this PDF file DISKURSUS REGULASI TINDAK PIDANA TERORISME | Sunardi | Hukum Bisnis dan Administrasi Negara 1 PB

DISKURSUS REGULASI TINDAK PIDANA TERORISME
(Regulatory Discourse of Terrorism Criminal Act)
Oleh: Sunardi
sunardis.sh@yahoo.com.
Abstract

The reason for legal vacuum often makes law enforcement faced difficulty to deal
with criminal offense, including in act. For this reason, the government stipulates
the Government Regulation on Law No. 1 of 2002 which the approval of the
Legislative Assembly is stipulated as Law No. 15 of 2003 on the Eradication of
Terrorism Criminal Act.
Keywords: terrorism, regulation, legal vacuum
Abstrak

Alasan adanya kekosongan hukum seringkali membuat aparat penegak hukum
dihadapkan pada kesulitan untuk menangani masalah tindak pidana, termasuk
dalam tindak. Atas alasan ini kemudian, pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang
kemudian atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan menjadi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.

Kata Kunci: terorisme, regulasi, kekosongan hukum
*Sunardi Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
ditemukan di Bandara Internasional

PENDAHULUAN

Sultan

Dewasa ini peran Polri

mendapatkan

Makassar.

Seluruh detonator tersebut hendak

dalam menanggulangi terorisme
layak


Hasanuddin,

dikirim melalui pesawat Batik Air

apresiasi

dengan nomor penerbangan ID-6183

publik. Sejumlah pentolan, tokoh

tujuan Jakarta. Kita bisa bayangkan

atau pemimpin teroris berhasil

bagaimana wajah kusut negeri ini

ditangkap, ditembak, atau diseret

jika


ke proses hukum yang berakhir

ratusan detonator ini sampai

digunakan Sebelum temuan

dihukum penjara atau hukuman

di

Makasar itu, juga ditemukan bom

mati.

Bekasi, yakni bom mini jenisnya

Salah satu kinerja Polri

rice cooker yang memiliki berat 3


yang juga harus diapresiasi publik
adalah keberhasilannya

kilogram. Bom ini memiliki daya

menyita

tiga boks berisi 300 detonator yang

1

ledak tinggi. jika diledakkan, daya

Aksi

luncurnya mencapai 4.000 Km/jam
Bisa

dibayangkan


ledakan

bom

atau

kekejaman yang dilancarkan para

berapa

teroris

banyaknya jumlah manusia yang

segala

menjadi korbannya jika sampai bom

dimiliki setiap elemen rakyat dan


berkekuatan dahsyat

bangsa itu. Salah satu senjata

itu

sampai

harus dilawan dengan
macam

senjata

yang

meledak. Indonesia bisa mengalami

ampuh

tragedi akibat kejahatan melawan


untuk menghadang tumbuhnya

kemanusiaan

generasi

(crime

againt

humanity) kalau sampai bom itu

yang

bisa

digunakan

terorisme


itu

adalah

Undang-undang.

berhasil diledakkan?

Jika

Meski masyarakat memang

produk

yuridisnya

lemah, maka ia dapat dijadikan

seharusnya memberikan apresiasi


instrumen

pada kinerja Polri, tetapi kita juga

bangsa. Kalau produk yuridisnya

perlu

berkategori

mengingatkan

kepadanya,

untuk

melemahkan

unggulan,


maka

bahwa teroris merupakan kejahatan

konstruksi kehidupan bangsa ini

istimewa

dan

menjadi kuat, Bangsa yang kuat

proses

ketahanannya dapat dibaca dari

yang

berkembangnya


terbentuk
melalui

regenerasi atau system pengkaderan

sudut

yang mapan.

yuridisnya.

Dalam

logika

konstruksi

Teori

itu

utilitis

produk

dari Jeremy

diniscayakan, ada banyak elemen

Bentham menyebutkan

yang akan mengisi

kekosongan

hukum itu dibuat untuk memberikan

kepemimpinan organisasi teroris,

kepada manusia kebahagiaan yang

ibarat mati satu, tumbuh seribu.

sebesar-besarnya. Teori Betham ini

Santoso

muncul

jelas menggariskan bahwa norma

akan

yuridis dibentuk atau diamandemen

Badrun

dilumpuhkan,
Naim,

dan

seterusnya demikian. Ini tak lepas

untuk

dari

yang

pola

kepemimpinan

estafetisme
di

memberikan

bahwa

kebahagiaan

sebanyak-banyaknya

pada

rakyat. 1

organisasi

teroris ini yang tergolong berjalan
mulus.

1
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga Global,

2

Hukum

memang

bisa

Kalangan aparat yang bekerja di

membahagiakan rakyat. Ketika

lapangan

hak-hak

hak

sejumlah bukti kelemahan UU

keselamatan,

dan

anti

ketakutan

bisa

menginginkan

rakyat,

kesehatan,
bebas

dari

seperti

sudah

menunjukkan

Terorisme.

Mereka
dilakukan

diwujudkan, secara umum rakyat

pembongkaran atau penambahan

mampu

sejumlah pasal yang mengatur

memperoleh

dan

menikmati kebahagiaan hidupnya.

masalah

Rakyat kemana-mana atau

pencegahan

seperti menjaring atau menindak

dimana-mana tidak akan merasa

siapa

dihantui oleh ketakutan nyawanya

dengan

terancam,

rakyat

terlarang”semacam

yuridis

NISS.

bilamana

mendapatkan

proteksi

terorisme

saja

yang

bergabung

“organisasi-organisasi
ISIS

atau

yang memadai. Kader terorisme

Presiden Joko Widodo bahkan

tidak akan tumbuh, bilamana

sudah mengajak pimpinan berbagai

hukum

lembaga

tinggi

negara

dan keadilannya di bumi pertiwi

mengkaji

ulang

undang-undang

ini.

terorisme. Jokowi menyebut, karena

memberikan

kepastian

untuk

terorisme

memang perubahan ideologi (terjadi)

merupakan salah satu produk

sangat cepat, maka tentu saja perlu

negara yang diandalkan untuk

kita sikapi dengan secepat-cepatnya

menghadang timbulnya terorisme.

pula.

