,

lembek dan berwarna kuning, inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan
lembek, endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling (Mogea et al, 1991).
Adapun cara untuk membuat kolang-kaling sebagai berikut : buah aren dibakar
dengan tujuan agar kulit luar dari biji dan lendir yang menyebabkan rasa gatal pada
kulit hilang. Biji-biji yang hangus, dibersihkan dengan air sampai dihasilkan inti biji
yang bersih.Buah aren direbus dalam belanga/kuali sampai mendidih selama 1-2 jam,
sehingga kulit biji menjadi lembek dan memudahkan untuk melepas atau memisahkan
dari inti biji. Inti biji ini dicuci berulang-ulang sehingga menghasilkan kolang-kaling
yang bersih.

Universitas Sumatera Utara

11

Untuk menghasilkan kolang-kaling yang baik, bersih dan kenyal, inti biji yang
sudah dicuci diendapkan dalam air kapur selama 2 – 3 hari. Setelah direndam dalam
air kapur, maka kolang-kaling yang terapung inilah yang siap untuk dipasarkan.
Analisis terhadap kolang-kaling memperlihatkan komposisi kimia yang dikandung
berdasarkan berat keringnya adalah 5,2% protein, 0,4% lemak, 2,5% abu, 39% serat
kasar dan 52.9% karbohidrat (Nisa, 1996). Kolang-kaling memiliki kadar air sangat

tinggi, hingga mencapai 93,8% dalam setiap 100 gram-nya. Kolang-kaling juga
mengandung protein dan karbohidrat serta serat kasar.
Selain memiliki rasa yang menyegarkan, mengkonsumsi kolang-kaling juga
membantu memperlancar kerja saluran cerna manusia. Kandungan karbohidrat yang
dimiliki kolang kaling bisa memberikan

rasa kenyang bagi orang

yang

mengkonsumsinya, selain itu juga menghentikan nafsu makan dan mengakibatkan
konsumsi makanan jadi menurun, sehingga cocok dikonsumsi sebagai makanan diet.
Kolang-kaling juga dapat digunakan sebagai coktail dan makanan ringan lokal seperti
kolak (Orwa et al., 2009). Karbohidrat di dalam kolang-kaling pada umumnya adalah
galaktomanan dengan berat molekul beragam dari 6000 sampai dengan 17000
(Koiman, 1971).

2.3. Galaktomanan
Kebanyakan tumbuh-tumbuhan memiliki cadangan polisakarida yang secara biologis
tidak memiliki fungsi apapun terkecuali sebagai cadangan sumber karbon untuk

bertumbuh. Tumbuhan dari famili Poaceae seperti misalnya gandum, padi, maize dan
lainnya memiliki cadangan polisakarida.
Tumbuhan lainnya dari keluarga legume memiliki cadangan polisakarida dalam
bentuk galaktomanan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan dari 163 spesies
tumbuhan dari keluarga legume ini, 119 diantaranya menyimpan cadangan
polisakaridanya dalam bentuk galaktomanan (Mathur, 2012). Galaktomanan ini
memiliki selain sebagai cadangan makanan juga berfungsi menyimpan air untuk
mencegah terjadinya kekeringan pada tumbuhan (Srivastava et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 2.2. Struktur Umum Gaktomanan (Cerqueira et al., 2009a).
Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama
β-(1-4)-D-manopiranosa dengan satu unit cabang α-D-galaktopiranosa yang terikat
pada posisi α-(1-6). Galaktomanan dari masing-masing tanaman berbeda-beda pada
rasio manosa dan galaktosa, distribusi galaktosa pada rantai manosa dan berat
molekulnya.
Tingkat kekentalan galaktomanan bila dilarutkan dalam air sangat tergantung

pada ukuran molekulnya dan bila ditambahkan polisakarida lainnya seperti xantan
maka akan terbentuk gel (Morris et al., 1977). Kelebihan utama dari galaktomanan ini
dibandingkan polisakarida lainnya adalah kemampuannya untuk membentuk larutan
yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah dan hanya sedikit dipengaruhi oleh
pH, kekuatan ionik dan pemanasan.
Viskositas galaktomanan sangat konstan sekali pada kisaran pH 1 – 10,5 yang
kemungkinan disebabkan oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun
demikian apabila galaktomanan akan mengalami degradasi pada kondisi yang sangat
asam atau basa pada suhu tinggi.

