Makalah Statistik Produksi ANALISIS DAYA

Makalah Statistik Produksi

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM INDONESIA
TAHUN 2000-2016

Disusun oleh:
Aryadi Solana – 15.8530
Eka Nurhidayati – 15.8594
Lukman Huq M.S – 15.8717
Niken Dita Lestari – 15.8583
Martin Dwi Kristianto – 15.8731
Retno Wulansari – 15.8845

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Jakarta
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris, dimana sektor pertanian merupakan salah satu penggerak

terbesar perekonomian negara. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik RI, kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB sebesar 13,83 persen pada tahun 2017 yang menempatkan sektor
pertanian pada urutan kedua setelah sektor industri pengolahan sebagai kontributor terbesar
terhadap PDB Indonesia. Salah satu subsektor yang cukup besar peranannya dalam memberikan
kontribusi adalah subsektor perkebunan. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDB sekitar
3,62 persen pada tahun 2017, sehingga jika dibandingkan dengan subsektor-subsektor pertanian
lainnya, subsektor perkebunan menempati urutan kedua terbesar dalam memberikan kontribusi
terhadap PDB setelah sub sektor tanaman pangan.
Karet merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup
penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Karet merupakan salah satu komoditas
ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara selain minyak dan gas.
Karet adalah komoditi yang digunakan di banyak produk dan peralatan di seluruh dunia (mulai
dari produk-produk industri sampai rumah tangga). Ada dua tipe karet yang dikenal yaitu karet
alam dan karet sintetis. Karet alam dibuat dari getah (lateks) dari pohon karet, sementara tipe
sintetis dibuat dari minyak mentah. Kedua tipe karet ini saling bergantungan, ketika harga
minyak mentah naik maka permintaan terhadap karet alam akan meningkat, karena karet sintesis
bahan bakunya berasal dari fraksi minyak bumi. Begitupun ketika persediaan dari karet alam
bermasalah, maka permintaan terhadap karet sintetis mengalami peningkatan. Akan tetapi, karet
alam merupakan tipe karet yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh karet sintesis. Hal ini
dikarenakan karet alam memiliki beberapa kelebihan dibanding karet sintesis, sehingga

persediaan terhadap karet alam menjadi penting.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), pada tahun 2015,
Indonesia menjadi produsen karet alam kedua terbesar kedua di dunia setelah Thailand, bahkan
hingga tahun 2015 produksi karet Indonesia secara umum terus mengalami peningkatan. Sebagai
produsen karet terbesar kedua di dunia, jumlah suplai karet Indonesia penting untuk pasar dunia.
Terlebih, negara-negara dengan konsumsi karet terbesar di dunia seperti RRT dan USA

merupakan negara utama yang menjadi tujuan ekspor Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia
menjadi salah satu negara yang menguasai pangsa pasar karet dunia.
Akan tetapi, berdasarkan data Gapkindo, volume ekspor karet Indonesia dari tahun 2012
hingga 2015 terus mengaami penurunan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya faktorfaktor yang memeberikan pengaruh negatif terhadap volume ekspor karet Indonesia. Selain itu,
penurunan volume ekspor juga dapat mengindikasikan penurunan daya saing ekspor karet
Indonesia dibanding negara lainnya. Oleh sebab itu, penelitian yang kami lakukan berjudul
“Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Dunia”.
1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah
Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal ini terlihat dari tumbuhnya produksi karet dari 1,63 juta ton pada tahun 2002 menjadi 2,77
juta ton pada 2010 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Angka ini merupakan angka produksi
terbesar kedua di dunia setelah Thailand (Food and Agriculture Organization, 2010). Jumlah
produksi yang demikian besar kemudian dihadapkan pada kondisi penetrasi pasar di mana

Indonesia harus bersaing dengan negara-negara produsen lain, serta adanya fluktuasi harga
(Parhusip, 2008).
Harga karet alam pada perdagangan internasional cenderung fluktuatif (International Rubber
Concortium Limited, 2010). Hal ini merupakan salah satu ciri yang berkelanjutan. Fluktuasi
harga tersebut berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor
karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara yang memiliki konsekuensi pada
perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan
mempengaruhi distribusi pendapatan.
Dalam era perdagangan bebas, pengembangan komoditas karet menghadapi berbagai
tantangan. Semakin terbukanya pasar mengakibatkan persaingan (kompetisi) yang terjadi
terhadap ekspor komoditas karet alam menjadi semakin ketat. Kondisi pasar terbuka
menyebabkan semakin minimnya kekuatan pengendalian pasar sehingga tidak ada yang dapat
menghalangi masuknya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan. Sebagai gambaran,
pertumbuhan ekspor karet alam oleh negara Vietnam yang semakin baik mempengaruhi jumlah
penawaran karet alam global. Peningkatan jumlah penawaran ini pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap pembentukan harga (International Trade Statistics, 2010).

Atas dasar tersebut analisis terhadap perkembangan ekspor karet alam menjadi sangat
penting sebagai informasi awal untuk menjelaskan kondisi daya saing komoditas karet alam
Indonesia di pasar ekspor. Untuk mengetahui posisi daya saing karet alam Indonesia, perlu juga

diketahui perkembangan komoditas tersebut pada negara lain yang menjadi pesaing dalam
pasaran internasional. Informasi-informasi ini berguna untuk melihat seberapa besar penguasaan
pasar oleh eksportir karet alam di lingkup global yang pada akhirnya akan menentukan kondisi
pasar yang terbentuk dari pangsa pasar tersebut.
Kondisi struktur pasar yang terbentuk secara langsung memiliki pengaruh terhadap daya
saing produk. Tingkat daya saing suatu negara penting diketahui untuk dapat menilai kinerja
suatu komoditas dalam perkembangannya di dunia perdagangan. Dengan mengetahui kondisi
struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam, maka kebijakan yang akan diterapkan
terhadap komoditas tersebut akan dapat dirumuskan secara tepat guna pengembangan daya saing
ekspor komoditas terkait di pasaran internasional. Penelitian ini memfokuskan daya saing ekspor
karet Indonesia dengan negara-negara pesaing terbesar pada komoditas karet pada kawasan
ASEAN seperti Thailand, Vietnam dan Malaysia.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, masalah-masalah yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap perkembangan
ekspor komoditas karet alam Indonesia ?


