this PDF file DISKURSUS REGULASI TINDAK PIDANA TERORISME | Sunardi | Hukum Bisnis dan Administrasi Negara 1 PB
DISKURSUS REGULASI TINDAK PIDANA TERORISME
(Regulatory Discourse of Terrorism Criminal Act)
Oleh: Sunardi
sunardis.sh@yahoo.com.
Abstract
The reason for legal vacuum often makes law enforcement faced difficulty to deal
with criminal offense, including in act. For this reason, the government stipulates
the Government Regulation on Law No. 1 of 2002 which the approval of the
Legislative Assembly is stipulated as Law No. 15 of 2003 on the Eradication of
Terrorism Criminal Act.
Keywords: terrorism, regulation, legal vacuum
Abstrak
Alasan adanya kekosongan hukum seringkali membuat aparat penegak hukum
dihadapkan pada kesulitan untuk menangani masalah tindak pidana, termasuk
dalam tindak. Atas alasan ini kemudian, pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang
kemudian atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan menjadi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Kata Kunci: terorisme, regulasi, kekosongan hukum
*Sunardi Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
ditemukan di Bandara Internasional
PENDAHULUAN
Sultan
Dewasa ini peran Polri
mendapatkan
Makassar.
Seluruh detonator tersebut hendak
dalam menanggulangi terorisme
layak
Hasanuddin,
dikirim melalui pesawat Batik Air
apresiasi
dengan nomor penerbangan ID-6183
publik. Sejumlah pentolan, tokoh
tujuan Jakarta. Kita bisa bayangkan
atau pemimpin teroris berhasil
bagaimana wajah kusut negeri ini
ditangkap, ditembak, atau diseret
jika
ke proses hukum yang berakhir
ratusan detonator ini sampai
digunakan Sebelum temuan
dihukum penjara atau hukuman
di
Makasar itu, juga ditemukan bom
mati.
Bekasi, yakni bom mini jenisnya
Salah satu kinerja Polri
rice cooker yang memiliki berat 3
yang juga harus diapresiasi publik
adalah keberhasilannya
kilogram. Bom ini memiliki daya
menyita
tiga boks berisi 300 detonator yang
1
ledak tinggi. jika diledakkan, daya
Aksi
luncurnya mencapai 4.000 Km/jam
Bisa
dibayangkan
ledakan
bom
atau
kekejaman yang dilancarkan para
berapa
teroris
banyaknya jumlah manusia yang
segala
menjadi korbannya jika sampai bom
dimiliki setiap elemen rakyat dan
berkekuatan dahsyat
bangsa itu. Salah satu senjata
itu
sampai
harus dilawan dengan
macam
senjata
yang
meledak. Indonesia bisa mengalami
ampuh
tragedi akibat kejahatan melawan
untuk menghadang tumbuhnya
kemanusiaan
generasi
(crime
againt
humanity) kalau sampai bom itu
yang
bisa
digunakan
terorisme
itu
adalah
Undang-undang.
berhasil diledakkan?
Jika
Meski masyarakat memang
produk
yuridisnya
lemah, maka ia dapat dijadikan
seharusnya memberikan apresiasi
instrumen
pada kinerja Polri, tetapi kita juga
bangsa. Kalau produk yuridisnya
perlu
berkategori
mengingatkan
kepadanya,
untuk
melemahkan
unggulan,
maka
bahwa teroris merupakan kejahatan
konstruksi kehidupan bangsa ini
istimewa
dan
menjadi kuat, Bangsa yang kuat
proses
ketahanannya dapat dibaca dari
yang
berkembangnya
terbentuk
melalui
regenerasi atau system pengkaderan
sudut
yang mapan.
yuridisnya.
Dalam
logika
konstruksi
Teori
itu
utilitis
produk
dari Jeremy
diniscayakan, ada banyak elemen
Bentham menyebutkan
yang akan mengisi
kekosongan
hukum itu dibuat untuk memberikan
kepemimpinan organisasi teroris,
kepada manusia kebahagiaan yang
ibarat mati satu, tumbuh seribu.
sebesar-besarnya. Teori Betham ini
Santoso
muncul
jelas menggariskan bahwa norma
akan
yuridis dibentuk atau diamandemen
Badrun
dilumpuhkan,
Naim,
dan
seterusnya demikian. Ini tak lepas
untuk
dari
yang
pola
kepemimpinan
estafetisme
di
memberikan
bahwa
kebahagiaan
sebanyak-banyaknya
pada
rakyat. 1
organisasi
teroris ini yang tergolong berjalan
mulus.
1
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga Global,
2
Hukum
memang
bisa
Kalangan aparat yang bekerja di
membahagiakan rakyat. Ketika
lapangan
hak-hak
hak
sejumlah bukti kelemahan UU
keselamatan,
dan
anti
ketakutan
bisa
menginginkan
rakyat,
kesehatan,
bebas
dari
seperti
sudah
menunjukkan
Terorisme.
Mereka
dilakukan
diwujudkan, secara umum rakyat
pembongkaran atau penambahan
mampu
sejumlah pasal yang mengatur
memperoleh
dan
menikmati kebahagiaan hidupnya.
masalah
Rakyat kemana-mana atau
pencegahan
seperti menjaring atau menindak
dimana-mana tidak akan merasa
siapa
dihantui oleh ketakutan nyawanya
dengan
terancam,
rakyat
terlarang”semacam
yuridis
NISS.
bilamana
mendapatkan
proteksi
terorisme
saja
yang
bergabung
“organisasi-organisasi
ISIS
atau
yang memadai. Kader terorisme
Presiden Joko Widodo bahkan
tidak akan tumbuh, bilamana
sudah mengajak pimpinan berbagai
hukum
lembaga
tinggi
negara
dan keadilannya di bumi pertiwi
mengkaji
ulang
undang-undang
ini.
terorisme. Jokowi menyebut, karena
memberikan
kepastian
untuk
terorisme
memang perubahan ideologi (terjadi)
merupakan salah satu produk
sangat cepat, maka tentu saja perlu
negara yang diandalkan untuk
kita sikapi dengan secepat-cepatnya
menghadang timbulnya terorisme.
pula.
Kalau kemudian produk yuridis
dimaksud Jokowi, salah satunya
ini mempunyai banyak kelemahan
adalah UU Nomor 15 tahun 2003.
UU
anti
Undang-undang
yang
tahun
Sekretaris Kabinet Pramono
diimplementasikan, maka suatu
Anung bahkan langsung menyebut,
keniscayaan
dilakukan
bahwa serangan teroris di jalan MH
evaluasi (amandemen) secepatnya.
Thamrinpada Kamis, 14 Januari
setelah
beberapa
untuk
sudah
2016 sebagai 'bukti' kelemahan UU
produk
Nomor 15 tahun 2003. Pemerintah
yuridis yang mengatur terorisme.
sudah jauh-jauh hari mendeteksi
Faktanya,
berkali-kali
teroris
menguji
rencana atau waktu teroris akan
LKPSDM, Surabaya, 14 September 2016,
hal. 3
3
menjalankan aksinya, tapi karena
perdamaian
dan
kondisi kelemahan payung hukum
internasional. 2
keamanan
Sebagaimana
yang ada, maka pada waktu itu 19
yang
orang yang ada bukti kuat, tidak bisa
diketahui bahwa pada umumnya
ditindak. Penangkapan sekitar 12
tindak
orang terkait aksi teror di Jalan MH
menimbulkan banyak korban baik
Thamrin, baru dilakukan setelah
nyawa maupun harta, oleh sebab itu
teror terjadi.
beberapa
pidana
konvensi
terorisme
internasional
harus
tentang tindak pidana terorisme
diapresiasi. Pembaruan atas norma
mengkualifikasikan tindak pidana
yuridis
terorisme
Keinginan
itu
yang
dinilainya
mengakomodasi
strategis
tidak
kejahatan
kemanusiaan yang luar biasa (extra
kepentingan
bangsa,
sebagai
ordinary crimes).
seharusnya
dilakukan secepatnya. Tidak boleh
Berpijak pada kondisi itu,
norma yuridis dibiarkan kehilangan
DKPBB melalui resolusinya Nomor
keberdayaannya untuk menghadang
1373 mengharuskan semua negara
politik akselerasi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
pengedukasian
(PBB)
kader terorisme.
untuk melakukan upaya-
upaya sebagai berikut:
1. Melawan terorisme.
2. Membawa pelaku terorisme
PEMBAHASAN
ke pengadilan.
3. Meninjau
Pasca Peledakan WTC
Satu hari setelah peledakan
kembali
pidana nasional jika dipandang
gedung WTC, yakni pada tanggal 12
perlu.
September 2001 Dewan Keamanan
4. Meningkatkan
Perserikatan
batas wilayah.
(DKPBB)
Bangsa-Bangsa
mengeluarkan
1368,
yang
bahwa
tindak
pidana
terorisme
ancaman
terhadap
merupakan
5. Mengontrol
resolusi
Nomor
hukum
menyatakan
keamanan
perdagangan
senjata api dan bahan peledak.
2
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime, Legislative
Guide To The Universal Anti-Terrorism
Conventions And Protocols, United Nations,
New York, 2004, hal, 1.
4
6. Mengambil tindakan segera
1) inventarisasi undang-undang yang
untuk menghindari dan menekan
dapat
seluruh
aktif
hukum, 3) pembaharuan hukum. 4)
maupun fasif bagi pendukung
ekstradisi, 5) kontrol aset keuangan,
terorisme
6) bea cukai., 7) imigrasi, 8)
kegiatan
baik
khususnya
melalui
diterapkan,
2)
penegakan
perdagangan senjata api ilegal. 4
Resolusi 1337, Resolusi 1390,
dan Resolusi 1455.
Langkah yang dilakukan oleh
7. Meratifikasi semua konvensi
DKPBB itu, salah satu yang inti dan
PBB yang releven khususnya
strategis adalah berkaitan dengan
konvensi
tentang
masalah regulasi terhadap tindak
Pelaku
pidana terorisme. Kebutuhan dan
1999
Pembekuan
Keuangan
Terorisme.
kejelasan pengaturan tindak pidana
8. Menghadapkan
pengadilan,
ke
mereka
mendanai,
terorisme
sidang
yang
dengan banyaknya kasus tindak
merencanakan,
mendukung,
melindungi,
pidana
menanggulangi
terorisme,
tindak
DKPBB
yang
berelasi
Diskursus terorisme yang
kerjasama
dikaitkan dengan aspek regulasinya
dengan Dewan Keamanan PBB.3
Dalam
terorisme
dengan negara-negara lain.
dan
yang melakukan terorisme.
9. Meningkatkan
menjadi urgen seiring
menjadi diskursus bersifat khusus di
upaya
kalangan
ahli.
Perbedaan
pidana
pemahaman
bahkan
Menurut Muladi ada 11 (sebelas)
menjadi
logis.
membentuk Komite Anti Terorisme
alasan
yang menampung laporan negara-
kejahatan berat termasuk tindak
negara anggota menyangkut upaya-
pidana
upaya yang telah dilakukan dalam
berikut:
menanggulangi
tindak
perlunya
hal
terorisme,
1. Agar
pidana
tidak
dimaksud
subyektivitas
menyangkut hal-hal sebagai berikut;
menimbulkan
terorisme.
