Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Umumnya permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat, tidak dapat
dipungkiri erat kaitannya dengan semakin pesatnya perkembangan perekonomian dan
perdagangan saat ini. Krisis moneter juga berpotensi membawa dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar
terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang-piutang untuk meneruskan kegiatannya. 1
Salah satu sarana hukum dalam penyelesaian utang piutang untuk mengantisipasi
kesulitan yang menimbulkan masalah dalam utang piutang tersebut, maka dapat digunakan
ketentuan perdamaian yang telah disediakan Pemerintah sebagai instrumen hukum yaitu
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (disingkat UUK dan PKPU).
Utang digunakan sebagai dasar utama untuk mempailitkan debitor, dalam UUK dan
PKPU pengadilan niaga menerapkan ketentuan utang dalam penyelesaian perkara kepailitan.2
Tanpa ada utang tidak mungkin muncul perkara kepailitan. Utang merupakan kewajiban
dalam hukum perdata, dan setiap kewajiban itu akan menimbulkan hak bagi orang lain. Jika

1


Konsideran Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU). 1
2
Sunarmi (I), Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta:
Sofmedia, 2010), hal. 429.

Universitas Sumatera Utara

kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka pihak lain dapat menuntut seseorang atas
haknya secara perdata. 3
Diterapkannya prinsip-prinsip kepailitan misalnya prinsip debt collection dapat
digunakan sebagai mekanisme pemaksaan debitor agar mau membayar utangnya kepada para
kreditornya dengan cara melikuidasi seluruh aset debitor sampai sejauh kemampuan aset
debitor bisa melunasi utang-utangnya kepada para kreditor. Prinsip ini juga memiliki
konsekuensi kepada debitor agar berhati-hati melaksanakan pengurusan usahanya dan
manajemen usaha agar tidak sampai bangkrut. 4 Masih banyak asas-asas dan prinsip-prinsip
yang dikenal dalam hukum kepailitan, di samping asas dan prinsip tersebut ditentukan syarat
minimal mengajukan permohonan kepailitan kepada Pengadilan Niaga. 5
Syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor dengan tujuan untuk
memperoleh pelunasan pembayaran utang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU

yaitu “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”.
Hukum kepailitan (UUK dan PKPU) memberikan peluang bagi para kreditor untuk
mengajukan kepailitan 6 bahkan diberikan peluang bagi para kreditor untuk upaya

3

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 34-35.
4
Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2005), hal. 19.
5
M. Hadi Shubhan, Op. cit., hal. 25.
6
Sunarmi (II), Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 43.

Universitas Sumatera Utara


perdamaian. 7 Upaya perdamaian (accord) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna
mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. 8
Putusan pailit berdasarkan UUK dan PKPU membawa dampak atau akibat terhadap
debitor. Sebagaimana Pasal 21 UUK dan PKPU menentukan “kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan”. Berarti kepailitan merupakan sita umum untuk menghindari sita
perseorangan. Sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor dimaksud untuk
kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan oleh seorang hakim
pengawas.
Kepailitan juga berakibat terhadap debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala
hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam
harta pailit. Pembekuan hak perdata ini sebagai perintah dari Pasal 22 UUK dan PKPU
terhitung sejak keputusan pernyataan pailit diucapkan. Termasuk seluruh dan setiap perikatan
antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan
pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan
tersebut dapat mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. 9
Keputusan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekeyaan debitor.
Kekayaan debitor tersebut akan dikuasai oleh kurator yang akan mengurus dan membereskan
seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit membawa konsekuensi terhadap gugatan7


Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnia, Kepailitan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), hal. 96.
8
Sunarmi (III), Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 144. Perdamaian (accord)
dalam kepailitan diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara debitor pailit dengan para
kreditor.
9
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

gugatan yang sedang berjalan, baik dalam kapasitas debitor sebagai tergugat maupun sebagai
penggugat yaitu gugatan ditunda atau ditangguhkan, kurator mengambil alih perkara dengan
menggantikan kedudukan debitor, perkara digugurkan, atau gugatan diteruskan. 10
Dampak terhadap perikatan-perikatan antara debitor dengan para kreditornya, setelah
debitor dinyatakan pailit, maka para kreditor dapat meminta ganti rugi atas perjanjianperjanjian terhadap debitor melalui kurator, termasuk penyerahan barang yang telah
diperjanjikan sebelumnya, pemutusan hubungan kerja dan pembayaran utang-utang debitor
terhadap semua kreditor yang menuntut kerugian. Kecuali perjanjian sewa-menyewa tetap
dijalankan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan. 11

