Konsekuensi Bentuk Negara Krisis Eropa A
Konsekuensi Bentuk Negara: Krisis Eropa, AS & Kita
-Negara konfederasi, negara federal dan negara kesatuan, apa soalnya?Government shutdown di Amerika Serikat akhirnya berakhir juga, walaupun tidak
ada jaminan kebuntuan ini tidak akan terjadi lagi. Ia bukan yang pertama kali,
bukan pula yang terakhir.
Sementara itu, krisis ekonomi Eropa masih terus berlangsung tanpa ujung yang
jelas. Parlemen Eropa boleh bersidang dan berbagai regulasi ditelurkan, tetapi
nasib Eropa tetap saja tergantung pada Jerman dan Angela Merkel.
Persoalan demikian sudah sering dibahas dari aspek ekonomi Eropa ataupun
politik kepartaian di AS. Namun, saya ingin mengulasnya dari aspek bentuk
negara dan bagaimana relevansinya bagi kita. Bagi saya, persoalan kontemporer
di Eropa dan AS adalah akibat dari bentuk negara mereka, yaitu negara
konfederasi dan negara federal. Tampaknya kedua bentuk negara ini sedang
merumuskan dirinya kembali dalam berhadapan dengan dinamika kontemporer,
seperti globalisasi, interdependensi ekonomi serta kecenderungan teknologi
komunikasi dalam memperkuat jaringan-jaringan lokal.
Dari kesulitan dan persoalan mereka, Indonesia dapat bercermin. Kita harus
mengerti kelemahan dan kekuatan bentuk negara mereka, untuk semakin
menyempurnakan bentuk negara kita, yaitu negara kesatuan, dalam menghadapi
berbagai tantangan dan perubahan di masa depan.
Konfederasi Eropa
Uni Eropa (EU) adalah negara konfederasi, dengan pusat pemerintahan di Brussel.
Ia dilengkapi dengan sebuah parlemen dan seorang presiden yang memegang
kekuasaan simbolik. Selain itu, EU juga memiliki sebuah bank sentral, yang
menerbitkan mata uang Eropa (Euro). Lembaga-lembaga inilah yang menjalankan
fungsi pemerintah pusat dalam bentuk negara konfederasi di Eropa.
Dalam sejarahnya, EU terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat sepenuhnya.
Secara perlahan mereka berevolusi untuk mengintegrasikan diri dalam sebuah
perserikatan yang lebih besar, sebuah “perhimpunan sukarela” dari 28 negara
anggotanya. Alasan utamanya adalah efisiensi ekonomi dan trauma perang besar
(Perang Dunia I dan II) yang memakan jutaan korban warga Eropa. Integrasi ini
kemudian mengambil bentuk sebuah ikatan longgar, a loosely integrated union,
yang berkembang dalam bentuk konfederasi Eropa sebagaimana yang kita kenal
sekarang.
Negara-negara tersebut bersepakat untuk membentuk pemerintahan EU secara
terbatas, dengan parlemen yang kewenangannya terbatas pula. Beberapa
kewenangan yang sebagian diserahkan kepada pemerintah EU tersebut adalah
kebijakan imigrasi, lingkungan hidup, perburuhan, perdagangan internasional,
kesejahteraan sosial, dan semacamnya. Dari semua itu, yang paling fundamental
adalah penyerahan total dari kewenangan moneter masing-masing negara, dengan
berdirinya Bank Sentral Eropa dan lahirnya mata uang Euro 15 tahun silam.
Di luar hal itu, masing-masing negara anggotanya tetap mempertahankan
kedaulatan penuh atas kewenangan pertahanan dan keamanan, hubungan luar
negeri, dan terutama kewenangan fiskal (penetapan pajak, belanja pegawai, dan
anggaran pemerintah, seperti APBN di Indonesia). Masing-masing negara tetap
berdaulat sebagai negara “normal”. Kata kuncinya adalah kedaulatan, sovereignty.
Inilah salah satu ciri negara konfederasi.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengelola tata kelembagaan konfederasi Eropa:
kewenangan moneter dan kewenangan fiskal diatur oleh dua otoritas berbeda. Di
sinilah terletak persoalan endemik yang akan terus mengganjal bentuk negara
konfederasi seperti di Eropa.
Ketika kebijakan moneter dan fiskal berada dalam dua locus kedaulatan yang
berbeda maka kesimpangsiuran yang berefek negatif pada masing-masing negara
ataupun keseluruhan konfederasi senantiasa dapat mencuat sewaktu-waktu.
Kebijakan moneter berada pada tataran Bank Sentral Eropa, sementara tiap-tiap
negara anggota membuat kebijakan fiskal untuk merespons kepentingan ekonomi
dan politik yang secara riil mereka hadapi. Aturan tentang pembatasan defisit
terus dilanggar karena kaum politisi di Yunani dan Italia, misalnya, berwenang
sepenuhnya dalam melahirkan kebijakan fiskal populis untuk membiayai berbagai
program kesejahteraan sosial mereka. Kaum politisi mencari popularitas elektoral,
tanpa harus memperhatikan kehendak Bank Sentral dalam menjaga keseimbangan
moneter di Eropa.
