Analisis Hukum Terhadap Pembatalan Akta Perdamaian Secara Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No: 605 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya sebagai makhluk individu seorang manusia selalu ingin
berhubungan satu sama lain untuk membentuk kerukunan dan kedamaian. Manusia
hidup bersama-sama karena saling membutuhkan satu sama lain. Manusia sebagai
mahluk individu saling bergaul satu dengan yang lain untuk mempertahankan
hidupnya. Karena hal tersebut, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon,
yang berarti manusia ditakdirkan sebagai mahluk sosial jadi dikodratkan untuk hidup
bermasyarakat.1
Pada perkembangannya, selalu dapat ditemui ketidaksesuaian kepentingan di
antara manusia. Mengingat besar dan kecil, dan rumit dan sederhananya
ketidaksesuaian tersebut dapat mengakibatkan terganggunya tata tertib dan
perdamaian hubungan sosial antar manusia, maka hukum harus menjadi panglima
dalam pemecahannya. Dalam kedudukan ini, hukum menjadi jalan keluar bagaimana
konflik tersebut dapat diselesaikan, karena tujuan dari hukum adalah mengatur
pergaulan hidup secara damai.2
Aturan-aturan hukum yang menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia
secara garis besar dapat digolongkan atas aturan hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum tertulis merupakan aturan hukum yang telah dituangkan dalam suatu
1


Suroso Wignjodipuro, Himpunan Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1971, hal. 1

2

LJ van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Djakarta, Pradnja Paramita, tjetakan kesebelas,
1971, hal. 20.

1

Universitas Sumatera Utara

2

kitab undang-undang, sedangkan hukum tidak tertulis merupakan hukum yang ada,
hidup dan dilaksanakan didalam masyarakat. Diantara aturan-aturan yang ada
didalam masyarakat, aturan yang paling sering dan diperlukan dalam kehidupan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya adalah Perjanjian.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat dalam hubungan interaksi untuk
memenuhi kepentingan mereka dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan,

kebebasan untuk melakukan perjanjian baik secara tertulis maupun secara lisan ini
tidak terlepas dari sifat hukum perjanjian itu sendiri yang bersifat terbuka (openbaar
system). Selain bersifat terbuka hukum perjanjian juga disebut sebagai hukum
pelengkap.3 Sebagai hukum pelengkap mengandung arti ketentuan-ketentuan dalam
buku ke III KUHPerdata tersebut hanyalah bersifat melengkapi, apabila sesuatu hal
para pihak tidak mengaturnya secara lengkap.4
Ada yang disebut dengan perjanjian ditentukan dalam ketentuan pasal 1313
KUHPerdata yang menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.5 Kedua pengertian perjanjian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa

3
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Jakarta,
Liberty, 1984, hal. 3
4
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Jakarta, Liberty, 1985, hal. 1
5

Subekti (1), Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 2004, Cet Ke-20, hal.1

Universitas Sumatera Utara

3

dalam hukum perjanjian kedudukan para pihak yang membuat perjanjian adalah
seimbang.
Walaupun hukum perjanjian bersifat terbuka akan tetapi terdapat pengaturanpengaturan mengenai perjanjian yang harus di ikuti oleh kedua belah pihak yang
berkepentingan dimana ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu:
1. Sepakat Mereka mengikat diri
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orangorang atau subjek hukum yang mengadakan perjanijian, sedangkan dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau

objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.6
Apabila syarat subjektif dari perjanjian tidak terpenuhi maka suatu perjanjian
yang dilakukan dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh pihak yang
berkepentingan, sedangkan jika tidak terpenuhi syarat objektif dari perjanjian maka
perjanjian yang telah dilakukan atau dibuat tersebut batal demi hukum (null and
6