Pernyataan pailit yang diucapkan pengadilan tidak menghilangkan hak agunan atas
kebendaan yang dimiliki kreditor separatis dan kreditor kongkruen terhadap harta debitor dan
hak kedua kreditor ini harus didahulukan. Kreditor separatis sebagai kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan yang memberi wewenang kepada kreditor lainnya untuk menjual secara
lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya untuk memperoleh pelunasan dibandingkan
dengan kreditor-kreditor lainnya. Kreditor preferen memiliki piutang-piutang yang
berkedudukan istimewa dan piutang-piutang itu didahulukan atas barang-barang tertentu. 12

10

Sunarmi (III), Op. cit., hal. 86-87.
Ibid., hal. 88-92.
12
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Teori dan Praktik, Dilengkapi Putusan-Putusan Pengadilan, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 95-97.
Lihat juga: M. Hadi Shubhan, Op. cit, hal. 31-32. Prinsip structured creditors atau prinsip structured
prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai
macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan
kongkruen. kreditur adalah orang yang memiliki piutang. kreditur separatis adalah kreditur yang
memiliki jaminan kebendaan yang memberikan wewenang kepada kreditur untuk menjual secara

lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya untuk memperoleh pelunasan. Sedangkan kreditur
preferen adalah kreditur yang berkedudukan istimewa (privilege) atau kreditur yang hak-haknya
didahulukan daripada kreditur lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata). Kreditur kongkruen
11

Universitas Sumatera Utara

UUK dan PKPU memungkinkan diadakannya perdamaian untuk mengakhiri suatu
kepailitan. Disahkannya perdamaian berarti berakhirnya demi hukum suatu kepailitan dan
akan mengakibatkan gugurnya tuntutan-tuntutan hukum yang bertujuan untuk meminta
pembatalan dan pengembalian atas segala kebendaan yang telah diberikan oleh debitor pailit
sebelum pernyataan pailit diumumkan. Jika perdamaian itu berisi suatu pelepasan harta pailit,
maka hak untuk melakukan tuntutan pembatalan dan pengembalian tersebut tetap ada, dalam
hal ini tuntutan-tuntutan tersebut dapat dilanjutkan atau dimajukan oleh para pemberes harta
pailit. 13
Salah satu upaya untuk menghindari dampak dari kepailitan sebagaimana tersebut di
atas, adalah dapat dilakukan melalui upaya pengajuan perdamaian. 14 Putusan Pengadilan
Niaga Nomor 13/Pailit/2010/PN.Niaga.Smg pada Pengadilan Negeri Semarang mengesahkan
rencana perdamaian (accord) yang diajukan debitor pailit hanya mendapat persetujuan dari
kreditor konkuren saja, sementara isi perdamaiannya juga menyangkut penyelesaian utang

terhadap kreditor-kreditor lainnya, yakni kreditor preferen dan kreditor separatis.
Pihak kurator telah memanggil secara patut kepada pihak kreditor separatis (PT.
Bank DBS Indonesia), namun tidak memanfaaatkan kesempatannya sehingga kreditor
adalah kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak
tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. kreditur inilah yang umum
melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang
didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari
seluruh kekayaan debitur. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka
miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
13
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 45-46.
14
Pasal 109 UUK dan PKPU, menentukan: Kurator setelah meminta saran dari panitia
kreditor sementara, bila ada, dan dengan izin Hakim Pengawas berwenang untuk mengadakan
perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu
perkara.

Universitas Sumatera Utara


separatis tidak mempermasalahkan adanya kepailitan dimaksud karena kedudukannya aman
dan dijamin oleh undang-undang serta faktanya walaupun telah dipanggil secara patut
menurut hukum tidak menggunakan haknya untuk hadir karena komposisi hukumnya
tergantung pihak kreditor konkuren yang mempunyai hak suara dalam menilai rencana
perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit.
Kreditor separatis tidak mempunyai risiko hukum karena dilindungi adanya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah (disingkat UU Hak Tanggungan). 15 Jika debitor tidak mampu
mengembalikan utang kepada kreditor separatis, maka kreditor separatis dapat melakukan
upaya hukum dengan melelang objek hak tanggungan. Tetapi terdapat kemungkinan pula
kreditor separatis pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan pailit kepada debitor
pemberi hak tanggungan. Namun dalam kasus ini kreditor separatis (PT. Bank DBS
Indonesia), tidak mempermasalahkan adanya kepailitan.

15

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hal. 181. Lihat juga: Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi
Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 2002), hal. 49. Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,

untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian hak
tanggungan meliputi:
a.
b.
c.
d.

