Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(1)

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FAISAL LUBIS 070200069

Departemen : Hukum Keperdataan Program Kekhususan :HukumPerdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh : FAISAL LUBIS

070200069

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

DR. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Ramli Siregar, SH, M.Hum Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum

NIP. 195303121983031002 NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tanggal 18 November 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru yang berhubungan dengan kepailitan terhadap kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah Asas keseimbangan, Asas kelangsungan Usaha, Asas Keadilan dan Asas Integrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam skripsi ini akan di bahas 3 (tiga) permasalahan yaitu: Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitur pailit, bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitur terhadap putusan pailit dan bagaimanakah kedudukan hukum ahli waris debitur terhadap putusan pailit.

Dari Penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya orang tersebut harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja debitor pailit, tetapi juga para kreditornya.

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(4)

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada penulis, sehingga peulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP HARTA WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG” Skripsi ini membahas tentang akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Iniversitas Sumatera Utara .

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Wali yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

6. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda (Alm.) H. Mhd. Fauzi Lubis dan Ibunda Hj. Mawar Diana Dalimunthe yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai cita-cita.

7. Keluarga Besar Prof. Dr. Darwin Dalimunthe yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan moril maupun materil terhadap penulis.

8. Kepada Abangku Mhd. Fiza Saktia Lubis dan Kakakku Melza Lubis yang telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.


(6)

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Khairun Naim, Firman Hermawan Simorangkir, Heru Adenin, Aulia Rizky Harahap, Muammar Zia Nasution, Christian Pranata, Irveb Imanuel Tarigan, Adhy Iswara Sinaga, Danisyahputra Sembiring dan Dian Mayasari.

10. Teman-teman seangkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang tidak bias disebutin satu persatu.

12. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, Mei 2011 Penulis

Faisal Lubis


(7)

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Tinjauan Kepustakaan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN ... 12

A. Pengertian Umum Kepailitan ... 12

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 17

C. Prosedur Permohonan Pailit ... 19

D. Akibat Hukum Kepailitan ... 21

E. Berakhirnya Kepailitan ... 24

F. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 34

G. Penundaan Kewajiban Dan Pembayaran Utang (PKPU) ... 41

BAB III TINJAUAN HUKUM WARISAN ... 45

A. Terbukanya Warisan ... 48

B. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang KUH Perdata ... 49

C. Yang Termasuk Ahli Waris ... 54


(8)

D. Yang Tidak Patut Menjadi Ahli Waris ... 56

BAB IV ASPEK HUKUM DALAM PAILIT TERHADAP HARTA WARISAN ... 50

A. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Ahli Waris Debitur Pailit ... 60

B. Kedudukan Ahli Waris Terhadap Putusan Pailit ... 63

C. Pertanggungjawaban Ahli Waris Debitor Terhadap Putusan Pailit ... 66

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(9)

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tanggal 18 November 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru yang berhubungan dengan kepailitan terhadap kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah Asas keseimbangan, Asas kelangsungan Usaha, Asas Keadilan dan Asas Integrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam skripsi ini akan di bahas 3 (tiga) permasalahan yaitu: Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitur pailit, bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitur terhadap putusan pailit dan bagaimanakah kedudukan hukum ahli waris debitur terhadap putusan pailit.

Dari Penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya orang tersebut harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja debitor pailit, tetapi juga para kreditornya.

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(10)

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk pembanguan perekonomian nasional.

Produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan,danperlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.1

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi

Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening Staatsblad 190:217 juncto Staatsblad 1906:348).

1Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia,

(Jakarta:Rajawali Press,1991), hal 10.


(11)

maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.

Bahwa krisis moneter yang melanda Negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usaha sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.2

2Ibid, hal. 12.

Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif,sangatdiperlukanperangkat hukum yang mendukungnya. Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordenirng, Statsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348)yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan

pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang.


(12)

Perubahan terhadap Undang-Undang tentang kepailitan tersebut di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.3

Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling sedikit 2(dua) kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh tempo.Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan debitor sendiri, maupun kepentingan para kreditonya.Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh uang debitor secara adil dan merata serta seimbang. Pernyataan pailit dapat dimohon oleh salah seorang atau lebih kreditor, debitor, atau jaksa umum untuk kepentingan umum.Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya.4

Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Ada beberapa faktor perlunya peraturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang :

Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang samaadabeberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

3 Mohamad Chaidir Ali, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,(Bandung:Mandar Maju,

1995),hal 25


(13)

debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut diatas, perlu dibentuk undang-undang baru tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat.5

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini di dasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, dilain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pratana dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah para pihak yang berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya

5 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti,


(14)

wenangan penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya. 4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Undang-undang baru tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Dengan ketentuan Pasal 40 dan 41 Undang-Undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang No 37 Tahun 2004, maka aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan telah diatur di dalam kasanah hukum kepailitan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan uraian tersebut diatas, dirasakan perlu untuk mengadakan penelitian tentang aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “ASPEK HUKUM PERNYATAAN PAILIT TERHADAP HARTA WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004 ”.


(15)

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, ada beberapa pokok masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit ?

2. Bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit ?

3. Bagaim anak ah kedudukan hukum ah li waris d ebit o r t erh adap putusan pailit ?

C. Tujuan dan manfaat penulisan Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, antara lain, yaitu:

1. Untuk mengetahui akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit.

2. Untuk mengetahui pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit.

3. Untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris debitor terhadap putusan pailit.


(16)

Manfaat Penulisan ini adalah : 1. Secara teoretis

Pembahasan masalah dari penulisan skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis dalam menghadapi pengetahuan tentang aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan ditinjau dari Undang-Undang No 37 Tahun 2004, selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam kajian mengenai aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan, serta untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Fakultas Hukum.

2. Secara Praktis

Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca, baik dikalangan akademisi maupun peneliti yang mengkaji masalah yang sejenis ke dalam suatu pemahaman yang komprehensif tentang akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit, pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit dan kedudukan hukum ahli waris debitor terhadap putusan pailit yang diharapkan dapat menambah wawasan Aspek Hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan ditinjau dari Undang-Undang No 37 Tahun 2004.

D. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian aspek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu segi dalam pemandangan terhadap kajian sesuatu hal.6

6 Frista Artmanda W., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,(Jakarta:Lintas Media, 2004),

hal 747.