Universitas Sumatera Utara

13

Sifat fisikokimia galaktomnan dapat dikarakterisasi dengan menggunakan
beberapa peralatan dan teknik yang berbeda. Parameter-parameter yang penting dalam
karakterisasi galaktomanan adalah perbandingan manosa dan galaktosa, berat molekul
rata-rata, bentuk struktur dan viskositas intrinsiknya. Rasio manosa dan galaktosa
dapat ditentukan dengan menggunakan kromatografi gas atau dengan kromatografi
pertukaran anion tekanan tinggi setelah terlebih dahulu dihidrolisis dengan
menggunakan asam.
Berat molekulnya dapat ditentukan dengan menggunakan size exclusion
chromatography sedangkan distribusi galaktosa pada rantai manannya dapat
dikarakterisasi
menggunakan

dengan
metode

menggunakan

spektroskopi13

enzimatis dengan

enzim

C-NMR

β-D-mannanase

atau
yang

dengan
akan

mendegradasi galaktomanan secara spesifik. Viskositas intrinsik dapat ditentukan
dengan menggunakan viskometer kapiler dan persamaan Huggins & Kramer’s untuk
menentukan viskositasnya (Cerqueira et al., 2009b).
Rasio manosa dan galaktosa tergantung pada sumber galaktomanan tersebut
dan umumnya berkisar pada 1,1 sampai dengan 5,0. Galaktomanan dengan kandungan
galaktosa yang besar umumnya mudah larut dalam air dan kecenderungannya untuk
membentuk gel sangat rendah dibandingakn galaktomanan dengan rasio galatosa yang
rendah. Kelarutan yang sanga ttinggi tersebut oleh banyaknya rantai cabang sehingga
rantai manosa menjadi sukar untuk berinteraksi secara intermolekuler (Srivastava and
Kapoor, 2005).

2.4. Gum Acasia
Gum acasia, juga dikenal sebagai gum arabic, terjadi sebagai garam netral atau sedikit
asam polisakarida kompleks dengan beberapa ion kalsium, magnesium dan ion kalium
(Williams & Phillips, 2000). Industri sering menggunakan gum acasia sebagai koloid
pelindung dan emulsifier (Fang, Al-Assaf, Phillips, Nishinari, & Williams, 2010). Hal
ini diperoleh dari eksudasi pohon, Acacia senegal dan Acacia seyal, dua spesies akasia
yang dieksploitasi secara komersial, terutama di Afrika dan Asia. Brasil adalah salah

Universitas Sumatera Utara

14

satu negara yang mengimpor gum acasia untuk digunakan dalam berbagai produk
(Stein & Tonietto, 1997).
Penggunaan gum acasia mulai kembali oleh orang Mesir yang menggunakan
mereka sebagai perekat dan stabilisa tor tinta. Saat ini, penggunaannya diperpanjang
untuk kosmetik, farmasi, litografi dan makanan. Sifat-sifat eksudat gum acasia
dipengaruhi oleh usia pohon, jumlah curah hujan, musim eksudasi dan jenis
penyimpanan (Aspinall, Carlyle & Young, 1968).
Fraksi polisakarida gum acasia mengandung 95% dari total karbohidrat dan
terdiri dari Rha, Ara, Gal dan asam uronic dengan perbandingan 13: 31: 39: 17 rasio
molar. Kandungan protein gum acasia adalah di kisaran 4%, menunjukkan adanya
arabinogalactan-protein (AGPS). Hal ini sesuai dengan Aspinall et al. (1968), yang
juga menemukan GlcA dan 4-Me-GlcA eksudat gum acasia mearnsii dikumpulkan di
Jamaika. Menurut Tischer et al. (2002), yang mempelajari tentang gum arabic
komersial diperiksa di sini, gum acasia memiliki asam glukuronat, tetapi tidak 4-Mederivatif, sebagai komponen monosakarida asam (Grein at al., 2013).
Gum acasia merupakan agregat kompleks dari gula dan hemi selulosa. Inti
agregat terdiri dari sebuah inti sama acasia untuk terhubung kalsium, magnesium, dan
kalium bersama dengan gula arabinosa, galaktosa dan ramnosa (Gambar berikut).
Struktur ini menstabilkan bahan aktif Vitamin E agar tidak mudah teroksidasi
(Kresnawaty, at al., 2012).