Yang lebih rumit lagi, bentuk negara konfederasi mempersulit negara-negara
anggotanya untuk mengambil aksi bersama, collective actions, dalam mengatasi
krisis ekonomi yang berlarut-larut. Di Parlemen Eropa proses perundingan begitu
bertele-tele di antara 28 negara anggota yang sepenuhnya berdaulat. Merumuskan
kebijakan sudah begitu sulit dibayangkan betapa rumitnya proses implementasi
kebijakan di tiap negara tersebut.
Persoalan aksi bersama inilah, bukan hanya dalam hal moneter dan fiskal, tapi
juga untuk seluruh persoalan kebijakan dalam rangka kesatuan Uni Eropa, yang
pada dasarnya menjadi batu sandungan terbesar. Jangan berharap bahwa EU bisa
membuat kebijakan dengan cepat untuk hal apapun, dibandingkan misalnya
dengan proses pengambilan keputusan di AS.
Dalam proses kebuntuan di EU, akhirnya tetap dibutuhkan pemimpin kuat, yang
“memaksakan” arah kebijakan tertentu untuk keseluruhan EU. Inilah peran
Angela Merkel dan Jerman, yang membuatnya disegani sekaligus dibenci oleh
rakyat negara-negara Eropa lainnya. Bola kepemimpinan sekarang berada di kaki
Jerman, dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Pertanyaan terbesar di Eropa
sekarang adalah seberapa jauh, seberapa cepat, Merkel dan Jerman dapat
menggunakan semua itu untuk mengatasi kelemahan bentuk negara konfederasi,
serta pada akhirnya mendorong the rebirth of the European economy.
Amerika Serikat
Bagi publik AS, proses pengambilan keputusan di EU sungguh menjengkelkan.
Di AS, banyak kebijakan, seperti kebijakan pertahanan dan luar negeri, langsung
diputuskan oleh presiden. Kebijakan moneter dan fiskal bersinergi secara cepat
pada tingkat federal. Aksi bersama pemerintah federal paling-paling harus
dikonsultasikan dengan parlemen, yaitu Senat dan Kongres, dengan proses yang
biasanya relatif cepat. Perbedaan keduanya adalah konsekuensi perbedaan bentuk
negara.
Sejarah pemerintahan AS dimulai dengan munculnya 13 koloni independen di
bawah kekuasaan Inggris Raya. Revolusi kemerdekaan AS bermula ketika ke-13
koloni ini bersepakat untuk merdeka. Untuk itu mereka merumuskan sebuah
pemerintahan bersama dalam bentuk negara federal, yang diatur mengikuti asas
trias politica, dengan seorang presiden yang duduk di puncak pimpinan eksekutif,
yang juga berperan sebagai kepala negara.
Masing-masing koloni kemudian menjadi negara bagian, states, dan mengirimkan
perwakilannya untuk mengisi Senat dan Kongres. Negara-negara bagian inilah
yang kemudian menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah
federal.
Pada awalnya, yang diberikan kepada pemerintah federal sangat terbatas, yaitu
hanya kewenangan pajak secara terbatas untuk membiayai administrasi
pemerintah pusat dan hubungan luar negeri. Kebijakan pertahanan dan keamanan
tadinya tetap di tangan pemerintah negara bagian, belakangan ketika pergerakan
pasukan secara terkoordinasi perlu dilakukan lebih efektif, kewenangan
pertahanan diserahkan ke pemerintah federal. Dalam perjalanannya kemudian,
kewenangan fiskal dan moneter juga mengalami peralihan yang sama.
Intinya adalah ke-13 koloni tersebut menyerahkan otoritasnya secara bertahap
kepada pemerintah federal. Namun residual power, yaitu kewenangankewenangan yang tidak diserahkan, tetaplah menjadi kewenangan negara bagian.
Dalam hal ini kata kuncinya adalah kewenangan, bukan kedaulatan. Dalam negara
federal, kedaulatan berada pada pemerintah federal.
Pada awalnya, ketika pemerintah negara-negara bagian tidak terlalu suka memberi
kewenangan yang cukup besar kepada pemerintah federal, muncullah kaum
intelektual yang dinamakan The Federalist, dengan James Madison sebagai tokoh
utamanya, yang mengkampanyekan perlunya memperkuat pemerintah federal jika
AS ingin menjadi negara yang kuat.
Dalam banyak hal, kaum Federalist, lewat kumpulan perdebatan yang terkenal
dan diterbitkan dalam The Federalist Papers, lumayan berhasil. Setelah dua abad,
kewenangan pemerintah pusat AS sekarang ini jauh lebih besar. Pengambilan
keputusan menjadi lebih cepat, apalagi jika berhadapan dengan pihak luar negeri,
baik lawan maupun kawan.
Namun kedigdayaan AS ini tetaplah menyimpan bara dalam sekam, yaitu dalam
hubungan pusat-daerah. Karena kewenangan pemerintah federal diberikan oleh
negara bagian, maka selalu saja ada politisi lokal yang mengembangkan retorika
“menarik kewenangan” pemerintah federal yang dianggap sudah “kebablasan”.
