Analisis Hukum Terhadap Pembatalan Akta Perdamaian Secara Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No: 605 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

BAB II
KEDUDUKAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN

A. Tinjauan Terhadap Akta
1.

Pengertian Akta
Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd

Handwoordenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti
geschrift46 atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya
Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang
berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan.47
Pengertian akta menurut Pasal 165 Staatslad Tahun 1941 Nomor 84 adalah
“surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk
membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal
yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan
perihal pada akta itu”. Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan,
pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan
yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Dengan demikian, maka

unsur penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti
tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dilihat

46

S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, diterjemahkan oleh Walter
Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, Jakarta, N. V. Groningen, 1951, hal. 9
47
R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hal. 9

30

Universitas Sumatera Utara

31

dari Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi No. 29 Tahun 1867 yang
memuat ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan
yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka.
A.Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: “surat-surat yang ditandatangani

dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk
keperluan siapa surat itu dibuat.48 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat
yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.49
Disamping akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat
bukti, dalam perbuatan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang
sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan. Hal ini dijumpai misalnya pada
Pasal 108 KUHPerdata, yang berbunyi:
Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah
berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang
sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan
cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam “akta” atau
dengan izin tertulis dari suaminya.
Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu
akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena
48
49

M. Isa Arif, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta, Intermasa, 1978, hal. 52

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1981,

hal.110

Universitas Sumatera Utara

32

itu, berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa
izin yang tegas dari suaminya.
Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan “akta” dalam
ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang
diperuntukkan sebagai alat bukti.
Menurut R. Subekti, kata akta dalam Pasal 108 KUHPerdata tersebut di atas
bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal
dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.50
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah:
1. Perbuatan handeling / perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian
yang luas, dan
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai / digunakan sebagai bukti perbuatan

hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian
sesuatu.
2.

Macam-macam Akta
Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: pembuktian dengan tulisan

dilakukan dengan tulisan (akta) autentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di
bawah tangan.
Dari bunyi Pasal tersebut, maka akta dapat dibedakan atas:
1.

Akta Otentik
Secara teoritis menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan akta

otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat

50

Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Op. Cit, hal. 29


Universitas Sumatera Utara

33

untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya
surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa,
sebab ada surat dengan tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti
seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara resmi
karena tidak dibuat secara dibawah tangan. Secara dogmatis (menurut hukum positif)
apa yang dimaksud dengan akta otentik terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata jo
Pasal 165 HIR, 285 Rbg : Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan
oleh undang-undang (welke in de wettlijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum (door of ten overstaan van openbare ambtenaren)
yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat dimana akta dibuatnya.51
Menurut Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono Pasal 165 HIR yang
berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung unsu-unsur:
a. Tulisan yang memuat
b. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan;

c. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan
d. Dengan maksud untuk menjadi bukti.52
Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian sempurna

51

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, Cetakan Pertama
,Yogyakarta, Liberty, 2006, hal. 153
52
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR, Badan Penerbit
,Semarang, Universitas Diponegoro, 2008, hal. 153

Universitas Sumatera Utara

34

dengan sendirinya dan apabila dibantah keasliannya maka pihak yang membantah
harus membuktikan kepalsuannya.53
Jadi akta otentik itu bentuknya ditentukan oleh undang-undang bukan oleh

peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Kecuali itu yang namanya akta
otentik itu dibuat oleh atau dihadapan openbare ambtenaren atau “pegawai-pegawai
umum”. Untuk tidak menimbulkan kerancuan dengan pegawai negeri. Kata openbaar
ambtenaar,

diterjemahkan

dengan

pegawai-pegawai

umum

selanjutnya

diterjemahkan dengan pejabat umum oleh karena pejabat umum bukanlah pegawai
negeri yang tunduk pada peraturan kepegawaian.
Akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut
hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat demikian,
di tempat akta itu dibuat.54Berdasarkan penjelasan Pasal 1869 KUHPerdata, akta

otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang
atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata:
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai
akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik;
b. Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak.
53

Ibid, hal. 155.
R.Soegondo Notodisoeryo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta,
Rajawali, 1982, hal.42
54

Universitas Sumatera Utara

35

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia

agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:55
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:56
a.

Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau
suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan
dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani
oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b.

Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang
berwenang.

c.


Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan
tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan,
nama dan kedudukan / jabatan pejabat yang membuatnya, data dimana dapat
diketahui mengenai hal-hal tersebut.

d.

Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan
yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.
55

Irawan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya, Arkola, 2003, hal. 148
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 3-4
56

Universitas Sumatera Utara

36


e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan

hukum di dalam bidang hukum privat.
2. Akta Dibawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk
pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di
bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi
tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.57
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di
bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat
cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUHPerdata. 58
Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam
Rbg ada diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam KUHPerdata
diatur dalam pasal 1874 sampai dengan pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29.
Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk
membayar sejumlah uang atau memberikan/ menyerahkan sesuatu barang yang dapat
ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya
sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) atau paling sedikit
selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan (orang yang
berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang.
57
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, grosse akta dalam pembuktian dan
eksekusi, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 36
58
Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya
dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan
sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”

Universitas Sumatera Utara

37

Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu
hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian
menurut pasal 1878 KUHPerdata, yang bersamaan isinya dengan pasal 1291 Rbg dan
pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis,
dijelaskan dalam pasal 1902 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi: “yang dinamakan
permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari
orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan
yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan
oleh seseorang.”
Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan
permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka
permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain.
Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik
dengan akta di bawah tangan adalah:
a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti;
b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial

seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai
kekuatan eksekutorial.
c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar

dibandingkan dengan akta otentik.59

59

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1996, hal. 46-47

Universitas Sumatera Utara

38

Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan
akta di bawah tangan, seperti:60
a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti
bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di
bawah tangan tidak demikian.
b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta
publica probant seseipsa”, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai
kekuatan lahir.
3.

Kekuatan Pembuktian Akta
Bila diperhatikan pasal 164 HR, pasal 283 Tbg, dan pasal 1865 KUHPerdata,

maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat bukti
yang disebut dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan
penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun
dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang
paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini. Pada
hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga,
yaitu:61
1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian
yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang

60
61

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 37-38
Ibid, hal. 109

Universitas Sumatera Utara

39

kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan
sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas
“acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak
sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu
harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Berbeda
dengan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat, dimana tanda tangan
pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, sehingga oleh karenanya
mempunyai kekuatan pembuktian lahir, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai
kekuatan pembuktian lahir. Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan baru berlaku
sah, jika yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu,
artinya jika tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah
akta itu berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (pasal
1875 KUHPerdata). Orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan,
diwajibkan membenarkan (mengakui) atau memungkiri tanda tangannya, sedang bagi
ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ia tidak kenal akan tanda tangan
tersebut.62 Oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan selalu masih dapat
dipungkiri oleh si penandatangan sendiri atau oleh ahli warisnya tidak diakui, maka
akta di bawah tangan itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. 63
2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth)
Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada
pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat
pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta
62
63

Pasal 2 Stbl. 1867 No. 29, pasal 289 Rbg dan pasal 1876 KUHPerdata.
Sudikno Mertokusumo, Op. cit, hal. 114