Pengertian lain dari hukum menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini


(17)

kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan.7 Selanjutnya pengertian dari aspek hukum yaitu suatu segi dalam pemandangan terhadap kajian yang berhubungan dengan peraturan hukum.8 Pengertian pailit adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwewenang, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.9 Sedangkan pengertian harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada para ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris disebut Boedel.10

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini sudah pernah ada dibahas oleh orang lain tetapi saya mencoba menulis skripsi ini dengan permasalah yang berbeda. Dengan ini penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa penulisan ini adalah jauh dari unsur plagiat. Dalam penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan

7 W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006),

hal 612.

8

Subekti, Kamus Hukum,(Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hal 60.

9 W.J.S. Poerwadarminta, op cit, hal 85.

10 Wahyono Darmabrata, Azas-Asas Hukum Waris( Jakarta:Cetakan Pertama, 1994),


(18)

masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah, pasal-pasal dalam Undang-Undang Kepailitan, maupun pasal-pasal dalam KUH Perdata.

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan data guna menguraikan penulisan skripsi yang berjudul aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normaltif. Menurut Bagir Manan, penelitian normaltif adalah penelitian terhadap kaidah dan asas hukum yang ada.

Untuk memperoleh suatu yang baik dari suatu karya ilmiah, maka didukung oleh bukti dan fakta atau data yang akurat. Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan prinsipnya bertendansi kepada penelitian keputusan (library research) dan penelitianlapangan (field research) sebagai data

pendukung.

Penelitian kepustakan (library research) adalah penelitian yang berkenaan dengan bacaan yang berisikan peraturan perundang-undangan, buku, majalah,makalah seminar yang berhubungan dengan topik dijadikan sebagai landasan guna menguatkan argumentasi di dalam penyusunan penulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut:


(19)

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Hukum Kepailitan

Bab ini menguraikan tentang pengertian umum kepailitan, pihak yang dapat meminta pailit, prosedur permohonan pailit, akibat hukum Kepailitan.Kemudian pengertian berakhirnya kepailitan, insolvensi atau pemberesan harta pailit, rehabilitasi. Lalu pengertian keberadaan dan kompetensi pengadilan niaga, kedudukan dan pembentukan pengadilan niaga, kompetensi pengadilan niaga, dan hakim pengadilan niaga. Selanjutnya pengertian penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU).

Bab III : Tinjauan Hukum Warisan

Bab ini menguraikan tentang pengertian terbukanya warisan, hak mewarisi menurut undang-undang, yang termaksud ahli waris, dan yang tidak patut menjadi ahli waris.

Bab IV : Aspek Hukum dalam Pailit terhadap harta warisan ditinjau dari Undang-Undang No 37 Tahun 2004

Bab ini menguraikan tentang akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit, pengertian debitor dan kreditor menurut UUK-PKPU, dan kepalitan orang mati. Selanjutnya kedudukan ahli waris debitor terhadap putusan pailit, sikap ahli waris terhadap warisan menurut KUH Perdata, terhadap warisan


(20)

menurut UUK-PKPU dan pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.


(21)

12

TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN

A. Pengertian Umum Kepailitan

Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global seperti sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit.

Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailtan itu berperan.21

21Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia,(Bandung:Citra

Aditya Bakti,1998), hal 205.

Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yangdilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi 3 hal yaitu:


(22)

1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules).

2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan

3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal

1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitor) yang ada dalam

keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditor), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit ”.22

Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Th.1998 pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.23

22

Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hal 81.

23 Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,


(23)

Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.24

1. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.

Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:

24 Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan,(Jakarta:Jurnal Hukum


(24)

2. Uang yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (pasal 213, 225, 321 KUHPerdata).

3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (pasal 311 KUHPerdata).

4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit berdasarkan pasal 318 KUHPerdata.

Apabila seorang debitor (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitor kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh jalan yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit.25

Jika kreditor menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila kreditor-kreditor memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitor dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.26

Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditor, melainkan untuk semua kreditor atau dengan kata lain

25Ibid, hal 108.


(25)

untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya. Jadi demikian sebenarnya esensi kepailitan.

Menurut Retonowulan Sutianto kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan putusan hakim, yang berlaku serta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang kepentingan semua kreditor yang dilakukan dengan pihak yang berwajib. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, maupun atas permintaan pihak ketiga di luar debitor, suatu permohonan pernyataan pailit kepengadilan. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang telah diajukan. Jika kita baca rumusan yang dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 dapat kita ketahui bahwa pernyataan pailit oleh pengadilan, debitor tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.

Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan pasal 113 kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitor pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditor konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkuren mereka. Yang dapat dinyatakan pailit adalah :

1. “Orang Perseorang” baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah. Jika permohonan pernyataaan pailit tersebut


(26)

diajukan oleh debitor perseorang yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami”, kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada pencampuran harta.

2. “Perserikat-perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya “Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus membuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.

3. “Perseroan-perseoran, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum sebagaimana diatur dalamanggaran dasarnya.

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit

Adanya putusan kepailitan dari pengadilan lebih menjamin kepastian hukum dan adanya penyelesaian yang adil sehingga mengikat, oleh karena akan diberikan kewenangan oleh pengadilan kepada kurator atau hakim pengawasan untuk menilai apakah benar-benar tidak mampu membayar hutang-hutangnya.

Kemudian guna melindungi kepentingan kreditor agar kekayaan atau harta benda si debitor kepada pihak lain, maka setiap kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebelum ditetapkan seperti tercantum pada pasal 7 ayat (7) sub a dan b Undang-undang No. 4 Tahun 1998 untuk:

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitor, atau

b. Menunjukkan kurator sementara untuk: 1. Megawasi pengelola usaha debitor.


(27)

2. Megawasi pembayaran kepada kreditor, yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator.27

Disamping itu diharapkan dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan bermaksud memberikan kesempatan kepada pihak kreditor ataupun debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil dan mengikat serta sesuai dengan putusan pengadilan terhadap utang piutang mereka. Ketentuan pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 menyebutkan pihak-pihak yang meminta pailit yaitu:

1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pada pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.

2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat juga diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

3. Menyangkut debitor yang merupakan Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

4. Dalam hal menyangkut debitor merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM)28

27J. Djohansyah, Pengadilan Niaga,(Bandung,: Alumni, 2001),hal 21. 28 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),hal 73.