Blame game terhadap Washington DC. selalu menjadi retorika rutin dalam pemilu
di distrik pemilihan di setiap negara bagian. Dalam situasi krisis, retorika ini
semakin menguat dan mempengaruhi dinamika politik di tingkat nasional.
Tarik-menarik inilah yang dimanfaatkan oleh kaum Tea Party yang berkampanye
pada tataran akar rumput di distrik pemilihan. Tea Party bukanlah partai politik,
namun sebuah gerakan kaum konservatif radikal, yang meminjam nama peristiwa
pemberontakan koloni Boston terhadap Inggris Raya. Tea Party ini menginfiltrasi
Partai Republik yang memang cocok dengan ideologi mereka.
Partai Republik adalah partai beraliran konservatif yang terkenal dengan
semboyan small government atau limited government. Semboyan ini kemudian
digunakan oleh Tea Party untuk menyerang “gurita negara federal” dan
mengembalikan perannya yang kecil dan terbatas. Mereka beroperasi di level
negara bagian, khusunya di distrik-distrik pemilihan yang telah ditata sedemikian
rupa, lewat pengaturan gerrymandering, sehingga menjadi sangat konservatif.
Wakil-wakil dari distrik pemilihan yang konservatif ini masuk ke Senat dan
Kongres membawakan sebuah tujuan ganda: pengebirian kewenangan pemerintah
federal, yang diiringi dengan penguatan otoritas pemerintah negara bagian.
Salah satu manifestasinya bisa kita lihat dalam perjuangan mereka melawan
kebijakan utama Presiden Obama, yaitu Obamacare, sebuah terobosan baru dalam
dunia kesehatan dan asuransi publik di AS. Perjuangan merekalah yang
mengakibatkan kebuntuan kebijakan, yang berujung pada government shutdown
yang beberapa minggu lalu menghantui publik AS. Mereka menghalangi
kesepakatan dalam merumuskan APBN mereka, menutup kemungkinan
bernegosiasi, agar pemerintah federal tidak mendapatkan dana yang memadai
untuk menjalankan program kesehatan yang menjadi kebanggaan Presiden
Obama.
Kerugian yang terjadi akibat kebuntuan tersebut mencapai ratusan miliar dolar,
atau ribuan trilun rupiah. Walaupun akhirnya, setelah berjalan dua minggu,
kompromi bisa dicapai, sehingga pemerintah berjalan normal kembali, namun
kompromi yang terjadi bersifat sementara. Konflik berikutnya mungkin muncul di
bulan Januari tahun depan ketika Senat dan Kongres AS membicarakan
pembayaran utang luar negeri dan pembatasan jumlahnya.
Cukup banyak pengamat yang berpandangan bahwa nasib pemerintahan Obama
sangat tergantung pada kemampuan dia dalam mengatasi desakan aktivis Tea
Party tersebut: mampukah dia menciptakan ruang-ruang kompromi, tanpa harus
mengecilkan berbagai program utama yang dibanggakannya? Ataukah persoalan
itu terlalu sulit, terlalu endemik sebagai kelemahan bentuk negara federal di AS,
sehingga Obama hanya mampu menghasilkan kompromi temporer, dan dunia
kebijakan di negara Paman Sam itu terus dihantui oleh konflik yang menajam?
Indonesia
Walaupun persoalan krisis ekonomi Eropa dan shutdown AS adalah persoalan
yang bersumber pada masalah “dalam negeri” mereka, namun tetap saja persoalan
itu mengimbas secara global. Interdepedensi dalam globalisasi membuat kita
harus mengantisipasinya.
Beberapa hal perlu kita lakukan. Kita harus mengerti akar persoalan di EU dan AS
serta merumuskan kebijakan yang tepat untuk melindungi ekonomi ataupun
kepentingan nasional kita. Selain itu, kita harus memperkuat diri, terus
mendorong agar bentuk negara kesatuan RI cukup adaptif serta mampu menahan
gelombang-gelombang krisis yang mungkin terjadi.
Dalam hal terakhir ini, kita harus semakin mengerti elemen-elemen dasar yang
mempengaruhi bekerjanya tata pemerintahan RI secara keseluruhan. Elemen dasar
tersebut tercermin dalam beberapa konsep, seperti kedaulatan, kewenangan,
hubungan pusat-daerah, tindakan kolektif, serta dinamika perumusan kebijakan,
baik di parlemen maupun di eksekutif.
Untuk itu, kita perlu melihat kembali bagaimana bentuk dan struktur negara kita
dan berbagai konsekuensinya serta ranjau-ranjau yang harus kita antisipasi dalam
perjalanan kita ke depan.
Bukan kebetulan jika bentuk negara RI adalah negara kesatuan. Negara Kesatuan
Republik Indonesia dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sehari kemudian
barulah UUD 1945 disahkan. Di dalamnya dikatakan bahwa pemerintah pusat RI
mengambil bentuk negara kesatuan, yang dipimpin oleh seorang presiden, yang
berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus.
Prinsip check and balances diatur melalui pembentukan parlemen nasional (DPR).