Hak jaminan yang dibebankan atas tanah;
Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu;
Untuk pelunasan utang tertentu;
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kasus ini terdiri dari beberapa kreditor yang masing-masing berkedudukan
sebagai:
1. Kreditor preferen (memiliki hak istimewa) ada 1 (satu) kreditor yaitu Kantor
Pelayanan Pajak);

2. Kreditor separatis ada 1 (satu) kreditor yaitu PT. Bank DBS Indonesia;
3. Kreditor konkuren ada 23 (dua puluh tiga) kreditor.
Kreditor yang mengajukan permohonan pailit dalam kasus ini PT. Greta Sastra Prima
lebih dan para kreditor lain yaitu PT. Greta Sastra Prima, CV. Putra Tunggal, dan CV. Nine
Star Trade & Stockpile terhadap Debitor Pailit yaitu: PT. Kertas Blabak Magelang, Serikat
Pekerja Kertas Blabak, Yayasan Dana Pensiun (YDP) PT. Kertas Blabak, Koperasi
Karyawan PT. Kertas Blabak, Perman Yadi, PT. SMM Internasional Invesments Pte.Ltd., dan
PT. SMM Group Pte. Ltd. 16
Dalam kasus ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah
memaksakan diri supaya kreditor separatis menyatakan pendapat atas proposal damai yang
diajukan oleh debitor pailit. Padahal undang-undang justru menentukan sebaliknya, di mana
para kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia dan hak tanggungan atau hypotek, atau hak
atas kebendaan lainnya, dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang
mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan
dengan rencana perdamaian.
Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU menentukan:
16

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 44-46. Syarat kreditor dapat mengajukan permohonan pailit

terhadap debitor sejak berlakunya UUK dan PKPU pada Pasal 2 ayat (1) paling sedikit 2 (dua) dan
paling banyak tidak dibatasi sedangkan debitor dapat berupa kolektif maupun sendiri-sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang
mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara
berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan
haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya
pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.

Ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU sesungguhnya telah memberikan
keleluasaan dan kewenagan penuh kepada kreditor kongkuren untuk menilai dan
memutuskan sendiri apakah proposal damai yang diajukan debitor pailit itu akan diterima
atau ditolaknya. Untuk pihak kreditor separatis tidak penting muatan dalam proposal
perdamaian tersebut baginya, karena posisi hukumnya cukup kuat disebabkan ada jaminan
kebendaan yang melekat ada padanya, sehingga ada atau tidaknya perdamaian, pelaksanaan
pemenuhan kewajiban hutang debitor pailit kepadanya tetap aman.
Pendapat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang justru menyatakan hal
yang berbeda, bahwa menurut majelis hakim sangat penting kreditor separatis itu
memberikan pendapatnya menyangkut proposal perdamaian adalah bertentangan dengan
muatan dalam ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU karena dalam ketentuan pasal
tersebut justru kedudukan kreditor separatis itu harus dijauhkan sejauh mungkin dari proses
hukum terhadap pengambilan keputusan damai, sehingga kedudukannya tersebut justru tidak
boleh dijadikan sebagai kiblat atau penentu. 17

17

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Kencana, 2010), hal. 135. Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, disebut juga sebagai kredior preferen,
kreditor ini haknya didahulukan, dapat mengeksekusi sendiri haknya dan melaksanakan seolah-olah
tidak ikut campur. Kreditor ini dapat menyelesaikan urusannya (masalahnya) di luar kepailitan.
Meskipun demikian, untuk melaksanakan haknya menurut ketentuan undang-undang pada kreditor

Universitas Sumatera Utara

Pendapat majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang justru
menyatakan pula bahwa dengan tidak adanya pendapat dari kreditor separatis menyangkut
penilaiannya atas proposal damai yang diajukan oleh debitor pailit tersebut akan mengganggu
pelaksanaan perdamaian, dan oleh karena itu tidak ada jaminan atas pelaksanaan perdamaian
adalah tidak berdasar atas hukum. 18
Kreditor separatis tidak memiliki hak untuk mengeluarkan suara pada tahap
pembicaraan tentang rencana perdamaian, kecuali jika telah dilepaskannya kedudukan hak
istimewanya tersebut sebelum dilakukan pungutan suara. 19 Dalam hal ini pelaksanaan
perdamaian tersebut tidak ditentukan oleh pendapat kreditor separatis, melainkan oleh
kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengatur keuangannya, lancar tidaknya usaha
yang dilakukan, keuntungan perusahaan yang akan dicapai, grafik pencapaian produksi, dan
itikat baik dari debitor pailit. Sementara Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
memaksakan diri supaya kreditor separatis menyatakan pendapat atas proposal damai yang
diajukan oleh debitor pailit.
Jika PT. Bank DBS Indonesia (kreditor separatis) tidak berpendapat, maka posisinya
sangat aman, dan faktanya seluruh cicilan kredit terhadap debitor pailit kepadanya adalah
sangat lancar, tidak pernah nunggak dan selalu tepat waktu, sehingga tidak berpendapatnya
PT. Bank DBS Indonesia itu tidak otomatis berkonotasi negatif, sementara sikap dan

tidak bisa langsung begitu saja melaksanakannya. Sedangkan kreditor konkuren yaitu kreditor yang
memiliki hak yang istimewa, kreditor ini menerima haknya atau pelunasan utang terlebih dahulu dari
pendapatan penjualan setelah itu barulah kreditor lainnya.
18
19

Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012, hal. 6.
Sunarmi (II), Op. cit., hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

argumentasi hukum yang telah dibangun oleh Pengadilan Niaga dalam hal ini mengandung
konotasi negatif. 20
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang memberikan tafsir yang salah
dan negatif atas sikap PT. Bank DBS Indonesia yang dalam hal ini tidak memberikan
pendapatnya atas proposal perdamaian tersebut. Prasangka dan rasa kecemasan yang muncul
menjadi dasar dalam membangun argumentasi hukum oleh Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang, padahal seharusnya berdasarkan atas fakta-fakta hukum dan
ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU tidak demikian halnya. 21
Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan
tersebut pada putusan kasasi dapat dibenarkan karena judex facti (Pengadilan Niaga pada PN
Semarang) telah salah mempertimbangkan dengan menolak pengesahan perdamaian yang
diajukan oleh debitor pailit karena proposal perdamaian tersebut menurut Mahkamah Agung
telah memenuhi ketentuan Pasal 151 UUK dan PKPU, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa judex facti salah dalam pertimbangan karena memasukkan dalam perdamaian
penyelesaian utang debitor pailit terhadap kreditor separatis dan kreditor preferen
sedangkan kreditor separatis belum memberikan tanggapan, padahal berdasarkan
Pasal 149 UUK dan PKPU kreditor separatis dan kreditor preferen tidak boleh
memberikan tanggapan dan tidak ikut memberikan suara terhadap perdamaian
20

Sunarmi (III), Op. cit., hal. 153-153. Kreditor dibagi 3 (tiga) golongan: pertama, kreditor
separatis, yaitu kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan,
dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan. Kedua, kreditor
preferen yaitu golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan istimewa, memiliki hak untuk
mendapat pelunasan terlebih dahulu. Ketiga, kreditor konkuren yaitu kreditor yang dicukupkan
pembayaran piutang-piutangnya dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor
separatis dan kreditor preferen.
21
Abdul R. Saliman, Op. cit., hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Ditinjau dari ketentuan Pasal 159 ayat ( 2) UUK dan PKPU bukan
merupakan alasan menyatakan pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, karena
yang dimaksud lain adanya bukti yang menunjukkan bahwa debitor tidak akan
mampu melaksanakan apa yang ditetapkan dalam perdamaian dan juga kreditor
separatis sama sekali belum memberikan tanggapan terhadap perdamaian tersebut.
2. Bahwa judex facti menganggap tidak adil apabila terhadap para kreditor yang
berbeda kedudukannya ditawarkan penyelesaian dengan kelonggaran waktu (grace
period) selama 3 (tiga) tahun dengan angsuran 5 (lima) tahun karena sesuai dengan
ketentuan Pasal 149 ayat (2) UUK dan PKPU jika kreditor separatis dan atau kreditor
preferen telah melepaskan haknya untuk didahulukan maka kreditor preferen
dimaksud menjadi kreditor konkuren sehingga harus diperlakukan sama dengan
kreditor kreditor lainnya.
Hal tersebut bukanlah merupakan alasan untuk menyatakan tidak adil sebagai alasan
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang untuk menolak pengesahan
perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2)
UUK dan PKPU. Selain itu adanya perdamaian tersebut akan memberikan efek positif
terhadap para pekerja yakni tetap terlindunginya pekerja dari pemberhentian kerja, sehingga
alasan serikat pekerja patut juga dipertimbangkan untuk dikabulkan.
Penolakan pengesahan perdamaian sebagaimana yang dilakukan oleh judex facti
adalah tidak beralasan, bertentangan dengan hukum dan harus dibatalkan oleh Mahkamah
Agung serta tidak sesuai dengan asas kepastian hukum. Dengan asalan-alasan debitor pailit
tersebut di atas, oleh Mahkamah Agung dikabulkan dalam permohonan kasasi dari debitor