2.

Bagaimana kondisi daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia ?

1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap perkembangan
ekspor komoditas karet alam Indonesia
2. Mengetahui kondisi daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Karet
Karet adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon karet
pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkalikali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, di mana
sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan sehingga sampai sekarang Asia
merupakan sumber karet alami. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet
mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia
ditanam di Kebun Raya Bogor (Deptan, 2006).

2.1.2. Klasifikasi Karet
Menurut Setiawan dan Andoko (2005), klasifikasi tanaman karet (Hevea brasiliensis)
adalah sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Euphorbiales

Family


: Euphorbiaceae

Genus

: Hevea

Spesies

: Brasiliensis

Nama ilmiah : Hevea brasiliensis
Muell Arg. Genus Hevea terdiri dari berbagai species, yang keseluruhannya berasal
dari lembah sungei Amazon. Beberapa diantara species tersebut mempunyai morfologi
dan sitologi yang berbeda.
Dari sejumlah species Hevea, hanya H. brasiliensis yang mempunyai nilai ekonomi
tanaman komersial, karena species ini banyak menghasilkan lateks dan kualitasnya

lateksnya cukup baik. Species-species lain yang hanya digunakan sebagai sumber plasma
nutfah dalam program pemuliaan, antara lain :

a.

H. benthamiana digunakan sebagai sumber genetik untuk ketahanan terhadap
penyakit rapuh daun Mycrocyclus ulei

b. H. spruceana dan H. pauciflora untuk mendapat kejaguran tanaman
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan
berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang tanaman
biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun
karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang
tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Dewi, 2008).
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang beriklim
tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah-daerah tropis lainnya. Daerah tropis yang
baik ditanami karet mencakup luasan antara 15 Lintang Utara sampai 10 Lintang
o

o

Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap menyimpan kelembapan yang cukup.
Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata – rata 25 – 30 C. Apabila dalam jangka

o

waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari 20 C, maka tanaman karet tidak cocok di
o

tanam di daerah tersebut. Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman
karet tidak optimal (Setiawan, 2000).
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1-600 m dari
permukaan laut. Curah hujan yang cukup tinggi antara 2000-2500 mm setahun. Akan lebih
baik lagi apabila curah hujan itu merata sepanjang tahun (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
2.1.3 Jenis-jenis Karet Alam
Karet alam memiliki banyak jenis berdasarkan pengolahannya. Berikut tujuh jenis
karet alam yang dikenal di pasaran (Setiawan & Andoko, Petunjuk lengkap budidaya
karet, 2008)
1. Bahan olah karet
Bahan olah karet adalah lateks kebun dan gumpalan lateks kebun yang didapat
dari penyadapan pohon karet Hevea brasiliensis. Bahan olah karet ini umumnya
merupakan produksi perkebunan karet rakyat, sehingga sering disebut dengan bokar

(bahan olah karet rakyat). Berdasarkan proses pengolahannya bokar terdiri atas

empat jenis, yaitu lateks kebun, sheet angina, slab tipis, lump segar.
2. Karet alam konvensional
Terdiri dari golongan karet sheet dan crepe. Dalam Green Book yang diterbitkan
oleh International Rubber Quality and Packing Conference, jenis-jenis karet alam
olahan yang termasuk karet alam konvensional adalah Ribbed Smoked Sheet (RSS),
White crepe pale crepe, state brown crepe, Compo crepe, Thin brown crepe remills,
Thick blanket crepe ambers, Flat bark crepe, Pure smoked blanket crepe, dan Off
crepe.
3. Lateks pekat
Berbeda dengan jenis karet lain yang berbentuk lembaran atau bongkahan,
lateks pekat berbentuk cairan pekat. Pemrosesan bahan baku menjadi lateks pekat
bisa melalui pendadihan (creamed latex) atau pemusingan (centrifuged latex). Lateks
pekat ini biasanya merupakan bahan untuk pembuatan barang-barang yang tipis dan
bermutu tinggi.
4. Karet bongkah
Karet bongkah berasal dari karet remah yang dikeringkan dan dikilang menjadi
bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditentukan.
5. Karet spesifikasi teknis
Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber merupakan karet yang dibuat secara
khusus, sehingga mutu teknisnya terjamin yang penetapannya didasarkan pada sifatsifat teknis. Penilaian mutu yang hanya berdasarkan aspek visual, seperti berlaku

pada karet sheep, crepe dan lateks pekat tidak berlaku untuk karet jenis ini. Karet
spesifikasi teknis ini dikemas dalam bongkah-bongkah kecil dengan berat dan
ukuran seragam.
6. Tyre Rubber
Tyre rubber merupakan karet setengah jadi, sehingga bisa langsung digunakan
oleh konsumen, seperti untuk membuat ban atau barang barang lain yang berbahan

karet alam. Tujuan pembuatan tyre rubber adalah meningkatkan daya saing karet
alam terhadap karet sintetis. Karet ini juga memiliki daya campur yang baik,
sehingga mudah digabungkan dengan karet sintetis.
7. Karet reklim
Karet reklim atau reclaimed rubber adalah karet yang didaur ulang dari karet
bekas. Umumnya bekas ban mobil atau ban berjalan di pabrik pabrik besar. Karet
reklim diusahakan pertama kali pada tahun 1848 oleh Alexander Parkes dan ternyata
tetap dibutuhkan sampai sekarang, bahkan dalam jumlah yang cukup banyak.
Kelebihan karet reklim ini adalah daya lekatnya bagus, kokoh, tahan lama dalam
pemakaian, serta lebih tahan terhadap bensin dan minyak pelumas dibandingkan
dengan karet yang baru dibuat. Kelemahannya, kurang kenyal dan kurang tahan
gesekan.