Laporan
pengaturan
sebagaimana
menimbulkan
penafsiran
dan
permasalahan
4
Nicholas Rostow, Before and
After: The Changed UN Response to
Terrorism Since September 11th, Cornel
International Law Journal, 2002, hal, 35.
3
Eric Rosand, The Counter
Terrorism Committee and the Fight Against
Terrorism, American Journal International,
2003, hal, 97.
5
dalam
ekstradisi,
pemikiran
yang
Fighters)
maka
melawan
kolonialisme,
berkembang
pendudukan,
pada Anglo-American Law yang
dominasi dan agresi asing bukan
tidak
tindak pidana terorisme, ini
membedakan
antara
kejahatan politik yang dilakukan
penting
atas
hubungannya dengan ekstradisi
dasar
tujuan
ideologis
nantinya
dalam
dengan kejahatan tradisional,
dan
dapat dipertimbangkan. Hukum
dimaksudkannya
pidana hanya memperhatikan
sebagai kejahatan internasional
sikap batin (intent) bukan motif,
(asas universalitas).
oleh sebab itu, apakah motifnya
7. Kepentingan
baik
dibahayakan
atau
buruk
tidak
menentukan kesalahan.
2. Pelbagai
internasional
dengan
yang
kemungkinan
oleh
yang
terorisme
konvensi
nyawa, harta benda, kebebasan
berkaitan
pribadi
dan
masyarakat.
dan
perkembanagn
telah
perlu
diratifikasi
perlu
rasa
Sesuai
pemberantasan terorisme yang
dan
hukum
jangan hanya dibatasi terhadap
pencegahan
dicantumkan
terorisme
takut
dengan
internasional
dipertimbangkan
perlindungan terhadap integritas
ditegaskan
sebagai kejahatan terorisme.
nasional
3. Perlu
fasilitas internasional, diplomat
diatur
Corporate
dan
kedaulatan,
Liability.
asing, kepala negara dan wakil
4. Perlu diatur tentang skema
kepala negara, instalasi publik,
perlindungan
lingkungan hidup, sumber daya
terhadap
para
saksi dan korban kejahatan.
alam nasional dan transportasi
5. Perlu
serta komunikasi.
diatur
kejahatan
obstruction of justice, sebab soal
8. Sesuai
ini
prinsip hak asasi manusia, maka
lebih
luas
dari
pada
dengan
ketentuan tentang perlindungan
dalam
bagi penyelidikan dan penyidik.
pidana harus memegang teguh
6. Perlu diatur ketentuan bahwa
asas legilitas dan asas lex certa
perjuangan bersenjata (Freedom
(perumusan hukum harus jelas
6
merumuskan
prinsip-
tindak
dan
tajam
serta
terlarang yang terlibat terorisme
dapat
dipercaya); dan penyimpangan
perlu
terhadap hukum acara yang
Inggris).5
berlaku
sejauh
dijajaki
(seperti
Konvensi
mungkin
di
Organisasi
dihindari.
Konferensi Islam (OKI) tentang
9. Disamping langkah-langkah
pemberantasan
represif, perlu diatur langkah-
terorisme
langka
sebagai berikut.
preventif
(Counter
tindak
(1999)
pidana
menegaskan,
yang
“believing that terrorism constitutes
komprehensip,
seperti
a gross violation of human rights, in
pencegahan
elemen
particular the right to freedom and
lain,
security as well as an obstacle to the
koordinasi
free functioning of institutions and
dengan negara-negara sahabat,
socio-economic development as it
pengembangan sistem seleksi
aims at destabilizing states”.6
Measures)
Terorrism
teroris
infiltrasi
dari
kerjasama
negara
dan
Mengenai Comprehensive
dan manajemen senjata api dan
pengawasan
Convention on Terrorism, komentar
perbatasan dan tempat masuk
umum Komisi Anti Terorisme PBB
orang
pengembangan
menyatakan bahwa “International
sistem pengawasan, peningkatan
terrorism possess the most serious
pengamanan
threat to international peace and
bahan
peledak,
asing,
instalasi
perlindungan
penting
vital,
security”. 7
orang-orang
dan
penyempurnaan
Disamping itu, sampai saat
diplomat,
ini
organisasi
hukum
pidana
internasional
intelejen, penciptaan data base
sudah mengembangkan 6 (enam)
dari elemen dan jaringan teroris.
model
10.
mengenai tindak pidana termasuk
Menegaskan perlunya
keterlibatan perguruan tinggi
untuk
mengkaji
Pengaturan
internasional
5
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,
2002, hal, 180-181.
6
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana
Internasional Dan Ekstradisi, Yrama
Widya, Bandung, 2004, hal, 210.
7
Muladi, 2002, Op., Cit., hal, 180181.
masalah-
masalah terorisme.
11.
kerjasama
tentang
keterlibatan dalam organisasi
7
tindak pidana terorisme, sebagai
would presumably restrict
its unfettered political
power to act unilaterally.9
Sebagaimana diungkapkan
berikut:
1. Ekstradisi.
2. Bantuan hukum.
oleh M. Cherif Bassiouni, bahwa
3. Transfer perkara pidana.
tidak ada konvensi yang lengkap
4.
Pengakuan
terhadap
tentang terorisme, yang ada bahkan
putusan
pidana asing.
sedikit
5. Pemindahan terpidana.
menyatukan ketiga belas konvensi
6. Pembekuan dan penyitaan aset.8
sehingga meniadakan kelemahan-
Mengenai
konvensi
tentang
terorisme,
M.
kelemahannya.
masalah
tindak
memadukan,
membuat
pidana
ataupun
Logika
untuk
konvensi
lengkap
sedemikian rupa tentang terorisme
Cherif Bassiouni,
sama kuatnya dengan logika untuk
menyatakan, sebagai berikut:
melawan pendekatan bertahap yang
There is no comprehensive
convention on terrorism
that
even
modestly
integrates
much
less
incorporates into a single
text,
these
thirteen
conventions so as to
eliminate their weaknesses.
The logic of such a
comprehensive convention
on terrorism is compelling,
as is the logic against the
current
piecemeal
approach taken by the
separate
conventions.
Nevertheless, the United
States has consistently
opposed such a convention
since 1972, ostensibly so
that it can pick and choose
from these disparate norms
those that it wishes to rely
upon. Above all, the United
States does not want to
have
an
effective
multilateral scheme that
sekarang
ini
dengan
adanya
konvensi-konvensi yang terpisah.
Meskipun
demikian,
Amerika
Serikat secara konsisten melawan
konvensi lengkap seperti ini sejak
tahun 1972 agar dapat memilihmilih peraturan mana yang dipakai
antara
peraturan-peraturan
yang
berbeda. Di atas segalanya, Amerika
Serikat tidak ingin adanya kerangka
multilateral
yang
efektif
karena
kemungkinan hal itu justeru akan
membatasi kekuatan politiknya yang
9
M. Cherif Bassiouni, Legal Control
of International Terrorism: A Policy
Oriented Assessment Harvard International
Law Journal 83, 2002, hal, 43.
8
I Wayan Parthiana, 2004, Op. Cit.,
hal, 210.
8
tak terlawan untuk bertindak secara
memerangi
terorisme
tersebut”
sepihak.10
(There is no universally accepted
definition of the word terrorism in
Penataan Regulasi
general use or in treaties and law
designed to combat it).11
Diskursus
Pakar hukum pidana dan
terorisme
dimulai dari perumusan terorisme.
kriminologi
Dari perumusan ini saja
juga menyatakan sebagai berikut,
sudah
Romli
Atmasasmita
mengundang terjadinya kontroversi.
bahwa
Hal ini logis, karena ada beberapa
mengatur atau meregulasi tentang
aspek penting yang masuk dalam
pemberantasan
rumusan
terorisme
terorisme,
diantaanya
Undang-undang
yang
tindak
dapat
pidana
menimbulkan
ketika dikaitka denga aspek politik
implikasi hukum bagi kepentingan
dan agama.
nasional
internasional.
Pengertian tindak pidana
terorisme
pertama
kali
maupun
Undang-Undang
dibahas
kepentingan
Oleh
sebab
yang
itu
mengatur
dalam European Convention on the
tentang pemberantasan tindak pidana
Suppression of Terrorism (ECST)
terorisme perlu memperhatikan dua
tahun
acuan
1977.
Namun
demikian
utama
dan
satu
acuan
rumusan pengertian tindak pidana
pelengkap sebagai berikut: 12
terorisme
1. Undang-undang yang mengatur
tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme yang mengacu
pada
standar
hukum
13
internasional , sebagai berikut;
hingga
menimbulkan
saat
ini
persoalan
multi
interprestasi. Amnesty Internasional
mengakui
tindak
persoalan
pidana
menyatakan,
definisi
atau
pengertian
terorisme
bahwa
istilah
dengan
“tidak
ada
yang
bisa
11
Walker Clive, The Prevention of
Terrorism in British Law, Manchester
University Press, Manchester, UK, 1986,
hal, 3.
12
Sunardi, Klausula Attentat Dalam
Kaitannya Dengan Ekstradisi Pelaku
Tindak Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009.
13
Romli Atmasasmita, Latar
Belakang, Ide Dasar dan Paradigma
Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Makalah Disampaikan pada Seminar di
diterima secara universal mengenai
terorisme dunia dalam penggunaan
umum atau dalam perjanjian dan
hukum
yang
dirancang
untuk
10
M. Cherif Bassiouni, 2002, Op.,
Cit., hal, 43.
9
a.
Konvensi
Internasional
tentang
Pencegahan
dan
Penghukuman
Terorisme
(1937).
b.
Konvensi
Chicago
tentang Penentuan Wilayah
Hukum
Pesawat
Udara
(1944).
c.
Konvensi
Tokyo
tentang
Kejahatan
dan
Tindakan
Lain
yang
Dilakukan di Kabin Pesawat
Terbang
(1963),
mulai
berlaku tanggal 4 Desember
1969.
d.
Konvensi The Heque
tantang
Pembasmian
Perampasan
Pesawat
Terbang yang Menyalahi
Hukum
(1970),
mulai
berlaku tanggal 14 Oktober
1971.
e.
Konvensi Montreal
tentang Pembasmi Tindak
Penyalahan Hukum Terhadap
Keselamatan
Penerbangan
Sipil (1971), mulai berlaku
tanggal 26 Januari 1973.
f.
Konvensi New York
tentang Pencegahan dan
Hukuman Tindak Kejahatan
Terhadap Orang-orang yang
Memiliki
Immunitas
Internasional (1973), mulai
berlaku tanggal 20 Pebruari
1977.
g.
Konvensi New York
tentang
Penyanderaan
(1979), mulai berlaku tanggal
3 Juni 1983.
h.
Konvensi
Vienna
tentang Perlindungan Fisik
Bahan Nuklir (1980), mulai
berlaku tanggal 8 Pebruari
1987.
i.
Konvensi New York
tentang
Hukum
Laut
Khususnya yang Berkaitan
Dengan Pembajakan di Laut
(1980).
j.
Konvensi
Roma
tentang Pembasmi Tindak
Menyalahi Hukum Terhadap
Keselamatan
Navigasi
Maritim
(1988),
mulai
berlaku tanggal 1 Maret
1992.
k.