Kalau kemudian produk yuridis

dimaksud Jokowi, salah satunya

ini mempunyai banyak kelemahan

adalah UU Nomor 15 tahun 2003.

UU

anti

Undang-undang

yang

tahun

Sekretaris Kabinet Pramono

diimplementasikan, maka suatu

Anung bahkan langsung menyebut,

keniscayaan

dilakukan

bahwa serangan teroris di jalan MH

evaluasi (amandemen) secepatnya.

Thamrinpada Kamis, 14 Januari

setelah

beberapa

untuk

sudah

2016 sebagai 'bukti' kelemahan UU

produk

Nomor 15 tahun 2003. Pemerintah

yuridis yang mengatur terorisme.

sudah jauh-jauh hari mendeteksi

Faktanya,
berkali-kali

teroris
menguji

rencana atau waktu teroris akan

LKPSDM, Surabaya, 14 September 2016,
hal. 3

3

menjalankan aksinya, tapi karena

perdamaian

dan

kondisi kelemahan payung hukum

internasional. 2

keamanan

Sebagaimana

yang ada, maka pada waktu itu 19

yang

orang yang ada bukti kuat, tidak bisa

diketahui bahwa pada umumnya

ditindak. Penangkapan sekitar 12

tindak

orang terkait aksi teror di Jalan MH

menimbulkan banyak korban baik

Thamrin, baru dilakukan setelah

nyawa maupun harta, oleh sebab itu

teror terjadi.

beberapa

pidana

konvensi

terorisme

internasional

harus

tentang tindak pidana terorisme

diapresiasi. Pembaruan atas norma

mengkualifikasikan tindak pidana

yuridis

terorisme

Keinginan

itu

yang

dinilainya

mengakomodasi
strategis

tidak

kejahatan

kemanusiaan yang luar biasa (extra

kepentingan

bangsa,

sebagai

ordinary crimes).

seharusnya

dilakukan secepatnya. Tidak boleh

Berpijak pada kondisi itu,

norma yuridis dibiarkan kehilangan

DKPBB melalui resolusinya Nomor

keberdayaannya untuk menghadang

1373 mengharuskan semua negara

politik akselerasi

anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

pengedukasian

(PBB)

kader terorisme.

untuk melakukan upaya-

upaya sebagai berikut:
1. Melawan terorisme.
2. Membawa pelaku terorisme

PEMBAHASAN

ke pengadilan.
3. Meninjau

Pasca Peledakan WTC
Satu hari setelah peledakan

kembali

pidana nasional jika dipandang

gedung WTC, yakni pada tanggal 12

perlu.

September 2001 Dewan Keamanan

4. Meningkatkan

Perserikatan

batas wilayah.

(DKPBB)

Bangsa-Bangsa
mengeluarkan

1368,

yang

bahwa

tindak

pidana

terorisme

ancaman

terhadap

merupakan

5. Mengontrol

resolusi

Nomor

hukum

menyatakan

keamanan

perdagangan

senjata api dan bahan peledak.
2
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime, Legislative
Guide To The Universal Anti-Terrorism
Conventions And Protocols, United Nations,
New York, 2004, hal, 1.

4

6. Mengambil tindakan segera

1) inventarisasi undang-undang yang

untuk menghindari dan menekan

dapat

seluruh

aktif

hukum, 3) pembaharuan hukum. 4)

maupun fasif bagi pendukung

ekstradisi, 5) kontrol aset keuangan,

terorisme

6) bea cukai., 7) imigrasi, 8)

kegiatan

baik

khususnya

melalui

diterapkan,

2)

penegakan

perdagangan senjata api ilegal. 4

Resolusi 1337, Resolusi 1390,
dan Resolusi 1455.

Langkah yang dilakukan oleh

7. Meratifikasi semua konvensi

DKPBB itu, salah satu yang inti dan

PBB yang releven khususnya

strategis adalah berkaitan dengan

konvensi

tentang

masalah regulasi terhadap tindak

Pelaku

pidana terorisme. Kebutuhan dan

1999

Pembekuan

Keuangan

Terorisme.

kejelasan pengaturan tindak pidana

8. Menghadapkan
pengadilan,

ke

mereka

mendanai,

terorisme

sidang
yang

dengan banyaknya kasus tindak

merencanakan,

mendukung,

melindungi,

pidana

menanggulangi
terorisme,

tindak
DKPBB

yang

berelasi

Diskursus terorisme yang

kerjasama

dikaitkan dengan aspek regulasinya

dengan Dewan Keamanan PBB.3
Dalam

terorisme

dengan negara-negara lain.

dan

yang melakukan terorisme.
9. Meningkatkan

menjadi urgen seiring

menjadi diskursus bersifat khusus di

upaya

kalangan

ahli.

Perbedaan

pidana

pemahaman

bahkan

Menurut Muladi ada 11 (sebelas)

menjadi

logis.

membentuk Komite Anti Terorisme

alasan

yang menampung laporan negara-

kejahatan berat termasuk tindak

negara anggota menyangkut upaya-

pidana

upaya yang telah dilakukan dalam

berikut:

menanggulangi

tindak

perlunya

hal

terorisme,

1. Agar

pidana

tidak

dimaksud

subyektivitas

menyangkut hal-hal sebagai berikut;

menimbulkan

terorisme.