Ibid, hal. 17

Universitas Sumatera Utara

4

void). Dalam hal perjanjian yang batal demi hukum maka apabila ada tuntutan dari
pihak lain di depan pengadilan maka Hakim diwajibkan karena jabatannya,
menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.7
Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak yang memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 1320
KUHPerdata mengikat kedua belah pihak tersebut untuk melaksanakan perjanjian
yang telah disepakatinya, dimana apabila pemenuhan perjanjian tidak dilakukan maka

akan menimbulkan akibat hukum terhadap pihak yang tidak memenuhi perjanjian
tersebut.
Pihak yang tidak memenuhi perjanjian disebut telah melakukan perbuatan
wanprestasi sehingga melahirkan hak baru kepada pihak yang memiliki hak atas
pemenuhan perjanjian tersebut, yaitu:
1. Hak untuk meminta pemenuhan perjanjian dan/atau disertai permintaan ganti
rugi
2. Hak untuk membatalkan perjanjian dan/atau disertai ganti rugi
Berdasarkan Hukum Harta Kekayaan Perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan suami isteri adalah terjadi pemilikan bersama secara bulat. Hal ini berbeda
dengan akibat perkawinan terhadap harta kekayaan perkawinan terhadap harta
bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
Menurut UUP harta pribadi suami istri tidak bercampur dengan sendirinya menurut
7

Ibid, hal. 22

Universitas Sumatera Utara


5

hukum. Hanya harta kekayaan yang diperoleh sepanjang perkawinan yang dapat
menjadi satu dan disebut sebagai harta bersama. UUP tidak mengatur lebih jauh
tentang tanggung jawab suami isteri terhadap harta kekayaannya selama perkawinan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa hukum keluarga juga meliputi
ketentuan mengenai kekayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa UUP juga mengatur
mengenai hukum kekayaan. Subekti dengan tegas mengatakan, bahwa hukum
keluarga juga meliputi hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara
suami isteri.8
Menurut KUHPerdata, sejak dilangsungkannya perkawinan antara suami isteri
secara hukum terjadilah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri,
sejauh hal tersebut tidak menyimpang berdasarkan perjanjian kawin. Asas
percampuran harta ini dapat ditemukan dalam Pasal 119 KUHPerdata, maksudnya
bahwa apabila sebelum perkawinan antara suami isteri tidak melakukan perjanjian
kawin, maka secara otomatis atau langsung setiap harta yang diperoleh pada masa
perkawinan akan menjadi harta persatuan bulat karena Undang-Undang. 9
Menurut UUP, terdapat kelompok-kelompok harta di dalam perkawinan. Hal
tersebut dapat ditemukan pada Pasal 35 UUP yang menegaskan kelompok-kelompok
harta kekayaan di dalam perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

8

Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT .Intermasa,Cetakan Ke XV ,1980, hal. 6
R.Soetojo Prawirohamidjojo et.AI., Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya, Airlangga
University Press, ,2000, hal. 53
9

Universitas Sumatera Utara

6

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut UUP, di dalam satu
keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Bahkan pada dasarnya
disini, di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta.10
Di dalam Pasal 35 Ayat (1) UUP memberi definisi harta bersama dalam

perkawinan yakni harta benda yang diperoleh selama harta perkawinan menjadi harta
bersama. Artinya selama harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat
peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena
kematian salah satu pihak baik isteri maupun suami (cerai mati), maupun karena
perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat
dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.11 Harta benda
tersebut yang menjadi harta kekayaan perkawinan.
Mengenai harta bersama dapat dikatakan bahwa suami atau isteri dapat
bertindak mengenai harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan
mengenai harta bawaan masing-masing suami/isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan
isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua
belah pihak secara timbal balik menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya,

10
11

Ibid , hal 188
Ibid, hal 189


Universitas Sumatera Utara

7

mengingat hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat, dimana masing-masing berhak melakukan perbuatan
hukum.12
Berdasarkan yurisprudensi juga dikatakan bahwa dalam hal seorang suami
yang tunduk di bawah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
telah memberikan jaminan kepada bank atau kreditor lainnya terhadap rumah dan
tanah yang merupakan harta bersama dengan isterinya, maka isterinya harus ikut
menandatangani perjanjian tersebut.
Seorang debitor yang membebankan hak tanggungan terhadap harta bersama
tanpa persetujuan dari suami atau isterinya, tidak memiliki kewenangan untuk
memberikan hak tanggungan. Hal ini mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat
keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat
mengenai kecakapan sesorang dalam membuat perjanjian.
Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah yaitu Acte Van Dading dan Acte
Van Vergelijk. Retnowulan Sutantio menggunakan istilah Acte Van Dading untuk
perdamaian.13 Sedangkan Tresna menggunakan istilah Acte Van Vergelijk untuk

menyatakan perdamaian dalam Pasal 130HIR.14 Perdamaian pada hakikatnya dapat
saja dibuat para pihak dihadapan atau oleh hakim yang memeriksa perkara, juga