2.1.4 Penggunaan Karet Alam
Sangat banyak diversifikasi bahan, alat dan barang yang dapat dibuat dengan bahan
baku getah karet. Perkembangan teknologi dan kebutuhan konsumen masyarakat modern
telah menjadikan karet alam semakin berkembang penggunaannya. Dilihat dari sektor
utama saat ini, karet alam memberikan kontribusi yang besar pada sektor transportasi,
sektor industri, sektor barang kebutuhan seharihari dan sektor kesehatan, berikut
penjelasannya (Siregar & Suhendry, 2013)
• Sektor transportasi : ban penumatik dan produk ban, tabung-tabung internal, belt
mobil, dan berbagai perlengkapan alat transportasi
• Sektor industri : produk untuk berbagai sistem (misalnya conveyor, transmisi, ban
berbagai kereta/alat, bangunan tahan gempa, dan lain-lain). Produk industri lainnya
(packaging, sarung tangan industri, dan lain-lain)
• Sektor kebutuhan : baju, sarung tangan, sepatu. Produk lainnya (penghapus, alas
kaki, bola golf, dan lain-lain)
• Sektor kesehatan : sarung tangan kedokteran. Material lainnya (cincin infus,
kantong darah, jarum suntik, dan lain-lain)

2.1.5. Produktivitas Pertanian
Nurmala, dkk (2012), produktivitas adalah kemampuan tanah untuk menghasilkan
produksi tanaman tertentu dalam keadaan pengolahan tanah tertentu. Produktivitas
merupakan perwujudan dari keseluruhan faktor-faktor (tanah dan non tanah) yang
berpengaruh terhadap hasil tananman yang lebih berdasarkan pada pertimbangan ekonomi.
Menurut Dewan Produktivitas Nasional (2009) dalam Farizal (2015) menjelaskan
bahwa produktivitas mengandung arti sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai
dengan keberhasilan antara hasil yang digunakan. Dengan kata lain produktivitas
memeliki dua dimesni. Dimensi pertama adalah efektivitas yang mengarah pada
pencapaian target berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan aktu. Yang kedua yaitu efisiensi
yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaa atau
bagaimana pekerja tersebut dilaksanakan.
2.1.6. Ekspor dan Impor
Transaksi ekspor-impor adalah transaksi perdagangan internasional (international
trade) yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusahapengusaha yang bertempat di negara yang berbeda.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan faktor utama yang
mempengaruhi ekspor. Perdagangan dan aturan nilai tukar (tarif impor, kuota dan nilai
tukar), akses transportasi yang aman (biaya transportasi yang wajar) dan pemasaran
dianggap faktor penting yang berpengaruh pada perilaku ekspor (Seyoum, 2013).
Umumnya, studi yang menyelidiki faktor penentu kinerja ekspor pertanian
menunjukkan di banyak negara kurang berkembang, variabel harga komoditas adalah
driver yang sangat penting dari ekspor. Harga umumnya berfungsi sebagai saluran melalui
mana kebijakan ekonomi yang relevan mempengaruhi variabel pertanian seperti produksi,
pasokan, ekspor dan pendapatan (Dercon, 1993).
Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas Ekspor

Kuantitas ekspor dari suatu Negara sering mengalami perubahan, peningkatan
maupun penurunan kuantitas. Hal itu terjadi karena ada faktor-faktor yang mempengaruhi,
berikut penjelasan faktor-faktor tersebut
1. Harga dunia/internasional
Harga dapat diartikan sebagai jumlah uang (satuan moneter) dan/atau aspek lain
(non-moneter) yang mengandung utilitas/kegunaan tertentu yang diperlukan untuk
mendapatkan suatu produk (Tjiptono, Chandra, & Adriana, 2008). Sedangkan
pengertian internasional berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
menyangkut bangsa atau negeri seluruh dunia atau antarbangsa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa harga internasional merupakan harga yang menyangkut bangsa
atau negeri seluruh dunia, dan menjadi acuan harga bagi negara-negara di seluruh
dunia.
2. Harga domestik
Harga dapat diartikan sebagai jumlah uang (satuan moneter) dan/atau aspek lain
(non-moneter) yang mengandung utilitas/kegunaan tertentu yang diperlukan untuk
mendapatkan suatu produk (Tjiptono, Chandra, & Adriana, 2008). Sedangkan
pengertian domestik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berhubungan dengan
atau mengenai permasalahan dalam negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa harga
domestik merupakan sejumlah uang yang diperlukan untuk mendapatkan suatu produk
dimana penentuan jumlahnya berdasarkan produsen domestik dan tidak terpengaruh
dengan biaya terkait ekspor, seperti supply dan demand, lokasi dan lingkungan pasar
luar negeri, kebijakan ekonomi seperti nilai tukar, pengendalian harga, tarif (Seyoum,
2013).
3. Nilai Tukar
Nilai tukar adalah jumlah unit dari mata uang tertentu yang dapat dibeli untuk
satu unit mata uang lain. Ini adalah praktek umum di pasar mata uang dunia, yang
menawarkan semua nilai tukar (kecuali untuk pound Inggris) per dolar AS (Seyoum,
2013). Pasar valuta asing adalah tempat di mana mata uang asing diperjualbelikan.
Hubungan antara barang dan uang dalam transaksi bisnis biasa dinyatakan dengan