Berbanding terbalik dengan logika pembentukan negara federal, pemerintah pusat
inilah yang membentuk satuan-satuan pemerintahan daerah yang kemudian
disebut propinsi, kabupaten dan kota. Pemerintah pusat kemudian memberikan
sebagian kewenangannya kepada satuan-satuan pemerintah daerah tersebut.
Dalam negara kesatuan, residual power berada pada pemerintah pusat. Dengan
demikian kewenangan yang tidak diberikan kepada pemerintah daerah tetaplah
menjadi otoritas pemerintah pusat. Kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Dalam hubungan pusat-daerah, kata kuncinya adalah kewenangan, bukan
kedaulatan.
Jika pada awal kemerdekaan AS, titik berat kewenangan di tangan negara bagian,
pada masa-masa awal kemerdekaan RI titik beratnya berada pada pemerintah
pusat. Dalam pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, struktur kewenangan
yang ada sangat sentralistik. Proses desentralisasi dan otonomi daerah yang betulbetul nyata barulah dimulai dalam Era Reformasi.
Daerah-daerah otonom pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota baru tercipta
setelah sebagian kewenangan diserahkan oleh pemerintah pusat melalui terobosan
desentralisasi dalam beberapa undang-undang di tahun 1999 dan 2004. Dalam
desain baru ini, pemerintah pusat tetap memegang kewenangan tertentu secara
mutlak, yaitu kewenangan pertahanan dan keamanan, luar negeri, moneter dan
fiskal serta agama. Di luar itu, dalam urusan pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan publik, misalnya, pemerintah daerah menjadi aktor terdepan, dengan
dukungan pemerintah pusat lewat kebijakan anggaran dan pembinaan
kelembagaan.
Penyakit endemik dalam negara kesatuan adalah kecenderungan sentralisme
kekuasaan yang diikuti dengan berbagai penyeragaman yang mematikan variasi
kedaerahan dan inisiatif lokal yang menyertainya. Namun, koreksi terhadap
sentralisme kekuasaan tersebut dalam bentuk desentralisasi dan otonomi daerah
tidaklah boleh melemahkan pemerintah pusat sehingga menyulitkan pembuatan
keputusan secara kolektif sebagai suatu bangsa. Desentralisasi justru
membutuhkan pemerintah pusat yang kuat.
Memperkuat daerah dengan cara memperlemah pemerintah pusat hanya akan
membuat Indonesia berayun pada pendulum sentralisme ekstrem menuju
desentralisme ekstrem. Desentralisme ekstrem hanya akan mengarahkan kita pada
jebakan ketegangan pusat-daerah seperti yang dialami dalam negara federal.
Selain itu, jika pembagian kewenangan terlalu mengebiri peran pemerintah pusat,
serta menciptakan proses yang terlalu bertele-tele dalam pengambilan keputusan,
maka Indonesia dapat terjebak dalam kelemahan yang telah menjepit Eropa pada
beberapa tahun terakhir ini.
Yang kita perlukan sekarang adalah penyempurnaan struktur kewenangan dalam
format negara kesatuan sehingga tercipta keseimbangan yang lebih baik lagi
dalam hubungan pusat-daerah.
Dalam konteks itu, kita perlu melihat persoalan yang ada dalam kerangka yang
dinamis. Pendekatan modern dalam hubungan pusat-daerah tidak lagi berdasarkan
ideologi, kedaerahan ataupun nasionalisme sempit. Pendekatan modern lebih
mengedepankan rasionalitas dan distribusi fungsi yang tepat pada lapisan-lapisan
pemerintahan yang bertingkat.
Pertanyaan utama yang perlu kita jawab adalah, “Fungsi-fungsi pemerintahan apa
yang paling tepat bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten dan kota?”
Pertanyaan yang sama sebenarnya juga berlaku bagi negara federal maupun
konfederasi. Diskusi yang rasional tentang distribusi fungsi pada masing-masing
lapisan pemerintahan haruslah dilakukan dengan melihat pengalaman dan best
practices di negara-negara lain. Distribusi fungsi ini juga bisa berubah sesuai
dengan situasi dan tantangan nasional. Istilah bahasa Jawanya, distribusi fungsi ini
bisa dikiyak-kiyuk sedemikian rupa untuk mencari titik keseimbangan yang tepat
dalam hubungan pusat-daerah.
Kita berharap bangsa Eropa dan AS dapat menemukan solusi yang tepat agar
persoalan sistemik yang muncul dari konsekuensi bentuk negara mereka tidak
terus menerus menghantui mereka dan dunia. Bersamaan dengan itu, kita harus
belajar dari pengalaman mereka untuk memperkuat NKRI sehingga kita siap
menghadapi berbagai imbas global yang mungkin terjadi.
Kita bersyukur bahwa para pendiri negara kita memilih bentuk negara kesatuan.
Namun masih ada pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan agar NKRI terus
menjadi bingkai yang kuat dan dinamis dalam mengiringi langkah bangsa
Indonesia dalam mengarungi perjalan zaman.