12
Riduan Syahrani ditulis kembali oleh Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008, hal. 43
13
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Jakarta :
Pusat Pengkajian Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, cet. 1, 2003, hal. 161
14
M.R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita, 1975, hal. 130

Universitas Sumatera Utara

8

perdamaian dapat dibuat oleh para pihak diluar pengadilan dan selanjutnya di bawa
ke pengadilan yang bersangkutan untuk dikukuhkan.15
Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa perdamaian dapat dibagi
sebagai berikut :

1. Akta perdamaian yang dibuat dengan persetujuan hakim, dimana akta itu
dibuat oleh para pihak dihadapan hakim atau dengan mediator maupun
fasilitator hakim atau yang sering disebut dengan Acte Van Vergelijk.
2. Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim yang dilakukan dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ( APS ) atau yang biasa disebut juga Alternative
Dispute Resolution ( ADR ) dapat menggunakan Acta Van Dading maupun
akta di bawah tangan.
Dalam kaitannya dengan konsekuensi hukum atas perdamaian dengan
pengukuhan hakim dan perdamaian tanpa pengukuhan hakim, Pasal 1858 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti
putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidaklah dapat perdamaian
itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan
bahwa salah satu pihak dirugikan.16
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setiap masyarakat memiliki berbagai
macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan perkara, konflik
15

Puslitbang Hukum dan Peradilan, Naskah Akademis Mengenai Court Dispute Resolution,
Jakarta, Puslitbang Hukum dan Peradilan MARI, 2003, hal.164
16
R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya
Paramita, 2003, Pasal 1858

Universitas Sumatera Utara

9

dan sengketa. Secara berangsur-angsur masyarakat cenderung meninggalkan cara–
cara penyelesaian sengketa berdasarkan kebiasaan dan beralih ke cara-cara yang
diakui oleh pemerintah. Disinilah hukum dibangun guna menengahi masalah
sengketa-sengketa dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi kedisiplinanya. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum
(rechssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtikeit).17
Pembatalan

sepihak

atas

suatu

perjanjian

dapat

diartikan

sebagai

ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua
belah pihak dalam perjanjian. Pada saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud
untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya dan menghendaki untuk tetap
memperoleh kontra prestasi dari pihak yang lainnya itu. Seperti yang kita ketahui
bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah menurut undang-undang,
maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Seperti
yang tercantum dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Sedangkan pada ayat (2)
menyebutkan bahwa: “Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu”.18
Dalam hal terjadi pembatalan akta secara sepihak yang tidak melalui gugatan
di pengadilan melainkan melalui pembuatan akta pembatalan oleh notaris atas
permintaan dari salah satu pihak saja, dengan melihat pada syarat-syarat sah
17

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1993, hal. 2
18
R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Op. Cit., pasal 1338.