harga, sehingga hubungan dari satu mata uang dengan yang lainnya dinyatakan oleh
nilai tukar. Sebagian besar transaksi valuta asing yang dilakukan setiap hari adalah
antara bank-bank di negara yang berbeda. Transaksi tersebut merupakan keinginan
pelanggan bank untuk mewujudkan transaksi komersial, yaitu, pembayaran untuk
impor atau penerimaan ekspor.
Perdagangan valuta asing tidak terbatas pada satu lokasi tertentu. Tempatnya bisa
dimana pun penawaran tersebut dibuat, misalnya di kantor swasta atau bahkan di
rumah. Sebagian besar transaksi tersebut dilakukan antara bank komersial dan
pelanggan mereka atau antara bank-bank komersial, yang membeli dan menjual mata
uang asing untuk memenuhi kebutuhan klien (Seyoum, 2013). Fluktuasi nilai tukar
dapat memiliki efek mendalam pada perdagangan internasional. Perusahaan eksporimpor rentan terhadap risiko valuta asing setiap kali mereka menerima atau
memberikan jumlah tertentu dari mata uang asing.
Transaksi penting terkait dengan risiko valuta asing dalam perdagangan
internasional adalah sebagai berikut (Seyoum, 2013)
- Pembelian barang dan jasa yang harganya dinyatakan dalam mata uang asing,
yaitu, hutang dalam mata uang asing
- Penjualan barang dan jasa yang harganya dinyatakan dalam mata uang asing,
yaitu, piutang dalam mata uang asing
4. Suku Bunga
Tingkat bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberi keuntungan
kepada para pengusaha. Semakin rendah tingkat bunga pinjaman yang harus dibayar
para pengusaha, semakin banyak usaha yang dapat dilakukan para pengusaha.
Semakin tinggi tingkat bunga tabungan semakin banyak investasi yang dilakukan para
pengusaha (Sukirno, 1998).
Adapun fungsi suku bunga yaitu (Sunariyah, 2004)
- Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk
diinvestasikan.

- Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan
penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian.
Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu
apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka
pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.
- Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang
beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu
perekonomian.
Untuk memahami apa yang menentukan tingkat bunga dalam perekonomian,
pertama kita harus melihat apa yang bank lakukan (Blanchard & Johnson, 2013) what banks do
Ekonomi modern ditandai dengan adanya berbagai jenis perantara keuangan,
lembaga menerima dana dari orang-orang dan perusahaan kemudian menggunakan
dana tersebut untuk membeli aset keuangan atau untuk membuat pinjaman kepada
orang-orang lain dan perusahaan. Aset lembaga ini adalah aset keuangan mereka
sendiri dan pinjaman yang telah mereka buat. Kewajiban mereka memberikan hutang
kepada orang-orang dan perusahaan-perusahaan - The supply and the demand for
central bank money
2.1.7. Konsep Daya Saing
Porter (1990) menyebutkan bahwa “istilah daya saing sama dengan competitiveness
atau competitive, sedangkan istilah keunggulan bersaing sama dengan competitive
advantage”. Hal ini saling berhubungan dan terikat antara faktor yang satu dengan yang
lain.
World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing nasional sebagai
“kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan berkelanjutan”. Fokusnya kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat.
Institusi-institusi yang sesuai dengan karakteristik ekonomi lain yang mendukung
terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan (Tambunan, 2003).

Sedangkan Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya
saing sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambahan dalam rangka
menambahkan kekayaan nasional dengan cara mengelola asset dan proses, daya tarik dan
agresivitas, globalilsasi dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubunganhubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan social (Hady, 2004). Tingkat daya
saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya ditentukan oleh
dua faktor, yaitu: faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor
keunggulan kompetitif (competitive advantage) (Apidar,2009).
Faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah
dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau
dapat dikembangkan/diciptakan. Tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga
dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau
keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat
persaingan global yang sedemikian lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper
Competitive (Budiman, 2004).
Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori
yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi
bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan
komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih
banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya.
2.2 Penelitian Terkait
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Analisis Daya Saing
Komoditi Ekspor Unggulan Indonesia Di Pasar Internasional di tulis oleh Farid Ustriaji.
Penelitian ini menggunakan analisis pertumbuhan, analisis kontribusi, dan RCA (Revealed
Comparative Advantage) dengan menggunakan data sekunder 10 kriteria komoditi ekspor
unggulan Indonesia yaitu Sawit, karet dan produk karet, produk hasil hutan, tekstil dan produk
tekstil, otomotif, alas kaki, kakao, kopi, udang dan elektronik. Dengan menggunakan analisis
data yang sudah disebutkan maka penelitian ini menghasilkan kesimpulan, penyumbang
kontribusi terbesar dari 10 komoditi unggulan tersebut ada pada komoditi sawit yang mencapai
28% dengan nilai total ekspor tahun 2010-2014 sebesar US $ 81.636.136 serta dari perhitungan

RCA menunjukan bahwa industri sawit, hasil hutan, alas kaki, kakao, kopi, karet, dan tekstil
pada tahun 20102014 (RCA>1) artinya ekspor tersebut memiliki daya saing diatas daya saing
rata-rata dunia.