(28)

C. Prosedur Permohonan Pailit

Kalau diperhatikan prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi sidebitor ada disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 berbunyi sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan niaga melalui panitera.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan jangka waktu paling lambat 1x 24 jam terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari

4. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal pemohonan didaftarkan.

5. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda permohonan dan menetapkan hari sidang. 6. Penyelenggaraan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak

tanggal permohonan didaftarkan.

7. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma.29

29Ibid, hal 80.


(29)

Sedangkan demi melindungi kepentingan kreditor tersebut pasal 7 ayat (1) sub a Undang-undang No. 4 Tahun 1998, menegaskan bahwa kreditor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang ditetapkan oleh pengadilan niaga.

Hal ini dilakukan kreditor untuk menjaga itikad tidak baik debitor dalam berhubungandengan pemberesan dan pengurusan hartanya.Selanjutnya juga dalam putusan pernyataan pailit ataupun setiap saat setelah putusan dijatuhkan, atas usul hakim pengawasan atau permintaan kurator atau salah seorang debitor atau lebih maka pengadilan boleh memerintahkan agar debitor pailit dimasukkan dalam tahanan baik dalam penjara maupun dalam rumah debitor sendiri dibawah pengawasan seorang pejabat dari kekuasaan umum dan pemerintah untuk melakukan penahanan dijalankan oleh kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh pengadilan atas dasar debitor pailit dengan sengaja tanpa dasar yang sah, hal ini sesuai dengan Pasal 88, 101 dan 122 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.30

Jaksa atau penuntut umum dapat memohon kepailitan seorang debitor bilamana dipenuhi syarat-syarat adanya keadaan berhenti membayar utang dari yang bersangkutan dengan alasan kepentingan umum. Jadi bila tidak ada lagi kepentingan perseorangan maka jaksa dapat berperan untuk mengajukan

Jika kreditor yang memohonkan pernyataan pailit maka kreditor tersebut harus dapat membuktikan bahwa tuntutannya terhadap pembayaran piutangnya kepada debitor dilengkapi dengan bukti-bukti tagihan yang cukup, kalau tidak kreditor tersebut tidak akan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap diri si debitor.

30 Munir Fuady, op. cit, hal 32.


(30)

permohonan pernyataan pailit atas si debitor, tetapi bila bukan demi kepentingan umum jaksa tidak berhak mengajukan permohonan pailit.31

D. Akibat Hukum Kepailitan

Putusan kepailitan membawa akibat bagi sipailit atau debitor sendiri maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan kepailitan oleh pengadilan niaga, sipailit (debitor) kehilangan hak pengurusan dan penguasaan atas budel.Ia menjadi pemilik dari budel itu, tetapi ia tidak boleh lagi mengurus dan meguasainya. Pengurusan dan penguasaan itu beralih kepada hakim pengawasan d an k u rat o r yan g d i t u nju k d ari p engad ilan ni aga, s em en t ara d al am hal kreditor dan debitor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BPH) bertindak sebagai kurator.32

a. Pengaruh putusan kepailitan atas tuntutan-tuntutan tertentu, pengaruh putusan kepailitan dalam tuntutan tersebut ada dua jenis yaitu:

Pengurusan dan pengusaan harta kekayaan tersebut pindah kepada Balai Harta Peninggalan (BPH) dimana terhadap seluruh harta kekayaan yang sudah ada maupun yang diperoleh selama berjalannya kepailitan kecuali yang dengan undang-undang dengan tegas dikeluarkan dari kepailitan. Adapun akibat putusan pengadilan niaga terhadap pailitnya debitor mempunyai pengaruh hukum baik terhadap debitor maupun terhadap kreditor, hal ini antara lain :

1. Tuntutan yang berpokok hak-hak dan kewajiban masuk budel pailit 2. Tuntutan-tuntutan yang bertujuan untuk dipenuhinya suatu perikatan

dalam budel

31 Zainal Asikin, op.cit, hal 18.


(31)

b. Pengaruh terhadap perbuatan sipailit (debitor) terhadap perbuatan sipailit yang merupakan para kreditor, Balai Harta Pengadilan atau kurator dapat mengemukakan pembatalan dari perbuatan tersebut. Perbuatan sipailit yang merugikan kreditor pada pokoknya adalah perbuatan yang berakibat berkurangnya budel, sehingga dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya adalah bilamana dikarenakan perbuatan tersebut ada bagian-bagian harta kekayaan dikeluarkan dari budel, maka bagian-bagian dari harta kekayaan tersebut oleh Balai Harta Peninggalan dituntut untuk dikembalikan kedalam budel.

c. Pengaruh terhadap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitor/ sipailit, terhadap pelaksanaan hukum atas sesuatu bagian dari harta kekayaan debitor yang dimulai sebelum adanya putusan kepailitan, maka dengan adanya putusan kepailitan itu berakhir dengan pelaksanan hukum tersebut. Pelaksanaan hukum yang dimaksud diatas yakni penyitaan, uang paksa, hukum badan (sandera), penjualan barang untuk pelunasan utang, perbaikan nama baik dan harta tanggungan serta lampau waktu.

d. Pengaruh terhadap perjanjian timbal balik pasal 36 sampai pasal 39 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mengatur putusan kepailitan terhadap perjanjian timbal balik, dalam hal ini dibedakan antara perjanjian timbal balik dalam tahap pelaksanaan tertentu atau dalam tahap tidak dilaksanakan dengan beberapa perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian kerja (perjanjian perburuhan). Untuk perjanjian-perjanjian umum dalam pasal 36 menegaskan dalam butiran ayatnya sebagai berikut:


(32)

Ayat (1), dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau sebagiannya dipenuhi maka pihak dengan siapa debitor mengadakan perjanjian tersebut dapat diminta kepada kurator untuk memberi kepastian tentang kelanjutan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator kemudian.

Ayat (4), apabila kurator menyatakan kesanggupan, maka pihak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta kurator untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian tersebut.