Jakarta, 31 Oktober 2013
*) Andi Mallarangeng, Doktor Ilmu Politik Northern Illinois University, AS
-Negara konfederasi, negara federal dan negara kesatuan, apa soalnya?Government shutdown di Amerika Serikat akhirnya berakhir juga, walaupun tidak
ada jaminan kebuntuan ini tidak akan terjadi lagi. Ia bukan yang pertama kali,
bukan pula yang terakhir.
Sementara itu, krisis ekonomi Eropa masih terus berlangsung tanpa ujung yang
jelas. Parlemen Eropa boleh bersidang dan berbagai regulasi ditelurkan, tetapi
nasib Eropa tetap saja tergantung pada Jerman dan Angela Merkel.
Persoalan demikian sudah sering dibahas dari aspek ekonomi Eropa ataupun
politik kepartaian di AS. Namun, saya ingin mengulasnya dari aspek bentuk
negara dan bagaimana relevansinya bagi kita. Bagi saya, persoalan kontemporer
di Eropa dan AS adalah akibat dari bentuk negara mereka, yaitu negara
konfederasi dan negara federal. Tampaknya kedua bentuk negara ini sedang
merumuskan dirinya kembali dalam berhadapan dengan dinamika kontemporer,
seperti globalisasi, interdependensi ekonomi serta kecenderungan teknologi
komunikasi dalam memperkuat jaringan-jaringan lokal.
Dari kesulitan dan persoalan mereka, Indonesia dapat bercermin. Kita harus
mengerti kelemahan dan kekuatan bentuk negara mereka, untuk semakin
menyempurnakan bentuk negara kita, yaitu negara kesatuan, dalam menghadapi
berbagai tantangan dan perubahan di masa depan.
Konfederasi Eropa
Uni Eropa (EU) adalah negara konfederasi, dengan pusat pemerintahan di Brussel.
Ia dilengkapi dengan sebuah parlemen dan seorang presiden yang memegang
kekuasaan simbolik. Selain itu, EU juga memiliki sebuah bank sentral, yang
menerbitkan mata uang Eropa (Euro). Lembaga-lembaga inilah yang menjalankan
fungsi pemerintah pusat dalam bentuk negara konfederasi di Eropa.
Dalam sejarahnya, EU terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat sepenuhnya.
Secara perlahan mereka berevolusi untuk mengintegrasikan diri dalam sebuah
perserikatan yang lebih besar, sebuah “perhimpunan sukarela” dari 28 negara
anggotanya. Alasan utamanya adalah efisiensi ekonomi dan trauma perang besar
(Perang Dunia I dan II) yang memakan jutaan korban warga Eropa. Integrasi ini
kemudian mengambil bentuk sebuah ikatan longgar, a loosely integrated union,
yang berkembang dalam bentuk konfederasi Eropa sebagaimana yang kita kenal
sekarang.
Negara-negara tersebut bersepakat untuk membentuk pemerintahan EU secara
terbatas, dengan parlemen yang kewenangannya terbatas pula. Beberapa
kewenangan yang sebagian diserahkan kepada pemerintah EU tersebut adalah
kebijakan imigrasi, lingkungan hidup, perburuhan, perdagangan internasional,
kesejahteraan sosial, dan semacamnya. Dari semua itu, yang paling fundamental
adalah penyerahan total dari kewenangan moneter masing-masing negara, dengan
berdirinya Bank Sentral Eropa dan lahirnya mata uang Euro 15 tahun silam.
Di luar hal itu, masing-masing negara anggotanya tetap mempertahankan
kedaulatan penuh atas kewenangan pertahanan dan keamanan, hubungan luar
negeri, dan terutama kewenangan fiskal (penetapan pajak, belanja pegawai, dan
anggaran pemerintah, seperti APBN di Indonesia). Masing-masing negara tetap
berdaulat sebagai negara “normal”. Kata kuncinya adalah kedaulatan, sovereignty.
Inilah salah satu ciri negara konfederasi.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengelola tata kelembagaan konfederasi Eropa:
kewenangan moneter dan kewenangan fiskal diatur oleh dua otoritas berbeda. Di
sinilah terletak persoalan endemik yang akan terus mengganjal bentuk negara
konfederasi seperti di Eropa.
Ketika kebijakan moneter dan fiskal berada dalam dua locus kedaulatan yang
berbeda maka kesimpangsiuran yang berefek negatif pada masing-masing negara
ataupun keseluruhan konfederasi senantiasa dapat mencuat sewaktu-waktu.
Kebijakan moneter berada pada tataran Bank Sentral Eropa, sementara tiap-tiap
negara anggota membuat kebijakan fiskal untuk merespons kepentingan ekonomi
dan politik yang secara riil mereka hadapi. Aturan tentang pembatasan defisit
terus dilanggar karena kaum politisi di Yunani dan Italia, misalnya, berwenang
sepenuhnya dalam melahirkan kebijakan fiskal populis untuk membiayai berbagai
program kesejahteraan sosial mereka. Kaum politisi mencari popularitas elektoral,
tanpa harus memperhatikan kehendak Bank Sentral dalam menjaga keseimbangan
moneter di Eropa.
