Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang
berbeda-beda Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dan kemudian bersatu
dalam satu kesatuan negara Pancasila sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum
Indonesia merdeka berbagai masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan yang
besar dan kecil yang hidup menurut hukum adatnya masing-masing, sehingga Van
Vollenhoven membagi-bagi bangsa Indonesia itu kedalam 19 lingkungan hukum
adat.1
Negara Indonesia yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat
kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan
dengan hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2)
yang berbunyi :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada kongres I pada
tahun 1999, bahwa masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang


1

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu-Islam. Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, Hlm.2.

Universitas Sumatera Utara

memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta
memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.2
Menurut Soepomo, masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua
golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan
(genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (teritorial). Dari sudut bentuknya,
masyarakat hukum adat tersebut ada yang yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari
masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat
hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa
masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat hukum
adat tersebut dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal,
bertingkat, dan berangkai.3
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya
hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan

kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari
pola-pola interaksi sosial atau hubungan inter personal maupun hubungan antar
kelompok sosial.4
Sebagian masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bertempat tinggal
di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota
masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang
2

Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat ( Hak Mengusai Negara Atas Sumber Daya Alam
Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat), PT. Refika Aditama, Bandung,
2015, Hlm. 82.
3
Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, Hlm 95.
4
Ibid, Hlm 91.

Universitas Sumatera Utara

diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun bahkan adat-istiadat merupakan
dasar utama hubungan antar personal atau kelompok.5

Adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang
menjadi hukum adat dimana diharus dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat.
Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk
mencapai kedamaian dalam masyarakat.6
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah peraturan perundang-undangan.
Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia
perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai
dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.
Istilah hukum adat adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu
adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht
itu. Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh van Vollenhoven
sebagai teknis Juridis.7
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif
yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain tidak dikodifikasikan
(adat). Sedangkan menurut Terhaar, “ hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh
keputusan-keputusan, keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan
5

Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan dalam Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007, Hlm. 26.
6
Beni, Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hlm.156.
7
Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, PT. Pradnya Pramita, Jakarta,
2006. Hlm.1.

Universitas Sumatera Utara

beribawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatanperbuatan hukum atau dalam hal pertentangan kepentingan. Keputusan para hakim
yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena
kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan hukum rakyat
melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau setidaktidaknya ditoleransikan olehnya”. 8
Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia
menjadi 19 (Sembilan belas) lingkungan hukum adat, adapun 19 (Sembilan belas)
lingkungan hukum adat yaitu:9
1. Aceh ( Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeule)
2. Tanah Gayo, Alas, Batak beserta Nias
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
4. Sumatera Selatan

5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. Minahasa
9. Gorontalo
10. Daerah Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Kepulauan Ternate
13. Maluku, Ambon
14. Irian
15. Kepulauan Timor
16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
17. Jawa Tengah dan Timur ( Beserta Madura)
18. Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa Barat

8

Abdul Rahman, Japondang, dkk, Pengantar Hukum Adat-I. Fakultas Hukum Universitas Darma
Agung, Medan, 1990, Hlm. 10.

9
Soerjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta,
1996, Hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan masyarakat hukum adat di atas dengan bagian-bagian lingkungan,
suku bangsa, tempat kediaman dan daerahnya sebagaimana diuraikan tersebut adalah
berdasarkan kenyataan-kenyataan yang diketemukan atau diperkirakan pada masa
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk masa sekarang agaknya pembagian
serupa itu sudah tidak sesuai lagi dikarenakan terjadinya perubahan dan
perkembangan masyarakat.
Dengan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari suatu daerah ke
daerah lain (transmigrasi), akibat pelaksanaan pembangunan, percampuran penduduk
dari berbagai suku bangsa, dan sebagainya maka lingkungan hukum adat dan
masyarakat hukum adat sudah mengalami perubahan. Mengenai bentuk masyarakat
hukum adat dan wilayah hukum adat diatas, maka perlu diketahui bahwa suku bangsa
Indonesia memiliki 366 suku bangsa, tersebar di seluruh kepulauan nusantara yang
terdiri atas:
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
Di