Laporan

pengaturan

sebagaimana

menimbulkan

penafsiran

dan

permasalahan

4
Nicholas Rostow, Before and
After: The Changed UN Response to
Terrorism Since September 11th, Cornel
International Law Journal, 2002, hal, 35.

3
Eric Rosand, The Counter
Terrorism Committee and the Fight Against
Terrorism, American Journal International,
2003, hal, 97.

5

dalam

ekstradisi,

pemikiran

yang

Fighters)

maka

melawan

kolonialisme,

berkembang

pendudukan,

pada Anglo-American Law yang

dominasi dan agresi asing bukan

tidak

tindak pidana terorisme, ini

membedakan

antara

kejahatan politik yang dilakukan

penting

atas

hubungannya dengan ekstradisi

dasar

tujuan

ideologis

nantinya

dalam

dengan kejahatan tradisional,

dan

dapat dipertimbangkan. Hukum

dimaksudkannya

pidana hanya memperhatikan

sebagai kejahatan internasional

sikap batin (intent) bukan motif,

(asas universalitas).

oleh sebab itu, apakah motifnya

7. Kepentingan

baik

dibahayakan

atau

buruk

tidak

menentukan kesalahan.
2. Pelbagai
internasional
dengan

yang

kemungkinan

oleh

yang

terorisme

konvensi

nyawa, harta benda, kebebasan

berkaitan

pribadi

dan

masyarakat.

dan

perkembanagn

telah

perlu

diratifikasi

perlu

rasa
Sesuai

pemberantasan terorisme yang

dan

hukum

jangan hanya dibatasi terhadap

pencegahan

dicantumkan

terorisme

takut
dengan

internasional
dipertimbangkan

perlindungan terhadap integritas

ditegaskan

sebagai kejahatan terorisme.

nasional

3. Perlu

fasilitas internasional, diplomat

diatur

Corporate

dan

kedaulatan,

Liability.

asing, kepala negara dan wakil

4. Perlu diatur tentang skema

kepala negara, instalasi publik,

perlindungan

lingkungan hidup, sumber daya

terhadap

para

saksi dan korban kejahatan.

alam nasional dan transportasi

5. Perlu

serta komunikasi.

diatur

kejahatan

obstruction of justice, sebab soal

8. Sesuai

ini

prinsip hak asasi manusia, maka

lebih

luas

dari

pada

dengan

ketentuan tentang perlindungan

dalam

bagi penyelidikan dan penyidik.

pidana harus memegang teguh

6. Perlu diatur ketentuan bahwa

asas legilitas dan asas lex certa

perjuangan bersenjata (Freedom

(perumusan hukum harus jelas

6

merumuskan

prinsip-

tindak

dan

tajam

serta

terlarang yang terlibat terorisme

dapat

dipercaya); dan penyimpangan

perlu

terhadap hukum acara yang

Inggris).5

berlaku

sejauh

dijajaki

(seperti

Konvensi

mungkin

di

Organisasi

dihindari.

Konferensi Islam (OKI) tentang

9. Disamping langkah-langkah

pemberantasan

represif, perlu diatur langkah-

terorisme

langka

sebagai berikut.

preventif

(Counter

tindak

(1999)

pidana

menegaskan,

yang

“believing that terrorism constitutes

komprehensip,

seperti

a gross violation of human rights, in

pencegahan

elemen

particular the right to freedom and

lain,

security as well as an obstacle to the

koordinasi

free functioning of institutions and

dengan negara-negara sahabat,

socio-economic development as it

pengembangan sistem seleksi

aims at destabilizing states”.6

Measures)

Terorrism

teroris

infiltrasi

dari

kerjasama

negara
dan

Mengenai Comprehensive

dan manajemen senjata api dan
pengawasan

Convention on Terrorism, komentar

perbatasan dan tempat masuk

umum Komisi Anti Terorisme PBB

orang

pengembangan

menyatakan bahwa “International

sistem pengawasan, peningkatan

terrorism possess the most serious

pengamanan

threat to international peace and

bahan

peledak,

asing,

instalasi

perlindungan
penting

vital,

security”. 7

orang-orang
dan

penyempurnaan

Disamping itu, sampai saat

diplomat,
ini

organisasi

hukum

pidana

internasional

intelejen, penciptaan data base

sudah mengembangkan 6 (enam)

dari elemen dan jaringan teroris.

model

10.

mengenai tindak pidana termasuk

Menegaskan perlunya

keterlibatan perguruan tinggi
untuk

mengkaji

Pengaturan

internasional

5
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,
2002, hal, 180-181.
6
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana
Internasional Dan Ekstradisi, Yrama
Widya, Bandung, 2004, hal, 210.
7
Muladi, 2002, Op., Cit., hal, 180181.

masalah-

masalah terorisme.
11.

kerjasama

tentang

keterlibatan dalam organisasi

7

tindak pidana terorisme, sebagai

would presumably restrict
its unfettered political
power to act unilaterally.9
Sebagaimana diungkapkan

berikut:
1. Ekstradisi.
2. Bantuan hukum.

oleh M. Cherif Bassiouni, bahwa

3. Transfer perkara pidana.

tidak ada konvensi yang lengkap

4.