Kemudian perjanjian timbal balik yang terkena pengaruh pailit dalam hal ini, perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian kerja dapat kita lihat dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 yang menegaskan sebagai berikut:

Untuk perjanjian kerja pasal 39 menentukan bahwa pekerja-pekerja yang dalam ikatan kerja dengan sipailit dapat menghentikan hubungan kerja dan kepada mereka secara timbal balik hubungan-hubungan kerja itu dapat dihentikan oleh Balai Harta Peninggalan dengan mengindahkan isi yang diperjanjian atau menurut undang-undang, akan tetapi dengan pengertian bahwa setiap hal hubungan kerja dapat diakhiri oleh penghentian dengan tenggang waktu 6 (enam) minggu. Semenjak hari pernyataan pailit itu upah buruh menjadi utang budel.

e. Akibat putusan pailit terhadap kewenangan berbuat sipailit dalam bidang harta kekayaan, Undang-Undang, No 4 Tahun 1998 menegaskan bahwa


(33)

sipailit (debitor) tidak mempunyai kewenangan baik sebagian maupun seluruhnya terhadap harta kekayaan setelah pernyataan putusan pailit oleh pengadilan niaga. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemungkinan berkurangnya aset debitor atau sipailit dalam melakukan proses pemberesan utang-utang kreditor.

Selanjutnya terhadap ketentuan lain yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian adalah apa yang dikenal dengan Actio Pauliana (gugatan pembatalan dari pihak kreditor yang ditujukan kepada debitor karena perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan kreditor) ini dapat dikatakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang berlaku yang mengikat diantara pihak-pihak yang membuatnya, hal ini didasari pada pasal 1340 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Terobosan yang diatur dalam ketentuan pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata ini memberikan hak kepada kreditor untuk menganjurkan pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitor, dengan nama apapun juga yang merugikan kreditor.33

E. Berakhirnya Kepailitan Akur atau Perdamaian

Perdamaian dalam kepailitan adalah perjanjian antara debitor pailit dengan para kreditor dimana menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut, ia dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi.

33 Sudargo Gautama, op.cit, hal 48.


(34)

Kepailitan yang berakhir melalui akur disebut juga berakhir perantaraan hakim (pengadilan).

Akur lazimnya berisi kemungkinan seperti di bawah ini:

1. Si pailit menawarkan kepada kreditor-kreditornya untuk membayar sesuatu presentase dan sisa dianggap lunas.

2. Si pailit menyediakan budelnya bagi para kreditor dengan mengangkat seorang pemberes untuk menjual budel itu dan hasilnya dibagi antara para pembebasan untuk sisanya. Akur semacam ini disebut akur likuidasi (liquidatieaccoord).

3. Debitor minta penundaan pembayaran dan minta diperbolehkan mengangsur utang. Ini tidak lazim terjadi.

4. Debitor menawarkan pembayaran tunai 100% ini jarang terjadi.34 Selengkapnya mengenai akur perdamai diatur dalam lampiran UU Kepailitan pasal-pasal 134 s/d 167 (pasal ini tidak mengalami perubahan), sebagai berikut:

Menurut pasal 134 UUK, debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor secara bersama. Apabila penawaran itu diterima dan telah disahkan oleh hakim pengawas, maka kepailitan akan berakhir.

Perdamaian dalam kepailitan ini akan mengikat semua kreditor termasuk kreditor yang tidak memberikan suara bahkan kreditor yang tidak menyetujuinya. Karena itu menurut pasal 141 UUK, recana perdamaian diterima, apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari setengah


(35)

jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.35

1. Isi perdamaian.

Selanjutnya pasal 142 UUK menyebutkan bahwa, apabila dari setengah jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan wakil paling sedikit setengah dari jumlah piutang para kreditor yang mempunyai hak suara, menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lama 8 hari terhitung sejak pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan. Pada pemungutan suara kedua, para kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkannya pada pemungutan suara pertama. Bila perdamaian diterima, pengadilan akan memutuskan pengesahan perdamaian tersebut dan sidang diadakan paling cepat 8 hari atau selambat-lambatnya 14 hari setelah persetujuan perdamaian tercapai (146 UUK).

Berita acara rapat tentang perdamaian berisi:

2. Nama para kreditor yang berhak memberikan suara tentang kehadirannya dalam rapat.

3. Suara yang diberikan oleh masing-masing.

4. Hasil pemungutan suara dan lain-lain yang dibicarakan dalam rapat. 5. Berita acara rapat ditandatangani oleh hakim pengawas dan panitera.

35 Rudhy. A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit,(Bandung: Alumni,


(36)

Walaupun telah ada perdamaian, para kreditor tetap mempunyai hak-hak mereka terhadap para penanggung dan semua kawan-kawan debitornya (pasal 155 ayat (1)) Hak-hak yang boleh dilakukan terhadap benda pihak ketiga tetap dimiliki, seolah-olah tidak ada suatu perdamaian (pasal 155 ayat (2)).

Tentang penolakan pengesahan perdamaian apabila perdamaian ditolak, maka akan diberikan ketetapan oleh hakim disertai dengan alasan-alasannya. Menurut ketentuan pasal 149 ayat (2) UUK, pengadilan harus menolak pengesahan perdamaian apabila:

1. Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamya segala barang yang terhadapnya berlaku hak menahan barang (hak retensi), melebihi jumlah yang dijanjikan dalam perdamaian.

2. Perdamaian tersebut tidak terjamin penuh.

3. Perdamaian tercapai karena penipuan yang menguntungkan secara tidak wajar seorang kreditor atau beberapa kreditor, atau karena penggunaan cara lain yang tidak jujur dengan tidak memperdulikan apakah dalam hal ini debitor pailit turut atau tidak melakukannya.

Bila pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim, dalam waktu 8 hari setelah penetapan, para kreditor yang mendukung pengesahan perdamaian maupun debitor itu sendiri, dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan itu (pasal 150 UUK). Sebaliknya bila pengesahan perdamaian dikabulkan oleh hakim, para kreditor yang menolak perdamaian atau tidak hadir dalam pemungutan suara dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah penetapan.


(37)

Para kreditor yang piutang dijamin dengan hak tanggungan, gadai atau hak istimewa berada di luar perdamaian. Mereka tidak berhak mengeluarkan suara dan perdamaian tersebut juga tidak mengikat mereka (lihat pasal 139,152 UKK). Dengan tetap memperhatikan kententuan pasal 128, apabila terdapat bantahan terhadap hak para kreditor pemegang hak tanggungan, gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya pemegang hak agunan dan kreditor yang diistimewakan, termasuk para kreditor yang haknya didahulukan, para kreditor tersebut tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakan pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.36

a) Bila dalam rapat yang sedang diselenggarakan itu diangkat suatu panitia tetap para kreditor yang anggotanya bukan berasal dari panitia sementara, sedangkan jumlah terbanyak dari kreditor menghendaki panitia yang tetap itu suatu nasehat tertulis mengenai rencana perdamaian yang diusulkan;

Menurut pasal 152 UUK, perdamaian yang telah disahkan berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan tanpa kecuali, dengan tidak memperdulikan apakah mereka mengajukan diri atas kepailitan tersebut.