Sumatera terdiri dari 49 suku bangsa
Jawa terdiri dari 7 suku bangsa
Kalimantan terdiri dari 73 suku bangsa
Sulawesi terdiri dari 117 suku bangsa
Nusa Tenggara terdiri dari 30 suku bangsa
Maluku-Ambon terdiri dari 41 suku bangsa
Irian Jaya terdiri dari 49 suku bangsa10
dalam masyarakat hukum adat terdapat adat-istiadat. Di dalam adat-istiadat

tersebut masyarakat bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda, juga mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan
sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak

10

C.Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Penerbit PT Refika Aditama,
Bandung, 2014. Hlm. 32

Universitas Sumatera Utara

dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem
keturunan yang berbeda–beda ini bisa berdampak pengaruhnya dalam sistem
pewarisan hukum adat.11
Pembangunan hukum nasional haruslah berakar dan diangkat dari hukum
rakyat yang ada, sehingga hukum nasional Indonesia haruslah mengabdi pada
kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.12
Kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sepanjang hidupnya,
dimana hukum adat itu masih berlaku dan masih dianut oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Meskipun demikian, keberlakuan hukum adat tersebut terbatas
hanya pada bidang-bidang hukum tertentu, dimana salah satu dari bidang hukum
yang dimaksud adalah bidang hukum kewarisan. Untuk masalah kewarisan belum ada
hukum waris nasional ataupun undang-undang yang mengatur mengenai masalah
pewarisan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa :
“Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia kini dan
masa yang akan datang di dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 maka untuk
menyusun hukum nasional diperlukan adanya konsepsi dan asas-asas hukum
yang berasal dari hukum adat.13

11

Hilman Hadikusuma. Hukum Waris adat. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hlm. 23.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, BPHN, 1976, Hlm 251.
13
Hilman Hadikusuma, Op.cit. Hlm. 1.
12

Universitas Sumatera Utara

Terdapat pluralisme hukum waris di Indonesia. Hukum waris yang berlaku di
Indonesia terdiri atas hukum waris menurut hukum Perdata Barat, menurut hukum

Islam dan hukum waris menurut hukum Adat. Masing-masing hukum waris tersebut
berlaku pada subjek hukum yang berbeda. Bagi mereka yang beragama Islam,
berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan dan dibolehkan apabila
para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut dengan hukum
waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka. Namun, jika terjadi
sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum
waris mana yang akan digunakan dalam membagi warisan tersebut.14 Dengan tidak
adanya hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional di Indonesia,
karena Negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat dan istiadat, bahasa dan
Agama, sehingga menyulitkan terbentuknya hukum Waris Nasional. Mengenai hal
tersebut, berlakunya hukum waris tersebut tergantung pada golongan penduduk yang
ada terhadap hukum mana penduduk tersebut menundukkan diri. Menurut Hilman
Hadikusuma bahwa:
“Pada kenyataannya sampai saat ini bagi warga Negara Indonesia keturunan
Eropa dan Timur asing/cina masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur
dalam KUH Perdata buku II Bab XII sampai Bab XVIII. Sedangkan warga
Negara Asli masih tetap hukum waris Adat yang diatur menurut susunan
masyarakat adat yang bersifat Patrineal, Matrineal dan Parental/Bilateral.
Disamping itu, bagi keluarga-keluarga indonesia yang menaati hukumnya
melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.15


14

Soerojo Wignjodipoero. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Gunung Agung, Jakarta,
1995. Hlm. 173.
15
Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 2

Universitas Sumatera Utara

Suatu perkawinan dapat dikatakan putus atau berakhir, menurut Pasal 38
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikarenakan kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perkawinan putus karena kematian sering
disebut masyarakat dengan istilah “ Cerai mati”.16 Kematian sangat erat berhubungan
dengan masalah kewarisan. seorang manusia selaku anggota masyarakat selama
masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai perbagai hak-hak
dan kewajiban terhadap orang-orang lain dari masyarakat itu dan terhadap barangbarang yang berada dalam masyarakat itu. Maknanya ialah ada bermacam-macam
hubungan hukum antara satu pihak yang disebut dengan manusia dan dunia luar
sekitarnya.
Ketika seseorang yang pada saat karena usianya yang sudah uzur atau karena
mengalami kejadian sesuatu, misalnya terjadi kecelakaan, terserang penyakit dan
lain-lain seseorang itu meninggal dunia akan mengakibatkan hubungan-hubungan
hukum tersebut tidak akan hilang dikarenakan seseorang yang telah meninggal dunia
masih mempunyai keluarga dan sanak suadara yang ditinggalkan.17 Suatu kematian
akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan.
Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada ditangan si meninggal secara
hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si
meninggal.