Universitas Sumatera Utara

40

itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.64 Pada ambtelijke akten, pejabat
pembuat aktalah yang menerangkan apa yang dikonstatia oleh pejabat itu dan
menuliskannya dalam akta, dan oleh sebab itu apa yang diterangkan oeh pejabat tadi
telah pasti bagi siapapun, sepanjang mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan
akta dan isi/ keterangan dalam akta itu. Dalam partij akten sebagai akta otentik, bagi
siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat yang bersangkutan menyatakan
seperti apa yang tertulis di atas tanda tangan mereka.65 Dalam hal ini, sudah pasti
adalah: tanggal pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para pihak
serta saksi-saksi yang turut menandatangani akta tersebut, serta kepastian bahwa para
pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan/ dicantumkan dalam akta itu,
sedang kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya
hanya pasti antara mereka sendiri.66 Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan
pembuktian formal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui/tidak disangkal
kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan,
maka kekuatan pembuktian formal dari akta di bawah tangan itu sama dengan
kekuatan pembuktian formal dari akta otentik.
3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth)
Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi
suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak

64

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 111.
Ibid, hal. 112
66
Ibid
65

Universitas Sumatera Utara

41

melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.67 Akta
pejabat sebagai akta otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan,
yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam
menjalankan jabatannya. Akta para pihak menurut undang-undang merupakan bukti
sempurna bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak
darinya. Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri
keasliannya, serupa dengan partij akten sebagai akta otentik, mempunyai kekuatan
pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya serta para penerima
hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUHPerdata (pasal 288
Rbg).68
B. Tinjauan Terhadap Perjanjian
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata, yaitu tentang Perikatan
yang menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang dapat melakukan
perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan sebagai
berikut : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik karena undangundang”.

67

Ibid, hal. 113
Pasal 1875 KUH Perdata: “Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap
siapa akta itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui,
memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti
suatu akta otentik.
68

Universitas Sumatera Utara

42

Perikatan yang lahir dari perjanjian, dikehendaki oleh dua orang atau dua
pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana dalam perikatan timbul hak dan
kewajiban dari para pihak yang perlu diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa
prestasi, pihak debitor berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditor berhak
atas prestasi.69 Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh
undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.
1.

Pengertian Perjanjian.
Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan

tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang
(pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak
yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban
pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundangundangan.70 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah : “Suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.” Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana
hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.
Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah : “Suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan.”71

69

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung , Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 13
C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten,
tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1997, hal. 10
71
R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 1
70

Universitas Sumatera Utara

43

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dalam suatu perjanjian terdapat
unsur-unsur sebagai berikut :
a.

Adanya pihak-pihak
Dalam hal ini harus terdapat dua orang atau lebih sebagai subjek perjanjian, yaitu
manusia atau badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam
melakukan suatu perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.

Adanya atau tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.

c.

Adanya tujuan yang hendak dicapai

d.

Adanya Prestasi yang dilaksanakan.

e.

Adanya bentuk tertentu dalam suatu perjanjian yaitu bisa lisan atau tertulis.

f.

Adanya syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam perjanjian.
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi
(kreditor) dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi (debitor). Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu

Universitas Sumatera Utara

44

hak dan kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa
perikatan, tergantung pada jenis-jenis persetujuannya.72
2.

Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah

memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata, antara lain :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Syarat pertama untuk terjandinya perjanjian adalah “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja “sepakat”
untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam
perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi
juga berhak atas prestasi yag telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak untuk
mendapatkan/memberikan prestasi, tetapi mensyaratkan adanya kata sepakat dari
kedua belah pihak lain halnya dengan tindakan hukum sepihak.73 Menurut Pasal 1321
KUHPerdata, suatu sepakat yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu
diberikan karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan
(bedrog). Jadi dapat disimpulkan bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk
melakukan suatu perjanjian harus benar-benar bebas dari tekanan dan murni atas
kehendak sendiri yang disepakati oleh kedua belah pihak.
b. Kecakapan Untuk membuat suatu perikatan
72

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta, 1978, hal. 36
Dr. Herlien Budiono, SH, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Bandung, PT. Citra Adittya Bakti, 2011, hal. 73-74
73

