PANDANGAN TENTANG POTENSI MANUSIA .

PANDANGAN TENTANG POTENSI MANUSIA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengembangan Teori Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Mahmud Arif M. Pd.

Disusun Oleh:
Nama : Kuni Safingah
NIM : 1620411068

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhuk ciptaan Tuhan yang sempurna. Dikatakan
sempurna karena manusia memiliki banyak potensi atau kecerdasan untuk

mengaktualisasikan dirinya. Selain itu, manusia juga dibekali akal untuk
mengontrol semua tindakan yang akan dilaksanakannya.
Potensi atau kecerdasan yang telah ada di dalam diri manusia seharusnya
senantiasa untuk diasah dan dikembangkan sehingga mampu menjadi manusia
yang seutuhnya. Manusia yang seutuhnya yaitu manusia memberi
kemanfaatan bagi dirinya dan orang lain. Semua tindakannya didasarkan atas
kebaikan dan kebenaran.
Manusia memiliki dimensi jasmani dan rohani. Kedua dimensi tersebut
harus dikembangkan secara maksimal. Hal yang penting namun sering kita
kesampingkan yaitu dimensi rohani. Dimensi rohani memiliki peran yang
penting dalam kehidupan manusia.
Tidak mudah menciptakan sosok manusia seutuhnya, diperlukan usahausaha yang tepat dalam mendidiknya. Seringkali pendidik keliru dalam
mengembangkan potensi yang ada pada manusia, sehingga mereka belum bisa
menjadi manusia yang seutuhnya.
Sebagai akademisi yang berkecimpung dibidang pendidikan sudah
selakyaknya untuk mengetahui, mempelajari dan mengembangkan potensipotensi yang ada pada manusia agar pendidikan yang kita berikan mampu
menjadikan manusia menjadi individu yang dapat mengaktualisasikan diri
dengan baik sampai akhirnya terbentuk menjadi manusia yang seutuhnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat manusia?

2. Seperti apakah pandangan tentang manusia?
3. Apa sajakah potensi yang ada pada manusia?
4. Bagaimana upaya mengembangkan potensi manusia?

1

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hakikat manusia
2. Mengetahui beberapa pandangan mengenai manusia
2. Mengetahui potensi yang ada pada manusia
3. Mengetahui upaya mengembangkan potensi manusia

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, pribadi yang tersusun atas
kesatuan harmonik jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.
Manusia lahir dalam keadaan serba misterius. Manusia dilahirkan oleh “Tuhan

melalui manusia lain (orang tua), sadar akan hidup dan kehidupannya, dan
sadar pula akan tujuan hidupnya (kembali kepada Tuhan). Kenyataan itu
memberikan kejelasan bahwa sesunggguhnya manusia adalah makhluk yang
lemah. Keberadaannya sangat bergantung kepada Penciptanya (Tuhan). Segala
potensi dirinya ditentukan secara mutlak oleh Sang Pencipta. 1
Akan tetapi, ketergantungannya kepada Sang Pencipta dalam
perkembangannya diterima dengan disertai otonomi dan kreativitas yang
sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan serta mengembangkan
hidup dan kehidupannya. Dengan otomomi dan kreativitasnya, manusia dapat
menyelesaikan dan mengatasi segala macam problem hidupnya. Manusia
mencari dan menciptakan makanan, minuman, tempat berteduh, kehangatan,
keamanan, ketentraman, dan sebagainya.2
Antara ketergantungan (dependensi) dan otonomi (independensi) adalah
dua unsur potensi kontradiktif yang ada di dalam kesatuan dinamis.
Keberadaannya justru memberikan makna jelas kepada diri manusia sebagai
makhluk Sang Pencipta.3
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa hakikat manusia dapat dilihat dari
beberapa segi, antara lain : manusia sebagai makhluk berpikir, makhluk
berkepribadian utuh, makhluk individu dan sosial serta sebagai khalifah fil
ardhi.4

Hakikat pribadi manusia sebagai jiwa dan raga mempunyai kebutuhan dan
kepentingan masing-masing. Jiwa dan raga sering mempunyai kebutuhan yang
selaras dan berimbang, tetapi kadang-kadang bertolak belakang. Untuk
1 Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia Sebuah Perbandingan antara Islam
dan Barat, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 13.
2 Ibid., hal. 13.
3 Ibid., hal. 14.
4 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun: Kritis, Humanis dan
Religius, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012).