Universitas Sumatera Utara

pailit sehubungan dengan penentuan para kreditor dalam kasus ini bertentangan dengan UUK
dan Kepailitan serta UU Hak Tanggungan.
Tetapi pada peninjauan kembali, asalan-alasan debitor pailit tersebut di atas oleh
Mahkamah Agung tidak dikabulkan. Dalam peninjauan kembali yang diajukan oleh para
kreditor dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012
berdasarkan alasan adanya kekeliruan yang nyata dan kemudian membatalkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 445 K/Pdt.Sus/2011. 22 Kekeliruan yang nyata tersebut melanggar
Pasal 295 ayat (2) huruf b UUK dan PKPU.
Alasan-alasan peninjauan kembali dari para kreditor bahwa Mahkamah Agung tidak
menyimak dan membahas akan isi proposal perdamaian yaitu:
1. Tidak memperhatikan dan meneliti lebih lanjut serta tidak menyimak tentang isi
proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit berdasarkan Pasal 159 ayat (2)
huruf b UUK dan PKPU yang menentukan “pelaksanaan perdamaian tidak cukup
terjamin”.
2. Dalam pertimbangan hukum judex juris (pada putusan kasasi di Mahkamah Agung)
pada halaman 28 dalam Putusan Nomor 445 K/Pdt.Sus/2011 telah salah dalam
menanggapi dan meneliti alasan judex facti dalam penolakan pengesahan perdamaian
dalam hal “bukan merupakan alasan pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
dikarenakan kreditor separatis tidak memberikan pendapat atas proposal perdamaian
yang diajukan debitor pailit”.
22

Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 98. Syarat atau dasar diajukan
peninjauan kembali atas putusan kepailitan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan jika
setelah diputusa ternyata ditemukan bukti baru (novum) yang bersifat menentukan atau karena
terdapatnya kekeliruan atau kekhilafan yang nyata.

Universitas Sumatera Utara

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang sebenarnya
berdasarkan UUK dan PKPU serta UU Hak Tanggungan telah benar dan tepat dalam
pertimbangannya yang mempertimbangkan bahwa apabila kreditor separatis (PT. Bank DBS
Indonesia) tidak memberikan pendapatnya di dalam perdamaian tersebut maka perdamaian
tersebut akan terganggu dengan kata lain kreditor separatis bisa saja melaksanakan haknya
untuk eksekusi jaminan yang dikuasai oleh kreditor separatis. Maka dari itu dengan tidak
adanya kepastian suara atas perdamaian oleh kreditor separatis mengakibatkan perdamaian
menjadi tidak ada kepastian hukum.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehubungan dengan asas-asas dan prinsip-prinsip
hukum kepailitan dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan upaya perdamaian dalam
permohonan pailit terhadap debitor yang dibebani hak tanggungan untuk memperoleh
pelunasan pembayaran utang debitor pailit. “Hak Suara Kreditor Sepratis Dalam Proses
Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” sebagai judul tesis dalam
penelitian ini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan
permasalahan berikut ini:
1. Bagaimana hak suara kreditor separatis dalam persetujuan pengajuan upaya
perdamaian menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

Universitas Sumatera Utara

2. Mengapa kedudukan kreditor separatis tidak memiliki hak suara dalam pengambilan
keputusan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
3. Apakah yang menjadi dasar Mahkamah Agung memandang penting untuk
memperhatikan kedudukan hak suara kreditor separatis dalam pengambilan
keputusan upaya perdamaian?

C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian tesis ini akan
bertujuan:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hak suara kreditor separatis dalam persetujuan
pengajuan upaya perdamaian menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Untuk

mengetahui

dan

menganalisis

kedudukan

kreditor separatis

dalam

pengambilan keputusan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis yang menjadi dasar Mahkamah Agung
memandang penting untuk memperhatikan kedudukan hak suara kreditor separatis
dalam pengambilan keputusan upaya perdamaian.

D. Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu
hukum antara lain:
1. Manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
hukum bagi para akademis di bidang bidang hukum, selain itu, dapat menjadi bahan
menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum serta
menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini dapat memberi masukan bagi para praktisi
peradilan yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, bagi para kreditor dan
debitor pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, lembaga kepailitan, lembaga
hak tanggungan, dan lain-lain.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelurusan yang

dilakukan

terhadap hasil-hasil penelitian yang

pernah dilakukan secara khusus di Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul
“Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 62
PK/Pdt.Sus/2012)” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang
sama. Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, diperoleh yaitu:
1. Asepte Gaulle Ginting, Nim: 087005118, dengan judul tesis: Tanggung Jawab Dewan
Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan UndangUndang RI No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Fokus permaslahan yang diteliti
adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. Bagaimana kedudukan dan wewenang dewan komisaris perseroan berdasarkan UU
No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
b. Bagaimana akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ Perseroan
Terbatas?
c. Bagaimanakah tanggung jawab dewan komisaris Perseroan Terbatas dalam hal
terjadinya kepailitan berdasarkan UU RI No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan?
2. Sophia, NIM: 097005084, dengan judul tesis: Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Kewajiban Pembyaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga
No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan). Fokus permasalahan yang diteliti adalah:
a.

Mengapa kreditor diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang terhadap debitor dalam UU No.37 Tahun 2004?

b. Bagaimanakah mekanisme rencana perdamaian di dalam penundaan kewajiban
pembayaran utang?
c.