Universitas Sumatera Utara

45

Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya setiap orang yang
sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang yang
oleh undang-undang dinyatakan ”tidak cakap” yakni, orang di bawah umur dan orang
yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan perempuan yang telah kawin
dicabut sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak
dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili oleh walinya atau
pengampu/kuratornya.
c. Suatu hal tertentu
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu
barang yang cukup jelas atau tertentu (Pasal 1332-1334 KUHPerdata). Syarat ini
diperlukan untuk menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan
jenisnya.74
d. Suatu Sebab Yang Halal
Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau
kausa yang halal. Ketentuan pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi
hukum.” Kausa yang palsu dapat terjadi jika suatu kausa yang tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya atau kausa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah terjadi

74

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1994, hal. 136

Universitas Sumatera Utara

46

kekeliruan terhadap kausanya. Dengan demikian, yang penting adalah bukan apa
yang dinyatakan sebagai kausa, melainkan apa yang menjadi kausa yang sebenarnya.
Suatu perjanjian dilakukan dengan kausa yang dilarang jika kausanya
bertentangan, baik dengan norma-norma dari hukum yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Berkenaan dengan ini, ketentuan pasal 1337 KUHPerdata menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.75
Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang yang melakukan
perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.76 Apabila syarat
subyektif dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya, pihak yang dapat memintakan pihak yang berhak meminta
pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa
perjanjian itu tidak pernah ada.
3. Unsur-Unsur Perjanjian
Unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian dapat dikelompokkan dalam
beberapa kelompok, sebagai berikut :77

75

Dr. Herlien Budiono, Op.Cit, Hal. 112-113
R. Subekti (1), Op. Cit., hlm. 17.
77
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung , Citra aditya Bakti, 1992, hal. 57
76

Universitas Sumatera Utara

47

a.

Unsur Essensialia adalah unsur mutlak yang harus selalu ada di dalam suatu
perjanjian, di mana tanpa adanya unsur ini maka perjanjian tidak mungkin ada,
seperti “sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian.

b.

Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang- Undang diatur,
tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Pada unsur naturalia ini,
dapat menyimpang dari ketentuan yang sifatnya mengatur, sedangkan pada
ketentuan yang sifatnya memaksa tidak dapat dikesampingkan, seperti kewajiban
penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUHPerdata) dapat
disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

c.

Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak
yang tidak diatur dalam Undang-Undang.

4.

Subjek dan Objek Perjanjian
Perjanjian timbul karena adanya hubungan hukum kekayaan antara dua orang

atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang
tertentu, masing-masing orang tersebut menduduki tempat yang berbeda, satu orang
menjadi kreditor dan yang seorang lagi sebagai pihak debitor.78
Subyek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian,
yaitu pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan pihak debitor yang wajib
melaksanakan prestasi. Kreditor mempunyai hak atas prestasi dan berkewajiban
untuk menyerahkan sesuatu sehingga perjanjian itu terwujud, sedangkan debitor
wajib memenuhi pelaksanaan prestasi dan mempunyai hak untuk menerima manfaat
78

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung , Alumni, 1996, hal. 15

Universitas Sumatera Utara

48

dari prestasi tersebut. Dalam perjanjian dapat terjadi para pihak lebih dari satu orang,
misalnya : beberapa orang kreditor berhadapan dengan seorang debitur atau
sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian, atau jika pada mulanya kreditor
terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja
berhadapan dengan debitor, juga tidak mengurangi sahnya perjanjian. Sedangkan
obyek dari perjanjian adalah ”prestasi” itu sendiri berupa memberikan sesuatu,
berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa :“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Obyek perikatan harus memenuhi
beberapa syarat tertentu, yaitu:79
a.

Harus tertentu atau dapat ditentukan.
Dalam Pasal 1320 poin ke 3 KUHPerdata menyebutkan sebagai unsur tejadinya
persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat
ditentukan, karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah.

b.

Obyeknya diperkenankan
Menurut Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata, persetujuan tidak akan
menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum
atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang;

c.