3

menyelaraskan kebutuhan jiwa dan raga, manusia harus memerhatikan batasbatas yang sesuai, bukan berlebih-lebihan. Dengan demikian, pemenuhan
kebutuhan raga bisa memberikan ketenangan jiwa dan kesegaran raga. 5
Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari
kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan hakikat manusia. Disebut sifat
hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh
manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan terhadap sifat
hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia dalam
bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik serta memilih pendekatan dan

orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi
edukatif. Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan
mengenai hakikat manusia Indonesia seutuhnya. sehingga dapat tepat
menyusun rancangan dan pelaksanaan usaha kependidikannya. Selain itu,
seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap dimensi hakikat
manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikannya menjadi lebih
profesional.6
Kaitannya dengan pendidikan seutuhnya, menurut Pedoman dan
Penghayatan Pancasila, setiap manusia memiliki keinginan untuk
mempertahankan hidup, dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini
merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Pancasila sebagai
falsafah hidup bangsa dan negara memberikan pedoman bahwa kebahagiaan
hidup manusia itu akan tercapai apabila kehidupan manusia diselaraskan dan
seimbang, baik hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia
dengan masyarakat, alam, bangsa dan Tuhannya maupun dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.7
Penulis menyimpulkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk Tuhan
yang memiliki keistimewaan berupa akal yang membedakan dengan makhluk
selainnya, dengan akal tersebut diharapkan manusia mampu menjadi sosok
5 Ibid., hal. 15.

6 Chairul Anwar, Hakikat Manusia dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), hal. 2.
7 Ibid, hal. 3.

4

yang mampu membuat keputusan yang baik dan benar dalam setiap
tindakannya.
B. Pandangan Tentang Manusia
Dibawah ini akan dipaparkan beberapa pandangan-pandangan mengenai
manusia:
1. Manusia menurut pandangan Islam
Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan
dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia
disuruh menggunakan akalnya dan inderanya agar tidak salah memahami
mana kebenaran sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau
dianggap benar.8
Menurut Murtadlo Mutahari, manusia adalah makhluk serba dimensi.
Pertama, secara fisik, manusia hampir sama dengan hewan yang
membutuhkan makan, minum, dan berkembang biak. Kedua, manusia

memiliki sejumlah emosi, yaitu memperoleh keuntungan daripada
kerugian. Ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan.
Keempat, manusia mempunyai dorongan untuk menyembah Tuhan.
Kelima, memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda karena
dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak.9
Mustafa Zahri di dalam Jamal Syarif mengatakan bahwa unsur-unsur
imateri yang ada pada diri manusia adalah sebagai berikut:
a. Roh adalah pemberian hidup dari Allah kepada manusia. Manusia
tidak diberi ilmu yang mendetail tentang roh, bentuk maupun
warnanya, karena roh adalah rahasia Allah.
b. Hati (qalb) adalah tempat tersembunyinya yang dianugerahkan
kepada manusia. Hati merupakan sentral kebaikan dan kejahatan
walaupun hati lebih cenderung pada kebaikan.
c. Akal adalah pemberian Allah yang paling sempurna. Dengan akal,
manusia dapat mempelajari alam semesta. Akal mendorong

8 Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 110.
9 Murtadlo Mutahari, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, (Bandung :
Mizan, 1992), hal. 125.


5

manusia untuk terus menggali ilmu pengetahuan, dan diharapkan
manusia akan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah.
d. Nafsu adalah kemauan atau kehendak yang ada didalam diri
manusia. Nafsu dapat juga dikatakan dorongan manusia untuk
berbuat sesuatu. Biasanya nafsu selalu cenderung pada keburukan
karena sifat ini dipengaruhi oleh godaan setan. Akan tetapi, jika
nafsu dikendalikan, manusia akan memperoleh kebaikan.
Misalnya, manusia yang selalu ingin makan enak apabila tidak bisa
mengendalikan rasa laparnya, ia akan kekenyangan, tetapi apabila
dapat mengendalikan rasa lapar tersebut, ia tidak akan
kekenyangan.10
2. Manusia menurut pandangan filsuf
a. Socrates
Socrates berpendapat bahwa manusia adalah seorang pelaku
yang memiliki kemampuan akal budi dan organisasi diri.
Menurutnya hakikat manusia adalah jiwa dan batinnya. Jiwa atau
batin adalah faktor pembeda dasariah dan esensial antara manusia