Universitas Sumatera Utara

10

perjanjian apakah hal tersebut dapat dibenarkan sebab tidak terjadi kesepakatan
bersama didalam pembuatannya. Tidak terpenuhinya persyaratan sepakat sebagai
salah satu syarat subjektif sahnya perjanjian mengakibatkan akta tersebut cacat
hukum dan dapat dibatalkan kemudian bagi pihak lainnya yang tidak mengetahui atau
tidak menyetujui terjadinya akta pembatalan tersebut dapat meminta pembatalan akta
dengan mengajukan permohonan gugatan kepada pengadilan untuk meminta
pembatalan akta yang bersangkutan.
Seperti yang terjadi didalam kasus ini berawal dari Perjanjian Jual beli Pakan
Ternak yang dilakukan oleh Dias Pora selaku pembeli dan Edy Perangin-angin selaku
Penjamin dengan Rachman (Direktur Utama PT. Mabar Feed Indonesia) selaku
Penjual Pakan ternak. Kemudian setelah dilakukan perjanjian jual beli pakan ternak
tersebut dan pembeli telah menerima dari penjual sejumlah pakan ternak yang
dijanjikan bersama dalam perjanjian dengan Total harga pembelian Rp. 747.120.000,(Tujuh ratus empat puluh tujuh juta seratus dua puluh ribu rupiah). Atas pembelian
pakan ternak tersebut Pembeli membayar kepada penjual dengan menyerahkan 5
(lima) lembar Bilyet Giro Bank Mestika dengan Jumlah Nominal Keseluruhan Rp.
747.120.000,- (Tujuh ratus empat puluh tujuh juta seratus dua puluh ribu rupiah),
tetapi ketika hendak di pindah bukukan, ternyata keseluruhan bilyet giro tersebut
ditolak dengan alasan saldo tidak cukup dan rekening telah ditutup (termasuk atas
permintaan sendiri). Kemudian karena wanprestasi yang dilakukan oleh pembeli
(Dias Pora) dan penjamin (Edy Perangin-angin) tersebut kepada si penjual (Rachman)
oleh karena itu Penjual (Rachman) Mengajukan gugatan terhadap pembeli (Dias

Universitas Sumatera Utara

11

Pora) dan penjamin (Edy Perangin-angin) tersebut, dan dimenangkan oleh Rachman
sampai di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Bahwa untuk menjamin agar terpenuhinya gugatan dari Rachman (penggugat)
dalam perkara ini, penggugat memohon kepada pengadilan untuk meletakkan sita
jaminan (consevatoir beslag) atas harta benda dari Dias pora (tergugat I) dan atas
harta benda Edy Perangin-angin (tergugat II), baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak sesuai dengan tuntutan penggugat. Kemudian pengadilan Negeri
menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan sah
dan berharga sita jaminan (consevatoir beslag) yang telah diletakkan dalam perkara
tersebut, dalam hal ini sita jaminan yang diletakkan dalam perkara tersebut adalah
Tanah beserta bangunan milik si Penjamin (Edy Perangin-angin). Baik di tingkat
pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung menguatkan putusan tersebut.
Kemudian dikarenakan ketidak tahuan istri dari Edy Perangin-angin dalam hal
sita jaminan terhadap harta bendanya dikarenakan harta bendanya tersebut merupakan
harta gono gini atau harta bersama yang didapat selama pernikahan, oleh karena itu
istri dari Edy perangin-angin yaitu Armawaty Br. Sinulingga melakukan gugatan
perlawanan (Verzet) terhadap sita jaminan yang diletakkan dalam perkara tersebut.
Kemudian ditengah berjalannya proses gugatan perlawanan (Verzet) yang
dilakukan Armawaty Br. Sinulingga atas sita jaminan harta benda nya tersebut,
Rachman dalam hal gugatan ini selaku tergugat melakukan upaya perdamaian kepada
Armawaty Br. Sinulingga, dan disetujui oleh Armawaty Br. Sinulingga dengan dibuat
Akta Persetujuan dan Akta perdamaian dihadapan pejabat umum yang berwenang

