Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Indone

Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Indonesia Maju, Mandiri dan Berdaulat
Pangan
Indonesia adalah negara agraris. Hal ini dibuktikan dengan luasnya lahan di Indonesia
yang digunakan untuk sektor pertanian (Salikin, 2003). Namun, sebagai negara agraris,
Indonesia masih mengimpor sejumlah bahan pangan. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk
Indonesia yang terus betambah sehingga berdampak pada permintaan kebutuhan pangan yang
juga meningkat. Impor bukanlah solusi utama untuk menghadapi ketersediaan pangan. UU
pangan yang baru memberikan instrumen ketahanan pangan yang berbasis kemandirian dan
kedaulatan pangan. Generasi penerus bangsa, khususnya tentara pangan Indonesia,
mengemban tugas untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui inovasi alternatif pangan.
Saat ini, sektor pertanian Indonesia menerapkan sistem pertanian konvensional. Sistem
pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang menerapkan monokultur untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi (Sutanto, 2002). Ada tiga sasaran utama yang ditujukan
dengan sistem ini, yaitu lingkungan yang sehat, keuntungan ekonomi, dan keadilan sosial bagi
pelaku usaha pertanian atau ketersediaan pangan yang merata (Suwahyono, 2013). Berkaitan
dengan ketersediaan pangan yang merata, Wakil Ketua Komite Tetap Industri Derivatif
Pertanian Kadin Indonesia, meminta Indonesia bersiap untuk menghadapi ancaman krisis
pangan yang diprediksi terjadi pada tahun 2030. Berdasarkan hitungan dari Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) Indonesia, penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta jiwa pada 2030
sehingga diperkirakan kebutuhan akan beras mencapai 46 juta ton. Sedangkan, ketersediaan
beras akan berkurang 3,5 juta ton kaibat konversi lahan (). Selain itu, produksi pertanian,

khususnya padi, terbatas jika harus memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Hal ini
disebabkan karena adanya masalah laju alih fungsi lahan sawah yang tak terbendung, ledakan
hama dan penyakit padi yang tak terduga, serta fenomena ketidakpastian musim (Salikin,
2003). Akibatnya, produksi padi menurun, permintaan kebutuhan pangan tidak terpenuhi dan
kesejahteraan petani menurun.
Impor masih menjadi solusi mengatasi permintaan pangan yang tinggi di Indonesia.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2016 Indonesia mengimpor sebanyak ton beras, jagung,
dan kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih bergantung pada impor dan belum
bisa mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis kemandirian pangan. Di satu sisi, impor
bisa dijadikan solusi untuk jangka pendek karena selain untuk memenuhi kebutuhan pangan,
impor bisa menambah devisa negara melalui bea masuk dan bisa mempererat hubungan
antarnegara (). Namun, impor bukanlah solusi yang tepat apabila dilakukan dalam jangka
panjang karena kemandirian pangan tidak akan terwujud dan jika dibiarkan maka produksi

dalam negeri akan tertekan (). Ketahanan pangan yang diamanatkan pun bisa saja hanya
menjadi sebuah wacana.
Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla menargetkan Indonesia berswasembada beras
secara penuh tahun 2017 (Faadila, ). Keinginan pemerintah berswasembada beras memang
bisa membantu mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Namun, dalam upaya
mewujudkan ketahanan pangan, selain ketersedian pangan, akses pangan dan penyerapan

pangan juga menjadi tolok ukur pentingnya (Kementrian Perdagangan, 2013). Menurut UU
Pangan No 18 Tahun 2012, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan suatu negara hingga perorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Swasembada beras yang diusahakan oleh
pemerintah perlu mendapat dukungan inovasi alternatif pangan dari anak bangsa sehingga
ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan dapat segera terwujud.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari Kementrian Perdagangan (2013), pola
konsumsi masyarakat menunjukkan perubahan dengan pengurangan pangan sumber
karbohidrat ke arah peningkatan sumber pangan protein, dan pengeluaran masyarakat dari
kelompok makanan/minuman siap saji meningkat jika dibandingkan dengan pengeluaran dari
kelompok padi – padian. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai bosan dengan pola
konsusmsi sehari – hari. Meskipun demikian, kebutuhan gizi sebagai bagian dari capaian
ketahanan pangan untuk manusia sehat dan produktif tetap perlu diperhatikan. Sebagai bagian
dari tentara pangan Indonesia, saya bertekad untuk memajukan Indonesia melalui ketahanan
pangan. Sebagai calon ahli pangan, saya berharap bisa menemukan alternatif pangan supaya
dengan bahan yang tersedia bisa dijadikan pengganti bahan yang jumlahnya terbatas dengan
kandungan gizi yang tidak jauh berbeda, bisa disesuaikan dengan selera masyarakat,
terjangkau, dan melibatkan petani Indonesia. Misalnya, memodifikasi singkong menjadi

seperti beras, baik dalam hal rasa maupun kandungan gizi. Langkah nyata yang akan saya
lakukan saat ini adalah dengan memanfaatkan kesempatan saya belajar di UGM dengan baik
supaya saya mengatahui medan yang saya hadapi, hal yang saya perlukan, hal yang harus
saya ketahui, dan ide – ide lain untuk menunjang cita – cita saya.
Dengan demikian, kelebihan Indonesia sebagai negara agraris dapat dimanfaatkan
untuk menjadikan Indonesia yang maju, mandiri, dan berdaulat pangan melalui peran anak
bangsa mewujudkan ketahanan pangan.

Daftar Rujukan
Faadila, Annisa. (). Swasembada Pangan 2017. [Online]. P. 1-2. Diakses dari:
www.academia.edu/19859345/Swasembada_pangan_2017 [Diakses: 25 Juli 2017].
Kementrian Perdagangan (2013) Laporan Akhir Analisis Dinamika Konsumsi Pangan
Masyarakat Indonesia. [Online] Juni 2013. Diakses dari: [Diakses: 25 Juli 2017].
Salikin, Karwan. A. (2003) Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
Sutanto, Rachman. (2002) Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Suwahyono, Untung. (2013) Membuat Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.