Yang lebih rumit lagi, bentuk negara konfederasi mempersulit negara-negara
anggotanya untuk mengambil aksi bersama, collective actions, dalam mengatasi
krisis ekonomi yang berlarut-larut. Di Parlemen Eropa proses perundingan begitu
bertele-tele di antara 28 negara anggota yang sepenuhnya berdaulat. Merumuskan
kebijakan sudah begitu sulit dibayangkan betapa rumitnya proses implementasi
kebijakan di tiap negara tersebut.
Persoalan aksi bersama inilah, bukan hanya dalam hal moneter dan fiskal, tapi
juga untuk seluruh persoalan kebijakan dalam rangka kesatuan Uni Eropa, yang
pada dasarnya menjadi batu sandungan terbesar. Jangan berharap bahwa EU bisa
membuat kebijakan dengan cepat untuk hal apapun, dibandingkan misalnya
dengan proses pengambilan keputusan di AS.
Dalam proses kebuntuan di EU, akhirnya tetap dibutuhkan pemimpin kuat, yang
“memaksakan” arah kebijakan tertentu untuk keseluruhan EU. Inilah peran
Angela Merkel dan Jerman, yang membuatnya disegani sekaligus dibenci oleh
rakyat negara-negara Eropa lainnya. Bola kepemimpinan sekarang berada di kaki
Jerman, dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Pertanyaan terbesar di Eropa
sekarang adalah seberapa jauh, seberapa cepat, Merkel dan Jerman dapat
menggunakan semua itu untuk mengatasi kelemahan bentuk negara konfederasi,
serta pada akhirnya mendorong the rebirth of the European economy.
Amerika Serikat
Bagi publik AS, proses pengambilan keputusan di EU sungguh menjengkelkan.
Di AS, banyak kebijakan, seperti kebijakan pertahanan dan luar negeri, langsung
diputuskan oleh presiden. Kebijakan moneter dan fiskal bersinergi secara cepat
pada tingkat federal. Aksi bersama pemerintah federal paling-paling harus
dikonsultasikan dengan parlemen, yaitu Senat dan Kongres, dengan proses yang
biasanya relatif cepat. Perbedaan keduanya adalah konsekuensi perbedaan bentuk
negara.
Sejarah pemerintahan AS dimulai dengan munculnya 13 koloni independen di
bawah kekuasaan Inggris Raya. Revolusi kemerdekaan AS bermula ketika ke-13
koloni ini bersepakat untuk merdeka. Untuk itu mereka merumuskan sebuah
pemerintahan bersama dalam bentuk negara federal, yang diatur mengikuti asas
trias politica, dengan seorang presiden yang duduk di puncak pimpinan eksekutif,
yang juga berperan sebagai kepala negara.
Masing-masing koloni kemudian menjadi negara bagian, states, dan mengirimkan
perwakilannya untuk mengisi Senat dan Kongres. Negara-negara bagian inilah
yang kemudian menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah
federal.
Pada awalnya, yang diberikan kepada pemerintah federal sangat terbatas, yaitu
hanya kewenangan pajak secara terbatas untuk membiayai administrasi
pemerintah pusat dan hubungan luar negeri. Kebijakan pertahanan dan keamanan
tadinya tetap di tangan pemerintah negara bagian, belakangan ketika pergerakan
pasukan secara terkoordinasi perlu dilakukan lebih efektif, kewenangan
pertahanan diserahkan ke pemerintah federal. Dalam perjalanannya kemudian,
kewenangan fiskal dan moneter juga mengalami peralihan yang sama.
Intinya adalah ke-13 koloni tersebut menyerahkan otoritasnya secara bertahap
kepada pemerintah federal. Namun residual power, yaitu kewenangankewenangan yang tidak diserahkan, tetaplah menjadi kewenangan negara bagian.
Dalam hal ini kata kuncinya adalah kewenangan, bukan kedaulatan. Dalam negara
federal, kedaulatan berada pada pemerintah federal.
Pada awalnya, ketika pemerintah negara-negara bagian tidak terlalu suka memberi
kewenangan yang cukup besar kepada pemerintah federal, muncullah kaum
intelektual yang dinamakan The Federalist, dengan James Madison sebagai tokoh
utamanya, yang mengkampanyekan perlunya memperkuat pemerintah federal jika
AS ingin menjadi negara yang kuat.
Dalam banyak hal, kaum Federalist, lewat kumpulan perdebatan yang terkenal
dan diterbitkan dalam The Federalist Papers, lumayan berhasil. Setelah dua abad,
kewenangan pemerintah pusat AS sekarang ini jauh lebih besar. Pengambilan
keputusan menjadi lebih cepat, apalagi jika berhadapan dengan pihak luar negeri,
baik lawan maupun kawan.
Namun kedigdayaan AS ini tetaplah menyimpan bara dalam sekam, yaitu dalam
hubungan pusat-daerah. Karena kewenangan pemerintah federal diberikan oleh
negara bagian, maka selalu saja ada politisi lokal yang mengembangkan retorika
“menarik kewenangan” pemerintah federal yang dianggap sudah “kebablasan”.