Bila debitor pailit menyampaikan rencana perdamaian dalam waktu selambat-lambatnya 8 hari sebelum diadakannya rapat pencocokan utang piutang dan telah diumumkan oleh pengadilan, maka rencana tersebut setelah rapat pencocokan utang piutang harus dibicarakan dan diputuskan, kecuali:

36Ibid, hal 4.


(38)

b) Bila rencana perdamaian tidak diumumkan ditempat tertentu oleh panitera maupun kurator dalam waktu yang ditentukan dan sebagian besar kreditor yang hadir menghendaki rapat tersebut ditunda.

Dalam hal-hal tersebut, rapat untuk membicarakan dan mengambil keputusan rencana perdamaian harus ditunda sampai rapat berikutnya, yang harus ditentukan paling lambat tiga minggu kemudian oleh hakim pengawas.

Menurut pasal 168 UKK, apabila rencana perdamaian dilakukan pada rapat pencocokan piutang dan ditolak, maka harta pailit demi hukum berada dalam keadaan tidak mampu membayar. Dan apabila perdamaian atau pengesahan perdamaian ditolak, maka debitor pailit tersebut tidak boleh menawarkan lagi perdamaian baru (pasal 153 UUK).37

Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan pasti, kepailitan berakhir (pasal 156 UUK). Karena itu kurator wajib melakukan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada debitor pailit dihadapan hakim pengawasan. Bila dalam perdamaian tidak ditetapkan lain, kurator harus mengembalikan semua barang, uang, buku dan surat yang termasuk harta pailit kepada debitor pailit.38

Menurut pasal 160 UUK, perdamaian yang telah disahkan dapat dituntut pembatalan oleh setiap kreditor dengan alasan debitor lalai memenuhi isi perdamaian. Dan dalam ayat (2) mengatakan apabila ada permohonan pembatalan perdamaian, maka debitor pailit yang harus membuktikan bahwa ia telah memenuhi isi perdamaian itu. Selanjutnya dalam ayat (3), Hakim karena jabatan

37Ibid, hal 125.


(39)

berwenang penuh untuk memberikan keleluasaan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban itu sampai waktu selambat-lambatnya dalam satu bulan.39

1. Insolvensi atau Pemberesan Harta Pailit

Apabila perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali seperti semula. Akibatnya, semua perbuatan yang dilakukan debitor dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan, akan mengikat harta pailit (bandingkan pasal 41 dan 164 UUK). Selanjutnya setelah kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat ditawarkan perdamaian atau akur untuk kedua kalinya (pasal 165 UUK).

Insolvensi terjadi bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan akur/

perdamaian atau akur dipecahkan karena tidak dipenuhi sebagaimana yang telah disetujui. Menurut pasal 168 UUK, bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang telah ditolak denganpasti maka demi hukum, harta pailit berada dalam keadaan tak mampu setengah membayar (insolvensi).

Menurut pasal 168 a ayat (1), bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau bila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, maka kurator atau seorang kreditor yang hadir dalam rapat tersebut dapat mengusulkan agar perusahaan debitor pailit dilanjutkan. Atas permintaan kurator dan seorang kreditor yang hadir dalam rapat tersebut sampai pada rapat yang ditentukan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari kemudian. Usulan tersebut harus diterima bila jumlah kreditor yang mewakili lebih dari setengah

39Ibid, hal 198.


(40)

dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan bersyarat dan tidak dijamin dengan hak tanggungan atau gadai, menyokong usulan tersebut.

Bila dalam waktu 8 hari setelah pengesahan perdamaian secara pasti telah ditolak, kurator atau seorang kreditor yang hadir dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk melanjutkan perusahaan debitor pailit. Untuk itu hakim pengawas harus mengadakan rapat untuk merundingkan usul tersebut dan mengambil keputusan.40

a) Usul untuk mengurus perusahan debitor tidak diajukan dalam jangka waktu diatur dalam undang-undang ini atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak atau;

Pemanggilan terhadap kreditor oleh kurator harus dilakukan minimal 10 hari sebelum rapat diadakan. Atas permohonan seorang kreditor atau kurator, hakim pengawas dapat memerintahkan agar kelanjutan perusahaan dihentikan. Dalam hal ini kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitor apabila:

b) Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

Pasal 170 ayat 2 UUK mengatur tentang pemberian perabot rumah tangga yang ditunjuk oleh hakim pengawas untuk keperluan debitor pailit. Semua barang harus dijual dihadapan umum atau secara dibawah tangan, izin dibawah tangan tanpa izin hakim pengawasan akan mempengaruhi jual beli tersebut.

Menurut pasal 70 UUK, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan jual beli yang hanya dipertanggungjawabkan kepada debitor pailit dan para kreditor. Kemudian dalam pasal 174, pada setiap waktu, bila menurut hakim pengawas

40Ibid, hal 125.


(41)

tersedia cukup uang tunai, maka ia memerintahkan suatu pembagian kepada para kreditor yang piutangnya telah mendapatkan pencocokan. Hal ini berarti setelah kepailitan selesai, debitor pailit dapat ditagih kembali apabila ia mempunyai uang yang cukup. Kurator selalu wajib membuat suatu daftar pembayaran untuk disahkan oleh hakim pengawas.

Daftar tersebut berisi:

a) Pertelaan tentang penerimaan dan pengeluaran (di dalamnya termasuk upah kurator);

b) Nama para kreditor;

c) Jumlah pencocokan tiap piutang;

d) Pembagian yang harus diterima oleh setiap piutang tersebut.

Seorang kreditor yang piutangnya tidak dicocokkan, juga seorang kreditor yang piutangnya dicocokkan untuk jumlah yang terlalu rendah menurut laporannya sendiri, boleh mengajukan perlawanan selanjutnya dalam sidang umum.

Piutang atau bagian piutang yang tidak dicocokkan tadi disampaikan kepada kurator, satu salinannya dilampirkan pada surat keberatan dan dalam surat keberatan ini diajukan pula permohonan untuk mencocokkan piutang tersebut. Terhadap ketetapan pengadilan tersebut, kurator atau setiap kreditor dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah ketetapan tersebut diambil. Mahkamah Agung dapat memanggil kurator atau para kreditor untuk didengar.