dan benda makhluk lainnya. Jiwa berkaitan dengan kesadaran
berfikir dan berkarya, bersingggungan dengan nalar dan tempat
aktivitas berfikir, aku yang sadar dan personalitas intelektual dan
moral.11Menurut Socrates, kewajiban seseorang mengetahui dirinya
sendiri lebih dahulu jika ia ingin mengetahui hal-hal diluar dirinya.
Salah satu hakikat manusia adalah ia ingin tahu, dan untuk itu harus
ada membantunya.12
b. Plato
Menurut Plato, jiwa manusia adalah entitas non material yang
terdapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum
kelahiran, jiwa itu tidak dapat hancur alias abadi. Plato mengatakan
bahwa hakikat manusia itu ada dua yaitu rasio dan kesenangan
10 Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia Sebuah Perbandingan antara Islam
dan Barat, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 144-145.
11 Ibid., hal. 72.
12 Chairul Anwar, Hakikat Manusia dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), hal.

6


(nafsu). Pada bagian ini, Plato berteori bahwa jiwa manusia memiliki
tiga elemen yaitu roh, nafsu, dan rasio. Dalam hal hidup
bermasyarakat , Plato berpendapat bahwa hidup bermasyarakat itu
merupakan keharusan bagi manusia; manusia tidak dapat hidup
sendirian. Berdasarkan tiga unsur hakikat manusia, Plato membagi
manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, manusia yang didominasi
oleh rasio yang hasrat utamanya ialah meraih pengetahuan; kedua,
manusia yang didominasi roh yang hasrat utamanya ialah meraih
reputasi; dan ketiga, manusia yang didominasi nafsu yang hasrat
utamanya pada materi. Tugas rasio adalah pengontrol roh dan
nafsu.13
c. Rene Descartes
Descrates berpendapat bahwa ada dua macam tingkah laku,
yaitu tingkah laku mekanis yang ana pada binatang dan tingkah laku
rasional yang ada pada manusia. Ciri rasional pada tingkah laku
manusia ialah ia bebas memilih, pada hewan kebebasan itu tidak ada.
Descrates berpendapat bahwa berpikir itu sangat sentral pada
manusia, manusia menyadari keberadaannya karena ia berpikir
(cogito ergo sum). Descrates mengatakan bahwa manusia memiliki
emosi yang muncul dalam berbagai kombinasi yaitu cinta (love),

gembira (joy), keinginan (desire), benci (rage), sedih (sorrow) dan
kagum (wonder). Yang terpenting dalam pemikiran Descartes ialah
pendapatnya tentang posisi sentral (rasio) sebagai esensi (hakikat)
manusia.14
d. Thomas Hobbes
Ia mengatakan bahwa tingkah laku manusia ada dasar dan
tujuan. Ia mengatakan bahwa hakikatnya semua orang bersifat
mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, manusia menyusun
dan menyetujui semacam kontrak sosial yang mengatakan bahwa
13 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010),
hal. 10-11.
14 Ibid., hal. 12.

7

setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain. Akhirnya
kontrak sosial inilah yang menjadi salah satu hakikat manusia.
Dengan kata lain, hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial
yang ditandai dengan keberadaan kontrak sosial di dalamnya.
Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri,
oleh karena itu harus ada saling menghargai antar sesama dan saling
menjaga hak-hak orang lain. Dua hal ini diperlukan untuk menjaga
keharmonisan hidup manusia. 15
e. John Locke
Ia terkenal dengan teori tabula rasa yang mengatakan bahwa jiwa
manusia itu saat dilahirkan laksana kertas (istilahnya meja lilin)
kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh
dalam hidupnya. Hakikat manusia adalah manusia sebagai makhluk
sosial di dalamnya. Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya
secara sendiri-sendiri, oleh karena itu harus ada saling menghargai
antarsesama dan saling menjaga hak-hak orang lain. Dua hal ini
diperlukan untuk menjaga keharmonisan manusia.16
f. Immanuel Kant
Menurutnya manusia adalah makhluk rasional yang bebas
bertindak berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya
untuk kepentingan diri sendiri. Hampir sama dengan Descartes, Knt
mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional yang
mengandalkan rasio tersebut, sehingga manusia dituntut untuk
berbuat bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga harus
memeperhatikan kepentingan orang lain di dalamnya. Pendapat Kant
yang penting bagi dunia pendidikan adalah bahwa manusia adalah
makhluk rasional, manusia itu bebas bertindak berdasarkan alasan

15 Chairul Anwar, Hakikat Manusia dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2014), hal. 241.
16 Ibid., hal. 242.