Prestasinya dimungkinkan
Artinya ketidakmungkinan debitor untuk melakukan prestasi, hendaknya dilihat
dari sudut kreditor, apakah kreditur mengetahui tentang ketidakmungkinan
79

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

49

tersebut. Jika kreditor mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan begitu pula
sebaliknya, jika kreditor tidak mengetahui, maka debitor tetap berkewajiban
untuk melaksanakan prestasi.
5.

Asas-asas Dalam Perjanjian
Arti asas secara etimologi adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan

berpikir atau berpendapat)”80 Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk
menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.81
Apabila arti asas tersebut diartikan sebagai bidang hukum maka dapat
diperoleh suatu makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pikiran yang
melandasi pembentukan hukum positif. Dengan perkataan lain asas hukum
merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit
seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif. Bellefroid memberikan
pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum
merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.82 Jadi pembentukan
hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Eikema Hommes adalah praktis
berorientasi pada asas-asas hukum, dengan perkataan lain merupakan dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”.83

80
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1990, hal. 52
81
Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989, hal.119
82
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1998, hal. 32
83
Ibid., hal.33

Universitas Sumatera Utara

50

Oleh karena sedemikian pentingnya asas hukum ini dalam suatu sistem
hukum, maka asas hukum ini lazim juga disebut sebagai jantungnya peraturan
hukum, disebut demikian kata Satjipto Rahardjo karena dua hal yakni, pertama, asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum,
artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas
tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio
legis dari peraturan hukum.84
Asas-asas hukum perjanjian itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah
sebagai berikut :85
1. Asas kebebasan berkontrak
Terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Undang-undang memperbolehkan membuat
perjanjian berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka
yang membuatnya. Tujuan dari pembuat undang-undang menuangkan
kebebasan berkontrak dalam bentuk formal, sebagai suatu asas dalam hukum
perjanjian

adalah

untuk

menghindari terjadinya

kekosongan

hukum

dilapangan hukum perjanjian.
2. Asas Pacta Sunt Servanda

84

Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal.85
Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Medan, Dewan Kerjasama
Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, 1987, hal.17
85

Universitas Sumatera Utara

51

Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu
perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat
bagi mereka yang membuatnya sendiri seperti undang-undang, kedua belah
pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat.
3. Asas Konsensualisme
Suatu perjanjian cukup adanya kata sepakat dari mereka yang membuat
perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum yang lain.
4. Asas Itikad Baik
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kekuatan Berlakunya Suatu Perjanjian
Pada prinsipnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang
membuatnya saja, tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga, diatur dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.
6. Asas Kepercayaan
Seseorang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan
memegang janjinya atau memenuhi prestasinya.
7. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, sehingga para pihak wajib menghormati satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara

52

8. Asas Keseimbangan
Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
9. Asas Kepastian Hukum
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.
10. Asas Moral
Terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata, dalam asas ini terdapat faktor-faktor
yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan
hukum berdasarkan pada moral-moral
11. Asas Kebiasaan
Asas ini terdapat dalam Pasal 1347 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang
dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.
6. Saat Berlaku Dan Berakhirnya Perjanjian
Saat mulai berlaku atau saat berlakunya perjanjian atau jangka waktu
perjanjian adalah merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain
yang menunjukkan mengenai keberlakuan dari suatu perjanjian. Hal ini sangat
penting guna menentukan mengenai pelaksanaan prestasi yang harus dilakukan oleh
salah satu pihak yang terkait dalam suatu perjanjian dan penentuan prestasi untuk
pihak yang lain, serta kapan berakhirnya suatu keadaan tersebut. Saat berlaku suatu