Bagaimanakah

penerapan

hukum

kepailitan

dalam

perkara

No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
3. Ulfa Budiartiy, NIM: 097005086, dengan judul tesis: Analisis Yuridis Permohonan
Pernyataan Pailit Terhadap Bank oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembyaran Utang. Fokus
kajian masalah yang diteliti adalah:
a. Bagaiman kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan

permohonan pailit

terhadap bank?

Universitas Sumatera Utara

b. Bagaimana permasalahan hukum yang dihadapi Bank Indonesia sebagai bank sentral
jika menerapkan kepailitan pada bank?
c. Bagaimanakah mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh kreditor dalam
menyelesaikan piutangnya terhadap bank?
4. Kheriah, NIM: 097005070, dengan judul tesis: Kewenangan Pengurus Terhadap Harta
Kekayaan Perusahaan Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Fokus kajian
masalah yang diteliti adalah:
a. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang independensi pengurus PKPU terhadap
harta kekayaan perusahaan?
b. Bagaimanakah kewenangan pengurus PKPU terhadap harta kekayaan perusahaan
bila dikaitkan dengan kewenangan pengurus perusahaan dalam PKPU?
c. Apa sajakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam kewenangan pengurus
terhadap harta kekayaan perusahaan dalam PKPU?
Sedangkan dalam judul ini: “Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan
Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012)”, memfokuskan masalah kajiannya pada:
1. Bagaimana prosedur pengajuan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kwajiban Pembayaran Utang?
2. Mengapa dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kedudukan kreditor separatis tidak memiliki
hak suara dalam pengambilan keputusan upaya perdamaian?

Universitas Sumatera Utara

3. Apakah yang menjadi dasar putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 62
PK/Pdt.Sus/2012 menganggap penting untuk memperhatikan kedudukan hak suara
kreditor separatis dalam pengambilan keputusan upaya perdamaian?
Sehingga dengan demikian penelitian-penelitian tersebut di atas adalah berbeda
dengan judul dan permasalahan yang terdapat di dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini,
sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian yang ini adalah asli dan dapat
dipertanggungjawabkan apabila di kemudian hari ternyata dapat dibuktikan adanya plagiat
dari hasil karya penelitian milik orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
a. Kerangka Teori
Teori yang pertama digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum. Hal ini sehubungan dipermasalahkannya hak suara kreditor
separatis dalam proses pengajuan upaya perdamaian dalam kepailitan. Sehubungan dengan
teori menyangkut kepastian hukum, menurut Tan Kamello, bahwa dalam suatu undangundang, kepastian hukum (legal certainty) meliputi dua hal, yaitu pertama, kepastian dalam
perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang
lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya

Universitas Sumatera Utara

dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian
dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. 23
Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi
hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata,
menurut Tan Kamello berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada
masyarakatnya. Dengan perkataan lain, menurutnya peraturan hukum yang demikian disebut
dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam
kehidupan manusia. 24
Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuanketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian
hukum. Sebagaimana Menurut Mahfud MD mengatakan demikian sebenarnya kedua belah
pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan
argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.25
Idealnya, Faisal dalam pandangan lain mengatakan bahwa setiap putusan hakim
harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun
realitas menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai
yang lainnya, apabila dalam kenyataannya telah terjadi pertentangan antara keadilan dan
kepastian hukum, muncul pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan. Masalah
kepastian hukum, masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan kasus-kasus tertentu,

23

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117.
Ibid., hal. 118.
25
Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, Tanggal 5 Februari 2007.

24

Universitas Sumatera Utara

terutama di kalangan para hakim yang menanggapinya secara berbeda dalam setiap
putusannya. 26
Dapat dikatakan bahwa pada negara hukum, kepastian hukum dalam sistem eropa
kontinental (positivistik) merupakan prioritas utama dalam negara hukum meskipun
dirasakan sangat tidak adil. Dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus
memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun
asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang
tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh
bidang hukum. 27 Dengan demikian kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum
secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam
putusan-putusan badan peradilan. 28 Kemudian menurut Cicut Sutiarso mengatakan kepastian
hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan
budaya hukum yang tepat waktu. 29

26

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Bekasi: Gramata Publishing, 2012), hal. 162.

27

Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa tahun),
hal. 4.
28
http://www.google.com/cse?cx=011777851727344756597%3Ae5nz-xkkyyk&ie=UTF8&q=kepastian+hukum+mahmul+siregar&siteurl=ocw.usu.ac.id%2F&ref=&ss=7098j2577818j30#gsc.t
ab=0&gsc.q=kepastian%20hukum%20mahmul%20siregar&gsc.page=1, diakses tanggal 18 Februari
2014. Ditulis oleh: Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”.
29

Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 160.