Penelitian yang juga mengangkat daya saing ekspor dilakukan oleh Tartila Fitri dan
Suhartini dengan judul Analisis Daya Saing Ekspor Tomat Indonesia Dalam Menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tomat adalah salah satu produk hasil pertanian Indonesia
yang diekspor. Menurut data Food Agriculture Organization/FAO (2016) ekspor tomat Indonesia
selama periode 2009 – 2013 bergerak secara fluktuatif. Selama periode 2005 – 2013, ekspor
tomat tertinggi mencapai 675 ton pada tahun 2011. Menurut Zikria (2014) Indonesia adalah
negara yang memproduksi tomat paling tinggi di bandingkan negara lain di ASEAN. Setelah itu
di posisi ke dua ada negara Filipina dan posisi ketiga terdapat Thailand sebagai negara produksi
tomat terbesar di kawasan ASEAN. Data diperoleh lembaga-lembaga internasional dan nasional
yaitu Food Agriculture Organization (FAO), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Sumber-sumber
informasi lainnya didapatkan melalui buku, artikel, jurnal, maupun sumber pendukung lain dan
lembaga-lembaga terkait.
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Indeks Spesialisasi
perdagangan bertujuan untuk melihat apakah suatu negara cenderung sebagai eksportir atau
importir untuk suatu produk. Adapun rumus matematis dari ISP adalah :
ISP = ( X ia  M ia ) / ( X ia  M ia )
Analisis Daya Saing Kompetitif Export Competitiveness Index (Xci) untuk mengetahui
komoditas tomat disuatu negara memiliki daya saing yang kuat dibandingkan negara lain yang
merupakan negara pesaing. Indeks ini juga dapat melihat perkembangan di suatu negara untuk
komoditas tertentu terhadap rata-rata perkembangan komoditas tersebut di pasar ASEAN. XCI
dapat dirumuskan sebagai berikut :
XCI  ( X ia / X iw )t / ( X ia / X ia )t 1

Analisis Daya Saing Komparatif Dalam penelitian ini untuk melihat daya saing suatu
komoditas dari segi keunggulan komparatif menggunakan metode Revealed Comparative Trade
Advantage. Menurut tambunan (2004) rumus RCTA adalah:
RCTA = RXAia  RMPia
RXA =

( X ia / X i ( w a ) ) / [ X ( k  i) a / X ( k  i)( w a ) )

RMP =

(M ia / M i ( wa ) ) / [M( k  i) a / M( k  i) ( w a ) )

Hasil analisis spesialisasi perdagangan pada komoditas tomat dalam periode 1994 sampai
2013 adalah nilai ISP tomat Indonesia (0,89) lebih tinggi dibandingkan nilai ISP tomat Thailand
(0,87) dan Malaysia (0,61). Pada analisis ini dibuktikan bahwa perdagangan tomat Indonesia dan
Thailand memasuki tahap kematangan di kawasan ASEAN. Sedangkan Malaysia memasuki
tahap pertumbuhan. Hasil analisis ini di pengaruhi oleh nilai ekspor dan nilai impor dari suatu
negara, (2) Hasil analisis daya saing dari segi keunggulan komparatif tomat pada periode 1994
sampai 2013 adalah komoditas tomat Indonesia mempunya daya saing dar segi keunggulan
komparatif lebuh unggul (0,75) dibandingkan dengan komoditas tomat Thailand (0,08).
Sedangkan daya saing dari segi keunggulan komparatif Indonesia (0,75) lebih rendah
dibandingkan komoditas tomat Malaysia (37,84). Nilai RCTA Malaysia yang jauh lebih tinggi
dibandingkan negara lain disebabkan oleh sumberdaya yang dimiliki oleh Malaysia dikelola
secara efisien, baik dalam perencanaan kuantitas komoditas tomat, dan fasilitasfasilitas yang
memadai dalam usahatani tomat, (3) Hasil analisis daya saing dari segi keunggulan kompetitif
tomat pada periode 1994 hingga 2013 adalah Indonesia memiliki daya saing dari segi
keunggulan kompetitif lebih tinggi (1,216) dibandingkan Malaysia (0,924), namun lebih rendah
jika dibandingkan dengan Thailand (1,217). Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki trend perkembangan perdagangan tomat yang meningkat di pasar ASEAN
dibandingkan Malaysia.
Penelitian Ekspor dan Daya Saing Kopi Biji Indonesia di Pasar Internasional: Implikasi
Strategis Bagi Pengembangan Kopi Biji Organik yang di susun oleh Bambang Dradjat, Adang
Agustian dan Ade Supriatna mengatakan bahwa Kopi merupakan komoditas perkebunan yang
mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional, di antaranya : (1) sebagai lapangan
kerja dan sumber pendapatan masyarakat; (2) sebagai bahan baku industri pengolahan, sehingga

produknya mempunyai pasar yang luas baik lokal, regional, dan global; (3) menciptakan nilai
tambah melalui kegiatan pascapanen, pengolahan, dan distribusi; (4) sebagai sumber devisa
nonmigas melalui kegiatan ekspor ke beberapa negara tujuan dan (5) menciptakan pasar bagi
produk-produk nonpertanian (Hutabarat et al., 2004). Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah indeks”Revealed Comparative Advantage (RCA)”, yang pertama kali
dikenalkan oleh Balassa pada tahun 1965 (Cai & Liung, 2005). Indeks RCA didefinisikan
sebagai berikut :
RCApi = (Eip/Edp) / (Eit/Edt) atau (Eip/Eit)/(Edp/Edt).
dimana:
E = Volume (atau nilai) ekspor
i = Indeks negara
p = Komoditas kopi
t = Total
d = Dunia
Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil sebagi berikut, Ekspor kopi biji Indonesia
belum berorientasi pasar, melainkan masih berorientasi produksi. Fakta menunjukkan bahwa
perkembangan volume ekspor tidak sejalan dengan perkembangan harga ekspor, melainkan
sejalan dengan perkembangan produksi. Nilai ekspor kopi Indonesia selama periode tahun 1995
—2004 lebih rendah bahkan tidak sejalan dengan perkembangan volume ekspor, tetapi sejalan
dengan perkembangan harga ekspor. Dengan harga kopi biji yang cenderung turun, maka nilai
ekspor kopi biji pada periode tersebut juga mengalami penurunan. Daya saing kopi biji Indonesia
lebih rendah dibandingkan kopi biji yang dihasilkan negara-negara pesaing ekspor, seperti
Kolumbia, Honduras, Peru, Brazil, dan Vietnam. Daya saing kopi biji Indonesia tersebut juga
cenderung turun selama periode tahun 1995—2004. Kelemahan daya saing ini perlu disikapi
secara cermat untuk menghindarkan diri dari keterpurukan berkepanjangan. Kelemahan daya
saing kopi biji Indonesia berimplikasi perlunya memerhatikan pengembangan kopi organik.
Seiring dengan berkembangnya permintaan produk-produk pertanian organik, termasuk kopi
organik, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kopi organik. Beberapa
daerah, seperti Jawa Barat dan Bali, telah mengembangkan kopi organik dan kopi dari kedua