Menurut ketentuan pasal 182 ayat (4) UUK, karena lewatnya tenggang waktu yang tersebut dalam pasal 178 UUK, atau apabila telah dimajukan


(42)

perlawanan dan perlawanan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka daftar pembagian tersebut mengikat demi hukum. Selanjutnya kurator wajib segera melaksanakan pembayaran yang telah ditetapkan, kecuali bagi kreditor yang diterima dengan syarat, tidak dapat diberikan pembayaran sepanjang belum ada keputusan mengenai piutangnya (pasal 184 UUK). Bila pada akhirnya ternyata ia tidak mempunyai suatu tagihan atau tagihannya kurang dari yang telah diterima, maka uang yang semula diperuntukkan bagi mereka seluruhnya atau sebagian menjadi keuntungan parakreditor lainnya.

Kepailitan berakhir apabila seluruh kreditor yang piutangnya telah dicocokkan dibayar penuh atau segera setelah daftar penutup memperoleh kekuatan hukum yang pasti.

2. Rehabilitasi

Dalam pasal 205 UUK ditentukan bahwa, debitor pailit atau para ahli waris berhak untuk mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan yang semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan.

Permohonan rehabilitasi akan diterima apabila pemohon dapat melampirkan bukti yang menyatakan bahwa para kreditor yang diakui sudah menerima pembayaran piutang seluruhnya. Permohonan tersebut harus diiklankan dalam berita negara dan surat kabar yang ditunjuk oleh hakim. Dalam waktu 2 bulan setelah dilakukan pengiklanan dalam berita negara, setiap kreditoryang diakui boleh mengajukan perlawanan terhadap permohonan itu kepada panitera dengan menyampaikan surat keberatan dengan disertai alasan-alasannya.41

41Ibid, hal 186.


(43)

Setelah berakhirnya waktu 2 (dua) bulan, pengadilan harus mengabulkan permohonan tersebut sekalipun tidak ada perlawanan. Terhadap putusan pengadilan ini tidak boleh diajukan kasasi.

Putusan mengenai pengabulan rehabilitasi harus diucapkan dalam sidang terbuka umum dan dicatat dalam register umum yang memuat:

a. Ikhtisar putusan pengadilan;

b. Uraian singkat mengenai isi putusan; c. Rehabilitasi;42

F. KEBERADAAN DAN KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang telah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004) dimungkinkan dibentuknya badan–badan peradilan khusus di samping badan-badan peradilan yang sudah ada dengan cara diatur dalam undang-undang. Demikian juga dalam pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) diberikan peluang dibentuknya pengadilan khusus. Bunyi Pasal 15 UU Kekuasan Kehakiman sebagai berikut:

Pasal 15

1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

42Rudhy. A. Lontoh, op.cit, hal 11.


(44)

2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darrusalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. Dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara) dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 15 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur mengenai peradilan syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suatu bentuk contoh nyata dari pengadilan khusus. Ada beberapa bentuk pengadilan khusus lainnya, antara lain:

1. Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang berada di bawah lingkup peradilan umum. 2. Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan Undang-undang No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup peradilan umum.43

Dalam Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2004 tentang Pengadilan Umum, secara tegas juga dinyatakan : Dilingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.

43Denny Kailimang, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU,(Bandung:


(45)

Krisis moneter yang melanda Indonesia dipertengahan tahun 1997 menyebabkan banyaknya perusahaan yang collapse dan terlilit utang. Atas tekanan International Monetary Fund (IMF) melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kepailitan (Fallisements-verordening staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto staatsblad Tahun 1906 Nomor 348). IMF merasa bahwa peraturan

kepilitan merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama itu kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. Oleh karena itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 (Perpu No. 1 Tahun 1998) dan kemudian dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Perpu tersebut ditetapkan sebagai Undang-undang. Dengan Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 tersebut, pengadilan niaga untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo .UU No.1 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut: Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan pengadilan niaga tersebut merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum.

1. Kedudukan Dan Pembentukan Pengadilan Niaga

Pengadilan niaga yang pertama kalinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No. 1 Tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi lingkup pengadilan niaga sebagaimana dalam bagian Ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UU Kepailitan yang bunyinya sebagai berikut:


(46)

Pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa memutus perkara yang menjadi ruang lingkup tugas pengadilan niaga.

Pengadilan niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mana pengadilan niaga tersebut berwenang untuk menerima permohonan kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup seluruh wilayah Indonesia. Dalam pasal 281 ayat (2) Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No.1 1998. Tegas bahwa pembentukan pengadilan niaga selain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Kemudian dengan Keputusan Presiden No 97 Tahun 1999, pemerintah membentuk pengadilan niaga pada empat wilayah pengadilan negeri lainnya, yaitu di Pengadilan Negeri Ujung Padang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Dengan dibentuknya empat Pengadilan niaga tersebut, pembagian wilayah yurisdiksi relative bagi perkara yang diajukan kepada pengadilan niaga menjadi sebagai

berikut :

1. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Padang meliputi wilayah provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.

2. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Daerah Istimewa Aceh.


(47)

3. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.

4. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, meliputi provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.44

Dengan pembagian kewenangan tersebut, kewenangan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya terbatas daerah hukumnya yang meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Untuk mengatasi masalah peralihan kewenangan antara pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pengandilan niaga pada pengadilan negeri lainnya, dalam pasal 4 Keppres No. 97 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut :

1. Sengketa dibidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan pengadilan niaga pada pengadilan-pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa, tetapi belum diputus oleh pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2. Sengketa dibidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan pengadilan-pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh pengadilan niaga.45

44Ibid, hal 24.


(48)

2. Kompetensi Pengadilan Niaga

Dalam Pasal 300 ayat (1) UU Kepailitan secara tegas dinyatakan :

Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.

Hal ini berarti pengadilan niaga selain mempunyai kewenangan absolut untuk memeriksa setiap permohonan pernyataan pailit dan PKPU,

juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang juga menjadi kewenangan pengadilan niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan Intelektual.46

Selain itu, UU Kepailitan juga mempertegas kewenangan Pengadilan Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, yaitu pada Pasal 303 UU Kepailitan berbunyi:

Pengendalian tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausal arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini.

46Ibid, hal 35.