Konvensi Montreal
tentang Plastic Explosive
untuk Tujuan Deteksi (1991).
l.
Konvensi Menentang
Pemboman oleh Terorisme
(1997).
m.
Konvensi Menentang
Pendanaan untuk Terorisme
(1999).
n.
Konvensi
PBB
tentang
Kejahatan
Terorganisasi Transnasional
(2000).
o.
Resolusi
DKPBB
Nomor 57/219, diadopsi oleh
Sidang Majelis Umum PBB
tentang Perlindungan HAM
dan Kemerdekaan Asasi
Ketika
Memberantas
Terorisme.
p.
Resolusi
54/164
Majelis Umum PBB yang
menyatakan “all measures to
counter terrorism must be in
strict conformity with the
provisions of international
law, including international
human rights standars”
(semua
tindakan
untuk
melawan terorisme harus
memiliki kesesuaian yang
ketat
dengan
ketentuan
hukum internasional yang
relevan, termasuk standar
hak asasi manusia).
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 25 Juli
2002, hal, 5.
1
q.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1333
tanggal 19 Desember Tahun
2000 tentang Pencegahan
Suplai
Senjata,
Kapal
Terbang,
Perlengkapan
Militer ke Afganistan.
r.
Resolusi
DKPBB
Nomor
1373
tentang
Pembekuan Asset teroris AlQaeda tahun 2001.
s.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1368
tanggal 12 September 2001
tentang Pernyataan Simpati
PBB terhadap korban tragedi
11 September 2001.
t.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1438
tanggal 15 Oktober 2002
yang
menyatakan
belasungkawa dan simpati
PBB kepada Pemerintah dan
Rakyat
Indonesia,
dan
menegaskan
kembali
langkah-langkah
untuk
memberantas terorisme.14
2. Undang-undang yang mengatur
pemberantasan
tindak
c.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tokyo
1963, Konvensi The Haque
1970 dan Konvensi Montreal
1971.
d.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1976
tentang
Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi Antara
Republik Indonesia dengan
Republik
Filipina
serta
Protokol.
e.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1978 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara Republik Indonesia
dengan Pemerintah Kerajaan
Thailand tentang Ekstradisi.
f.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi.
g.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP).
h.
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
3. Acuan pelengkap yang
perlu
diperhatikan
dalam
menyusun undang-undang yang
mengatur
tentang
pemberantasan tindak pidana
terorisme
ialah
peraturan
perundang-undangan
tentang
terorisme
yang
berlaku
dibeberapa negara lain, antara
lain; Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Kanada, Yunani,
Italia, Singapura, Jerman.15
Oleh sebab itu menurut
Romli Atmasasmita, kelengkapan
naskah Undang-undang tentang
pidana
terorisme mengacu pada sistem
hukum dan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia sebagai
berikut:
a.
Kitab
UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP).
b.
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1974 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara
Pemerintahan
Republik Indonesia dan
Pemerintahan
Malaysia
Mengenai Ekstradisi.
14
15
Sunardi, Op.Cit, hal. 5-6.
1
Ibid., hal, 5.
mencantumkan motif politik,
terorisme perlu didukung oleh studi
perbandingan
hukum
dengan
beberapa negara tersebut.16
Pentingnya perbandingan
hukum dalam kaitannya dengan
harmonisasi
hukum,
Michael
Bogdan menyatakan sebagai berikut.
Comparative law is of central
importance in connection with the
harmonization of the law, i.e. with
intentionally making the legal rules
of two or more legal systems more
alike, as well as with unification of
law, i.e. the intentional introduction
of identical legal rules in two or
more legal systems. 17
Berdasarkan studi hukum
komparatif
terhadap
dan
kajian
aturan
yang
latar belakang agama, dan / atau
ideology, sebagai unsure atau
elemen tindak pidana terorisme.
3. Norma-norma
dirumuskan
secara ekstensif dan tidak ada
sanksi
administratif
keperdataan.
Sanksi
dan
pidana
merupakan satu-satunya sanksi
yang harus dijatuhkan kepada
pelaku
terorisme,
kecuali
undang-undang Anti Terorisme
hukum
Singapura.
mengatur
4. Hak-hak
masalah tindak pidana terorisme,
pelaku
dapat disimpulkan hal-hal sebagai
asasi
tersangka
terorisme
dibatasi
bahkan dalam undang-undang di
18
berikut:
beberapa
1. Tidak
ada
satu
definisi
negara
terutama
undang-undang Anti Terorisme
terorisme yang dianut baik oleh
Kanada (2000), “the right to
negara-negara yang tergabung
remain
dalam Organisasi Konferensi
“the
Islam (OKI), maupun negara-
lainnya.
menurut
baik
negara-negara
OKI,
Uni Eropa,
to
counsel”
Terorisme Inggris (2001), serta
Uni Eropa dan negara barat
terorisme
right
dihapuskan.
dihapuskan undang-undang Anti
negara yang tergabung dalam
2. Definisi
silent”,
Amerika
Serikat.
undang
Anti
Singapura
dan
memberlakukan
Amerika Serikat
UndangTerorisme
Malaysia
“preventive
detention” untuk masa waktu
dan Australia pada umumnya
paling lama dua tahun tanpa
diadili.
16
Ibid., hal, 7.
17
Michael Bogdan, Comparative
Law, Kluwer Norstedts Juridik Tano,
Sweden, 1994, hal, 30.
18
Sunardi, Op.Cit, hal. 8.
5. Undang-undang
anti
terorisme dari beberapa negara
1
lain, ternyata tidak cocok untuk
komprehansif tentang definisi
digunakan di Indonesia karena
tindak pidana terorisme.
pertimbangan
4. Peraturan
kultur,
etnis,
ideologi dan agama. 19
Dalam
dengan
undangan pidana yang berlaku
sampai saat ini tidak memadai
hubungannya
upaya
perundang-
untuk
penanggulangan
penangulangan
tindak
tindak pidana terorisme, setidaknya
pidana terorisme.
ada 5 (lima) fakta yang menjadi
5. Pemerintah perlu instrumen
dasar perlunya kebijakan regulasi
untuk melindungi kedaulatan
tindak pidana terorisme, sebagai
negara
berikut:
Resolusi
sekaligus
mendukung
Dewan
Keamanan
1. Sampai saat ini terorisme
PBB
belum diakui sebagai kejahatan
tindak pidana terorisme.20
internasional
yang
jurisdiksi
menjadi
Court
sebagaimana
diatur
pemberantasan
Sebagaimana
sudah
disinggung bahwa meskipun saat
International
Criminal
tentang
(ICC)
penandatanganan Statuta Roma pada
dalam
tahun 1998, Amerika Serikat tidak
Statuta Roma 1998.
setuju
tindak
pidana
terorisme
2. Konvensi-konvensi
dikualifikasikan sebagai pelanggaran
tentang
Hak Asasi Manusia (HAM) Berat
pencegahan dan pemberantasan
yang masuk jurisdiksi International
tindak pidana terorisme sampai
Criminal
saat ini belum berlaku efektif.
setelah
3. Sampai saat ini belum ada
2001,
kesepakatan
mendesak
Internasional
internasional
mengenai
definisi
sehingga
PBB
Court
peristiwa
Amerika
agar
(ICC),
11
namun
September
Serikat
justeru
tindak
pidana
terorisme dikualifikasikan sebagai
terorisme
pelanggaran
memandang
HAM
Berat
dan
termasuk jurisdiksi ICC.21
perlu diadakan satu definisi
20
Romli Atmasasmita,
Pemberantasan Terorisme Dari Aspek
Hukum Pidana Internasional, 2003, hal, 13.
21
Romli Atmasasmita, Kapita
Selekta Hukum Pidana Internasional Jilid
ke-2, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal, 92.
19
Romli Atmasasmita, Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah
disampaikan di JCLEC di Semarang 8
Desember 2005, hal, 4.
1
Dengan
alasan
hukum pidana formil yang sama
ada
sekali baru.
kekosongan hukum yakni bahwa
Dalam kaitannya dengan
tindak pidana terorisme tidak diatur
dalam hukum pidana positif yang
pembuatan
ada, berdasarkan Pasal 22 Undang-
undangan dan efektivitas peradilan
Undang Dasar 1945 Pemerintah
pidana, John Kaplan menyatakan
Republik
menetapkan
bahwa salah satu aspek yang harus
Penganti
dipenuhi ancaman tindak pidana
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
yang rasional (dapat dilaksanakan)
Tahun 2002 yang kemudian atas
dan proporsional sesuai kebutuhan
persetujuan
Perwakilan
subyek hukum (“…that one of the
Rakyat ditetapkan menjadi Undang-
aspects that should be fulfilled for
undang Nomor 15 Tahun 2003
the provision of good legislation and
tentang
the effectiveness of legislation is
Indonesia
Peraturan
Pemerintah
Dewan
Pemberantasan
Tindak
Pidana Terorisme.
peraturan
perundang-
reasonable (may be implemented)
Berdasarkan
Undang-
and proportional (according to the
undang Nomor 15 Tahun 2003
need of juridical subject) penal
tentang
justice”).
Pemberantasan
Tindak
Asas lain yang diperlukan
Pidana Terorisme, secara global
dilakukan
kriminalisasi
dalam penyusunan Undang-Undang
tindak
tentang pemberantasan tindak pidana
pidana terorisme.
diketahui
terorisme ialah asas sinkronisasi
bahwa kriminalisasi dalam hukum
hukum baik terhadap hukum pidana
pidana dapat dilakukan dengan 3
nasional maupun terhadap hukum
(tiga) sistem sebagai berikut: 1)
pidana internasional, agar ada atau
evolusi
terbentuk harmonisasi. 22
Sebagaimana
dengan
mengamandemen
Sebagaimana
pasal-pasal hukum pidana positif, 2)
kompromi
dengan
ditegaskan
dalam penjelasan Pasal 8 RUU-
memasukkan
tindak pidana baru dalam hukum
22
John Kaplan, Criminal Justice,
The Fundation Press Inc., Mineola, New
York, 1973, hal, 3.
23
Muladi, Undang-undang
Terorisme Sebagai Perlindungan terhadap
HAM dan Pertanggungjawaban Pidana
dalam Kejahatan Terorisme, 2003, hal, 5.
pidana positif, dan, 3) global dengan
membuat hukum pidana materil dan
1
Perlunya
KUHP menyatakan bahwa dalam
memperhatikan
masyarakat suatu negara di dunia ini
asas-asas hukum internasional dan
terdapat
hukum
yang
mengatur
standar hak asasi manusia bagi
tingkah
laku
para
anggota
masyarakat
dalam
menegakkan
setiap
perundang-
undangan yang mengatur tentang
rangka
ketenteraman
peraturan
pemberantasan
dan
tindak
pidana
ketertiban dalam negara itu. Hal ini
terorisme, juga diamanatkan oleh
sama berlaku pula dalam masyarakat
Resolusi 54/164 Majelis Umum
internasional.