Universitas Sumatera Utara

Dalam the concept of law menurut H.L.A Hart, ada kalanya kata-kata dalam sebuah
undang-undang dan apa yang diperintahkannya dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas
sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu
terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal ini
menurut H.L.A Hart merupakan suatu ketidakpastian (legal uncertainty) dalam ketentuan
undang-undang. 30
Dalam A. Booth dan P. Mc. Cawley yang dikutip oleh Mahmul Siregar, mengatakan
“Tiap regulasi sepertinya menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada akhirnya para
pejabat rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa bebas, bahkan harus
menetapkan hal yang samar-samar dengan mengeluarkan regulasinya sendiri”. 31 Pendapat
tersebut terkait dengan ketidakpastian hukum di daerah pelabuhan sehingga otoritas tertentu
bisa menentapkan peraturan yang samar-samar dalam kegaitan perdagangan.
Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung oleh substansi
hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur
penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan peraturan
perundang-undangan dalam peristiwa konkrit melalui putusan-putusan badan peradilan
menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum. Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang
memberikan citra pada kepastian hukum tersebut. 32

30

H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), hal. 230.
31
A. Booth dan P. Mc. Cawley yang dikutip oleh Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum…Op.
cit., hal. 3.
32

Ibid., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Apa yang bisa membuat para pelaku usaha atau investor merasa tenang dalam
berusaha adalah jika kepastian hukum jelas, karena dengan kepastian hukum para pelaku
usaha atau investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang
dilakukannya. 33 Setiap kali para pelaku usaha melakukan perjanjian dalam kegiatan bisnis,
akan menjadi pertimbangan utama dalam hal ini adalah masalah hukum yang mengataur,
tujuannya untuk kepasian hukum.
Teori selanjutnya (yang kedua) digunakan adalah teori kesepakatan. Teori ini
digunakan untuk mendukung teori kepastian hukum khususnya kepastian undang-undang dan
kepastian klausula dalam perjanjian mengikat para pihak yang berjanji. Teori perjanjian ini
sehubungan dengan hak suara kreditor sepratis dalam upaya perdamaian yang diajukan oleh
debitor pailit yang dibebani hak tanggungan untuk memperoleh pelunasan pembayaran utang
debitor pailit.
Menurut pandangan Roscoe Pound, bahwa suatu kesepakatan mengikat karena
memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat.
Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.34
Sejalan dengan teori kehendak tersebut, Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang
lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu
perjanjian…”. 35

33

34

Ibid., hal. 4.
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007),

hal. 18.
35

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan
berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan
bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para
pihak. 36
Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. 37 Perkembangan ini mencapai
puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi
klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire). 38
Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah “suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ikat-mengikat
dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang
meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan
overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah
yang diterjemahkan sebagai perjanjian. Namun, keberadaan suatu perjanjian saat ini lazim
dikenal sebagai kontrak. 39
Berangkat dari teori kehendak tersebut di atas, maka setiap orang bebas menentukan
kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk
36

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil,
(Jakarta: Kencana 2011), hal. 110.
37
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 9.
38
Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 108.
39
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.
41.

Universitas Sumatera Utara

memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Dalam pembentukan
dan melaksanakan prestasi tersebut, memiliki dua unsur penting yaitu schuld dan haftung.
Gunawan Widjaja mengatakan:
Pertama berhubungan dengan persoalan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan
prestasi oleh pihak yang berkewajiban (schuld). Dalam hal ini yang dipersoalkan
adalah siapa yang berkwajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan
apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa
kewajiban tersebut wajib dipenuhi oleh kreditor. Hal kedua berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang
berkewajiban untuk memenuhinya (haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan,
pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut (schuld dan
haftung) terletak di pundak salah satu pihak dalam perikatan yang pada umumnya
disebut debitor. Jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan juga
dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang
dibebankan padanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum di
antara para pihak dalam perikatan tersebut. Misalnya dalam perjanjian jual-beli,
pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga pembayaran
barang yang dibeli, dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk
memenuhi kewajibannya. 40

Dalam pandangan di atas lingkup schuld berbicara soal kewajiban yang harus
dipenuhi debitor kepada kreditor, terlepas dari ada tidaknya harta kekayaan debitor yang
dapat dijadikan sebagai jaminan bagi pemenuhan kewajiban debitor. Sementara itu haftung
berbicara soal keberadaan jaminan harta kekayaan yang dapat digunakan untuk memenuhi
kewajiban debitor, tanpa memperlihatkan siapa yang berkewajiban untuk memenuhi

40

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Efek Sebagai Benda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005), hal. 314.