(49)

3. Hakim Pengadilan Niaga

Pengadilan niaga dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan atau PKPU pada tingkat pertama dilakukan oleh hakim majelis. Dalam hal menyangkut perkara lain dibidang perniagaan.47

a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;

Hakim pengadilan niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan niaga antara lain:

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan dibidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga;

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada pengadilan.48

Dilihat dari syarat-syarat untuk menjadi hakim pengadilan niaga sebagaimanadimaksud di atas (khusus poin 1), sudah dapat dipastikan haruslah hakim karier. Namun demikian, ternyata UU Kepailitan ini memberikan peluang dimana dimungkinkannya adanya syarat-syarat berikut:

a. Mempunyai keahlian;

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan dibidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga;

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan

47Ibid, hal 37.


(50)

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada pengadilan.

Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan Presiden atau usul Ketua Mahkamah Agung baik pada pengadilan tingkat pertama, kasasi maupun pada peninjauan kembali.Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita.

G. Penundaan Kewajiban Dan Pembayaran Utang (PKPU)

Tentang pengunduran pembayaran atau penundaan pembayaran yang diatur dalam bab kedua peraturan kepailitan yang lama ada perubahan judul menjadi penundaan kewajiban yang lama ada perubahan judul menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diatur dalam bab kedua Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan Nomor 4 Tahun 1998, mulai dari pasal 212-279.

Sementara itu dalam UUK yang baru yaitu UU Kepailitan No.37 Tahun 2004 mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam yang terdiri dari dua bagian, yakni: Bagian Kesatu tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan akibatnya (Pasal 222-pasal 264) dan bagian kedua : tentang Perdamaian (pasal 265-pasal 294)

a) Maksud dan Tujuan

Pasal 212 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa: debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat


(51)

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagaian utang kreditor konkuren. Maksud penundaan kewajiban pembayaran utang, pada

umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.49

b) Yang Berhak Meminta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Dalam UUK No. 37 Tahun 2004 pasal 222 ayat (2) dan (3) pada prinsipnya mengatur hal yang sama dengan UUK 1998, hanya dalam UUK No. 4 Tahun 1998 langsung menunjuk “kreditor” saja. Menurut penjelasan pasal 222 ayat (2) yang dimaksud dengan “kreditor” adalah setiap kreditor baik konkuren maupun kreditor yang didahulukan, berarti termasuk Kreditor Preferen maupun Kreditor Separatis. Tujuan penundaan

kewajiban pembayaran utang pembayaran utang adalah untuk memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

Yang dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang adalah debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jauh waktu dan dapat ditagih (lampiran pasal 213 UUK). Akan tetapi berdasarkan ketentuan pasal 222 ayat (1) UUK No. 37 Tahun 2004, PKPU dapat diajukan oleh Debitor maupun oleh kreditor. Dalam hal debitor adalah bank, perusahan

49Ibid, hal 165.


(52)

efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahan asuransi, perusahan reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ayat (4), ayat (5).

Permohonan PKPU sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 222 UUK harus diajukan debitor kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UUK yang ditanda tangani oleh debitor sendiri dan oleh pemohon advokatnya (dalam UUK 1998 oleh penasehat hukumnya) atau disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor serta surat bukti secukupnya.50

Menurut pasal 224 ayat (5) UUK 2004 (hal ini sebelumnya diatur dalam pasal 213 ayat 2 UUK 1998), bahwa pada surat permohonan. Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dilampirkan rencana perdamaian. Dalam ayat (6), pasal 224 UUK 2004 disebutkan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang. Dan pada sidang sebagaimana tersebut di atas, debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan bila ada, rencana perdamaian (ayat 3 dan 4).

50Ibid, hal 235.


(53)

pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam hal debitor adalah Perseroan Terbatas (PT) maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untukmengajukan permohonan pailit.


(54)

45

Hukum waris merupakan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang didalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang, baik berupa barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang tidak berwujud pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup. Dalam kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat, peralihan hak dan kewajiban tersebut dalam proses peralihannya dan kepada siapa dialihkan, serta kapan dan bagaimana cara pengalihannya diatur berdasarkan hukum waris adat.

Ter Haar dalam “Baginselen en stelsel van het adat recht” (Soerojo Wignjodipoero) menyatakan bahwa hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Selanjutnya, Soerojo Wignjodipoero memperjelas bahwa hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.Sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum


(55)

waris, tentang harta warisan, pewaris, dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.

Dalam hal ini kelihatan adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Dijelaskan juga, dari pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris. Berdasarkan batasan-batasan di atas, pada prinsipnya dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah warisan memiliki tiga unsur penting yaitu (1) adanya seseorang yang mempunyai harta peninggalan atau harta warisan yang wafat, yang disebut dengan si pewaris, (2) adanya seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan, yang disebut waris atau ahli waris, (3) adanya harta peninggalan atau harta warisan yang ditinggalkan pewaris, yang harus beralih penguasaan atau pemilikannya. Bila dilihat dalam pelaksanaan, proses penerusan warisan kepada ahli waris sehubungan dengan unsur di atas sering menimbulkan persoalan, seperti (a) bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dalam hal ini banyak dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan itu berada, (b) bagaimana dan harus sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris, (c) bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada. Sebelum membahas masalah pewarisan lebih lanjut, perlu mengetahui terlebih dahulu beberapa hal pokok


(56)

diantaranya adalah sistem pewarisan, bentuk dan asal harta warisan, para ahli waris dan proses pewarisan.

Di dalam sistimatika Hukum Perdata Barat yang berlaku sekarang, hukum waris dimuat dalam buku II. Dengan demikian, maka hak waris dianggap sebagai hak kebendaan.

Menurut Pitlo, sebabnya hukum waris dimuat dalam buku yang mengatur hak kebendaan,terjadi karena ada simpang siur dua prinsip.

Menurut hukum Romawi, warisan dipandang sebagai benda yang tak bertubuh sebagai suatu barang yang berdiri sendiri, terhadap mana para warisan mempunyai kebendaan. Lain daripada itu para ahli waris mempunyai hak milik bersama yang bebas (vrij medeeigendom).Sebaliknya dalam hukum Jermania kuno, orang tidak mengenal suatu waris benda yang berdiri sendiri.Juga tidak dikenal hak kebendaan khusus bagi para ahli waris. Dan diantara para ahli waris terdapat hak milik bersama yang terikat (gebonden medeeigendom). Dengan demikian, ada perbedaan yang sangat prinsipil, antara Hukum Romawi dan Hukum Jermanis kuno yang mengenal hukum waris.81

81 Lukman Hakim ,Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan

Dengan Penyusunan Hukum Waris, Simposium Hukum Waris Nasional,( Jakarta:2000),hal 80. Adapun hukum waris sebagaimana ditentukan dalam hukum perdata barat yang sekarang berlaku, pada dasarnya lebih menyerupai hukum Jermanis kuno.