Universitas Sumatera Utara

12

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku No. 08 tanggal 21 Februari 2012 dan
Akta Perjanjian Perdamaian No. 09 tanggal 21 Februari 2012 yang dibuat dihadapan
Erwansyah, SH, MKn, Notaris di Kabupaten Langkat. Dikarenakan karena
ketidaktahuan dari Armawaty Br. Sinulingga bahwa gugatan perlawanan (Verzet)
yang dilakukannya telah menang di Mahkamah Agung dengan putusan No. 840
K/Pdt/2010 yaitu isi putusan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi dan
Jurusita Pengadilan Negeri Medan diperintahkan untuk mencabut dan mengangkat
kembali sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakkan dalam Perkara
perdata Reg. No. 383/Pdt/G/2007/PN.Mdn yang isi putusannya mengabulkan gugatan
penggugat untuk sebagian dan menyatakan sah dan berharganya sita jaminan
(conservatoir beslag) yang telah diletakkan dalam perkara ini. Oleh karena itu
Armawaty Br. Sinulingga mau menyetujui upaya perdamaian yang dilakukan oleh
Rachman, yang didasari fakta bahwa karena Armawaty Br. Sinulingga tidak pernah
menerima salinan resmi putusan Mahkamah Agung tersebut.
Kemudian setelah Armawaty Br. Sinulingga mengetahui bahwa putusan
Mahkamah Agung yang telah berkekuatan Hukum tetap telah memenangkannya,
armawaty br. sinulingga kemudian secara sepihak melakukan pembatalan terhadap
akta persetujuan No.08 tanggal 21 Februari 2012 dan akta perjanjian perdamaian
No.09 tanggal 21 Februari 2012 tersebut berdasarkan Akta Pembatalan No.55 tanggal
17 Juli 2013 yang dibuat dihadapan Notaris Tumin Haryono, SH Notaris di Deli
Serdang.

Universitas Sumatera Utara

13

Uraian tersebut diatas menjadi Latar Belakang dilakukannya penelitian tesis
yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Pembatalan Akta Perdamaian Secara
Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No. 605/Pdt.G/2013/PN.Mdn)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum sebuah akta perdamaian?
2. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan akta perdamaian secara sepihak?
3. Bagaimana kedudukan akta perdamaian yang dibatalkan secara sepihak
kaitannya dengan putusan perkara perdata No. 605/Pdt.G/2013/PN.Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana kedudukan hukum sebuah akta
perdamaian.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana akibat hukum dari pembatalan
akta perdamaian secara sepihak.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana kedudukan akta perdamaian
yang dibatalkan secara sepihak kaitannya dengan putusan perkara perdata No.
605/Pdt.G/2013/PN.Mdn.

Universitas Sumatera Utara

14

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis yaitu :
1.

Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu bidang kenotariatan pada
khususnya yaitu mengenai Pembatalan akta perdamaian secara sepihak.
b. Sebagai bahan informasi bagi akademisi dan untuk pengembangan wawasan
dan kajian tentang pembatalan akta perdamaian secara sepihak untuk dapat
menjadi bahan perbandingan bagi kepenilitian lanjutan.

2.

Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat,
aparat pemerintah yang terkait dengan pembatalan akta Perdamaian Notaris
secara sepihak, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam
menangani masalah pembatalan akta Perdamaian Notaris secara sepihak yang
terjadi atau yang akan dialami masyarakat maupun pemerintah.

E. Keaslian penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di Kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang
diketahui, penelitian tentang “Analisis Hukum Terhadap Pembatalan Akta

Universitas Sumatera Utara

15

Perdamaian

Secara

Sepihak

(Studi

Kasus

Putusan

Perkara

Perdata

No.

605/Pdt.G/2013/PN.Mdn)” belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
adalah asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul
penelitian ini, dan berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut menunjukkan
bahwa penelitian dengan beberapa Judul tesis yang berhubungan dengan Judul topik
dalam tesis ini antar lain :
1. Penelitian dengan judul Kekuatan Hukum Pembagian Waris melalui akta
perdamaian ditinjau dari aspek hukum perdata, oleh Febri Silvia Dewi, Nim
117011007
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana penyelesaian pembagian harta warisan yang dilakukan atas dasar
adanya akta perdamaian antara para ahli waris menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata?
2. Bagaimana kekuatan hukum dari pembagian harta warisan yang dilakukan
melalui akta perdamaian?
2. Penelitian dengan judul Akta Perdamaian Sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa
Tanah Di luar Pengadilan (Studi Kasus Penyelesaian Perkara Antara Pemilik
Tanah Adat Ahli waris PA Nampati Purba Dengan PT. Bank Sumatera Utara Di
Kabanjahe), Oleh Syafruddin Adi Wijaya, NIM : 057011088.
Rumusan Masalah :