Pengakuan

terhadap

tentang terorisme, yang ada bahkan

putusan

pidana asing.

sedikit

5. Pemindahan terpidana.

menyatukan ketiga belas konvensi

6. Pembekuan dan penyitaan aset.8

sehingga meniadakan kelemahan-

Mengenai
konvensi

tentang

terorisme,

M.

kelemahannya.

masalah
tindak

memadukan,

membuat

pidana

ataupun

Logika

untuk

konvensi

lengkap

sedemikian rupa tentang terorisme

Cherif Bassiouni,

sama kuatnya dengan logika untuk

menyatakan, sebagai berikut:

melawan pendekatan bertahap yang

There is no comprehensive
convention on terrorism
that
even
modestly
integrates
much
less
incorporates into a single
text,
these
thirteen
conventions so as to
eliminate their weaknesses.
The logic of such a
comprehensive convention
on terrorism is compelling,
as is the logic against the
current
piecemeal
approach taken by the
separate
conventions.
Nevertheless, the United
States has consistently
opposed such a convention
since 1972, ostensibly so
that it can pick and choose
from these disparate norms
those that it wishes to rely
upon. Above all, the United
States does not want to
have
an
effective
multilateral scheme that

sekarang

ini

dengan

adanya

konvensi-konvensi yang terpisah.
Meskipun

demikian,

Amerika

Serikat secara konsisten melawan
konvensi lengkap seperti ini sejak
tahun 1972 agar dapat memilihmilih peraturan mana yang dipakai
antara

peraturan-peraturan

yang

berbeda. Di atas segalanya, Amerika
Serikat tidak ingin adanya kerangka
multilateral

yang

efektif

karena

kemungkinan hal itu justeru akan
membatasi kekuatan politiknya yang

9
M. Cherif Bassiouni, Legal Control
of International Terrorism: A Policy
Oriented Assessment Harvard International
Law Journal 83, 2002, hal, 43.

8
I Wayan Parthiana, 2004, Op. Cit.,
hal, 210.

8

tak terlawan untuk bertindak secara

memerangi

terorisme

tersebut”

sepihak.10

(There is no universally accepted
definition of the word terrorism in

Penataan Regulasi

general use or in treaties and law
designed to combat it).11

Diskursus

Pakar hukum pidana dan

terorisme

dimulai dari perumusan terorisme.

kriminologi

Dari perumusan ini saja

juga menyatakan sebagai berikut,

sudah

Romli

Atmasasmita

mengundang terjadinya kontroversi.

bahwa

Hal ini logis, karena ada beberapa

mengatur atau meregulasi tentang

aspek penting yang masuk dalam

pemberantasan

rumusan

terorisme

terorisme,

diantaanya

Undang-undang

yang

tindak

dapat

pidana

menimbulkan

ketika dikaitka denga aspek politik

implikasi hukum bagi kepentingan

dan agama.

nasional

internasional.

Pengertian tindak pidana
terorisme

pertama

kali

maupun

Undang-Undang

dibahas

kepentingan

Oleh

sebab

yang

itu

mengatur

dalam European Convention on the

tentang pemberantasan tindak pidana

Suppression of Terrorism (ECST)

terorisme perlu memperhatikan dua

tahun

acuan

1977.

Namun

demikian

utama

dan

satu

acuan

rumusan pengertian tindak pidana

pelengkap sebagai berikut: 12

terorisme

1. Undang-undang yang mengatur
tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme yang mengacu
pada
standar
hukum
13
internasional , sebagai berikut;

hingga

menimbulkan

saat

ini

persoalan

multi

interprestasi. Amnesty Internasional
mengakui
tindak

persoalan

pidana

menyatakan,
definisi

atau

pengertian

terorisme
bahwa
istilah

dengan

“tidak

ada

yang

bisa

11
Walker Clive, The Prevention of
Terrorism in British Law, Manchester
University Press, Manchester, UK, 1986,
hal, 3.
12
Sunardi, Klausula Attentat Dalam
Kaitannya Dengan Ekstradisi Pelaku
Tindak Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009.
13
Romli Atmasasmita, Latar
Belakang, Ide Dasar dan Paradigma
Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Makalah Disampaikan pada Seminar di

diterima secara universal mengenai
terorisme dunia dalam penggunaan
umum atau dalam perjanjian dan
hukum

yang

dirancang

untuk

10
M. Cherif Bassiouni, 2002, Op.,
Cit., hal, 43.

9

a.
Konvensi
Internasional
tentang
Pencegahan
dan
Penghukuman
Terorisme
(1937).
b.
Konvensi
Chicago
tentang Penentuan Wilayah
Hukum
Pesawat
Udara
(1944).
c.
Konvensi
Tokyo
tentang
Kejahatan
dan
Tindakan
Lain
yang
Dilakukan di Kabin Pesawat
Terbang
(1963),
mulai
berlaku tanggal 4 Desember
1969.
d.
Konvensi The Heque
tantang
Pembasmian
Perampasan
Pesawat
Terbang yang Menyalahi
Hukum
(1970),
mulai
berlaku tanggal 14 Oktober
1971.
e.
Konvensi Montreal
tentang Pembasmi Tindak
Penyalahan Hukum Terhadap
Keselamatan
Penerbangan
Sipil (1971), mulai berlaku
tanggal 26 Januari 1973.
f.
Konvensi New York
tentang Pencegahan dan
Hukuman Tindak Kejahatan
Terhadap Orang-orang yang
Memiliki
Immunitas
Internasional (1973), mulai
berlaku tanggal 20 Pebruari
1977.
g.
Konvensi New York
tentang
Penyanderaan
(1979), mulai berlaku tanggal
3 Juni 1983.
h.
Konvensi
Vienna
tentang Perlindungan Fisik
Bahan Nuklir (1980), mulai
berlaku tanggal 8 Pebruari
1987.