daerah tersebut telah diekspor ke beberapa negara Eropa. Permintaan kopi organik tersebut
tampaknya akan terus meningkat seiring dengan kesadaran dan keamanan pangan masyarakat.
Harga jual pun cukup menjanjikan, sehingga peluang ini jika bisa diraih akan dapat
meningkatkan pendapatan usahatani secara signifikan
Penelitian dengan judul topik yang sama tentang analisis daya saing ekspor kopi indonesia
di pasar dunia yang ditulis oleh Meidiana Purnamasari, Nuhfil Hanani, dan Wen-Chi Huang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi daya saing ekspor dari kopi Indonesia di
pasar dunia. Hal ini dianalisis menggunakan beberapa indikator seperti Revealed Comparative
Advantage (RCA), Comparative Export Performance (CEP) dan Market Share Index (MSI)
untuk menganalisis perdagangan yang terjadi pada beberapa ekportir utama lainnya seperti
Brazil, Kolombia dan Vietnam sebagai kompetitor dari kopi Indonesia. Analisis ini akan
memberikan interpretasi awal mengenai posisi dan spesialisasi perdagangan kopi Indonesia di
pasar dunia. Hasilnya akan memberikan kontribusi untuk mengevaluasi akibat tekanan pasar
yang semakin kompetitif dan tantangan yang dihadapi pada pasar kopi dunia. Metode
penghitungan yang digunakan menggunakan tiga indikator yaitu (1) Revealed Comparative
Advantage (RCA) Index, (2) Comparative Export Performance (CEP) Index, (3) Market Share
Index. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa penyebab utama rendahnya nilai ekspor yang
diterima Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas kopi itu sendiri. Hal ini dapat
disebabkan oleh sebagian besar kopi yang di ekspor Indonesia berupa bahan mentah yang belum
proses dan penanganan pasca panen yang cenderung kurang tepat serta masih menggunakan alat
tradisional. Selain itu pada sisi produksi sendiri, walaupun luas area kopi Indonesia merupakan
terbesar setelah Brazil, produksinya masih lebih rendah jika dibandingkan Kolombia dan
Vietnam. Sedangkan dari segi market share, Jepang merupakan pasar potensial bagi Indonesia.
Market share yang cenderung stabil pada 10 tahun terakhir ini merupakan sebuah potensial
dalam upaya peningkatan pada tahun- tahun berikutnya.
Dan salah satu penelitian terkait dengan daya saing ekspor karet yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Riezki Rakhmadina, Tavi Supriana, dan Satia Negara Lubis yang berjudul
Analisis Tingkat Daya Saing Karet Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan besarnya jumlah produksi karet, jumlah konsumsi karet, jumlah impor karet,
jumlah ekspor karet, dan tingkat daya saing ekspor Indonesia dengan negara Thailand tahun
2007-2011. Metode analisis yang digunakan oleh peneliti adalah Net Export Share untuk

melakukan perhitungan tingkat daya saing ekspor karet. Setelah dilakukan perhitungan daya
saing ekspor dilakukan tahap kedua, identifikasi masalah dianalisis dengan uji beda rata-rata
(compare means). Dalam penelitian ini yang akan dibandingkan adalah negara Indonesia dan
negara Thailand dengan menggunakan uji Mann-Whitney (U test) pada SPSS. Uji MannWhitney
(U test) merupakan alternatif bagi uji-t dan bersifat independen. Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini sebagai berikut :
1. ada perbedaan yang nyata jumlah produksi karet alam dan karet sintetis antara
negara Indonesia dengan negara Thailand.
2. Tidak ada perbedaan yang nyata jumlah konsumsi karet alam dan karet sintetis
antara negara Indonesia dengan negara Thailand
3. .Ada perbedaan yang nyata jumlah impor karet alam antara negara Indonesia
dengan negara Thailand dan tidak ada perbedaan yang nyata jumlah impor karet
sintetis antara negara Indonesia dengan negara Thailand.
4. Ada perbedaan yang nyata jumlah ekspor karet alam dan karet sintetis antara
negara Indonesia dengan negara Thailand.
5. Ada perbedaan yang nyata daya saing ekspor karet antara negara Indonesia
dengan negara Thailand.

2.3 Kerangka Pikir
Volume Produksi Karet
(X1t)

Luas Areal Karet (X2t)

Produk Domsetik Bruto
(X3t)

Volume Ekspor Karet
(Yt)

Daya Saing Ekspor
Karet

Nilai Tukar Riil (X4t)

Tingkat Inflasi (X5t)

Volume Ekspor Karet
Periode Sebelumnya
(Yt-1)

2.4 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Volume produksi karet, luas areal karet, PDB, nilai tukar riil, tingkat inflasi, dan volume
ekspor pada periode sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor
karet