8

moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan diri
sendiri.17
3. Manusia menurut Pandangan Psikologi
Pandangan psikologi ini diwakili oleh pandangan Barat. Para ahli
psikologi Barat umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi,
kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu
utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Menurut Sigmund
Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga kategori: aspek biologis
(struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super
ego).18
4. Manusia menurut Pancasila
Manusia Pancasila merupakan konsepsi manusia Indonesia yang
digagas oleh para pemimpin bangsa ini sebagai gambaran bagaimana
manusia negeri ini sebenarnya. Pancasila adalah dasar negara ini
sebagai pedoman dan acuan dasar untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Dalam falsafah Pancasila, manusia dipandang memiliki sudut
pandang yang monodualistik, monopluralistik, keselarasan, keserasian
dan keseimbangan.19
Dari berbagai pandangan mengenai hakikat dan potensi manusia, penulis
menyimpulkan bahwasannya setiap manusia hakikatnya sama memiliki potensi
jasmani dan ruhani. Manusia seharusnya mengembangkan potensi yang telah
dimilikinya bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, karena sesungguhnya
manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Kebahagiaan manusia dan makhluk disekitarnya merupakan suatu tujuan
kehidupan yang diharapkan oleh bangsa dan agama yang merupakan
perwujudan dari manusia sebagai khalifah fil ardhi.
C. Potensi-potensi Manusia

17 Ibid., hal. 242-243.
18 Ibid., hal. 243.
19 Ibid., hal. 249.

9

Keutuhan potensi subyek manusia sebagai subyek yang berkembang.
Kepribadian manusia lahir batin ialah satu kebutuhan yang utuh antara potensipotensi hereditas (kabawaan) dengan faktor-faktor lingkungan (pendidikan,
tata potensi:
a) Potensi jasmaniah, fisik badan, dan pancaindra yang sehat (normal),
b) Potensi pikir (akal, rasio, intelegensi, intelek)
c) Potensi rasa( perasaan emosi) baik perasaan etis moral maupun perasaan
estetis,
d) Potensi karsa (kehendak, keinginan, termasuk prakarsa),
e) Potensi cipta (daya cipta, kreativitas, khayal, dan imajinasi),
f) Potensi karya (kemauan menghasilkan, kerja, amal, sebagai tindak lanjut
1-5),
g) Potensi budi nurani (kesadaran budi, hati-nurani, yang bersifat
superrasional).
Ketujuh potensi ini, merupakan potensi dan watak bawaan yang potensial;
artinya dalam proses berkembang dan tidak. perkembangan atau aktualitas itu
akan menentukan kualitas pribadi seseorang. 20
Ibnu Taimiyah, menyampaikan bahwasanya terdapat tiga potensi dalam
diri manusia, yaitu:
a) Daya intelektual (quwwat al-aql), yaitu potensi dasar yang
memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk.
Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan
mengesakan Tuhannnya.
b) Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu
menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi
kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi
dan seimbang.
c) Daya defensif (quwwat al gadab) yaitu potensi dasar yang dapat
menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan
dirinya. Diantara ketiga potensi tersebut, disamping agama-potensi
akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua
potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasinya seluruh
potensi yang ada secara maksimal, sebagiamana yang disinyalisasi
20 Ibid., hal.7-8.

10

oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Pengingkaran dan
pemalsuan manusia akan potensi yang dimilikinya itualah yang akan
menyebabkan melakukan perbuatan amoral.21
Seringkali pendidik hanya terpusat pada pengembangan potensi pikir,
padahal sebenarnya masih banyak sekali potensi-potensi lainnya yang
seharusnya dikembangkan secara seimbang untuk keberhasilan anak didik
dimasa yang akan datang.
D. Pengembangan Potensi Manusia
Pendidikan adalah manusia. Artinya subjek maupun sasaran pendidikan
adalah manusia, sehingga pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi
tugas pendidik. Ketika terlahir ke dunia manusia telah dikaruniai oleh Tuhan
dimensi manusia dalam wujud potensi, namun belum teraktualisasi menjadi
wujud kenyataan atau aktualisasi. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud
aktualisasi terdapat rentang-rentang proses yang mengundang pendidikan
untuk berperan. Meskipun pada dasarnya pendidikan itu baik tetapi dalam
pelaksanaan mungkin saja terjadi kesalahan –kesalahan yang secara lazimnya
disebut salah didik. Hal itu bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia
biasa, yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, hasil dari
pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi dua hal yaitu:22
a. Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan
oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara
potensial dan kualitas pendidik yang disediakan untuk memberikan
pelayanan atas perkembangannya. Selanjutnya pengembangan yang utuh
dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: wujud dimensi dan arahnya.
1) Dari wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi
keindividuan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman, antara aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan aspek jasmaniah dan
rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara
21 Ibid., hal. 13-14.
22 Ibid., hal. 263-264.