i.
Konvensi New York
tentang
Hukum
Laut
Khususnya yang Berkaitan
Dengan Pembajakan di Laut
(1980).
j.
Konvensi
Roma
tentang Pembasmi Tindak
Menyalahi Hukum Terhadap
Keselamatan
Navigasi
Maritim
(1988),
mulai
berlaku tanggal 1 Maret
1992.
k.
Konvensi Montreal
tentang Plastic Explosive
untuk Tujuan Deteksi (1991).
l.
Konvensi Menentang
Pemboman oleh Terorisme
(1997).
m.
Konvensi Menentang
Pendanaan untuk Terorisme
(1999).
n.
Konvensi
PBB
tentang
Kejahatan
Terorganisasi Transnasional
(2000).
o.
Resolusi
DKPBB
Nomor 57/219, diadopsi oleh
Sidang Majelis Umum PBB
tentang Perlindungan HAM
dan Kemerdekaan Asasi
Ketika
Memberantas
Terorisme.
p.
Resolusi
54/164
Majelis Umum PBB yang
menyatakan “all measures to
counter terrorism must be in
strict conformity with the
provisions of international
law, including international
human rights standars”
(semua
tindakan
untuk
melawan terorisme harus
memiliki kesesuaian yang
ketat
dengan
ketentuan
hukum internasional yang
relevan, termasuk standar
hak asasi manusia).

Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 25 Juli
2002, hal, 5.

1

q.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1333
tanggal 19 Desember Tahun
2000 tentang Pencegahan
Suplai
Senjata,
Kapal
Terbang,
Perlengkapan
Militer ke Afganistan.
r.
Resolusi
DKPBB
Nomor
1373
tentang
Pembekuan Asset teroris AlQaeda tahun 2001.
s.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1368
tanggal 12 September 2001
tentang Pernyataan Simpati
PBB terhadap korban tragedi
11 September 2001.
t.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1438
tanggal 15 Oktober 2002
yang
menyatakan
belasungkawa dan simpati
PBB kepada Pemerintah dan
Rakyat
Indonesia,
dan
menegaskan
kembali
langkah-langkah
untuk
memberantas terorisme.14
2. Undang-undang yang mengatur
pemberantasan

tindak

c.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tokyo
1963, Konvensi The Haque
1970 dan Konvensi Montreal
1971.
d.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1976
tentang
Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi Antara
Republik Indonesia dengan
Republik
Filipina
serta
Protokol.
e.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1978 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara Republik Indonesia
dengan Pemerintah Kerajaan
Thailand tentang Ekstradisi.
f.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi.
g.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP).
h.
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
3. Acuan pelengkap yang
perlu
diperhatikan
dalam
menyusun undang-undang yang
mengatur
tentang
pemberantasan tindak pidana
terorisme
ialah
peraturan
perundang-undangan
tentang
terorisme
yang
berlaku
dibeberapa negara lain, antara
lain; Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Kanada, Yunani,
Italia, Singapura, Jerman.15
Oleh sebab itu menurut
Romli Atmasasmita, kelengkapan
naskah Undang-undang tentang

pidana

terorisme mengacu pada sistem
hukum dan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia sebagai
berikut:
a.
Kitab
UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP).
b.
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1974 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara
Pemerintahan
Republik Indonesia dan
Pemerintahan
Malaysia
Mengenai Ekstradisi.
14

15

Sunardi, Op.Cit, hal. 5-6.

1

Ibid., hal, 5.

mencantumkan motif politik,

terorisme perlu didukung oleh studi
perbandingan
hukum
dengan
beberapa negara tersebut.16
Pentingnya perbandingan
hukum dalam kaitannya dengan
harmonisasi
hukum,
Michael
Bogdan menyatakan sebagai berikut.
Comparative law is of central
importance in connection with the
harmonization of the law, i.e. with
intentionally making the legal rules
of two or more legal systems more
alike, as well as with unification of
law, i.e. the intentional introduction
of identical legal rules in two or
more legal systems. 17
Berdasarkan studi hukum
komparatif
terhadap

dan

kajian

aturan

yang

latar belakang agama, dan / atau
ideology, sebagai unsure atau
elemen tindak pidana terorisme.
3. Norma-norma

dirumuskan

secara ekstensif dan tidak ada
sanksi

administratif

keperdataan.

Sanksi

dan
pidana

merupakan satu-satunya sanksi
yang harus dijatuhkan kepada
pelaku

terorisme,

kecuali

undang-undang Anti Terorisme

hukum

Singapura.

mengatur

4. Hak-hak

masalah tindak pidana terorisme,

pelaku

dapat disimpulkan hal-hal sebagai

asasi

tersangka

terorisme

dibatasi

bahkan dalam undang-undang di

18

berikut:

beberapa

1. Tidak

ada

satu

definisi

negara

terutama

undang-undang Anti Terorisme

terorisme yang dianut baik oleh

Kanada (2000), “the right to

negara-negara yang tergabung

remain

dalam Organisasi Konferensi

“the

Islam (OKI), maupun negara-

lainnya.

menurut

baik

negara-negara

OKI,

Uni Eropa,

to

counsel”

Terorisme Inggris (2001), serta

Uni Eropa dan negara barat

terorisme

right

dihapuskan.

dihapuskan undang-undang Anti

negara yang tergabung dalam

2. Definisi

silent”,

Amerika

Serikat.

undang

Anti

Singapura

dan

memberlakukan

Amerika Serikat

UndangTerorisme
Malaysia
“preventive

detention” untuk masa waktu

dan Australia pada umumnya

paling lama dua tahun tanpa
diadili.

16
Ibid., hal, 7.
17
Michael Bogdan, Comparative
Law, Kluwer Norstedts Juridik Tano,
Sweden, 1994, hal, 30.
18
Sunardi, Op.Cit, hal. 8.