BAB III
METODOLOGI
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi daya saing ekspor karet alam Indonesia yang akan
dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga memiliki potensi karet terbesar di
dunia yaitu Thailand, Malaysia, dan Vietnam; serta fakotr-faktor yang mempengaruhi volume
ekspor karet alam Indonesia dari tahun 2000-2016.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data runtut
waktu (time series) dari tahun 2000 hingga 2016. Data-data tersebut antara lain Volume
Ekspor Karet Indonesia, Volume Produksi Karet Indonesia, Luas Areal Karet Indonesia,
Produk Domestik Bruto Indonesia, Nilai Tukar Riil Indonesia, Tingkat Inflasi, Harga Karet
Alam Dunia, dan Harga Minyak Mentah Dunia. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini didapatkan dari instansi dan dinas terkait, Ditjen. Perkebunan dan Pusdatin, Badan Pusat
Statistik (BPS), World Bank, dan International Monetary Fund (IMF). Selain data-data diatas,
dibutuhkan juga data-data negara-negara yang akan dibandingkan seperti nilai ekspor karet
dan nilai total ekspor Thailand, Vietnam, Malaysia yang didapatkan dari ITC calculation
based on UN Comtrades.
3.3 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu analisis
deskriptif dan analisis inferensia.
Analisis Deskrptif
Analisis deskriptif yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui posisi
daya saing ekspor karet alam Indonesia. Adapun metode yang digunakan yaitu :
Comparative Export Performance (CEP)
Perhitungan ini digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor suatu negara pada
produk tertentu. Jika suatu negara memiliki nilai CEP lebih besar dari satu maka negara
tersebut memiliki keunggulan relatif dalam ekspornya. Untung menghitung digunakan rumus
sebagai berikut:

XiB/ XB
)
XiW / XW

CEP = ln (
XiB : ekspor negara B untuk produk i (Nilai)
XB : total ekspor negara B (Nilai)

XiW : total ekspor dunia untuk produk i (Nilai)
XW : total ekspor dunia (Nilai)
Revealed Competitive Advantage (RCA)
Beberapa literatur menyebutkan beberapa metode dalam menghitung keunggulan
komparatif suatu negara. Jika suatu negara dapat memproduksi pada tingkat biaya yang
rendah dari pada negara lainnya, maka negara tersebut menjual dengan harga yang rendah,
sehingga dapat dikatakan dia memiliki keunggulan komparatif. Di sisi lain, keungulan
komparatif mendeskripsikan kecenderungan suatu negara untuk mengekspor komoditi unggul
dari negaranya dibandingkan negara lain. Metode yang paling sering digunakan ada konsep
tentang Revealed Comparative Advantage (RCA) oleh Balassa (1965). Index ini digunakan
untuk menghitung spesialisasi dalam suatu industri yang menggunakan data perdagangan
internasional. RCA dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
RCA =

XiB / XB
XiA / XA

XiB : ekspor negara B untuk komoditi I ke pasar dunia. (Nilai)
XB : totak ekspor negara B ke pasar dunia. (Nilai)
XiA : ekspor negara pesaing untuk komoditi I ke pasar dunia. (Nilai)
XA : total ekspor negara pesaing ke pasar dunia. (Nilai)
Ketika suatu Negara memiliki RCA >1, maka Negara tersebut memeliki keunggulan
komparatif dan spesialisasi pada komoditi tersebut. Ketika memiliki RCA dtabel), dengan dtabel adalah
nilai diperoleh dari tabel Durbin Watson dengan α = 0,05 maka hipotesis H O
ditolak artinya ut stasioner dan terjadi kointegrasi antar peubah.
Model Kointegrasi (Jangka Panjang) :
Y = C + β1X1 + β2X2 + β3X3 + … + βnXn
Pemodelan Error Correction Model (ECM)
Model ECM dapat dibentuk ketika terjadi kointegrasi pada data yang kita miliki.
Ketika data yang kita miliki memiliki hubungan jangka panjang, dengan ECM ini kita dapat
melihat apakah ada hubungan jangka pendek antara data yang kita miliki. Kita sebut sebagai
error correction model karena model ini memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi
ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang.
Model ECM (Jangka Pendek) dua peubah :
∆Yt = α0 + α1∆Xt + α2ECTt + et
∆ = diferensiasi
ECTt = êt-1 = lag 1 periode dari nilai residual yang diartikan sebagai kesalahan
keseimbangan periode waktu sebelumnya (t-1)
et = error yang memenuhi asumsi klasik
Model diatas adalah model ECM tingkat pertama karena menggunakan lag 1 dari error
correction. Bisa menggunakan ordo lag yang lebih besar dari satu sehingga memperoleh
model ECM tingkat kedua atau tingkat ketiga. Syarat agar model stabil atau valid yaitu

koefisien α2 harus lebih kecil dari nol (negatif) dan signifikan secara statistik yaitu nilai
probabilitas kurang dari 5%.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Posisi Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia
Comparative Export Performance
Nilai ekspor komoditas karet Indonesia dibandingkan dengan negara-negara eksportir
karet terbesar di dunia yaitu Thailand, Vietnam dan Malaysia dari tahun 2007-2016. Dari
perhitungan didapat nilai CEP sebagai berikut :
Tabel 1. Nilai CEP Komoditas Karet Alam Negara Indonesia, Thailand, Vietnam, dan
Malaysia Tahun 2007 - 2016
CEP i Thailand CEP i Malaysia CEP i Vietnam

CEP i Indonesia

3,43

2,32

2,98

3,58

3,42

2,28

2,82

3,57

3,38

2,12

3,35

3,36

3,20

2,17

2,23

3,34

3,12

2,02

2,14

3,12

2,96

1,73

2,58

3,04

3,28

1,96

2,62

3,32

3,39

1,90

2,88

3,41

3,38

1,86

2,55

3,42

3,31

1,81

1,86

3,43

Comparative Export Perfomance
4
3
2
1
0

1

2

3

4

5

CEP i Thailand
CEP i Vietnam

6

7

8

9

10

CEP i Malaysia
CEP i Indonesia

Gambar 1. Nilai CEP Komoditas Karet Alam Negara Indonesia, Thailand, Vietnam, dan
Malaysia Tahun 2007 - 2016

Dengan rata-rata nilai CEP sebagai berikut :
Tabel 2. Rata-rata Nilai CEP Komoditas Karet Alam Indonesia, Thailand, Vietnam, dan
Malaysia
CEP Thailand CEP Malaysia CEP Vietnam
3,29