Universitas Sumatera Utara

16

1. Bagaimanakah bentuk dan isi Akta Perdamaian dalam menyelesaikan
sengketa tanah antara pemilik tanah adat yaitu ahli waris dari Pa Nampati
Purba dan PT. Bank Sumatera Utara di luar Pengadilan ?
2. Apakah faktor-faktor yang harus dperhatikan dalam membuat akta
perdamaian ?
3. Apakah hambatan-hambatan dan apakah upaya mengatasi hambatan yang
dihadapai dalam pembuatan akta perdamaian ?
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.19 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala
spesifik untuk proses tertentu terjadi.20
Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba
secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya
memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.21 Atau
menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan
menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.22
19

M. Solly Lubis , Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal.80
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Pres, 1986, hal. 122
21
H.R. Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2005,

20

hal. 21
22

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Jakarta , FE UI, 1996, hal. 203

Universitas Sumatera Utara

17

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya
teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 23
Adapun teori yang dikaitkan dengan

permasalahan dalam penelitian ini

adalah teori Perjanjian. Pengertian Perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata, yakni perjanjian/persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan adanya
peristiwa tersebut (perjanjian), timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang disebut perikatan, dimana didalamnya terdapat hak dan kewajiban masingmasing pihak. Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata,
bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Subekti
membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian, yakni bahwa hubungan
antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian
juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,
dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan suatu

23

M. Solly Lubis, Op Cit, hal. 17

Universitas Sumatera Utara

18

perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.24
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan
dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan. Definisi dalam arti sempit ini
jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan (persepakatan) antara pihak yang satu
(kreditor) dan pihak yang lain (debitor), untuk melaksanakan satu hal yang bersifat
kebendaan (zakelijk) sebagai obyek perjanjian.25
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang
mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan
berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam
perjanjian tersebut.26
Menganalisis akibat hukum terhadap pembatalan akta Perdamaian dalam
penelitian ini juga didasarkan pada pemahaman terhadap perjanjian yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang
dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu
24
25

R. Subekti (2), Hukum Perjanjian , Jakarta, PT. Intermasa, 2005, hal. 1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010

hal.290.
26

Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta, Kontan
Pub, 2011, hal. 32

Universitas Sumatera Utara

19

yang telah disepakati/disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak
sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam
perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk
memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. 27
Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu
sebab yang halal. Kesepakatan (konsesualisme) bagi mereka yang mengikatkan
dirinya, maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa
adanya paksaan, kekhilafan, dan penipuan. Dalam hal ini, antara para pihak harus
mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana
kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini
artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan, dimana berdasarkan
Pasal 1321 KUHPerdata, perjanjian menjadi tidak sah apabila kesepakatan tersebut
terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Kecakapan,
yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum,
serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Mengenai kecakapan, Pasal 1329
KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum
kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Mengenai orang-orang

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2003, hal. 59

Universitas Sumatera Utara

20

yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1330
KUHPerdata, yakni:
1.

Orang yang belum dewasa. Mengenai kedewasaan, dalam ketentuan Pasal 330
KUHPerdata, kecakapan diukur apabila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.

2.

Mereka yang berada di bawah pengampuan.

3.

Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

4.

Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjianperjanjian tertentu. Suatu hal tertentu, maksudnya disini adalah bahwa perjanjian
tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
Sedangkan suatu sebab yang halal, maksudnya adalah isi dan tujuan suatu

perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban.
Teori lain yang yang dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini
adalah teori Wanprestasi. Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para
pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan
tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu
pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya
prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

Universitas Sumatera Utara

21

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian28 dan bukan dalam keadaan memaksa.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:29
1.

Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka
dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2.

Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur
dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3.

Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut
tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:30

1.

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2.

Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3.

Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

28

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003 cet. 1, 2003, hal. 21
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta, Putra Abadin, cet. 6, 1999, hal.18
30
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1985, hal. 25
29

Universitas Sumatera Utara

22

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itiu karena ada
unsur salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hukum
yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya. Sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban
perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa
ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa
sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur.
Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka
berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan
perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.31
2. Konsepsi
Konsepsi meupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

31

Rohmadi Jawi. Hukum Kontrak, http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/,
diakses 27 April 2016.