16

Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014. Hlm.117
17
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesa, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta,
2000, Hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris ketika pewaris wafat, timbul
masalah pembagian harta warisan yang dapat dibicarakan dari sudut hukum waris
Islam atau waris KUH Perdata, tetapi jika melihat dari sudut hukum Adat maka pada
kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau
pengalihan harta kekayaan kepada waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta
dari pewaris kepada waris sebelum pewaris wafat dapat terjadi dengan cara
penunjukan, penyerahan, kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh
pewaris kepada waris.
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa
“Hukum Waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang
tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrineal, matrineal,
parental dan bilateral‟‟.18
Masalah warisan berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. 19 Jadi
dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.
Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri. Biasanya
hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan
yang mereka anut.
18

Hilman Hadikusuma.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2014, Hlm. 203
19
Ibid, Hlm. 161

Universitas Sumatera Utara

Suku Asli Negara Indonesia yang masih menerapkan hukum waris adat salah
satunya adalah suku Akit. Suku Akit adalah suku asli Propinsi Riau yang mendiami
Pulau Rupat. Selain suku Melayu yang merupakan suku Asli di Riau, tapi masih Ada
4 (empat) suku asli yang mendiami Propinsi Riau yaitu Suku Sakai, Talang Mamak,
Suku Akit dan Suku Laut yang mana suku tersebut tidak populer di kenal oleh
masyarakat Indonesia. Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selama ini
diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Sebutan
“Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka
pada zaman dahulu berlangsung di atas rumah Rakit. Dengan rakit tersebut mereka
berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka
juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk
dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah
mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.20 Namun pada saat ini jumlah masyarakat
suku Akit + 5.646.
Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam.21
Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan
hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi.
Panen beras setiap tujuh atau delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin
20

Yuli Akbar, http://sciences-city.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-perkembangan-suku-akit-dansuku.html , dilihat pada tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.00 WIB
21
Metro kini, Mengenal Lebih dekat tentang Keunikan Suku Asli di Riau,
http://www.metroterkini.com/berita-8710-mengenal-lebih-dekat--tentang-keunikan-suku-asli-diriau.html, dilihat pada tanggal 15 Desember 2015, Pukul 10.15 WIB

Universitas Sumatera Utara

terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan.
Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh pembangunan namun karena letaknya
yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau
Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku
di sekitarnya misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Meski demikian
suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek
moyangnya.22
Dahulu dalam adat dan tradisi Suku Akit jelas sekali ada pengaruh agama
Islam didalamnya. Nilai keislaman itu telah meresap dalam adat-istiadat suku Akit
paling kurang sejak mereka menjadi rakyat kerajaan Kesultanan Siak. Tapi karena
keterpencilan didukung pula oleh kurangnya bimbingan atau tuntunan Islam yang
mereka terima, maka kadar Islam yang masih dalam bentuk budayanya, segera
dimasuki kembali oleh alam animisme.23 Mayoritas suku Akit beragama Budha,
namun ada juga beragama Kristen dan Islam. Dikarenakan Suku Akit mengalami
perkawinan campuran dengan suku Cina, Batak, Jawa dan Minang.
Pada masyarakat suku Akit, anak perempuan dan laki-laki yang beranjak
dewasa mereka akan melakukan perkawinan sesama sukunya. Anak perempuan suku
Akit akan dinikahkan jika umur anak tersebut sudah 18 tahun, dan akan mengikuti
suaminya. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang
22

Julianus P Limbeng, Suku Akit Menjaga dan mewarisi tradisi Adat.
http://xeanexiero.blogspot.co.id/2007/12/suku-akit-menjaga-dan-mewarisi-tradisi.html, dilihat pada
tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.25 Wib
23
UU. Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, Zamrad untuk Pusat
Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 1991. Hlm. 175