Blame game terhadap Washington DC. selalu menjadi retorika rutin dalam pemilu
di distrik pemilihan di setiap negara bagian. Dalam situasi krisis, retorika ini
semakin menguat dan mempengaruhi dinamika politik di tingkat nasional.
Tarik-menarik inilah yang dimanfaatkan oleh kaum Tea Party yang berkampanye
pada tataran akar rumput di distrik pemilihan. Tea Party bukanlah partai politik,
namun sebuah gerakan kaum konservatif radikal, yang meminjam nama peristiwa
pemberontakan koloni Boston terhadap Inggris Raya. Tea Party ini menginfiltrasi
Partai Republik yang memang cocok dengan ideologi mereka.
Partai Republik adalah partai beraliran konservatif yang terkenal dengan
semboyan small government atau limited government. Semboyan ini kemudian
digunakan oleh Tea Party untuk menyerang “gurita negara federal” dan
mengembalikan perannya yang kecil dan terbatas. Mereka beroperasi di level
negara bagian, khusunya di distrik-distrik pemilihan yang telah ditata sedemikian
rupa, lewat pengaturan gerrymandering, sehingga menjadi sangat konservatif.
Wakil-wakil dari distrik pemilihan yang konservatif ini masuk ke Senat dan
Kongres membawakan sebuah tujuan ganda: pengebirian kewenangan pemerintah
federal, yang diiringi dengan penguatan otoritas pemerintah negara bagian.
Salah satu manifestasinya bisa kita lihat dalam perjuangan mereka melawan
kebijakan utama Presiden Obama, yaitu Obamacare, sebuah terobosan baru dalam
dunia kesehatan dan asuransi publik di AS. Perjuangan merekalah yang
mengakibatkan kebuntuan kebijakan, yang berujung pada government shutdown
yang beberapa minggu lalu menghantui publik AS. Mereka menghalangi
kesepakatan dalam merumuskan APBN mereka, menutup kemungkinan
bernegosiasi, agar pemerintah federal tidak mendapatkan dana yang memadai
untuk menjalankan program kesehatan yang menjadi kebanggaan Presiden
Obama.
Kerugian yang terjadi akibat kebuntuan tersebut mencapai ratusan miliar dolar,
atau ribuan trilun rupiah. Walaupun akhirnya, setelah berjalan dua minggu,
kompromi bisa dicapai, sehingga pemerintah berjalan normal kembali, namun
kompromi yang terjadi bersifat sementara. Konflik berikutnya mungkin muncul di
bulan Januari tahun depan ketika Senat dan Kongres AS membicarakan
pembayaran utang luar negeri dan pembatasan jumlahnya.
Cukup banyak pengamat yang berpandangan bahwa nasib pemerintahan Obama
sangat tergantung pada kemampuan dia dalam mengatasi desakan aktivis Tea
Party tersebut: mampukah dia menciptakan ruang-ruang kompromi, tanpa harus
mengecilkan berbagai program utama yang dibanggakannya? Ataukah persoalan
itu terlalu sulit, terlalu endemik sebagai kelemahan bentuk negara federal di AS,
sehingga Obama hanya mampu menghasilkan kompromi temporer, dan dunia
kebijakan di negara Paman Sam itu terus dihantui oleh konflik yang menajam?
Indonesia
Walaupun persoalan krisis ekonomi Eropa dan shutdown AS adalah persoalan
yang bersumber pada masalah “dalam negeri” mereka, namun tetap saja persoalan
itu mengimbas secara global. Interdepedensi dalam globalisasi membuat kita
harus mengantisipasinya.
Beberapa hal perlu kita lakukan. Kita harus mengerti akar persoalan di EU dan AS
serta merumuskan kebijakan yang tepat untuk melindungi ekonomi ataupun
kepentingan nasional kita. Selain itu, kita harus memperkuat diri, terus
mendorong agar bentuk negara kesatuan RI cukup adaptif serta mampu menahan
gelombang-gelombang krisis yang mungkin terjadi.
Dalam hal terakhir ini, kita harus semakin mengerti elemen-elemen dasar yang
mempengaruhi bekerjanya tata pemerintahan RI secara keseluruhan. Elemen dasar
tersebut tercermin dalam beberapa konsep, seperti kedaulatan, kewenangan,
hubungan pusat-daerah, tindakan kolektif, serta dinamika perumusan kebijakan,
baik di parlemen maupun di eksekutif.
Untuk itu, kita perlu melihat kembali bagaimana bentuk dan struktur negara kita
dan berbagai konsekuensinya serta ranjau-ranjau yang harus kita antisipasi dalam
perjalanan kita ke depan.
Bukan kebetulan jika bentuk negara RI adalah negara kesatuan. Negara Kesatuan
Republik Indonesia dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sehari kemudian
barulah UUD 1945 disahkan. Di dalamnya dikatakan bahwa pemerintah pusat RI
mengambil bentuk negara kesatuan, yang dipimpin oleh seorang presiden, yang
berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus.
Prinsip check and balances diatur melalui pembentukan parlemen nasional (DPR).