Gambar 2.3. Strukturur Gum Acasia

Universitas Sumatera Utara

15

2.5. Spray Dryer
Pengeringan merupakan suatu proses pemisahan sebagian besar air dari bahan baik
dalam bentuk evaporasi maupun sublimasi sebagai hasil dari penerapan panas.
Pengeringan suatu bahan dilakukan dengan tujuan memperpanjang daya simpan
produk, mengurangi volume dan berat produk dan sebagai tahapan proses antara.
Pengeringan dilakukan baik pada suhu tinggi maupun suhu rendah. Pada pengeringan
suhu tinggi berupa penggunaan energi panas untuk merubah fase air menjadi uap dan
membuang uap air dalam bahan. Sementara pengeringan suhu rendah merupakan
penggunaan energi panas untuk merubah es menjadi uap air dan membuang uap air
keluar dari bahan. Jenis-jenis pengeringan yang banyak digunakan antara lain
pengeringan matahari (sun drying) pengeringan atmosferik (solar drying, cabinet
drying, tunnel drying, conveyor drying, drum drying, spray drying), dan pengeringan
sub atmosferik (vacuum drying, freeze drying). Pemilihan metode pengeringan
didasarkan pada kualitas hasil akhir yang diinginkan, sifat bahan dasar dan biaya.
Spray drying menjadi pilihan dalam proses pengeringan produk dengan hasil akhir
berupa bubuk. Susu maupun kopi bubuk merupakan produk yang menggunakan proses
pengeringan metode spray drying.
Spray drying merupakan suatu proses pengeringan untuk mengurangi kadar air
suatu bahan sehingga dihasilkan produk berupa bubuk melalui penguapan cairan.
Spray drying menggunakan atomisasi cairan untuk membentuk roplet, selanjutnya
droplet yang terbentuk dikeringkan menggunakan udara kering dengan suhu dan
tekanan yang tinggi. Bahan yang digunakan dalam pengeringan spray drying dapat
berupa suspensi, dispersi maupun emulsi. Sementara produk akhir yang dihasilkan
dapat berupa bubuk, granula maupun aglomerat tergantung sifat fisik-kimia bahan
yang akan dikeringkan, desain alat pengering dan hasil akhir produk yang diinginkan
(Desai & Park, 2005).
Prinsip dasar Spray drying adalah memperluas permukaan cairan yang akan
dikeringkan dengan cara pembentukan droplet yang selanjutnya dikontakkan dengan

Universitas Sumatera Utara

16

udara pengering yang panas. Udara panas akan memberikan energi untuk proses
penguapan dan menyerap uap air yang keluar dari bahan.
Air heater
Air inlet
Perictaltic pump
Atomizer
Liquid feed
Air
outlet
fan

Gambar 2.4. Proses Spray Drying
Bahan (cairan) yang akan dikeringkan dilewatkan pada suatu nozzle (saringan
bertekanan) sehingga keluar dalam bentuk butiran (droplet) yang sangat halus. Butiran
ini selanjutnya masuk kedalam ruang pengering yang dilewati oleh aliran udara panas.
Hasil pengeringan berupa bubuk akan berkumpul dibagian bawah ruang pengering
yang selanjutnya dialirkan kebak penampung. Bentuk khas partikel spray dried adalah
bulat, dengan rata-rata kisaran ukuran 10-100 µm (Gibbs et al., 1999).

2.6. Mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi didefenisikan sebagai suatu proses dimana lapis tipis polimer
dideposisi di sekuliling bahan padat atau pada tetesan cairan (mikrosfer) yang
terbentuk, berukuran beberapa nanometer sampai beberapa ribu nanometer. Istilah
mikrokapsul atau mikroenkapsulan merupakan terminologi yang digunakan untuk hasil
mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulan terdiri dari inti, atau sering disebut nukleus atau