Universitas Sumatera Utara

perempuan akan menyatukan secara lahir bathin. Suatu ikatan lahir bathin
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri.
Masyarakat suku Akit menarik garis keturunan secara Patrineal, bisa dilihat
dari sistem perkawinan yang dimilikinya. Dalam hal perkawinan, anak laki-laki
membeli anak perempuan dengan cara menyerahkan uang adat, setelah itu anak
perempuan tersebut akan ditarik kedalam keluarga pihak laki-laki. Dengan adanya
pembayaran uang adat, hubungan antara anak perempuan dengan pihak keluarganya
telah terputus, termasuk dalam hal pewarisan
Dalam pembagian harta waris, suku Akit mengenal adanya pembagian
warisan berdasarkan garis keturunan. Masyarakat suku Akit menganut sistem
keturunan Patrineal, yang mana kedudukan anak laki-laki lebih berperan
dibandingkan kedudukan wanita dalam pewarisan. Anak laki-laki yang berhak
mewaris dikarenakan anak laki-laki nantinya dianggap sebagai penerus keluarganya,
lebih berharga dan lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan.24 Namun,
dalam kenyataannya didalam pembagian warisan masyarakat suku Akit yang
memiliki sistem Patrineal, membagikan harta warisan kepada anak perempuan.
Seharusnya anak laki-laki saja yang medapatkan harta warisan, sedangkan anak
perempuan tidak mendapatkan harta warisan.

24

Wawancara dengan Athang, Selaku Wakil Kepala Adat Suku Akit, Pada tanggal 06 Februari
2016, Pukul 11.30 WIB

Universitas Sumatera Utara

Melalui latar belakang masalah tersebut, maka sangat menarik untuk mengkaji
Hukum Waris Adat Suku Akit. Untuk mengetahui Pembagian waris Masyarakat Adat
Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, dengan sistem
kekerabatan Patrineal (garis keturunan laki-laki atau Ayah) perlu diadakan penelitian
dengan teliti agar diketahui secara benar tentang hukum waris adat masyarakat suku
Akit, dan cara pembagian harta waris itu dilakukan.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, sangat menarik
untuk mengkaji lebih jauh mengenai sistem pembagian warisan pada masyarakat
Adat Suku Akit. Sehingga di angkat suatu penelitian yang berjudul “Pembagian
Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat
Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Apakah Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau merupakan Masyarakat Hukum Adat?.
2. Bagaimanakah pembagian waris menurut Hukum Adat Masyarakat Suku
Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau?.
3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku
Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau?.

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Suku
Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sebagai
masyarakat hukum Adat
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian waris adat dalam Suku
Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan penyelesaian sengketa dalam
Pembagian Waris Adat Dalam Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau
Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dari tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan
kontribusi bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya yang berkaitan
dengan masalah Hukum Waris Adat
b. Menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis, pada masa
mendatang.

Universitas Sumatera Utara

2. Secara Praktis
a. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang pembagian hukum waris adat dalam Masyarakat Adat
Suku Akit.
b. Bagi semua pihak terutama bagi praktisi, akademisi, mahasiswa yang
sehari-hari berprofesi di bidang hukum dapat memberikan masukan
baik untuk menjadi pengetahuan bagi diri sendiri namun juga
diharapkan agar dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain yang
membutuhkan masukan-masukan berkenaan dengan penyelesaian waris
dan problematikanya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik terhadap hasil
penelitian yang sudah pernah ada, maupun yang sedang akan dilakukan, diketahui
bahwa belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama
mengenai “Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi Di
Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Provinsi Riau)”. Oleh karena itu penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.
Berdasarkan penelusuran literatur sebelumnya, ada ditemukan mengenai
pelaksanaan pembagian waris namun judul penelitian, rumusan permasalahan
penelitian, objek penelitian dan wilayah penelitian yang diangkat sebelumnya
berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian tersebut antara lain :

Universitas Sumatera Utara

1. Tesis Atas Nama Marsella, NIM 027011040, dengan Judul Penelitian “
Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu ( Studi Di Kecamatan Medan
Maimoon Kelurahan Aur)”.
Dengan Rumusan Masalah:
a. Bagaimanakah porsi masing-masing Ahli Waris menurut Hukum Waris
yang berlaku pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun
Kelurahan Aur?
b. Bila momentum pembagian harta warisan diberlakukan pada Suku
Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?
c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi
pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?
2. Theresia Dewita Sinuraya (037011085).