Indonesia
PBB, dan Resolusi 57/219 yang
masyarakat
telah di adopsi oleh Sidang Majelis
internasional, oleh karena itu sudah
Umum PBB tentang Protection of
selayaknya atau sepatutnya hukum
Human Rights and Fundamental
Indonesia
Freedoms
merupakan
Negara
anggota
juga
ikut
serta
While
Countering
menegakkan hukum internasional.
Terrorism (Perlindungan Hak Asasi
Ini berarti bahwa ketentuan hukum
Manusia dan Kemerdekaan Asasi
nasional
Ketika
bertentangan
internasional
Indonesia
yang
dengan
hukum
yang
diakui
Melaksanakan
Pemberantasan
Terorisme),
menyatakan, bahwa “semua tindakan
oleh
Indonesia, maka hukum nasional
untuk
Indonesia
memiliki kesesuaian
tidak
Dengan ikut
dalam
yang
diberlakukan.
dengan
sertanya Indonesia
melawan terorisme
harus
yang
ketentuan
ketat
hukum
internasional yang relevan, termasuk
konvensi-konvensi
berarti
standar hak asasi manusia” (all
ketentuan
pidana
measures to counter terrorism must
sebagaimana
disebut
be in strict conformity with the
dalam ketentuan pasal ini dibatasi
provisisons of international law,
oleh hukum internasional. 24
including international human rights
internasional,
berlakunya
Indonesia
maka
standars). Semua tindakan yang
dimaksudkan dalam Revolusi 54/164
24
Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Rancangan UndangUndang Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004, hal,
9.
Majelis
Umum
PBB
tersebut
termasuk tindakan preventif yang
1
berupa
pembentukan
nasional
peraturan
sinkronisasinya
perundang-undangan atau legislasi.
Berdasarkan
tersebut
jelaslah
bahwa
wajib
menjaga
dengan
hukum
uraian
pidana internasional dan hukum
hukum
pidana
negara
lain,
27
agar
pidana nasional Indonesia khususnya
harmonisasi,
Undang-undang
pengaturan mengenai tindak pidana
yang
mengatur
wajib
dalam
terorisme.
tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme
termasuk
ada
Dalam
memperhatikan
asas-asas yang dianut dalam hukum
Lamintang
pidana
setiap
international dan hukum
hal
ini,
P.A.F
menyatakan
bahwa:
Undang-Undang
pidana
pidana yang berlaku di negara-
negara manapun didunia ini wajib
negara lain.
menghormati asas-asas hukum antar
Dalam hubungan ini Romli
bangsa yang telah diakui secara
Atmasasmita menyebutkan bahwa,
umum (sudah berlaku universal). 28
kebijakan
peraturan
Hal ini dimaksudkan agar tidak
perundang-undangan yang memiliki
menimbulkan implikasi hukum dari
aspek
adanya
penyusunan
internasional
mengadopsi
substansi
mutlak
penyimpangan
hukum
pidana nasional terhadap asas-asas
konvensi-
konvensi internasional yang telah
hukum
diakui oleh pemerintah RI, dan
khususnya dalam penerapan hukum
konvensi internasional yang belum
yang
diakui tetapi mengandung filosofi,
internasional
semangat, dan jiwa yang sejalan
negara lain. 29
dengan
Pancasila
dan
melibatkan
atau
internasional,
kepentingan
kepentingan
Salah satu asas hukum
Undangpidana
Undang Dasar 1945, serta sejalan
dengan kebutuhan Negara RI.
pidana
25
semestinya
Dengan kata lain hukum pidana
internasional
juga
dianut
yang
dalam
27
Muladi, 2003, Op., Cit., hal, 7.
28
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia , Sinar Baru,
Bandung, 1984, hal, 111.
29
Jan Remmelink, Hukum Pidana:
Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,
hal, 369.
25
Paul M.A. Walewski, Combating
International Terrorism: A Studi Of
Whether The Responses By The UK And US
To The Events Of 9/11 Are Compatible With
Respect For Fundamental Human Rights,
The University Of British Columbia, 2004,
hal, 1.
26
Romli Atmasasmita, 2004, Op.,
Cit., hal, 81.
1
undang-undang
tentang
khususnya
tindak
pelaku
akselerasi
pengedukasian kader terorisme.
pidana terorisme yaitu asas tidak
menyerahkan
menjawab
Produk
kejahatan
yuridis
menjadi
politik (Non Extradition Of Political
“bernyawa” di tengah masyarakat,
Criminal). Asas tersebut secara tidak
bilamana
langsung disimpangi oleh Pasal 5
intelektualitas
Undang-undang Nomor 15 Tahun
ditunjukkannya. Idealitasnya, aparat
2003 tentang Pemberantasan Tindak
menjadi kuat dan pintar berkat
Pidana Terorisme yang mengatur
dukungan instrumen yuridis yang
klausula attentat (attentat clause),
tidak
yang menentukan bahwa: tindak
kelemahan.
ini
dan
aparat
banyak
mengandung
Persoalannya,
pidana terorisme yang diatur dalam
undang-undang
mentalitas
benarkah
dikecualikan
bahwa
memang
kinerja
aparat
dari: tindak pidana politik; tindak
penegak hukum sangat dipengaruhi
pidana yang berkaitan dengan tindak
oleh
pidana politik; tindak pidana dengan
Apakah “lembeknya” kinerja aparat
motif politik; dan tindak pidana
penegak
dengan
khususnya
tujuan
politik;
yang
menghambat proses ekstradisi. 30
produk
Pembaruan
berharap
pada
menghadang
lebih
Raharjo
penanggungan
disebabkan
oleh
menentukan
booming
memang
pernah
bahwa
kegagalan
menyatakan,
kemampuan aparat penegak hukum
sangat
ini,
Sosiolog kenamaan Satjipto
amandemen UU Anti Terorisme,
juga
dalam
selama
instrumen yuridis yang lemah?
Hukum
Selain
hokum
yuridisnya?
kejahatan istimewa (exstra ordinary
crime),
Pertimbangan
norma
penegakan hukum (law enforcement)
untuk
itu dsebabkan
terorisme.
saat awal hukum
dibuat. Ketika saat awal dibuat,
Aparat yang berkapabilitas tinggi
ternyata banyak “pesanan”
akan membuat produk legislatif bisa
yang
mempengaruhi substansinya, maka
“bernyawa” di tengah masyarakat,
produk yuridis
ini hanya akan
menjadi “pepesan politik”.
30
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
1
Pernyataan
itu
didasarkan
sebenarnya
kebutuhan
bermaksud mengingatkan kalangan
kinerja.
legislatif agar pembaruan yuridis
nantinya dipenuhi, aparat juga harus
yang
cerdas
dilakukannya
benar-benar
Meski
legalitas
dalam
demikian,
jika
menerapkannya,
riil
sehingga bisa menyikapi dengan arif
masyarakat, dan bukan didasarkan
antara kepentingan HAM teroris
kepentingan subyektifitas seseorang
dengan HAM calon-calon korban.
berpijak
pada
kepentingan
atau sekelompok orang. Kebutuhan
riil
yang
berelasi
dengan
PENUTUP
Alasan adanya kekosongan
penghadangan terorisme memang
bermacam-macam,
norma
tidak
yuridis,
tetapi
sebats
hukum seringkali membuat aparat
juga
penegak hukum dihadapkan pada
kesulitan untuk menangani masalah
profesionalisme
tindak
Profesionalisme dan mentalitas
pidana,
termasuk
dalam
aparat tetaplah yang paling dominan
tindak. Atas alasan ini kemudian,
dalam menentukan hidup matinya
pemerintah menetapkan Peraturan
produk legislatif. Sebaik apapun
Pemerintah
norma yuridis yang diproduksi, tidak
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun
akan memberikan yang terbaik pada
2002
rakyat, bilamana mentalitas aparat
persetujuan
keropos, sementara kinerjanya tidak
Rakyat ditetapkan menjadi Undang-
professional atau suka memproduksi
undang Nomor 15 Tahun 2003
“horor ” dimana-mana .
tentang
yang
Pidana
Aparat sudah demikian sering
Penganti
Undang-
kemudian
Dewan
Perwakilan
Pemberantasan
Terorisme.
atas
Tindak
Berdasarkan
meminta payung kinerjanya dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun
penanggulangan terorisme, sehingga
2003 tentang Pemberantasan Tindak
tidak salah jika badan legislatif
Pidana Terorisme, secara global
memenuhinya.
dilakukan
supaya
Permintaan aparat
pemerintah
atau
kriminalisasi
tindak
pidana terorisme.
badan
legislatif mengamandemen UU Anti
Terorisme merupakan realitas logis,
pasalnya
permintaannya
DAFTAR PUSTAKA
ini
1
dan
Pertanggungjawaban
Pidana
dalam
Kejahatan
Terorisme.
Nicholas Rostow, 2002, Before and
After:
The Changed
UN
Response to Terrorism Since
September
11th,
Cornel
International Law Journal.
P.A.F.Lamintang, 1984, DasarDasar
Hukum
Pidana
Indonesia ,
Bandung: Sinar
Baru.
Paul M.A.
Walewski,
2004,
Combating
International
Terrorism: A Studi Of Whether
The Responses By The UK And
US To The Events Of 9/11 Are
Compatible With Respect For
Fundamental Human Rights,
Columbia: The University Of
British.
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime,
2004, Legislative Guide To The
Universal
Anti-Terrorism
Conventions And Protocols,
New York: United Nations.
Sunardi, 2009, Klausula Attentat
Dalam
Kaitannya
Dengan
Ekstradisi
Pelaku
Tindak
Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Rancangan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme,
Makalah
Disampaikan pada Seminar di
Sekolah
Tinggi
Hukum
Bandung, 25 Juli 2002.
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga
Global, LKPSDM, Surabaya, 14
September 2016
Romli
Atmasasmita,
Latar
Belakang, Ide Dasar dan
Paradigma Penyusunan
________________,
Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah
Buku-Buku dan Jurnal
Direktorat
Jenderal
Peraturan
Perundang-undangan,
2004,
Rancangan
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana, Jakarta: Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia.
Eric Rosand, 2003, The Counter
Terrorism Committee and the
Fight
Against
Terrorism,
American Journal International.
Jan Remmelink, 2003, Hukum
Pidana: Komentar Atas PasalPasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda
Dan
Padanannya
Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
John Kaplan, 1973, Criminal
Justice, Mineola, New York:
The Fundation Press Inc.
I Wayan Parthiana, 2004. Hukum
Pidana
Internasional
Dan
Ekstradisi, Bandung: Yrama
Widya.
M. Cherif Bassiouni, 2002, Legal
Control
of
International
Terrorism: A Policy Oriented
Assessment
Harvard
International Law Journal 83,
2002.
Michael Bogdan, 1994, Comparative
Law, Sweden: Kluwer Norstedts
Juridik Tano.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan Reformasi
Hukum di Indonesia, Jakarta:
The Habibie Center.
______, 2003, Undang-undang
Terorisme
Sebagai
Perlindungan terhadap HAM
1
disampaikan di JCLEC di
Semarang 8 Desember 2005.
________________, 2004, Kapita
Selekta
Hukum
Pidana
Internasional
Jilid
ke-2,
Bandung: Utomo.
Walker Clive, 1986, The Prevention
of Terrorism in British Law,
Manchester:
Manchester
University Press.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2
(Regulatory Discourse of Terrorism Criminal Act)
Oleh: Sunardi
sunardis.sh@yahoo.com.