5. Undang-undang

anti

terorisme dari beberapa negara

1

lain, ternyata tidak cocok untuk

komprehansif tentang definisi

digunakan di Indonesia karena

tindak pidana terorisme.

pertimbangan

4. Peraturan

kultur,

etnis,

ideologi dan agama. 19
Dalam
dengan

undangan pidana yang berlaku
sampai saat ini tidak memadai

hubungannya

upaya

perundang-

untuk

penanggulangan

penangulangan

tindak

tindak pidana terorisme, setidaknya

pidana terorisme.

ada 5 (lima) fakta yang menjadi

5. Pemerintah perlu instrumen

dasar perlunya kebijakan regulasi

untuk melindungi kedaulatan

tindak pidana terorisme, sebagai

negara

berikut:

Resolusi

sekaligus

mendukung

Dewan

Keamanan

1. Sampai saat ini terorisme

PBB

belum diakui sebagai kejahatan

tindak pidana terorisme.20

internasional

yang

jurisdiksi

menjadi

Court

sebagaimana

diatur

pemberantasan

Sebagaimana

sudah

disinggung bahwa meskipun saat

International

Criminal

tentang

(ICC)

penandatanganan Statuta Roma pada

dalam

tahun 1998, Amerika Serikat tidak

Statuta Roma 1998.

setuju

tindak

pidana

terorisme

2. Konvensi-konvensi

dikualifikasikan sebagai pelanggaran
tentang

Hak Asasi Manusia (HAM) Berat

pencegahan dan pemberantasan

yang masuk jurisdiksi International

tindak pidana terorisme sampai

Criminal

saat ini belum berlaku efektif.

setelah

3. Sampai saat ini belum ada

2001,

kesepakatan

mendesak

Internasional

internasional

mengenai

definisi

sehingga

PBB

Court

peristiwa
Amerika
agar

(ICC),

11

namun

September

Serikat

justeru

tindak

pidana

terorisme dikualifikasikan sebagai

terorisme

pelanggaran

memandang

HAM

Berat

dan

termasuk jurisdiksi ICC.21

perlu diadakan satu definisi

20
Romli Atmasasmita,
Pemberantasan Terorisme Dari Aspek
Hukum Pidana Internasional, 2003, hal, 13.
21
Romli Atmasasmita, Kapita
Selekta Hukum Pidana Internasional Jilid
ke-2, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal, 92.

19
Romli Atmasasmita, Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah
disampaikan di JCLEC di Semarang 8
Desember 2005, hal, 4.

1

Dengan

alasan

hukum pidana formil yang sama

ada

sekali baru.

kekosongan hukum yakni bahwa

Dalam kaitannya dengan

tindak pidana terorisme tidak diatur
dalam hukum pidana positif yang

pembuatan

ada, berdasarkan Pasal 22 Undang-

undangan dan efektivitas peradilan

Undang Dasar 1945 Pemerintah

pidana, John Kaplan menyatakan

Republik

menetapkan

bahwa salah satu aspek yang harus

Penganti

dipenuhi ancaman tindak pidana

Undang-Undang (Perpu) Nomor 1

yang rasional (dapat dilaksanakan)

Tahun 2002 yang kemudian atas

dan proporsional sesuai kebutuhan

persetujuan

Perwakilan

subyek hukum (“…that one of the

Rakyat ditetapkan menjadi Undang-

aspects that should be fulfilled for

undang Nomor 15 Tahun 2003

the provision of good legislation and

tentang

the effectiveness of legislation is

Indonesia

Peraturan

Pemerintah

Dewan

Pemberantasan

Tindak

Pidana Terorisme.

peraturan

perundang-

reasonable (may be implemented)

Berdasarkan

Undang-

and proportional (according to the

undang Nomor 15 Tahun 2003

need of juridical subject) penal

tentang

justice”).

Pemberantasan

Tindak

Asas lain yang diperlukan

Pidana Terorisme, secara global
dilakukan

kriminalisasi

dalam penyusunan Undang-Undang

tindak

tentang pemberantasan tindak pidana

pidana terorisme.
diketahui

terorisme ialah asas sinkronisasi

bahwa kriminalisasi dalam hukum

hukum baik terhadap hukum pidana

pidana dapat dilakukan dengan 3

nasional maupun terhadap hukum

(tiga) sistem sebagai berikut: 1)

pidana internasional, agar ada atau

evolusi

terbentuk harmonisasi. 22

Sebagaimana

dengan

mengamandemen

Sebagaimana

pasal-pasal hukum pidana positif, 2)
kompromi

dengan

ditegaskan

dalam penjelasan Pasal 8 RUU-

memasukkan

tindak pidana baru dalam hukum
22
John Kaplan, Criminal Justice,
The Fundation Press Inc., Mineola, New
York, 1973, hal, 3.
23
Muladi, Undang-undang
Terorisme Sebagai Perlindungan terhadap
HAM dan Pertanggungjawaban Pidana
dalam Kejahatan Terorisme, 2003, hal, 5.

pidana positif, dan, 3) global dengan
membuat hukum pidana materil dan

1

Perlunya

KUHP menyatakan bahwa dalam

memperhatikan

masyarakat suatu negara di dunia ini

asas-asas hukum internasional dan

terdapat

hukum

yang

mengatur

standar hak asasi manusia bagi

tingkah

laku

para

anggota

masyarakat

dalam

menegakkan

setiap

perundang-

undangan yang mengatur tentang

rangka

ketenteraman

peraturan

pemberantasan

dan

tindak

pidana

ketertiban dalam negara itu. Hal ini

terorisme, juga diamanatkan oleh

sama berlaku pula dalam masyarakat

Resolusi 54/164 Majelis Umum

internasional.