2,02

CEP Indonesia

2,60

3,36

Dari Hasil tersebut terlihat bahwa nilai CEP Indonesia pada komoditas karet lebih tinggi
dari negara Thailand, Malaysia dan Vietnam dari tahun 2007-2016. Rata-rata nilai CEP
Indonesia bernilai 3,359 lebih besar dari satu, ini berarti bahwa Indonesia unggul dalam
Ekspor pada komoditi Karet dibanding ketiga negara tersebut.
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
Pada metode ini kita ingin melihat bagaimana perkembangan ekspor komoditas karet
Indonesia dari tahun 2007-2016. Didapat hasil perhitungan ISP sebagai berikut :
Tabel 3. Nilai ISP Komoditas Karet Alam Indonesia Tahun 2007 -2016
Tahun
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
0,995 0,992 0,988 0,990 0,989 0,982 0,985 0,980 0,978 0,981
Dari hasil ISP tersebut nilai ISP Indonesia pada komoditas karet bernilai 0,97-0,99
dengan rata-rata nilai ISP 0,986 ini berarti Indonesia pada komoditas ini sudah masuk pada
tahap kematangan Ekspor dan bisa disebut eksportir komoditas karet.
Revealed Competitive Advantade
Thailand dan Indonesia merupakan dua negara ASEAN yang memuncaki nilai dan
volume ekspor karet alam. Untuk mengukur daya saing keunggulan komparatif.antara kedua
negara maka digunakan nilai RCA. Namun dari perhitungan RCA, untuk membandingkan
antara Indonesia dengan Thailand, didapat hasil yaitu 1,13 pada tahun 2016. Nilai RCA dari
tahun ke tahun secara umum berkisar di angka 1. Dari sini dapat disimpulkan bahwa,
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas karet alam dibandingkan
dengan Thailand.

RCA Indonesia dengan Thailand
1.2
1.15
1.1
1.05
1
0.95
0.9
0.85

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Gambar 2. Nilai RCA Indonesia dengan Thailand Tahun 2007-2016
Indeks RCA, perbandingan antara Indonesia dengan Thailand dari tahun-tahun ketahun
relative konstan di angka 1. Akan tetapi pada tahun 2009, nilai RCA kurang dari satu, yang
berarti keunggulan komparatif tergolong rendah untuk komoditas tersebut yaitu di bawah
rata-rata Thailand.
Negara pengekspor karet terbesar selanjutnya setelah Indonesia adalah Malaysia. Saat
dilihat daya saing keunggulan komparatifnya, disimpulkan bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif di atas rata-rata dibandingkan Malaysia, dengan nilai RCA jauh diatas
satu, yaitu 4,81 pada tahun 2016. Bahkan hasil yang sama terlihat dari tahun ke tahun.
Terlihat pada grafik berikut.

RCA Indonesia dengan Vietnam
6
5
4
3
2
1
0

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Gambar 3. Nilai RCA Indonesia dengan Vietnam Tahun 2007-2016

Negara pengekspor karet terbesar selanjutnya adalah Vietnam. Saat dilihat daya saing
keunggulan komparatifnya, disimpulkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif
di atas rata-rata dibandingkan Vietnam, dengan nilai RCA jauh diatas tiga, yaitu 5,07 pada
tahun 2016. Hasil yang sama terlihat dari tahun ke tahun. Terlihat pada grafik berikut.

RCA Indonesia dengan Malaysia
6
5
4
3
2
1
0

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Gambar 4. Nilai RCA Indonesia dengan Malaysia Tahun 2007-2016
Indeks RCA, perbandingan antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun- ketahun selalu
diatas 3.

RCA Indonesia dengan Thailand, Vietnam, dan Thailand
6
5
4
3
2
1
0
2007

2008

2009

2010

2011

RCA T

2012
RCA V

2013

2014

2015

2016

RCA M

Gambar 4. Nilai RCA Indonesia dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia Tahun 20072016
Saat ketiga nilai RCA dibandingkan, terlihat seperti grafik dibawah ini. Nilai RCA yang
paling besar adalah saat membandingkan komoditas antara Indonesia dengan Malaysia. Hal
ini berarti bahwa Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia.

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Karet Alam Indonesia
Error Correction Model
1. Uji stationeritas
Menggunakan Unit Root Test
Yt = ρ Yt-1 + Ut
Hipotesis :
H0 : ρ = 1 (Terdapat unit root, peubah tidak stasioner)
H1 : ρ < 1 ( Tidak terdapat unit root, peubah stasioner)
Berdasarkan hasil output di Lampiran., diketahui bahwa variable dependen Y
(volume ekspor karet) diuji bersamaan dengan X1(volume produksi karet), X4(nilai tukar
riil), X5(tingkat inflasi), X6(harga karet alam dunia), X7(harga minyak mentah dunia),
dan X8 (volume ekspor karet periode sebelumnya) tidak ada yang stasioner pada level.
Oleh karena itu, dilakukan pengujian stasioneritas selanjutnya pada difference 1.
Pengujian stasioneritas pada difference 1 menunjukan bahwa variabel-variabel yang
diuji sudah stasioner. Hal tersebut ditunjukan oleh nilai Prob. yang bernilai lebih kecil
dari alpha. Stasioneritas variabel-variabel pada difference dengan ordo yang sama
merupakan salah satu syarat dari penggunaan metode ECM.

2. Pengecekan kointegrasi
Residual error
Null Hypothesis: RESID01 has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=3)

Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level

t-Statistic

Prob.*

-4.155467
-2.740613
-1.968430
-1.604392

0.0005

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Warning: Probabilities and critical values calculated for 20
observations
and may not be accurate for a sample size of 14
Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(RESID01)
Method: Least Squares
Date: 01/22/18 Time: 07:23
Sa