Abstract
The reason for legal vacuum often makes law enforcement faced difficulty to deal
with criminal offense, including in act. For this reason, the government stipulates
the Government Regulation on Law No. 1 of 2002 which the approval of the
Legislative Assembly is stipulated as Law No. 15 of 2003 on the Eradication of
Terrorism Criminal Act.
Keywords: terrorism, regulation, legal vacuum
Abstrak
Alasan adanya kekosongan hukum seringkali membuat aparat penegak hukum
dihadapkan pada kesulitan untuk menangani masalah tindak pidana, termasuk
dalam tindak. Atas alasan ini kemudian, pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang
kemudian atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan menjadi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Kata Kunci: terorisme, regulasi, kekosongan hukum
*Sunardi Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
ditemukan di Bandara Internasional
PENDAHULUAN
Sultan
Dewasa ini peran Polri
mendapatkan
Makassar.
Seluruh detonator tersebut hendak
dalam menanggulangi terorisme
layak
Hasanuddin,
dikirim melalui pesawat Batik Air
apresiasi
dengan nomor penerbangan ID-6183
publik. Sejumlah pentolan, tokoh
tujuan Jakarta. Kita bisa bayangkan
atau pemimpin teroris berhasil
bagaimana wajah kusut negeri ini
ditangkap, ditembak, atau diseret
jika
ke proses hukum yang berakhir
ratusan detonator ini sampai
digunakan Sebelum temuan
dihukum penjara atau hukuman
di
Makasar itu, juga ditemukan bom
mati.
Bekasi, yakni bom mini jenisnya
Salah satu kinerja Polri
rice cooker yang memiliki berat 3
yang juga harus diapresiasi publik
adalah keberhasilannya
kilogram. Bom ini memiliki daya
menyita
tiga boks berisi 300 detonator yang
1
ledak tinggi. jika diledakkan, daya
Aksi
luncurnya mencapai 4.000 Km/jam
Bisa
dibayangkan
ledakan
bom
atau
kekejaman yang dilancarkan para
berapa
teroris
banyaknya jumlah manusia yang
segala
menjadi korbannya jika sampai bom
dimiliki setiap elemen rakyat dan
berkekuatan dahsyat
bangsa itu. Salah satu senjata
itu
sampai
harus dilawan dengan
macam
senjata
yang
meledak. Indonesia bisa mengalami
ampuh
tragedi akibat kejahatan melawan
untuk menghadang tumbuhnya
kemanusiaan
generasi
(crime
againt
humanity) kalau sampai bom itu
yang
bisa
digunakan
terorisme
itu
adalah
Undang-undang.
berhasil diledakkan?
Jika
Meski masyarakat memang
produk
yuridisnya
lemah, maka ia dapat dijadikan
seharusnya memberikan apresiasi
instrumen
pada kinerja Polri, tetapi kita juga
bangsa. Kalau produk yuridisnya
perlu
berkategori
mengingatkan
kepadanya,
untuk
melemahkan
unggulan,
maka
bahwa teroris merupakan kejahatan
konstruksi kehidupan bangsa ini
istimewa
dan
menjadi kuat, Bangsa yang kuat
proses
ketahanannya dapat dibaca dari
yang
berkembangnya
terbentuk
melalui
regenerasi atau system pengkaderan
sudut
yang mapan.
yuridisnya.
Dalam
logika
konstruksi
Teori
itu
utilitis
produk
dari Jeremy
diniscayakan, ada banyak elemen
Bentham menyebutkan
yang akan mengisi
kekosongan
hukum itu dibuat untuk memberikan
kepemimpinan organisasi teroris,
kepada manusia kebahagiaan yang
ibarat mati satu, tumbuh seribu.
sebesar-besarnya. Teori Betham ini
Santoso
muncul
jelas menggariskan bahwa norma
akan
yuridis dibentuk atau diamandemen
Badrun
dilumpuhkan,
Naim,
dan
seterusnya demikian. Ini tak lepas
untuk
dari
yang
pola
kepemimpinan
estafetisme
di
memberikan
bahwa
kebahagiaan
sebanyak-banyaknya
pada
rakyat. 1
organisasi
teroris ini yang tergolong berjalan
mulus.
1
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga Global,
2
Hukum
memang
bisa
Kalangan aparat yang bekerja di
membahagiakan rakyat. Ketika
lapangan
hak-hak
hak
sejumlah bukti kelemahan UU
keselamatan,
dan
anti
ketakutan
bisa
menginginkan
rakyat,
kesehatan,
bebas
dari
seperti
sudah
menunjukkan
Terorisme.
Mereka
dilakukan
diwujudkan, secara umum rakyat
pembongkaran atau penambahan
mampu
sejumlah pasal yang mengatur
memperoleh
dan
menikmati kebahagiaan hidupnya.
masalah
Rakyat kemana-mana atau
pencegahan
seperti menjaring atau menindak
dimana-mana tidak akan merasa
siapa
dihantui oleh ketakutan nyawanya
dengan
terancam,
rakyat
terlarang”semacam
yuridis
NISS.
bilamana
mendapatkan
proteksi
terorisme
saja
yang
bergabung
“organisasi-organisasi
ISIS
atau
yang memadai. Kader terorisme
Presiden Joko Widodo bahkan
tidak akan tumbuh, bilamana
sudah mengajak pimpinan berbagai
hukum
lembaga
tinggi
negara
dan keadilannya di bumi pertiwi
mengkaji
ulang
undang-undang
ini.
terorisme. Jokowi menyebut, karena
memberikan
kepastian
untuk
terorisme
memang perubahan ideologi (terjadi)
merupakan salah satu produk
sangat cepat, maka tentu saja perlu
negara yang diandalkan untuk
kita sikapi dengan secepat-cepatnya
menghadang timbulnya terorisme.
pula.
Kalau kemudian produk yuridis
dimaksud Jokowi, salah satunya
ini mempunyai banyak kelemahan
adalah UU Nomor 15 tahun 2003.
UU
anti
Undang-undang
yang
tahun
Sekretaris Kabinet Pramono
diimplementasikan, maka suatu
Anung bahkan langsung menyebut,
keniscayaan
dilakukan
bahwa serangan teroris di jalan MH
evaluasi (amandemen) secepatnya.
Thamrinpada Kamis, 14 Januari
setelah
beberapa
untuk
sudah
2016 sebagai 'bukti' kelemahan UU
produk
Nomor 15 tahun 2003. Pemerintah
yuridis yang mengatur terorisme.
sudah jauh-jauh hari mendeteksi
Faktanya,
berkali-kali
teroris
menguji
rencana atau waktu teroris akan
LKPSDM, Surabaya, 14 September 2016,
hal. 3
3
menjalankan aksinya, tapi karena
perdamaian
dan
kondisi kelemahan payung hukum
internasional. 2
keamanan
Sebagaimana
yang ada, maka pada waktu itu 19
yang
orang yang ada bukti kuat, tidak bisa
diketahui bahwa pada umumnya
ditindak. Penangkapan sekitar 12
tindak
orang terkait aksi teror di Jalan MH
menimbulkan banyak korban baik
Thamrin, baru dilakukan setelah
nyawa maupun harta, oleh sebab itu
teror terjadi.
beberapa
pidana
konvensi
terorisme
internasional
harus
tentang tindak pidana terorisme
diapresiasi. Pembaruan atas norma
mengkualifikasikan tindak pidana
yuridis
terorisme
Keinginan
itu
yang
dinilainya
mengakomodasi
strategis
tidak
kejahatan
kemanusiaan yang luar biasa (extra
kepentingan
bangsa,
sebagai
ordinary crimes).
seharusnya
dilakukan secepatnya. Tidak boleh
Berpijak pada kondisi itu,
norma yuridis dibiarkan kehilangan
DKPBB melalui resolusinya Nomor
keberdayaannya untuk menghadang
1373 mengharuskan semua negara
politik akselerasi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
pengedukasian
(PBB)
kader terorisme.
untuk melakukan upaya-
upaya sebagai berikut:
1. Melawan terorisme.
2. Membawa pelaku terorisme
PEMBAHASAN
ke pengadilan.
3. Meninjau
Pasca Peledakan WTC
Satu hari setelah peledakan
kembali
pidana nasional jika dipandang
gedung WTC, yakni pada tanggal 12
perlu.
September 2001 Dewan Keamanan
4. Meningkatkan
Perserikatan
batas wilayah.
(DKPBB)
Bangsa-Bangsa
mengeluarkan
1368,
yang
bahwa
tindak
pidana
terorisme
ancaman
terhadap
merupakan
5. Mengontrol
resolusi
Nomor
hukum
menyatakan
keamanan
perdagangan
senjata api dan bahan peledak.
2
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime, Legislative
Guide To The Universal Anti-Terrorism
Conventions And Protocols, United Nations,
New York, 2004, hal, 1.
4
6. Mengambil tindakan segera
1) inventarisasi undang-undang yang
untuk menghindari dan menekan
dapat
seluruh
aktif
hukum, 3) pembaharuan hukum. 4)
maupun fasif bagi pendukung
ekstradisi, 5) kontrol aset keuangan,
terorisme
6) bea cukai., 7) imigrasi, 8)
kegiatan
baik
khususnya
melalui
diterapkan,
2)
penegakan
perdagangan senjata api ilegal. 4
Resolusi 1337, Resolusi 1390,
dan Resolusi 1455.
Langkah yang dilakukan oleh
7. Meratifikasi semua konvensi
DKPBB itu, salah satu yang inti dan
PBB yang releven khususnya
strategis adalah berkaitan dengan
konvensi
tentang
masalah regulasi terhadap tindak
Pelaku
pidana terorisme. Kebutuhan dan
1999
Pembekuan
Keuangan
Terorisme.
kejelasan pengaturan tindak pidana
8. Menghadapkan
pengadilan,
ke
mereka
mendanai,
terorisme
sidang
yang
dengan banyaknya kasus tindak
merencanakan,
mendukung,
melindungi,
pidana
menanggulangi
terorisme,
tindak
DKPBB
yang
berelasi
Diskursus terorisme yang
kerjasama
dikaitkan dengan aspek regulasinya
dengan Dewan Keamanan PBB.3
Dalam
terorisme
dengan negara-negara lain.
dan
yang melakukan terorisme.
9. Meningkatkan
menjadi urgen seiring
menjadi diskursus bersifat khusus di
upaya
kalangan
ahli.
Perbedaan
pidana
pemahaman
bahkan
Menurut Muladi ada 11 (sebelas)
menjadi
logis.
membentuk Komite Anti Terorisme
alasan
yang menampung laporan negara-
kejahatan berat termasuk tindak
negara anggota menyangkut upaya-
pidana
upaya yang telah dilakukan dalam
berikut:
menanggulangi
tindak
perlunya
hal
terorisme,
1. Agar
pidana
tidak
dimaksud
subyektivitas
menyangkut hal-hal sebagai berikut;
menimbulkan
terorisme.
Laporan
pengaturan
sebagaimana
menimbulkan
penafsiran
dan
permasalahan
4
Nicholas Rostow, Before and
After: The Changed UN Response to
Terrorism Since September 11th, Cornel
International Law Journal, 2002, hal, 35.