Universitas Sumatera Utara

17

isi dan dinding luar yang disebut kulit. Cangkang atau lapis tipis (film) pelindung
mikroenkapsulan dapat mengandung inti cair atau padat bahkan gas. Oleh karena itu,
zat yang bersifat hidrofil atau hidrofob dapat diisikan ke dalam mikrokapsul /
mikroenkapsulan.
Bidang farmasi, mikroenkapsulasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan :
pengubhan bentuk cairan menjadi padat, pengubahan koloid dan sifat permukaan,
perlindungan terhadap pengaruh lingkungan, pengontrolan pelepasan obat atau
ketersediaan hayati zat yang disalut, pencegahan terjadinya reaksi antara zat-zat yang
tidak tercampur, pengamanan terhadap zat yang beracun dan merusak, penutupan rasa
dan bau yang tidak enak. Selain dari industri farmasi, teknologi mikroenkapsulasi telah
dimanfaatkan pula secara luas di industri makanan, kosmetika, hortikultura, cat,
percetakan, fotografi, komputer, pupuk, adhesif, pembersih dan industri “aerospace”.
Industri plastik secara terus menerus terlibat dalam produksi dan evaluasi polimer baru
yang berpotensi untuk dikembangkan dalam teknologi mikroenkapsulasi.

Gambar 2.5. Proses Pembentukan Mikroenkapsulan
Bentuk mikroenkapsulan dapat berupa globular atau sferoidal, seperti ginjal,
butir padi, flokul dan masif. Dinding dapat berupa lapisan dinding satu lapis atau
beberapa lapis. Mikroenkapsulan dapat mengandung satu atau lebih inti. Inti sebagai
zat yang disalut dapat berupa bahan padat atau cair. Komposisi inti dapat bervariasi,
misalnya beberapa zat padat tunggal atau campuran zat aktif. Zat cair dapat berupa zat
terlarut atau zat terdispersi. Variasi inti dan komposisinya memberikan fleksibilitas
dan kegunaan yang akan mempengaruhi desain dan pengembangan sediaan
mikroenkapsulan (Agoes, 2010).

Universitas Sumatera Utara

18

2.7. Kromatografi
Merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi
antara 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat atau
dalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada
pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa cairan
atau gas. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai
kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase
gerak yang digunakan selalu cair (Bassett et al., 1994).

2.7.1. Kromatografi Gas (GC)
Kromatografi gas adalah metode kromtografi pertama yang dikembangkan pada zaman
instrumen dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan selama lebih dari tiga
puluh tahun. Sekarang kromatografi gas dipakai secara rutin disebagian besar
laboratorium industri dan perguruan tinggi. Kromatografi gas adalah suatu proses
dengan mana suatu campuran menjadi komponen-komponennya oleh fase gas yang
bergerak melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang stasioner (Bassett et al., 1994).
Kromatografi gas dapat dipakai untuk sebagian campuran yang komponennya, atau
akan lebih baik lagi jika semua komponennya mempunyai tekanan uap yang berarti
pada suhu yang dipakai untuk pemisahan. Tekanan uap atau keatsirian memungkinkan
komponen menguap dan bergerak bersama-sama dengan fase gerak yang berupa gas.
Disamping itu, pada kromatografi gas, senyawa yang tak atsiri sering dapat diubah
menjadi turunan yang lebih atsiri dan lebih stabil sebelum kromatografi (Gritter,
1985).
Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan
campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam, mulai dari beberapa
detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang
mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan
menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu

Universitas Sumatera Utara

19

tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam
kolom.
Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah
sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan
fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat
pada zat padat penunjangnya. Sedangkan dalam kromatografi padat-gas, digunakan
suatu zat padat penyerap (Khopkar, 2003). Sistem gas-padat ini telah dipakai secara
luas dalam pemurnian gas dan penghilangan asap, tetapi kurang kegunaanya dalam
kromatografi. Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase
diam yang sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam campuran.
Satu-satunya pembatas pada pemilihan cairan yang demikian ialah bahwa zat cair itu
harus stabil dan tidak atsiri pada kondisi kromatografi.
Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat menggunakan
kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi. Gas dan uap
mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas
dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisi relatif cepat dan sensitivitasnya tinggi.
Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase
diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya adalah teknik ini adalah terbatas untuk zat
yang mudah menguap. Gritter, 1985, mengatakan bahwa kromatografi gas ini tidak
mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam jumlah besar.
Cara kerja kromatografi gas antara lain adalah, sampel diinjeksikan melalui
suatu sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam
sampel akan menguap dan akan di bawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat
terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian akan
merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai
K d masing-masing komponen tersebut. Komponen tersebut terelusi sesuai dengan uruturutan makin membesarnya nilai koefisien partisi (Kd) menuju ke detektor. Detektor
mencatat sederetan sinyal yang timbul akibat perubahan konsentrasi dan perbedaan

Universitas Sumatera Utara

20

laju elusi. Pada alat pencatat sinyal ini akan tampak sebagai kurva antara waktu
terhadap komposisi aliran gas pembawa (Khopkar, 2003).