Pengaruh Hukum Jermanis atas susunan hukum waris positif kita, jelas terlihat pada deretan ketentuan-ketentuan, yaitu hukum yang berdasarkan kematian saja yang membuka warisan. Tetapi dengan demikian, hukum waris yang berdasarkan wasiat merupakan pelanggaran yang dibolehkan.


(57)

A. Terbukanya Warisan

Pasal 830 KUHPerdata menyatakan: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Ini berarti seseorang yang masih hidup tidak berhak/tidak diperkenalkan untuk mewariskan hartanya. Demikian pula halnya seperti yang diatur pada pasal 1334 KUHPerdata :

Tetapi tidaklah diperkenalkan untuk terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan suatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu.

Dalam pasal 474 KUHPerdata ada dinyatakan sebagai berikut:

Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.

Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/ harta benda saja yang dapat diwariskan. Tetapi ada beberapa kekecualiaan, misalnya: hak seseorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya dan hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya ( kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang diwaris oleh warisnya.82

82Ibid, hal 85.

Untuk jelasnya harta peninggalan baru terbuka, apa bila sipeninggal waris meninggal dunia.


(1)

dapat dipertanggung jawabkan, dimana mengakibatkan tidak terciptanya kontra prestasi yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan “Prinsip kedudukan seimbang” yang dianut oleh hukum itu sendiri.

Secara mendasar pengertian pertanggung jawaban diartikan dengan suatu kondisi dimana ada suatu pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya (baik perbuatan maupun tidak berbuat), pertanggungjawaban mana disebabkan adanya kerugian yang dialami seseorang baik dari segi materil maupun sprituil. Pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain biasanya praktis baru ada apabila orang lain itu melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad). Memang sudah selayaknya bilamana orang yang karena perbuatan hukum yang dilakukannya memikul sendiri kerugian yang dideritanya.

Persoalan pertanggung jawaban tidak terlepas atu tidak terlepas dari masalah ganti rugi. Masalah ganti rugi ini dalam Buku III KUH Perdata bervariasi, jika ganti rugi disandarkan kepada adanya wanpretasi maka bentuk ganti ruginya ditekankan pada nilai uang, sementara bila perbuatan melawan hukum yang menjadi sandaran maka ganti ruginya bisa bermacam-macam, antara lain:

a. Ganti rugi dalam bentuk uang

b. Ganti kerugiaan dalam bentuk natural dan pengembalian kepada bentuk semula

c. Pertanyaan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum

d. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum


(2)

68

Di dalam penyelesaian harta peninggalan yang dinyatakan pailit sebetulnya tidak ada perbedaan dengan suatu penerimaan warisan dengan hak pendaftaran. Bedanya di dalam penerimaan dengan hak pendataran, seoarang waris sendiri yang pekerjaan dilakukan oleh seorang pengampu (curator).112

pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check List sebaiknya digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya kekurangan yang terjadi.

Adapun sebab mengapa masih diadakan kemungkinan untuk menyatakan pailit sesuatu warisan, sedangkan sudah ada cara penyelesaian segala urusan dengan suatu penerimaan oleh waris dengan hak pendaftaran ialah : para crediteur dari pewaris diberi kemungkinan untuk menuntut pailit terhadap suatu warisan, jika timbul keragu-raguan tentang kejujuran waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran barang peninggalan.

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Untuk memastikan pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan


(3)

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

2. Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selamakepailitanjatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja merugikan debitor pailit, tetapi juga para kreditornya.

3. Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit


(4)

70

berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggungjawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Saran

Sebelum diakhiri penulisan skripsi ini akan dicoba saran yang dianggap perlu, sebagai berikut :

1. Untuk menghindari terjadinya benturan keadilan sebaiknya para kreditor pailit tidak mengajukan kepailitan terhadap ahli waris debitor pailit ke pengadilan niaga dan sebaiknya mengajukan gugatan secara perdata. 2. Apabila gugatan pailit para kreditor diterima oleh pengadilan negeri niaga

sebaiknya para debitor waris mengajukan PKPU atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Untuk memastikan pertanggungjawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check List sebaiknya digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya kekurangan yang terjadi.


(5)

Ali, Mohamad Chidir, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Bandung, Penerbit Mundur Maju, 1995.

Artmanda W, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, 2004. Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Pers, 1991.

Darmabrata, Wahyono, Asas-Asas Hukum Waris, Jakarta, Cetakan Pertama, 1994. Djohansyah, J, Pengadilan Niaga, Bandung, Alumni, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.

Hakim, Lukman, Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, Jakarta, Simposium Hukum Waris Nasional, 2000.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang, UMM Press, 2008.

Hartono, Sri Rejeki, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jakarta, Majalah Hukum Nasional, 1981.

Hartono, Sri Sumantri, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta, Liberty, 1981.

Kailiamang, Denny, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU, Bandung, Penerbit Alumni, 2001.

Khairandy, Perlindungan Dalam UU Kepailitan, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis, 2002.

Lontoh, A. Rudhy, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit, Penerbit Alumni, 2001.

Perangin-angin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta, Universitas Indonesia, 1995. Poerwardaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,

2006.


(6)

72

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1983.

Satrio, J, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992.

Shubhan, Hadi. M, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik di Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada, 2007.

Situmorang, M. Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1994.

Sjadeni, Sutan Remi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2002. Subekti, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980.


Dokumen yang terkait

Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

10 159 93

Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank Oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3 72 165

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

13 163 123

Pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan

2 59 2

Perlindungan Hukum Terhadap Kurator Dalam Melaksanakan Tugas Mengamankan Harta Pailit Dalam Praktik Berdasarkan Kajian Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1 3 18

Dampak Pemberi Waralaba (Franchisor) Asing yang Dipailitkan Terhadap Penerima Waralaba (Franchisee) Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

0 0 2

31 UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 62

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Penyebab Terjadinya Kepailitan - Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Kreditu

0 0 28

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan - Ubharajaya Repository

0 0 17

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16