3
Eric Rosand, The Counter
Terrorism Committee and the Fight Against
Terrorism, American Journal International,
2003, hal, 97.
5
dalam
ekstradisi,
pemikiran
yang
Fighters)
maka
melawan
kolonialisme,
berkembang
pendudukan,
pada Anglo-American Law yang
dominasi dan agresi asing bukan
tidak
tindak pidana terorisme, ini
membedakan
antara
kejahatan politik yang dilakukan
penting
atas
hubungannya dengan ekstradisi
dasar
tujuan
ideologis
nantinya
dalam
dengan kejahatan tradisional,
dan
dapat dipertimbangkan. Hukum
dimaksudkannya
pidana hanya memperhatikan
sebagai kejahatan internasional
sikap batin (intent) bukan motif,
(asas universalitas).
oleh sebab itu, apakah motifnya
7. Kepentingan
baik
dibahayakan
atau
buruk
tidak
menentukan kesalahan.
2. Pelbagai
internasional
dengan
yang
kemungkinan
oleh
yang
terorisme
konvensi
nyawa, harta benda, kebebasan
berkaitan
pribadi
dan
masyarakat.
dan
perkembanagn
telah
perlu
diratifikasi
perlu
rasa
Sesuai
pemberantasan terorisme yang
dan
hukum
jangan hanya dibatasi terhadap
pencegahan
dicantumkan
terorisme
takut
dengan
internasional
dipertimbangkan
perlindungan terhadap integritas
ditegaskan
sebagai kejahatan terorisme.
nasional
3. Perlu
fasilitas internasional, diplomat
diatur
Corporate
dan
kedaulatan,
Liability.
asing, kepala negara dan wakil
4. Perlu diatur tentang skema
kepala negara, instalasi publik,
perlindungan
lingkungan hidup, sumber daya
terhadap
para
saksi dan korban kejahatan.
alam nasional dan transportasi
5. Perlu
serta komunikasi.
diatur
kejahatan
obstruction of justice, sebab soal
8. Sesuai
ini
prinsip hak asasi manusia, maka
lebih
luas
dari
pada
dengan
ketentuan tentang perlindungan
dalam
bagi penyelidikan dan penyidik.
pidana harus memegang teguh
6. Perlu diatur ketentuan bahwa
asas legilitas dan asas lex certa
perjuangan bersenjata (Freedom
(perumusan hukum harus jelas
6
merumuskan
prinsip-
tindak
dan
tajam
serta
terlarang yang terlibat terorisme
dapat
dipercaya); dan penyimpangan
perlu
terhadap hukum acara yang
Inggris).5
berlaku
sejauh
dijajaki
(seperti
Konvensi
mungkin
di
Organisasi
dihindari.
Konferensi Islam (OKI) tentang
9. Disamping langkah-langkah
pemberantasan
represif, perlu diatur langkah-
terorisme
langka
sebagai berikut.
preventif
(Counter
tindak
(1999)
pidana
menegaskan,
yang
“believing that terrorism constitutes
komprehensip,
seperti
a gross violation of human rights, in
pencegahan
elemen
particular the right to freedom and
lain,
security as well as an obstacle to the
koordinasi
free functioning of institutions and
dengan negara-negara sahabat,
socio-economic development as it
pengembangan sistem seleksi
aims at destabilizing states”.6
Measures)
Terorrism
teroris
infiltrasi
dari
kerjasama
negara
dan
Mengenai Comprehensive
dan manajemen senjata api dan
pengawasan
Convention on Terrorism, komentar
perbatasan dan tempat masuk
umum Komisi Anti Terorisme PBB
orang
pengembangan
menyatakan bahwa “International
sistem pengawasan, peningkatan
terrorism possess the most serious
pengamanan
threat to international peace and
bahan
peledak,
asing,
instalasi
perlindungan
penting
vital,
security”. 7
orang-orang
dan
penyempurnaan
Disamping itu, sampai saat
diplomat,
ini
organisasi
hukum
pidana
internasional
intelejen, penciptaan data base
sudah mengembangkan 6 (enam)
dari elemen dan jaringan teroris.
model
10.
mengenai tindak pidana termasuk
Menegaskan perlunya
keterlibatan perguruan tinggi
untuk
mengkaji
Pengaturan
internasional
5
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,
2002, hal, 180-181.
6
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana
Internasional Dan Ekstradisi, Yrama
Widya, Bandung, 2004, hal, 210.
7
Muladi, 2002, Op., Cit., hal, 180181.
masalah-
masalah terorisme.
11.
kerjasama
tentang
keterlibatan dalam organisasi
7
tindak pidana terorisme, sebagai
would presumably restrict
its unfettered political
power to act unilaterally.9
Sebagaimana diungkapkan
berikut:
1. Ekstradisi.
2. Bantuan hukum.
oleh M. Cherif Bassiouni, bahwa
3. Transfer perkara pidana.
tidak ada konvensi yang lengkap
4.
Pengakuan
terhadap
tentang terorisme, yang ada bahkan
putusan
pidana asing.
sedikit
5. Pemindahan terpidana.
menyatukan ketiga belas konvensi
6. Pembekuan dan penyitaan aset.8
sehingga meniadakan kelemahan-
Mengenai
konvensi
tentang
terorisme,
M.
kelemahannya.
masalah
tindak
memadukan,
membuat
pidana
ataupun
Logika
untuk
konvensi
lengkap
sedemikian rupa tentang terorisme
Cherif Bassiouni,
sama kuatnya dengan logika untuk
menyatakan, sebagai berikut:
melawan pendekatan bertahap yang
There is no comprehensive
convention on terrorism
that
even
modestly
integrates
much
less
incorporates into a single
text,
these
thirteen
conventions so as to
eliminate their weaknesses.
The logic of such a
comprehensive convention
on terrorism is compelling,
as is the logic against the
current
piecemeal
approach taken by the
separate
conventions.
Nevertheless, the United
States has consistently
opposed such a convention
since 1972, ostensibly so
that it can pick and choose
from these disparate norms
those that it wishes to rely
upon. Above all, the United
States does not want to
have
an
effective
multilateral scheme that
sekarang
ini
dengan
adanya
konvensi-konvensi yang terpisah.
Meskipun
demikian,
Amerika
Serikat secara konsisten melawan
konvensi lengkap seperti ini sejak
tahun 1972 agar dapat memilihmilih peraturan mana yang dipakai
antara
peraturan-peraturan
yang
berbeda. Di atas segalanya, Amerika
Serikat tidak ingin adanya kerangka
multilateral
yang
efektif
karena
kemungkinan hal itu justeru akan
membatasi kekuatan politiknya yang
9
M. Cherif Bassiouni, Legal Control
of International Terrorism: A Policy
Oriented Assessment Harvard International
Law Journal 83, 2002, hal, 43.
8
I Wayan Parthiana, 2004, Op. Cit.,
hal, 210.
8
tak terlawan untuk bertindak secara
memerangi
terorisme
tersebut”
sepihak.10
(There is no universally accepted
definition of the word terrorism in
Penataan Regulasi
general use or in treaties and law
designed to combat it).11
Diskursus
Pakar hukum pidana dan
terorisme
dimulai dari perumusan terorisme.
kriminologi
Dari perumusan ini saja
juga menyatakan sebagai berikut,
sudah
Romli
Atmasasmita
mengundang terjadinya kontroversi.
bahwa
Hal ini logis, karena ada beberapa
mengatur atau meregulasi tentang
aspek penting yang masuk dalam
pemberantasan
rumusan
terorisme
terorisme,
diantaanya
Undang-undang
yang
tindak
dapat
pidana
menimbulkan
ketika dikaitka denga aspek politik
implikasi hukum bagi kepentingan
dan agama.
nasional
internasional.
Pengertian tindak pidana
terorisme
pertama
kali
maupun
Undang-Undang
dibahas
kepentingan
Oleh
sebab
yang
itu
mengatur
dalam European Convention on the
tentang pemberantasan tindak pidana
Suppression of Terrorism (ECST)
terorisme perlu memperhatikan dua
tahun
acuan
1977.
Namun
demikian
utama
dan
satu
acuan
rumusan pengertian tindak pidana
pelengkap sebagai berikut: 12
terorisme
1. Undang-undang yang mengatur
tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme yang mengacu
pada
standar
hukum
13
internasional , sebagai berikut;
hingga
menimbulkan
saat
ini
persoalan
multi
interprestasi. Amnesty Internasional
mengakui
tindak
persoalan
pidana
menyatakan,
definisi
atau
pengertian
terorisme
bahwa
istilah
dengan
“tidak
ada
yang
bisa
11
Walker Clive, The Prevention of
Terrorism in British Law, Manchester
University Press, Manchester, UK, 1986,
hal, 3.
12
Sunardi, Klausula Attentat Dalam
Kaitannya Dengan Ekstradisi Pelaku
Tindak Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009.
13
Romli Atmasasmita, Latar
Belakang, Ide Dasar dan Paradigma
Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Makalah Disampaikan pada Seminar di
diterima secara universal mengenai
terorisme dunia dalam penggunaan
umum atau dalam perjanjian dan
hukum
yang
dirancang
untuk
10
M. Cherif Bassiouni, 2002, Op.,
Cit., hal, 43.
9
a.
Konvensi
Internasional
tentang
Pencegahan
dan
Penghukuman
Terorisme
(1937).
b.
Konvensi
Chicago
tentang Penentuan Wilayah
Hukum
Pesawat
Udara
(1944).
c.
Konvensi
Tokyo
tentang
Kejahatan
dan
Tindakan
Lain
yang
Dilakukan di Kabin Pesawat
Terbang
(1963),
mulai
berlaku tanggal 4 Desember
1969.
d.
Konvensi The Heque
tantang
Pembasmian
Perampasan
Pesawat
Terbang yang Menyalahi
Hukum
(1970),
mulai
berlaku tanggal 14 Oktober
1971.
e.
Konvensi Montreal
tentang Pembasmi Tindak
Penyalahan Hukum Terhadap
Keselamatan
Penerbangan
Sipil (1971), mulai berlaku
tanggal 26 Januari 1973.
f.
Konvensi New York
tentang Pencegahan dan
Hukuman Tindak Kejahatan
Terhadap Orang-orang yang
Memiliki
Immunitas
Internasional (1973), mulai
berlaku tanggal 20 Pebruari
1977.
g.
Konvensi New York
tentang
Penyanderaan
(1979), mulai berlaku tanggal
3 Juni 1983.
h.
Konvensi
Vienna
tentang Perlindungan Fisik
Bahan Nuklir (1980), mulai
berlaku tanggal 8 Pebruari
1987.
i.
Konvensi New York
tentang
Hukum
Laut
Khususnya yang Berkaitan
Dengan Pembajakan di Laut
(1980).
j.
Konvensi
Roma
tentang Pembasmi Tindak
Menyalahi Hukum Terhadap
Keselamatan
Navigasi
Maritim
(1988),
mulai
berlaku tanggal 1 Maret
1992.
k.
Konvensi Montreal
tentang Plastic Explosive
untuk Tujuan Deteksi (1991).
l.
Konvensi Menentang
Pemboman oleh Terorisme
(1997).
m.