Universitas Sumatera Utara

kewajiban lapangan harta kekayaan tersebut. Pada perikatan umumnya, schuld dan haftung
senantiasa ada bersama-sama pada diri debitor. 41
Dengan demikian, seorang debitor yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dituntut
pemenuhannya oleh kreditor dengan mengambil jaminan harta kekayaan atau kebendaan
debitor yang ada, maupun yang aka nada di kemudian hari. 42 Hal ini terefleksi dalam
ketentuan Paasal 1131 KUH Perdata, menentikan bahwa segala kebendaan debitor, baik yang
bergerak maupun yang tidak beergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perorangan.
Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara
sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus
dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah
satu pihak dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme
dan jalur hukum yang berlaku. 43
Dikarenakan perjanjian adalah sumber dari perikatan, maka perlu diketahui hal-hal
yang menjadi syarat sah-nya suatu perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika suatu perjanjian tidak
memenuhi keempat unsur ini, maka perjanjian dianggap tidak sah bahkan batal demi hukum.

41

Ibid., hal. 315.

42

Ibid., hal. 315-316.

43

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja
Grafinda Persada), 2003, hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari
perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika
prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi)
dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa
ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut. 44
Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau
bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam
pembangunan hukum. 45
Maka dalam hal perkara aquo semestinya keadilan yang ditegakkan hakim adalah di
samping keadilan hukum (keadilan distributif) juga harus menegakkan keadilan komutatif.
Penerapan keadilan komutatif ini dikarenakan bahwa hukum yang tumbuh dan berkembang
di tengan-etangah perkembangan masyarakat juga menjadi pertimbangan hakim dalam
mengadili perkara sehingga yang demikian lebih bermanfaat jika semua kreditor (separatis,
konkruen, dan preferen) dapat dihadirkan hakim dalam proses perdamaian perkara kepailitan
maka teori keadilan yang menjadi pilihan teori berikutnya.
b. Landasan Konsepsional
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yanag digeneralisasikan
dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Soejono Soekanto berpendapat
bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh, atau pedoman yang

44

Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi)
yang telah disepakati dalam perjanjian.
45
Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang
Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

lebih konkrit dari krangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan
defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. 46
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian
hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan
tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan perundangundangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. 47
Landasan konsepsional digunakan sebagai pedoman konseptual dengan tujuan untuk
menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda, antara lain:
a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam UUK dan PKPU. 48
b. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau konjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat. 49
c. Rencana Perdamaian adalah suatu rencana untuk melakukan perdamaian yang
diusulkan oleh salah satu pihak sebelum terjadi sengketa kepailitan. Perdamaian

46

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 133.

47

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama,
1999), hal. 24.
48
49

Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU.
Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU

Universitas Sumatera Utara

(accoord) adalah suatu upaya yang dapat dilakukan dan diajukan oleh salah satu
pihak guna mengakhiri atau mencegah terjadinya dampak berlanjut dari suatu perkara
yang sedang berjalan dalam kepailitan. Permohonan perdamaian dapat berupa
proposal perdamaian yang digunakan dalam hukum kepailitan. 50
d. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang
tertentu. 51 Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. 52
e. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu. 53
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 54
f.

Kreditor separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolaholah tidak terjadi kepailitan, dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang
tidak terkena akibat kepailitan. 55

g. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan
istimewa, memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu. 56
h. Kreditor konkuren adalah kreditor yang dicukupkan pembayaran piutang-piutangnya
dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor separatis dan
kreditor preferen. 57

50

Sunarmi (III), Loc. Cit.
Pasal 1 angka 2 UUHT.
52
Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU.
53
Pasal 1 angka 3 UUHT.
54
Pasal 1 angka 3 UUK dan PKPU.
55
Sunarmi (III), Op. cit., hal. 153-153.
56
Ibid.
57
Ibid.

51

Universitas Sumatera Utara

i.

Hak suara adalah hak untuk menyatakan pendapat dalam hal kepailitan atau hak
suara bagi kreditor-kreditor yang diakui dalam UUK dan PKPU, 58 khususnya dalam
hal ini hak suara kreditor separatis.

j.

Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah
pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UUK dan PKPU. 59

k. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit
atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. 60
l.

Pengadilan Niaga adalah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 61

G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam
tesis ini adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal
(doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it

58

Pasal 88 UUK dan PKPU.
Pasal 1 angka 5 UUK

Dokumen yang terkait

Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

10 159 93

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24 183 81

Kedudukan Upah Buruh Dalam Kepailitan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 Dalam Kajian Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1 7 16

HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SEBAGAI PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN UNDANG-UNDAN.

0 0 1

Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 0 3

Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 1 32

Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 1 7

HAK SUARA KREDITOR SEPARATIS DALAM PROSES PENGAJUAN UPAYA PERDAMAIAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TESIS

0 0 17

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan - Ubharajaya Repository

0 0 17

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16