Indonesia

PBB, dan Resolusi 57/219 yang

masyarakat

telah di adopsi oleh Sidang Majelis

internasional, oleh karena itu sudah

Umum PBB tentang Protection of

selayaknya atau sepatutnya hukum

Human Rights and Fundamental

Indonesia

Freedoms

merupakan

Negara
anggota

juga

ikut

serta

While

Countering

menegakkan hukum internasional.

Terrorism (Perlindungan Hak Asasi

Ini berarti bahwa ketentuan hukum

Manusia dan Kemerdekaan Asasi

nasional

Ketika

bertentangan
internasional

Indonesia

yang

dengan

hukum

yang

diakui

Melaksanakan

Pemberantasan

Terorisme),

menyatakan, bahwa “semua tindakan

oleh

Indonesia, maka hukum nasional

untuk

Indonesia

memiliki kesesuaian

tidak

Dengan ikut
dalam

yang

diberlakukan.

dengan

sertanya Indonesia

melawan terorisme

harus

yang

ketentuan

ketat
hukum

internasional yang relevan, termasuk

konvensi-konvensi
berarti

standar hak asasi manusia” (all

ketentuan

pidana

measures to counter terrorism must

sebagaimana

disebut

be in strict conformity with the

dalam ketentuan pasal ini dibatasi

provisisons of international law,

oleh hukum internasional. 24

including international human rights

internasional,
berlakunya
Indonesia

maka

standars). Semua tindakan yang

dimaksudkan dalam Revolusi 54/164
24
Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Rancangan UndangUndang Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004, hal,
9.

Majelis

Umum

PBB

tersebut

termasuk tindakan preventif yang

1

berupa

pembentukan

nasional

peraturan

sinkronisasinya

perundang-undangan atau legislasi.
Berdasarkan
tersebut

jelaslah

bahwa

wajib

menjaga

dengan

hukum

uraian

pidana internasional dan hukum

hukum

pidana

negara

lain,

27

agar

pidana nasional Indonesia khususnya

harmonisasi,

Undang-undang

pengaturan mengenai tindak pidana

yang

mengatur

wajib

dalam

terorisme.

tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme

termasuk

ada

Dalam

memperhatikan

asas-asas yang dianut dalam hukum

Lamintang

pidana

setiap

international dan hukum

hal

ini,

P.A.F

menyatakan

bahwa:

Undang-Undang

pidana

pidana yang berlaku di negara-

negara manapun didunia ini wajib

negara lain.

menghormati asas-asas hukum antar

Dalam hubungan ini Romli

bangsa yang telah diakui secara

Atmasasmita menyebutkan bahwa,

umum (sudah berlaku universal). 28

kebijakan

peraturan

Hal ini dimaksudkan agar tidak

perundang-undangan yang memiliki

menimbulkan implikasi hukum dari

aspek

adanya

penyusunan

internasional

mengadopsi

substansi

mutlak

penyimpangan

hukum

pidana nasional terhadap asas-asas

konvensi-

konvensi internasional yang telah

hukum

diakui oleh pemerintah RI, dan

khususnya dalam penerapan hukum

konvensi internasional yang belum

yang

diakui tetapi mengandung filosofi,

internasional

semangat, dan jiwa yang sejalan

negara lain. 29

dengan

Pancasila

dan

melibatkan
atau

internasional,

kepentingan
kepentingan

Salah satu asas hukum

Undangpidana

Undang Dasar 1945, serta sejalan
dengan kebutuhan Negara RI.

pidana

25

semestinya

Dengan kata lain hukum pidana

internasional
juga

dianut

yang
dalam

27
Muladi, 2003, Op., Cit., hal, 7.
28
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia , Sinar Baru,
Bandung, 1984, hal, 111.
29
Jan Remmelink, Hukum Pidana:
Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,
hal, 369.

25
Paul M.A. Walewski, Combating
International Terrorism: A Studi Of
Whether The Responses By The UK And US
To The Events Of 9/11 Are Compatible With
Respect For Fundamental Human Rights,
The University Of British Columbia, 2004,
hal, 1.
26
Romli Atmasasmita, 2004, Op.,
Cit., hal, 81.

1

undang-undang

tentang

khususnya

tindak

pelaku

akselerasi

pengedukasian kader terorisme.

pidana terorisme yaitu asas tidak
menyerahkan

menjawab

Produk

kejahatan

yuridis

menjadi

politik (Non Extradition Of Political

“bernyawa” di tengah masyarakat,

Criminal). Asas tersebut secara tidak

bilamana

langsung disimpangi oleh Pasal 5

intelektualitas

Undang-undang Nomor 15 Tahun

ditunjukkannya. Idealitasnya, aparat

2003 tentang Pemberantasan Tindak

menjadi kuat dan pintar berkat

Pidana Terorisme yang mengatur

dukungan instrumen yuridis yang

klausula attentat (attentat clause),

tidak

yang menentukan bahwa: tindak

kelemahan.

ini

dan
aparat

banyak

mengandung

Persoalannya,

pidana terorisme yang diatur dalam
undang-undang

mentalitas

benarkah

dikecualikan

bahwa

memang
kinerja

aparat

dari: tindak pidana politik; tindak

penegak hukum sangat dipengaruhi

pidana yang berkaitan dengan tindak

oleh

pidana politik; tindak pidana dengan

Apakah “lembeknya” kinerja aparat

motif politik; dan tindak pidana

penegak

dengan

khususnya

tujuan

politik;

yang

menghambat proses ekstradisi. 30

produk

Pembaruan

berharap

pada

menghadang

lebih

Raharjo

penanggungan

disebabkan

oleh

menentukan
booming

memang

pernah

bahwa

kegagalan

menyatakan,

kemampuan aparat penegak hukum
sangat

ini,

Sosiolog kenamaan Satjipto

amandemen UU Anti Terorisme,

juga

dalam

selama

instrumen yuridis yang lemah?