Konvensi Menentang
Pendanaan untuk Terorisme
(1999).
n.
Konvensi
PBB
tentang
Kejahatan
Terorganisasi Transnasional
(2000).
o.
Resolusi
DKPBB
Nomor 57/219, diadopsi oleh
Sidang Majelis Umum PBB
tentang Perlindungan HAM
dan Kemerdekaan Asasi
Ketika
Memberantas
Terorisme.
p.
Resolusi
54/164
Majelis Umum PBB yang
menyatakan “all measures to
counter terrorism must be in
strict conformity with the
provisions of international
law, including international
human rights standars”
(semua
tindakan
untuk
melawan terorisme harus
memiliki kesesuaian yang
ketat
dengan
ketentuan
hukum internasional yang
relevan, termasuk standar
hak asasi manusia).
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 25 Juli
2002, hal, 5.
1
q.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1333
tanggal 19 Desember Tahun
2000 tentang Pencegahan
Suplai
Senjata,
Kapal
Terbang,
Perlengkapan
Militer ke Afganistan.
r.
Resolusi
DKPBB
Nomor
1373
tentang
Pembekuan Asset teroris AlQaeda tahun 2001.
s.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1368
tanggal 12 September 2001
tentang Pernyataan Simpati
PBB terhadap korban tragedi
11 September 2001.
t.
Resolusi
Dewan
Keamanan PBB Nomor 1438
tanggal 15 Oktober 2002
yang
menyatakan
belasungkawa dan simpati
PBB kepada Pemerintah dan
Rakyat
Indonesia,
dan
menegaskan
kembali
langkah-langkah
untuk
memberantas terorisme.14
2. Undang-undang yang mengatur
pemberantasan
tindak
c.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tokyo
1963, Konvensi The Haque
1970 dan Konvensi Montreal
1971.
d.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1976
tentang
Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi Antara
Republik Indonesia dengan
Republik
Filipina
serta
Protokol.
e.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1978 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara Republik Indonesia
dengan Pemerintah Kerajaan
Thailand tentang Ekstradisi.
f.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi.
g.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP).
h.
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
3. Acuan pelengkap yang
perlu
diperhatikan
dalam
menyusun undang-undang yang
mengatur
tentang
pemberantasan tindak pidana
terorisme
ialah
peraturan
perundang-undangan
tentang
terorisme
yang
berlaku
dibeberapa negara lain, antara
lain; Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Kanada, Yunani,
Italia, Singapura, Jerman.15
Oleh sebab itu menurut
Romli Atmasasmita, kelengkapan
naskah Undang-undang tentang
pidana
terorisme mengacu pada sistem
hukum dan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia sebagai
berikut:
a.
Kitab
UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP).
b.
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1974 tentang
Pengesahan
Perjanjian
Antara
Pemerintahan
Republik Indonesia dan
Pemerintahan
Malaysia
Mengenai Ekstradisi.
14
15
Sunardi, Op.Cit, hal. 5-6.
1
Ibid., hal, 5.
mencantumkan motif politik,
terorisme perlu didukung oleh studi
perbandingan
hukum
dengan
beberapa negara tersebut.16
Pentingnya perbandingan
hukum dalam kaitannya dengan
harmonisasi
hukum,
Michael
Bogdan menyatakan sebagai berikut.
Comparative law is of central
importance in connection with the
harmonization of the law, i.e. with
intentionally making the legal rules
of two or more legal systems more
alike, as well as with unification of
law, i.e. the intentional introduction
of identical legal rules in two or
more legal systems. 17
Berdasarkan studi hukum
komparatif
terhadap
dan
kajian
aturan
yang
latar belakang agama, dan / atau
ideology, sebagai unsure atau
elemen tindak pidana terorisme.
3. Norma-norma
dirumuskan
secara ekstensif dan tidak ada
sanksi
administratif
keperdataan.
Sanksi
dan
pidana
merupakan satu-satunya sanksi
yang harus dijatuhkan kepada
pelaku
terorisme,
kecuali
undang-undang Anti Terorisme
hukum
Singapura.
mengatur
4. Hak-hak
masalah tindak pidana terorisme,
pelaku
dapat disimpulkan hal-hal sebagai
asasi
tersangka
terorisme
dibatasi
bahkan dalam undang-undang di
18
berikut:
beberapa
1. Tidak
ada
satu
definisi
negara
terutama
undang-undang Anti Terorisme
terorisme yang dianut baik oleh
Kanada (2000), “the right to
negara-negara yang tergabung
remain
dalam Organisasi Konferensi
“the
Islam (OKI), maupun negara-
lainnya.
menurut
baik
negara-negara
OKI,
Uni Eropa,
to
counsel”
Terorisme Inggris (2001), serta
Uni Eropa dan negara barat
terorisme
right
dihapuskan.
dihapuskan undang-undang Anti
negara yang tergabung dalam
2. Definisi
silent”,
Amerika
Serikat.
undang
Anti
Singapura
dan
memberlakukan
Amerika Serikat
UndangTerorisme
Malaysia
“preventive
detention” untuk masa waktu
dan Australia pada umumnya
paling lama dua tahun tanpa
diadili.
16
Ibid., hal, 7.
17
Michael Bogdan, Comparative
Law, Kluwer Norstedts Juridik Tano,
Sweden, 1994, hal, 30.
18
Sunardi, Op.Cit, hal. 8.
5. Undang-undang
anti
terorisme dari beberapa negara
1
lain, ternyata tidak cocok untuk
komprehansif tentang definisi
digunakan di Indonesia karena
tindak pidana terorisme.
pertimbangan
4. Peraturan
kultur,
etnis,
ideologi dan agama. 19
Dalam
dengan
undangan pidana yang berlaku
sampai saat ini tidak memadai
hubungannya
upaya
perundang-
untuk
penanggulangan
penangulangan
tindak
tindak pidana terorisme, setidaknya
pidana terorisme.
ada 5 (lima) fakta yang menjadi
5. Pemerintah perlu instrumen
dasar perlunya kebijakan regulasi
untuk melindungi kedaulatan
tindak pidana terorisme, sebagai
negara
berikut:
Resolusi
sekaligus
mendukung
Dewan
Keamanan
1. Sampai saat ini terorisme
PBB
belum diakui sebagai kejahatan
tindak pidana terorisme.20
internasional
yang
jurisdiksi
menjadi
Court
sebagaimana
diatur
pemberantasan
Sebagaimana
sudah
disinggung bahwa meskipun saat
International
Criminal
tentang
(ICC)
penandatanganan Statuta Roma pada
dalam
tahun 1998, Amerika Serikat tidak
Statuta Roma 1998.
setuju
tindak
pidana
terorisme
2. Konvensi-konvensi
dikualifikasikan sebagai pelanggaran
tentang
Hak Asasi Manusia (HAM) Berat
pencegahan dan pemberantasan
yang masuk jurisdiksi International
tindak pidana terorisme sampai
Criminal
saat ini belum berlaku efektif.
setelah
3. Sampai saat ini belum ada
2001,
kesepakatan
mendesak
Internasional
internasional
mengenai
definisi
sehingga
PBB
Court
peristiwa
Amerika
agar
(ICC),
11
namun
September
Serikat
justeru
tindak
pidana
terorisme dikualifikasikan sebagai
terorisme
pelanggaran
memandang
HAM
Berat
dan
termasuk jurisdiksi ICC.21
perlu diadakan satu definisi
20
Romli Atmasasmita,
Pemberantasan Terorisme Dari Aspek
Hukum Pidana Internasional, 2003, hal, 13.
21
Romli Atmasasmita, Kapita
Selekta Hukum Pidana Internasional Jilid
ke-2, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal, 92.
19
Romli Atmasasmita, Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah
disampaikan di JCLEC di Semarang 8
Desember 2005, hal, 4.
1
Dengan
alasan
hukum pidana formil yang sama
ada
sekali baru.
kekosongan hukum yakni bahwa
Dalam kaitannya dengan
tindak pidana terorisme tidak diatur
dalam hukum pidana positif yang
pembuatan
ada, berdasarkan Pasal 22 Undang-
undangan dan efektivitas peradilan
Undang Dasar 1945 Pemerintah
pidana, John Kaplan menyatakan
Republik
menetapkan
bahwa salah satu aspek yang harus
Penganti
dipenuhi ancaman tindak pidana
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
yang rasional (dapat dilaksanakan)
Tahun 2002 yang kemudian atas
dan proporsional sesuai kebutuhan
persetujuan
Perwakilan
subyek hukum (“…that one of the
Rakyat ditetapkan menjadi Undang-
aspects that should be fulfilled for
undang Nomor 15 Tahun 2003
the provision of good legislation and
tentang
the effectiveness of legislation is
Indonesia
Peraturan
Pemerintah
Dewan
Pemberantasan
Tindak
Pidana Terorisme.
peraturan
perundang-
reasonable (may be implemented)
Berdasarkan
Undang-
and proportional (according to the
undang Nomor 15 Tahun 2003
need of juridical subject) penal
tentang
justice”).
Pemberantasan
Tindak
Asas lain yang diperlukan
Pidana Terorisme, secara global
dilakukan
kriminalisasi
dalam penyusunan Undang-Undang
tindak
tentang pemberantasan tindak pidana
pidana terorisme.
diketahui
terorisme ialah asas sinkronisasi
bahwa kriminalisasi dalam hukum
hukum baik terhadap hukum pidana
pidana dapat dilakukan dengan 3
nasional maupun terhadap hukum
(tiga) sistem sebagai berikut: 1)
pidana internasional, agar ada atau
evolusi
terbentuk harmonisasi. 22
Sebagaimana
dengan
mengamandemen
Sebagaimana
pasal-pasal hukum pidana positif, 2)
kompromi
dengan
ditegaskan
dalam penjelasan Pasal 8 RUU-
memasukkan
tindak pidana baru dalam hukum
22
John Kaplan, Criminal Justice,
The Fundation Press Inc., Mineola, New
York, 1973, hal, 3.
23
Muladi, Undang-undang
Terorisme Sebagai Perlindungan terhadap
HAM dan Pertanggungjawaban Pidana
dalam Kejahatan Terorisme, 2003, hal, 5.
pidana positif, dan, 3) global dengan
membuat hukum pidana materil dan
1
Perlunya
KUHP menyatakan bahwa dalam
memperhatikan
masyarakat suatu negara di dunia ini
asas-asas hukum internasional dan
terdapat
hukum
yang
mengatur
standar hak asasi manusia bagi
tingkah
laku
para
anggota
masyarakat
dalam
menegakkan
setiap
perundang-
undangan yang mengatur tentang
rangka
ketenteraman
peraturan
pemberantasan
dan
tindak
pidana
ketertiban dalam negara itu. Hal ini
terorisme, juga diamanatkan oleh
sama berlaku pula dalam masyarakat
Resolusi 54/164 Majelis Umum
internasional.
Indonesia
PBB, dan Resolusi 57/219 yang
masyarakat
telah di adopsi oleh Sidang Majelis
internasional, oleh karena itu sudah
Umum PBB tentang Protection of
selayaknya atau sepatutnya hukum
Human Rights and Fundamental
Indonesia
Freedoms
merupakan
Negara
anggota
juga
ikut
serta
While
Countering
menegakkan hukum internasional.