Berbanding terbalik dengan logika pembentukan negara federal, pemerintah pusat
inilah yang membentuk satuan-satuan pemerintahan daerah yang kemudian
disebut propinsi, kabupaten dan kota. Pemerintah pusat kemudian memberikan
sebagian kewenangannya kepada satuan-satuan pemerintah daerah tersebut.
Dalam negara kesatuan, residual power berada pada pemerintah pusat. Dengan
demikian kewenangan yang tidak diberikan kepada pemerintah daerah tetaplah
menjadi otoritas pemerintah pusat. Kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Dalam hubungan pusat-daerah, kata kuncinya adalah kewenangan, bukan
kedaulatan.
Jika pada awal kemerdekaan AS, titik berat kewenangan di tangan negara bagian,
pada masa-masa awal kemerdekaan RI titik beratnya berada pada pemerintah
pusat. Dalam pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, struktur kewenangan
yang ada sangat sentralistik. Proses desentralisasi dan otonomi daerah yang betulbetul nyata barulah dimulai dalam Era Reformasi.
Daerah-daerah otonom pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota baru tercipta
setelah sebagian kewenangan diserahkan oleh pemerintah pusat melalui terobosan
desentralisasi dalam beberapa undang-undang di tahun 1999 dan 2004. Dalam
desain baru ini, pemerintah pusat tetap memegang kewenangan tertentu secara
mutlak, yaitu kewenangan pertahanan dan keamanan, luar negeri, moneter dan
fiskal serta agama. Di luar itu, dalam urusan pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan publik, misalnya, pemerintah daerah menjadi aktor terdepan, dengan
dukungan pemerintah pusat lewat kebijakan anggaran dan pembinaan
kelembagaan.
Penyakit endemik dalam negara kesatuan adalah kecenderungan sentralisme
kekuasaan yang diikuti dengan berbagai penyeragaman yang mematikan variasi
kedaerahan dan inisiatif lokal yang menyertainya. Namun, koreksi terhadap
sentralisme kekuasaan tersebut dalam bentuk desentralisasi dan otonomi daerah
tidaklah boleh melemahkan pemerintah pusat sehingga menyulitkan pembuatan
keputusan secara kolektif sebagai suatu bangsa. Desentralisasi justru
membutuhkan pemerintah pusat yang kuat.
Memperkuat daerah dengan cara memperlemah pemerintah pusat hanya akan
membuat Indonesia berayun pada pendulum sentralisme ekstrem menuju
desentralisme ekstrem. Desentralisme ekstrem hanya akan mengarahkan kita pada
jebakan ketegangan pusat-daerah seperti yang dialami dalam negara federal.
Selain itu, jika pembagian kewenangan terlalu mengebiri peran pemerintah pusat,
serta menciptakan proses yang terlalu bertele-tele dalam pengambilan keputusan,
maka Indonesia dapat terjebak dalam kelemahan yang telah menjepit Eropa pada
beberapa tahun terakhir ini.
Yang kita perlukan sekarang adalah penyempurnaan struktur kewenangan dalam
format negara kesatuan sehingga tercipta keseimbangan yang lebih baik lagi
dalam hubungan pusat-daerah.
Dalam konteks itu, kita perlu melihat persoalan yang ada dalam kerangka yang
dinamis. Pendekatan modern dalam hubungan pusat-daerah tidak lagi berdasarkan
ideologi, kedaerahan ataupun nasionalisme sempit. Pendekatan modern lebih
mengedepankan rasionalitas dan distribusi fungsi yang tepat pada lapisan-lapisan
pemerintahan yang bertingkat.
Pertanyaan utama yang perlu kita jawab adalah, “Fungsi-fungsi pemerintahan apa
yang paling tepat bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten dan kota?”
Pertanyaan yang sama sebenarnya juga berlaku bagi negara federal maupun
konfederasi. Diskusi yang rasional tentang distribusi fungsi pada masing-masing
lapisan pemerintahan haruslah dilakukan dengan melihat pengalaman dan best
practices di negara-negara lain. Distribusi fungsi ini juga bisa berubah sesuai
dengan situasi dan tantangan nasional. Istilah bahasa Jawanya, distribusi fungsi ini
bisa dikiyak-kiyuk sedemikian rupa untuk mencari titik keseimbangan yang tepat
dalam hubungan pusat-daerah.
Kita berharap bangsa Eropa dan AS dapat menemukan solusi yang tepat agar
persoalan sistemik yang muncul dari konsekuensi bentuk negara mereka tidak
terus menerus menghantui mereka dan dunia. Bersamaan dengan itu, kita harus
belajar dari pengalaman mereka untuk memperkuat NKRI sehingga kita siap
menghadapi berbagai imbas global yang mungkin terjadi.
Kita bersyukur bahwa para pendiri negara kita memilih bentuk negara kesatuan.
Namun masih ada pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan agar NKRI terus
menjadi bingkai yang kuat dan dinamis dalam mengiringi langkah bangsa
Indonesia dalam mengarungi perjalan zaman.
Jakarta, 31 Oktober 2013
*) Andi Mallarangeng, Doktor Ilmu Politik Northern Illinois University, AS