Hukum
Selain

hokum

yuridisnya?

kejahatan istimewa (exstra ordinary
crime),

Pertimbangan

norma

penegakan hukum (law enforcement)

untuk

itu dsebabkan

terorisme.

saat awal hukum

dibuat. Ketika saat awal dibuat,

Aparat yang berkapabilitas tinggi

ternyata banyak “pesanan”

akan membuat produk legislatif bisa

yang

mempengaruhi substansinya, maka

“bernyawa” di tengah masyarakat,

produk yuridis

ini hanya akan

menjadi “pepesan politik”.
30
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.

1

Pernyataan

itu

didasarkan

sebenarnya

kebutuhan

bermaksud mengingatkan kalangan

kinerja.

legislatif agar pembaruan yuridis

nantinya dipenuhi, aparat juga harus

yang

cerdas

dilakukannya

benar-benar

Meski

legalitas

dalam

demikian,

jika

menerapkannya,

riil

sehingga bisa menyikapi dengan arif

masyarakat, dan bukan didasarkan

antara kepentingan HAM teroris

kepentingan subyektifitas seseorang

dengan HAM calon-calon korban.

berpijak

pada

kepentingan

atau sekelompok orang. Kebutuhan
riil

yang

berelasi

dengan

PENUTUP
Alasan adanya kekosongan

penghadangan terorisme memang
bermacam-macam,
norma

tidak

yuridis,

tetapi

sebats

hukum seringkali membuat aparat

juga

penegak hukum dihadapkan pada
kesulitan untuk menangani masalah

profesionalisme

tindak

Profesionalisme dan mentalitas

pidana,

termasuk

dalam

aparat tetaplah yang paling dominan

tindak. Atas alasan ini kemudian,

dalam menentukan hidup matinya

pemerintah menetapkan Peraturan

produk legislatif. Sebaik apapun

Pemerintah

norma yuridis yang diproduksi, tidak

Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun

akan memberikan yang terbaik pada

2002

rakyat, bilamana mentalitas aparat

persetujuan

keropos, sementara kinerjanya tidak

Rakyat ditetapkan menjadi Undang-

professional atau suka memproduksi

undang Nomor 15 Tahun 2003

“horor ” dimana-mana .

tentang

yang

Pidana

Aparat sudah demikian sering

Penganti

Undang-

kemudian
Dewan

Perwakilan

Pemberantasan
Terorisme.

atas

Tindak

Berdasarkan

meminta payung kinerjanya dalam

Undang-undang Nomor 15 Tahun

penanggulangan terorisme, sehingga

2003 tentang Pemberantasan Tindak

tidak salah jika badan legislatif

Pidana Terorisme, secara global

memenuhinya.

dilakukan

supaya

Permintaan aparat

pemerintah

atau

kriminalisasi

tindak

pidana terorisme.

badan

legislatif mengamandemen UU Anti
Terorisme merupakan realitas logis,
pasalnya

permintaannya

DAFTAR PUSTAKA

ini

1

dan
Pertanggungjawaban
Pidana
dalam
Kejahatan
Terorisme.
Nicholas Rostow, 2002, Before and
After:
The Changed
UN
Response to Terrorism Since
September
11th,
Cornel
International Law Journal.
P.A.F.Lamintang, 1984, DasarDasar
Hukum
Pidana
Indonesia ,
Bandung: Sinar
Baru.
Paul M.A.
Walewski,
2004,
Combating
International
Terrorism: A Studi Of Whether
The Responses By The UK And
US To The Events Of 9/11 Are
Compatible With Respect For
Fundamental Human Rights,
Columbia: The University Of
British.
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime,
2004, Legislative Guide To The
Universal
Anti-Terrorism
Conventions And Protocols,
New York: United Nations.
Sunardi, 2009, Klausula Attentat
Dalam
Kaitannya
Dengan
Ekstradisi
Pelaku
Tindak
Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Rancangan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme,
Makalah
Disampaikan pada Seminar di
Sekolah
Tinggi
Hukum
Bandung, 25 Juli 2002.
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga
Global, LKPSDM, Surabaya, 14
September 2016
Romli
Atmasasmita,
Latar
Belakang, Ide Dasar dan
Paradigma Penyusunan
________________,
Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah

Buku-Buku dan Jurnal
Direktorat
Jenderal
Peraturan
Perundang-undangan,
2004,
Rancangan
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana, Jakarta: Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia.
Eric Rosand, 2003, The Counter
Terrorism Committee and the
Fight
Against
Terrorism,
American Journal International.
Jan Remmelink, 2003, Hukum
Pidana: Komentar Atas PasalPasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda
Dan
Padanannya
Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
John Kaplan, 1973, Criminal
Justice, Mineola, New York:
The Fundation Press Inc.
I Wayan Parthiana, 2004. Hukum
Pidana
Internasional
Dan
Ekstradisi, Bandung: Yrama
Widya.
M. Cherif Bassiouni, 2002, Legal
Control
of
International
Terrorism: A Policy Oriented
Assessment
Harvard
International Law Journal 83,
2002.
Michael Bogdan, 1994, Comparative
Law, Sweden: Kluwer Norstedts
Juridik Tano.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan Reformasi
Hukum di Indonesia, Jakarta:
The Habibie Center.
______, 2003, Undang-undang
Terorisme
Sebagai
Perlindungan terhadap HAM

1

disampaikan di JCLEC di
Semarang 8 Desember 2005.
________________, 2004, Kapita
Selekta
Hukum
Pidana
Internasional
Jilid
ke-2,
Bandung: Utomo.
Walker Clive, 1986, The Prevention
of Terrorism in British Law,
Manchester:
Manchester
University Press.

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.

2