Terrorism (Perlindungan Hak Asasi
Ini berarti bahwa ketentuan hukum
Manusia dan Kemerdekaan Asasi
nasional
Ketika
bertentangan
internasional
Indonesia
yang
dengan
hukum
yang
diakui
Melaksanakan
Pemberantasan
Terorisme),
menyatakan, bahwa “semua tindakan
oleh
Indonesia, maka hukum nasional
untuk
Indonesia
memiliki kesesuaian
tidak
Dengan ikut
dalam
yang
diberlakukan.
dengan
sertanya Indonesia
melawan terorisme
harus
yang
ketentuan
ketat
hukum
internasional yang relevan, termasuk
konvensi-konvensi
berarti
standar hak asasi manusia” (all
ketentuan
pidana
measures to counter terrorism must
sebagaimana
disebut
be in strict conformity with the
dalam ketentuan pasal ini dibatasi
provisisons of international law,
oleh hukum internasional. 24
including international human rights
internasional,
berlakunya
Indonesia
maka
standars). Semua tindakan yang
dimaksudkan dalam Revolusi 54/164
24
Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Rancangan UndangUndang Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004, hal,
9.
Majelis
Umum
PBB
tersebut
termasuk tindakan preventif yang
1
berupa
pembentukan
nasional
peraturan
sinkronisasinya
perundang-undangan atau legislasi.
Berdasarkan
tersebut
jelaslah
bahwa
wajib
menjaga
dengan
hukum
uraian
pidana internasional dan hukum
hukum
pidana
negara
lain,
27
agar
pidana nasional Indonesia khususnya
harmonisasi,
Undang-undang
pengaturan mengenai tindak pidana
yang
mengatur
wajib
dalam
terorisme.
tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme
termasuk
ada
Dalam
memperhatikan
asas-asas yang dianut dalam hukum
Lamintang
pidana
setiap
international dan hukum
hal
ini,
P.A.F
menyatakan
bahwa:
Undang-Undang
pidana
pidana yang berlaku di negara-
negara manapun didunia ini wajib
negara lain.
menghormati asas-asas hukum antar
Dalam hubungan ini Romli
bangsa yang telah diakui secara
Atmasasmita menyebutkan bahwa,
umum (sudah berlaku universal). 28
kebijakan
peraturan
Hal ini dimaksudkan agar tidak
perundang-undangan yang memiliki
menimbulkan implikasi hukum dari
aspek
adanya
penyusunan
internasional
mengadopsi
substansi
mutlak
penyimpangan
hukum
pidana nasional terhadap asas-asas
konvensi-
konvensi internasional yang telah
hukum
diakui oleh pemerintah RI, dan
khususnya dalam penerapan hukum
konvensi internasional yang belum
yang
diakui tetapi mengandung filosofi,
internasional
semangat, dan jiwa yang sejalan
negara lain. 29
dengan
Pancasila
dan
melibatkan
atau
internasional,
kepentingan
kepentingan
Salah satu asas hukum
Undangpidana
Undang Dasar 1945, serta sejalan
dengan kebutuhan Negara RI.
pidana
25
semestinya
Dengan kata lain hukum pidana
internasional
juga
dianut
yang
dalam
27
Muladi, 2003, Op., Cit., hal, 7.
28
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia , Sinar Baru,
Bandung, 1984, hal, 111.
29
Jan Remmelink, Hukum Pidana:
Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,
hal, 369.
25
Paul M.A. Walewski, Combating
International Terrorism: A Studi Of
Whether The Responses By The UK And US
To The Events Of 9/11 Are Compatible With
Respect For Fundamental Human Rights,
The University Of British Columbia, 2004,
hal, 1.
26
Romli Atmasasmita, 2004, Op.,
Cit., hal, 81.
1
undang-undang
tentang
khususnya
tindak
pelaku
akselerasi
pengedukasian kader terorisme.
pidana terorisme yaitu asas tidak
menyerahkan
menjawab
Produk
kejahatan
yuridis
menjadi
politik (Non Extradition Of Political
“bernyawa” di tengah masyarakat,
Criminal). Asas tersebut secara tidak
bilamana
langsung disimpangi oleh Pasal 5
intelektualitas
Undang-undang Nomor 15 Tahun
ditunjukkannya. Idealitasnya, aparat
2003 tentang Pemberantasan Tindak
menjadi kuat dan pintar berkat
Pidana Terorisme yang mengatur
dukungan instrumen yuridis yang
klausula attentat (attentat clause),
tidak
yang menentukan bahwa: tindak
kelemahan.
ini
dan
aparat
banyak
mengandung
Persoalannya,
pidana terorisme yang diatur dalam
undang-undang
mentalitas
benarkah
dikecualikan
bahwa
memang
kinerja
aparat
dari: tindak pidana politik; tindak
penegak hukum sangat dipengaruhi
pidana yang berkaitan dengan tindak
oleh
pidana politik; tindak pidana dengan
Apakah “lembeknya” kinerja aparat
motif politik; dan tindak pidana
penegak
dengan
khususnya
tujuan
politik;
yang
menghambat proses ekstradisi. 30
produk
Pembaruan
berharap
pada
menghadang
lebih
Raharjo
penanggungan
disebabkan
oleh
menentukan
booming
memang
pernah
bahwa
kegagalan
menyatakan,
kemampuan aparat penegak hukum
sangat
ini,
Sosiolog kenamaan Satjipto
amandemen UU Anti Terorisme,
juga
dalam
selama
instrumen yuridis yang lemah?
Hukum
Selain
hokum
yuridisnya?
kejahatan istimewa (exstra ordinary
crime),
Pertimbangan
norma
penegakan hukum (law enforcement)
untuk
itu dsebabkan
terorisme.
saat awal hukum
dibuat. Ketika saat awal dibuat,
Aparat yang berkapabilitas tinggi
ternyata banyak “pesanan”
akan membuat produk legislatif bisa
yang
mempengaruhi substansinya, maka
“bernyawa” di tengah masyarakat,
produk yuridis
ini hanya akan
menjadi “pepesan politik”.
30
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
1
Pernyataan
itu
didasarkan
sebenarnya
kebutuhan
bermaksud mengingatkan kalangan
kinerja.
legislatif agar pembaruan yuridis
nantinya dipenuhi, aparat juga harus
yang
cerdas
dilakukannya
benar-benar
Meski
legalitas
dalam
demikian,
jika
menerapkannya,
riil
sehingga bisa menyikapi dengan arif
masyarakat, dan bukan didasarkan
antara kepentingan HAM teroris
kepentingan subyektifitas seseorang
dengan HAM calon-calon korban.
berpijak
pada
kepentingan
atau sekelompok orang. Kebutuhan
riil
yang
berelasi
dengan
PENUTUP
Alasan adanya kekosongan
penghadangan terorisme memang
bermacam-macam,
norma
tidak
yuridis,
tetapi
sebats
hukum seringkali membuat aparat
juga
penegak hukum dihadapkan pada
kesulitan untuk menangani masalah
profesionalisme
tindak
Profesionalisme dan mentalitas
pidana,
termasuk
dalam
aparat tetaplah yang paling dominan
tindak. Atas alasan ini kemudian,
dalam menentukan hidup matinya
pemerintah menetapkan Peraturan
produk legislatif. Sebaik apapun
Pemerintah
norma yuridis yang diproduksi, tidak
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun
akan memberikan yang terbaik pada
2002
rakyat, bilamana mentalitas aparat
persetujuan
keropos, sementara kinerjanya tidak
Rakyat ditetapkan menjadi Undang-
professional atau suka memproduksi
undang Nomor 15 Tahun 2003
“horor ” dimana-mana .
tentang
yang
Pidana
Aparat sudah demikian sering
Penganti
Undang-
kemudian
Dewan
Perwakilan
Pemberantasan
Terorisme.
atas
Tindak
Berdasarkan
meminta payung kinerjanya dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun
penanggulangan terorisme, sehingga
2003 tentang Pemberantasan Tindak
tidak salah jika badan legislatif
Pidana Terorisme, secara global
memenuhinya.
dilakukan
supaya
Permintaan aparat
pemerintah
atau
kriminalisasi
tindak
pidana terorisme.
badan
legislatif mengamandemen UU Anti
Terorisme merupakan realitas logis,
pasalnya
permintaannya
DAFTAR PUSTAKA
ini
1
dan
Pertanggungjawaban
Pidana
dalam
Kejahatan
Terorisme.
Nicholas Rostow, 2002, Before and
After:
The Changed
UN
Response to Terrorism Since
September
11th,
Cornel
International Law Journal.
P.A.F.Lamintang, 1984, DasarDasar
Hukum
Pidana
Indonesia ,
Bandung: Sinar
Baru.
Paul M.A.
Walewski,
2004,
Combating
International
Terrorism: A Studi Of Whether
The Responses By The UK And
US To The Events Of 9/11 Are
Compatible With Respect For
Fundamental Human Rights,
Columbia: The University Of
British.
Prepared by the United Nations
Office on Drugs and Crime,
2004, Legislative Guide To The
Universal
Anti-Terrorism
Conventions And Protocols,
New York: United Nations.
Sunardi, 2009, Klausula Attentat
Dalam
Kaitannya
Dengan
Ekstradisi
Pelaku
Tindak
Pidana Terorisme, Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Rancangan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme,
Makalah
Disampaikan pada Seminar di
Sekolah
Tinggi
Hukum
Bandung, 25 Juli 2002.
Rasmian Nafik, Dari terorisme ke
Terorisme, dari Lokal Hingga
Global, LKPSDM, Surabaya, 14
September 2016
Romli
Atmasasmita,
Latar
Belakang, Ide Dasar dan
Paradigma Penyusunan
________________,
Legitimasi
Perpu Anti Terorisme, Makalah
Buku-Buku dan Jurnal
Direktorat
Jenderal
Peraturan
Perundang-undangan,
2004,
Rancangan
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana, Jakarta: Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia.
Eric Rosand, 2003, The Counter
Terrorism Committee and the
Fight
Against
Terrorism,
American Journal International.
Jan Remmelink, 2003, Hukum
Pidana: Komentar Atas PasalPasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda
Dan
Padanannya
Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
John Kaplan, 1973, Criminal
Justice, Mineola, New York:
The Fundation Press Inc.
I Wayan Parthiana, 2004. Hukum
Pidana
Internasional
Dan
Ekstradisi, Bandung: Yrama
Widya.
M. Cherif Bassiouni, 2002, Legal
Control
of
International
Terrorism: A Policy Oriented
Assessment
Harvard
International Law Journal 83,
2002.
Michael Bogdan, 1994, Comparative
Law, Sweden: Kluwer Norstedts
Juridik Tano.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan Reformasi
Hukum di Indonesia, Jakarta:
The Habibie Center.
______, 2003, Undang-undang
Terorisme
Sebagai
Perlindungan terhadap HAM
1
disampaikan di JCLEC di
Semarang 8 Desember 2005.
________________, 2004, Kapita
Selekta
Hukum
Pidana
Internasional
Jilid
ke-2,
Bandung: Utomo.
Walker Clive, 1986, The Prevention
of Terrorism in British Law,
Manchester:
Manchester
University Press.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2