Universitas Sumatera Utara

23

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau mebentuk pengertianpengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi
operasional di luar peraturan perundang-undangan.32
Didalam penelitian Hukum, konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum
di samping yang lain-lain seperti asas dan standar, kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.
Konsepsi dipahami sebagai suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan
oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.33
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahn dalam penelitian ini harus
dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan
yang diharapkan, yaitu:
a. Hukum seperti yang dikatakan oleh Van Apeldoorn 100 tahun terakhir
belumlah ditemukan definisi hukum yang memuaskan semua pihak, namun
demikian, sebagai pegangan dapat dipilih satu dari sekian banyak perumusan
seperti : keseluruhan kaidah (norma) nilai mengenai suatu segi kehidupan
masyarakat, yang maksudnya mencapai kedamaian dalam masyarakat. Sifat
utama hukum itu ialah keadilan dan kemanfaatan.34

32
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, ,
1997, hal. 24
33
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7
34
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hal. 242

Universitas Sumatera Utara

24

b. Pembatalan menurut kamus umum bahasa Indonesia yaitu berasal dari kata
“batal”, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.
c. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.35
d. Perdamaian merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan
mana para pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang belum putus (aanhangig) atau untuk
mencegah timbulnya suatu perkara.
e. Putusan Pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara perdata yang terbuka untuk umum
setelah melalui proses dan procedural hukum acara perdata pada umumnya
dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri
suatu perkara.36
f. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan hukum tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi sudah tidak dapat lagi
dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan
upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali).37

35

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Edisi Keempat,
Liberty, 1993, hal.121
36
Lilijk Mulyadi, Hukum Acara Perdata : Menurut Teori & Praktek Peradilan Indonesia,
Jakarta, Djambatan, 1999, hal. 204
37
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1986, hal. 38

Universitas Sumatera Utara

25

G. Metode Penelitian
Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode dan kata
penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara
atau menuju suatu jalan.38 Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan.
Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik
yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.39
Dari pengertian diatas kita dapat mengetahui nahwa metode penelitian adalah
suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. 40
Suatu metode penelitian diharapkan mampu untuk menemukan, merumuskan,
menganalisis, mampu memecahkan masalah-masalah dalam suatu penelitian dan agar
data-data diperoleh lengkap, relevan, akurat, dan reliable, diperlukan metode yang
tepat yang dapat diandalkan (dependable). Metode merupakan penyelidikan yang
berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk
mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan.41
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam

penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa tentang pembatalan
38

Rosandy Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, Jakarta, Rajawali
Pers, 2003, hal. 24
39
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya, Usaha Nasional, 1997,
hal. 11
40
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D
Bandung, Alfabeta, 2009, hal. 6
41
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia
Publishing, 2005, hal. 239-240

Universitas Sumatera Utara

26

akta perdamaian secara sepihak. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari
premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan
kebenaran-kebenaran induk (teoritis).
Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan
penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided
by the judge trough judicial process)”.42
2.

Sumber Data
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

42

Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum
Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian
Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 18 Februari 2003, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

27

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, cacatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.
Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan
menghimpun bahan-bahan berupa :
1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi
yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Putusan
Perkara Perdata No. 605/Pdt.G/2013/PN.Mdn, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi
meliputi buku-buku, karya ilmiah.”43
3. Bahan Hukum Tertier

43

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,

hal.. 141

Universitas Sumatera Utara

28

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,
jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan
penelitian ini.
3.

Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian

ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka studi dokumen atau bahan pustaka ini
penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data, dengan cara mengunjungi
perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku,
literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang
berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan
Pembatalan Akta Perdamaian secara sepihak.
4.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa

yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian
yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan
hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.
Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data
dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. “Langkah-langkah ditempuh

Universitas Sumatera Utara

29

untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap
bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier”.44
5.

Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45
Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang
diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul
dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam
usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan
metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut
yang merupakan hasil penelitian.

44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 13-14.
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2002, hal. 101
45

Universitas Sumatera Utara