Perbedaan Efek Haloperidol Pada Penanganan Agitasi Psikosis Akut Antara Individu Yang Merokok Dengan Yang Tidak Merokok Di Ugd Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Merokok masih merupakan permasalahan kesehatan serius di

seluruh negara terutama di Indonesia. Menurut laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2015, prevalensi merokok di seluruh negara
adalah 23,1% di tahun 2010, dan cenderung menurun sampai 15% di
tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada masifnya gerakan atau
kampanye anti merokok yang dilakukan. Sebaliknya di Indonesia
prevalensi merokok di Indonesia cenderung meningkat 32,6% di tahun
2010 dan diprediksi 44,9% pada tahun 2025.1
Prevalensi merokok pada orang dengan gangguan jiwa lebih
besar dibandingkan dengan populasi umum. Studi Adult Psychiatric
Morbidity Survey (APMS) di Inggris melaporkan prevalensinya 33%-53%,
Studi The Health Improvement Network (THIN) tahun 2009 melaporkan
32,2%-47,1%, dan Health Survey for England (HSE) melaporkan 20,1%49,5%. Studi terakhir ini juga melaporkan bahwa prevalensi tersebut lebih
besar 2,2 kali lipat dari populasi umum. Kecenderungan merokok ini
berkorelasi dengan tingkat keparahan gangguan jiwa, dimana gangguan

makan merupakan prevalensi terendah sedangkan prevalensi tertinggi
pada psikosis.2
Merokok pada orang dengan gangguan jiwa menyebabkan umur
harapan hidup yang lebih rendah yaitu 61 tahun dibandingkan dengan
populasi umum (72 tahun). Penyebab kematian terbanyak adalah penyakit
jantung koroner, dimana faktor risikonya adalah merokok, obesitas,
dislipidemia, diabetes, dan hipertensi.3
Merokok juga berdampak pada metabolisme obat. Salah satu
komponen asap rokok telah dilaporkan menginduksi berbagai isoenzim
sitokrom

P450

(CYP),

yang

memegang

peranan


penting

pada

metabolisme obat. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dari asap
rokok merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap induksi
berbagai isoenzim ini, terutama CYP1A1, CYP1A2 dan CYP2E1.4,5

Klozapin dan Olanzapin telah diteliti dan secara konsisten menunjukkan
bahwa merokok menyebabkan dosis pemberian yang lebih besar pada
individu yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok.6
Haloperidol merupakan turunan butyrophenones, suatu antagonis
reseptor dopamin, yang sangat efektif untuk gejala psikosis baik dari
psikosis organik, skizofrenia, gangguan bipolar, episode depresi dengan
gejala psikotik, dan gangguan skizoafektif. Di Indonesia, haloperidol masih
memegang peranan penting dalam pengobatan gangguan jiwa berat.6
Penelitian interaksi haloperidol dan merokok tercatat dilakukan
oleh Jann dkk7, Miller dkk8, Perry dkk9, dan Shimoda dkk10. Hasil dari
keempat penelitian-penelitian tersebut tidak secara konsisten melaporkan

perbedaan yang signifikan. Keseluruhan penelitian yang telah dilakukan di
atas dilakukan berdasarkan teori farmakokinetika haloperidol dan
keseluruhan penelitian dilakukan dengan pemberian haloperidol per oral.
Dua penelitian awal melaporkan perbedaan yang signifikan7,8, sedangkan
dua penelitian terakhir melaporkan sebaliknya9,10.
1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan berbagai latar belakang di atas, peneliti ingin

mengetahui dari sudut pandang farmakodinamika, apakah terdapat
perbedaan efek haloperidol pada individu yang merokok dengan yang
tidak merokok, dengan mengukur hubungan dosis-respon haloperidol
pada penanganan agitasi pada psikosis akut.
1.3.

Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan efek suntikan haloperidol pada penanganan

agitasi pada psikosis akut antara individu yang merokok dengan yang

tidak merokok.
1.4.

Tujuan Penelitian

1.4.1.

Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan efek suntikan

haloperidol pada penanganan agitasi pada psikosis akut antara individu
yang merokok dengan yang tidak merokok.

1.4.2.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui rerata penurunan skor Overt Agitation Severity
Scale (OASS) pada kelompok individu yang merokok untuk setiap
waktu pengukuran respon pengobatan.

2. Untuk mengetahui rerata penurunan skor OASS pada kelompok
individu yang tidak merokok untuk setiap waktu pengukuran respon
pengobatan.
3. Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan suntikan haloperidol
sehingga tercapai 50% efek respon pada kelompok individu yang
merokok.
4. Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan suntikan haloperidol
sehingga tercapai 50% efek respon pada kelompok individu yang tidak
merokok.
5. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan waktu penurunan skor
OASS akibat suntikan haloperidol pada agitasi pada psikosis akut
antara individu yang merokok dengan yang tidak merokok.
6. Untuk mengetahui proporsi timbulnya efek samping haloperidol.
1.5.

Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi dokter umum
dan dokter spesialis dalam pengelolaan agitasi pada psikosis akut
dengan haloperidol.

2. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian fundamental lanjutan
terkait dengan isoenzim.