2.7.2. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan metode yang tidak destruktif
dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. HPLC secara
mendasar merupakan sebuah perkembangan tingkat tinggi dari kromatografi kolom.
Selain dari pelarut yang menetes melalui kolom di bawah pengaruh gravitasi, HPLC
didukung oleh pompa yang dapat memberikan tekanan tinggi sampai dengan 400 atm.
Hal ini membuat HPLC dapat memisahkan komponen sampel lebih cepat. Saat ini,
HPLC merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan
pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel dalam berbagai bidang, antara lain
farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri-industri makanan. Beberapa
perkembangan HPLC terbaru antara lain miniaturisasi sistem HPLC, penggunaan
HPLC untuk analisis asam-asam nukleat, analisis protein, analisis karbohidrat, dan
analisis senyawa-senyawa kiral.
Prinsip kerja dari HPLC (high performance liquid chromatography) adalah
dengan bantuan pompa fasa gerak cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan
dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom
terjadi pemisahan komponen-komponen campuran. Karena perbedaan kekuatan
interaksi antara solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut yang kurang kuat
interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu. Sebaliknya, solutsolut yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka solut-solut tersebut akan keluar
kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram
kromatografi gas. Seperti pada kromatografi gas, jumlah peak menyatakan konsentrasi
komponen dalam campuran. Komputer dapat digunakan untuk mengontrol kerja sistem
HPLC dan mengumpulkan serta mengolah data hasil pengukuran HPLC (Anonim,
2014).

Universitas Sumatera Utara

21

2.8. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk
bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat dipelajari
dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari
struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM menggunakan sinyal
yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar elektron sekunder.
SEM menggunakan prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik
permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan dari satu titik ke titik lain pada
permukaan spesimen. Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan
spesimen maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi
diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau
lubang-lubang, maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan
jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detektor dan akan
diteruskan ke sistem layar. Hasil yang diperoleh merupakan gambaran yang jelas dari
permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi.
Dalam

penelitian

morfologi permukaan

dengan

menggunakan

SEM,

pemakaiannya sangat terbatas tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai
topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å (Stevens, 2001).

2.9. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar
ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan
cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit
terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spekroskopi UV-Vis biasanya digunakan
umtuk molekul dan ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spektrum UV-Vis
mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa
didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran
secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit didalam larutan bisa ditentukan dengan

Universitas Sumatera Utara

22

mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer.
Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400nm sedangkan sinar
tampak berada pada panjang gelombang 400-800. Spektrofotometer UV-Vis pada
umumnya digunakan untuk menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang
terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik, digunakan untuk menjelaskan
informasi dari strukttur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa,
serta mampu untuk menganalisa senyawa organik secara kuantitatif (Dachriyanus,
2004).

2.10. p-Anisidin
Pembentukan peroksida sebagai senyawa antara dalam oksidasi lemak akan meningkat
sampai titik tertentu untuk kemudian menurun kembali. Penurunan ini terjadi karena
peroksida yang terbentuk akan terdekomposisi menjadi senyawa dengan berat molekul
yang lebih kecil. Dekomposisi peroksida menghasilkan berbagai senyawa, terutama
golongan aldehid. Jumlah aldehid pada contoh minyak/lemak dinyatakan dengan paraanisidin value (p-value). Reaksi antara senyawa aldehid dengan pereaksi para-anisidin
pada pelarut asam asetat akan menghasilkan warna kuning yang absorbansinya dapat
diukur pada panjang gelombang 350 nm. Bilangan peroksida dan bilangan paraanisidin yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan bilangan total oksidasi
(total oksidation value) yang ekuivalen dengan dua kali bilangan peroksida ditambah
dengan bilangan para-anisidin. Bilangan total oksidasi ini sering dijadikan parameter
tingkat kerusakan oksidasi lemak/minyak (Anonim, 2015)

Universitas Sumatera Utara