Universitas Sumatera Utara

53

perjanjian adalah penting untuk menentukan risiko dan akibat apabila terjadi
perubahan-perubahan undang-undang.
Dalam hukum perjanjian dianut asas konsensualitas, yang berarti bahwa suatu
perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara kedua belah pihak, pada
saat itulah suatu perjanjian dianggap lahir, kecuali pada perjanjian yang
membutuhkan syarat-syarat khusus tambahan, seperti perjanjian penghibahan atas
benda khusus tak bergerak dan perjanjian perdamaian, yang membutuhkan suatu
formalitas, yaitu harus dibuat secara tertulis dengan sebuah akta.
Kesepakatan yang dimaksud dalam asas konsensualitas ini merupakan suatu
kesepakatan yang dibuat secara sadar dan sungguh-sungguh, tanpa adanya
kekhilafan, paksaan dan penipuan, serta tidak melanggar asas kesusilaan dan
ketertiban. Kesepakatan untuk melakukan sesuatu perikatan yang bertujuan untuk
kejahatan, dianggap batal demi hukum, artinya perikatan tersebut tidak sah karena
bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang, sehingga kedua belah pihak tidak
terikat untuk melaksanakan perikatan tersebut.
Suatu perjanjian dinyatakan berakhir antaranya berdasarkan berakhirnya
ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam
perjanjian, dalam hal prestasi yang dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh debitor
sendiri dan tidak boleh/tidak bisa digantikan oleh orang lain.86
Sesuai dengan adanya asas kebebasan berkontrak yang melandasi hukum
perjanjian, maka para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian juga dapat
86

Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Bandung , Alumni, 2009, hal. 64

Universitas Sumatera Utara

54

menentukan faktor-faktor lain yang menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian
diantara mereka. Oleh karena itu, berakhirnya suatu perjanjian tidak terbatas hanya
kepada Pasal 1381 KUHPerdata, dan dengan hapusnya perikatan, maka orang-orang
yang mebuat perjanjian tersebut kembali kepada keadaan semula, yaitu bebas dan
tidak terikat dalam suatu perjanjian.

C. Tinjauan Umum Perjanjian Perdamaian
1.

Pengertian Dan Dasar Hukum Perjanjian Perdamaian
Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa BW dalam title 18 dari Buku

III mengatur tentang suatu persetujuan yang bersifat menghentikan suatu keraguraguan tentang isi suatu perhubungan hukum antara kedua belah pihak (Vaststellings
overeenkomst). Persetujuan ini oleh BW dinamakan “dading” yang saya usulkan
diterjemahkan menjadi “persetujuan perdamaian.”87
Kata perdamaian, artinya penghentian permusuhan. Damai, artinya tidak
bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai,
artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan
atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya
mendapat persetujuan.88 Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris “peace,
tranquility”. Berdamai dipadankan dengan kata “be peaceful, be on good terms.”
Kata

memperdamaikan,

mendamaikan

dipadankan

dengan

kata

“resolve,

87

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Bandung, Vorkink-van Hoeve, 1959, hal. 152
88
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Edisi Ketiga, Diolah
Kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005, hal. 259

Universitas Sumatera Utara

55

peacefully.”89 Dalam bahasa Belanda, kata “dading” diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata “vergelijk” dipadankan dengan
kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas dasar
saling pengertian mengakhiri suatu perkara.90
Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH
Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan :
“Perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara.”91
Dari rumusan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perdamaian merupakan
suatu perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan tujuan mengakhiri suatu
perkara yang sedang dalam proses, atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara.
Menurut Subekti, perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut
suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah.92
Dari ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata tersebut, dading adalah suatu
persetujuan, dalam mana para pihak dalam suatu perkara perdata, yang sedang

89

John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggeris, Jakarta, PT.Gramedia,
1994, hal. 129
90
Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta, Bina Cipta, 1983,
hal. 87 dan hal. 616
91
R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Op. Cit., Pasal 1851.
92
Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Bandung , PT.Citra Aditya Bakti, 1995,
hal. 177-178.

Universitas Sumatera Utara

56

diperiksa oleh hakim atau yang akan diajukan di muka hakim dihentikan dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu benda.93
Agar perjanjian perdamaian dinilai sah menurut hukum, harus memenuhi
syarat-syarat :
1.

Memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal
tertentu, dan suatu sebab yang halal.

2.

Pasal 1851 ayat 2 KUHPerdata, menentukan perjanjian perdamaian dibuat secara
tertulis. Mengenai hal ini menurut Wirjono Prodjodikoro, dibuat dengan tulisan
(schriftelijk) tidak selalu berupa akta, melainkan dianggap cukup apabila ada
surat menyurat antara kedua belah pihak, yang cocok satu sama lain (Hoge Road
Belanda tanggal 30-6-1949 N.J.1950,137).94
Selanjutnya Pasal 1853 ayat (1) KUHPerdata menyatakan: “tentang

kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau
pelanggaran, dapat diadakan perdamaian.”95
Selanjutnya Pasal 1854 KUHPerdata, menentukan :
Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub didalamnya; pelepasan
segala hak dan tuntutan yang dituliskan didalamnya harus diartikan sekedar hak-hak
dan tuntutan-tuntutan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi
lantaran perdamaian tersebut.96

93

Prodjodikoro, Loc. cit.
Ibid.
95
R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Op. Cit, Pasal 1853 ayat (1)
96
Ibid, Pasal 1854
94

Universitas Sumatera Utara

57

Kemudian Pasal 1855 KUHPerdata juga menentukan:
Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub
didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus
atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satusatunya dari apa yang dituliskan.97
Kedua pasal tersebut bermaksud untuk memperingatkan supaya berlakunya
perdamaian tidak diperluas hingga melampaui batas-batas persoalan yang telah
diselesaikan dengan mengadakan perdamaian tersebut, Untuk mengetahui batas-batas
itu setepatnya, kita harus selalu berpangkal pada soal-soal yang menjadi perselisihan,
yang menyebabkan diadakannya perdamaian itu.
Dalam prakteknya suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta,
karena perjanjian tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk
dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Akta perdamaian
dapat di bagi dua sebagai berikut:
1. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk.
Pasal 130 HIR menghendaki penyelesaian sengketa secara damai, pasal
tersebut berbunyi “jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka
pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka.”
Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, bahwa segala perdamaian di
antara pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan.
Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan
97

Ibid, Pasal 1855

Universitas Sumatera Utara

58

akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan
konvensional.
Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila
terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki
kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun
terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan
itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara
inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.98
Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan
sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mentaati
atau tidak melaksanakan isi yang tertuang dalam akta perjanjian perdamaian tersebut
tersebut secara sukarela maka dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri,
sehingga ketua pengadilan negeri memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Putusan
tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun
2008, akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan
putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk
pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. Didalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan

98

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 279-

280

Universitas Sumatera Utara

59

murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak
menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jenis Perkara yang di mediasi
Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 4
Perma No. 1 Tahun 2008).
Didalam tahap-tahap proses mediasi Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak
dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih
mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim
mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh)
hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis
hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari.
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan

Universitas Sumatera Utara

60

secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 Perma No. 1 Tahun
2008).
Kewenangan Mediator dalam hal ini Mediator berkewajiban menyatakan
mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah
dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan
mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses
mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi
melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan
dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain
yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi,
mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa
perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak
tidak lengkap (Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008).
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi
para pihak (Pasal 14 Perma No. 1 Tahun 2008). Jika mediasi menghasilkan
kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan
mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para
pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

Universitas Sumatera Utara

61

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi
kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan
dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak
baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk
akta perdamaian.
Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam
bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan
gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 17 Perma
No. 1 Tahun 2008). Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja,
para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang
terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan
secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan
kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap
berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum
pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan
keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 18

Universitas Sumatera Utara

62

Perma No. 1 Tahun 2008). Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat
menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding,
kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada
tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus
(Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008).
Jika dibandingan dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan, maka ada beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara
PERMA No. 1 Tahun 2016 dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi.
Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari
terhitung sejak penetapan perinta