11

seimbang. Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan,
kesusilaan, dan keberagaman dikatakan utuh jika semua dimensi
tersebut mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian
terhadap salah satunya.
2) Dari arah pengembangan
Keuntungan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan
kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan,
dan keberagaman secara terpadu.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia
yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi
hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara
selaras. Perkembangan mencakup yang bersifat horizontal (yang
menciptakan keseimbangan) dan bersifat vertikal (yang menciptakan
ketinggian martabat manusia). Dengan demikian secara totalitas
membentuk manusia yang utuh.
b. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan
terjadi jika di dalam proses pengembangan ada unsur dimensi hakikat
manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan
didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan atau pun domain
afektif di dominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula jika
secara vertikal ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Mengingat banyaknya potensi yang dimiliki oleh manusia, pendidik
seharusnya mampu mengembangkannya. Corak pendidikan humanis merupakan
salah satu corak pendidikan yang tepat untuk mengembangkan potensi yang ada
pada manusia.
Kalangan humanis menghadirkan lingkungan belajar yang akan mengarah
pada pertumbuhan individual. Dari sini, tujuan mendasar pendidikan bagi
kalangan humanis lebih terpusat pada aktualisasi diri daripada sekadar penguasaan

12

penuh pengetahuan sebagai tujuan akhirnya. Dengan demikian, keterbukaan,
penggunaan imajinasi, dan eksperimentasi dalam fantasi sangat dianjurkan.23
Mengingat banyaknya potensi yang dimiliki oleh manusia, pendidik
manusia tersebut seharusnya mempersiapkan dan merencanakan dengan matang
mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan potensi
manusia tersebut.
Pengembangan potensi manusia tersebut harus dimulai sejak dini bahkan
sejak anak tersebut belum dilahirkan oleh orang tuanya. Orang tua harus
mempersiapkan jasmani dan rohaninya karena hereditas berpengaruh terhadap
potensi yang akan dimiliki oleh anak. Orang tua juga harus menyediakan
lingkungan yang kondusif tempat anak memperoleh pendidikan baik dirumah
disekolah maupun dimasyarakat.
Manusia yang telah direncanakan sejak dini pengembangan potensinya,
akan dengan mudah mengaktualisasikan dirinya dengan baik, sehingga
terbentuklah manusia seutuhnya yang diharapkan untuk bangsa Indonesia.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling unik dalam
penciptaannya. Keunikannya yaitu terletak pada akal yang dimilikinya.
Memanfaatkan akal secara baik, akan berdampak pada terciptanya hakikat
manusia yang sesungguhnya.
Manusia juga mempunyai potensi yang luar biasa dibandingkan makhluk
ciptaan Tuhan yang lainnya. Terdapat potensi-potensi baik jasmani maupun rohani
yang tak terhitung jumlahnya.
23 George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terj. Mahmud Arif, (Yogyakarta: Gama
Media, 2007), hal. 160.

13

Potensi-potensi yang telah ada pada manusia tersebut seharusnya
dikembangkan dengan seimbang agar kelak dapat terbentuk manusia yang mampu
memberikan kebahagiaan bagi dirinya dan makhluk sekitarnya. Usaha
pengembangan potensi manusia harus direncanakan sejak dini, agar kelak mampu
membawa perubahan pada bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul . 2014. Hakikat Manusia dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan
Filosofis, Yogyakarta: SUKA-Press.
Jalaluddin, Idi, Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kamaluddin, Undang Ahmad. 2013. Filsafat Manusia Sebuah Perbandingan
antara Islam dan Barat, Bandung : Pustaka Setia.

14

Kosim, Muhammad. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun: Kritis,
Humanis dan Religius, Jakarta: Rineka Cipta.
Mutahari, Murtadlo.1992. Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama,
Bandung : Mizan.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Knight, George R. 2007.Filsafat Pendidikan, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama
Media.

15