“Perkembangan Hukum Waris

Adat Studi Mengenai Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian
Harta Warisan Di Kabupaten Karo”.
Rumusan Masalah:
a. Bagaimanakah kedudukan wanita dalam pembagian waris pada
masyarakat Batak Karo?
b. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum
Waris Adat Batak Karo tersebut?

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, satu teori harus diuji dengan mengahadapkannya kepada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.25 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis yang mungkin ia
dapat disetujui atau tidak.26
Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat)
ciri, yaitu terdiri dari teori-teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum, dan ulasan
pakar hukum berdasarkan pembidangannya. Salah satu dari ke empat ciri khas teoritis
hukum tersebut dapat dipaparkan dalam penulisan kerangka teori.27
Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori The
Living Law. Hukum adat memiliki unsur-unsur yaitu hukum yang tidak tertulis yang
berasal dari adat atau kebiasaan. Hukum adat memiliki sifat dinamis, berkembang
terus menerus dan mudah beradaptasi, proses pembuatannya tidak disengaja atau
direncanakan, mengandung unsur-unsur religius atau agama, yang fungsinya untuk

25

M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hlm.203.
M.Solly Lubis, Filasafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Medan, 2012, Hlm.129.
27
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, Hlm.79.

26

Universitas Sumatera Utara

mengatur hubungan antar sesama, ditegakkan oleh fungsionaris adat, dan memiliki
sanksi tertentu.28
Berdasarkan unsur-unsur tersebut terdapat dua konsep penting terkait dengan
adat yakni :
a. Hukum adat adalah hukum yang menjelma dari perasaan hukum nyata dari
masyarakat.
b. Hukum adat adalah hukum yang tumbuh secara terus menerus didalam
masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Dengan demikian, jika masyarakat berarti bukan saja kesadaran
dari dan pertenggangan dengan kehadiran sesamanya, termasuk juga didalamnya arti
bahwa sesamanya itu (yang ia pahami dan yang memahaminya) secara timbal balik
disangkutkan oleh manusia itu pada perbuatan yang berarti. Masyarakat adalah
pergaulan antar manusia.29
Hal ini bila dikaitkan dengan ajaran Historis Jurisprudence yang digagas
pertama kali oleh Carl Von Savigny (1779-1861) dapat dikatakan bahwa hukum itu
terjelma dari jiwa rakyat volkgeist yaitu hukum tidak diciptakan tetapi tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat terdapat hubungan organik antara hukum dengan
watak atau karakter suatu bangsa. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan
28

Jufrina Rizal, Perkembangan Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat,
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2006. Hlm. 3. lihat juga Satjipto Rahardjo,
Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1975. Hlm. 18.
29
http://www.boyyendratamin.com/2011/04/fenomena-sociolical-jurispruden-dalam.html,
dilihat pada tanggal 13 Desember 2015, Pukul 22.15 WIB.

Universitas Sumatera Utara

berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai volkgeist harus dipandang sebagai
hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat melainkan harus
ditemukan.30
Konsep hukum yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari
Friedrich Carl Von Savigny, dipertegas oleh penggagas sosiologi hukum Eugene
Ehrlich yang menyebutkan dengan fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law of people). Untuk itu, teori living law dari
Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum
yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum sosial, dalam arti
bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan
hukum sosial yang melahirkan hukum, termasuk dunia pengalaman manusia, dan
dengan demikian ditanggapi sebagai ide normatif. Terdapat empat jalan agar
kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normatif, yakni:
1. Kebiasaan
2. Kekuasaan efektif
3. Milik efektif
4. Pernyataan kehendak pribadi.31
Lebih lanjut pelopor Sociology of Law, Eugen Erlich (1862-1922) dalam
teorinya menjelaskan bahwa hukum adalah hukum sosial, ia lahir dalam dunia
pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-sehari dan terbentuk
lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang
efektif lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang
30

Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2003, Hlm.103.
31
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

hidup itu tidak ditentukan oleh kewibaan negara. Ia tergantung pada kompetensi
penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi eksterennya dapat diatur
oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi interennya hubunganhubungan dalam kelompok sosial tegantung dari anggota-anggota kelompok itu
sendiri

seperti

inilah

living

law

hukum

sebagai

norma-norma

hukum

(Rechtsnormen).32
Eugen Erlich menempatkan volkgeist-nya Savigny dalam fakta-fakta hukum
(fact of law) dan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law of the people).
The living law menurut menurut Eugen Erlich seperti yang dikutip oleh Ahmad Ubbe
dapat digambarkan dalam berbagai pernyataan. Pertama, The living law ditemukan
dalam kebiasaan yang sekarang berlaku didalam masyarakat, khususnya dari norma
yang tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok dan didalam kelompok itu
warga masyarakat terlibat.
Kedua, ditambahkan bahwa the living law adalah hukum yang mendominasi
kehidupan masyarakat meskipun tidak selalu diubah menjadi formal kedalam
proposisi-proposisi legal namun living law mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat.
Ketiga, the living law merupakan suatu tertib dalam kehidupan masyarakat
merupakan pola-pola kultur hukum yang tidak pernah statis. Nilai-nilai berubah,
sikap-sikap tentang perbuatan telah berubah dari waktu kewaktu, konsep-konsep yang
ditentukan berubah dari tahun ketahun. Keempat, ditegaskan bahwa the living law

32

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

hanya dapat diketahui dengan suatu penelitian atau observasi terhadap orang-orang
tertentu. 33
Satjipto Rahardjo dengan mengutip Vinogradof menguraikan bahwa the living
law timbul secara serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik secara
langsung tumbuh dari konversi, baik bagi masyarakat maupun perorangan itu sendiri.
Tidak timbul karena inisiatif Undang-Undang dan karena timbulnya perselisihan
melainkan dari praktik sehari-hari yang dituntun oleh pertimbangan memberi dan
mengambil dari suatu lintas perhubungan yang adil (reasonable) dan kerja sama
sosial.34 Maka berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan diatas teori yang
akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori The Living
Law.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian
ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan.
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari
hal yang berbentuk khusus disebut definisi operasional.35

33

Jufrizal Rizal, Op.Cit, Hlm.4. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum
yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm.
18.
34
Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living
Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm. 19.
35
Samadi Suryabrata. Metodologi Penelitian. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Hlm 31

Universitas Sumatera Utara

Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.36
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara abstraksi dengan realita.37 Tujuan
utama konsepsi adalah untuk menghindari salah pengertian dan penafsiran terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.
Beberapa konsep atau istilah yang akan digunakan oleh penulis agar di dalam
pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang
sudah ditentukan sebagai berikut :
a. Hukum Waris adat adalah hukum waris yang memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele
goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.38
b. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh suami istri selama
perkawinan atas usaha sendiri dan sebagai usaha milik bersama.39
c. Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri
kedalam suatu perkawinannya. Harta benda yang diperoleh masing-masing
baik hadiah atau warisan.
d. Pembagian Waris adalah penyelesaian harta warisan yang ditinggalkan
pewaris yang dilakukan antara para ahli waris
e. Harta Warisan adalah harta kekayaaan dari pewaris yang telah wafat,
baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi.40
f. Bathin adalah suatu gelar kepala Adat suku Akit sebagai pemegang
kekuasaan formal dalam wilayah sukunya dengan asas adat dan
memiliki tugas menjaga keharmonisan pergaulan warga sukunya
dengan kendali adat yang dianggap pemimpin suku atau disebut juga
36

Burhan Ashshofa. Metodologi Penelitian Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, 1996. Hlm. 19.
Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, Hlm.34.
38
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, Hlm.1.
39
Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2015, Hlm. 138.
40
H.Hilman Hadikusuma. Op.cit, Hlm.11
37

Universitas Sumatera Utara

Kepala suku.41
g. Kecamatan Rupat Utara adalah sebuah desa terpencil yang terletak di
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau yang menjadi tempat tinggal tetap
bagi lebih dari 500 kepala keluarga masyarakat suku Akit.
G. Metode Penelitian
Pada penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan
ilmu pengetahuan induk. Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau segala hukum dengan jalan menganalisanya.42 Metodologi yang dimaksud
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berdasarkan suatu sistem
dan konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.43
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis empiris yaitu
suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat
langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan kenyataan
hukum di dalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di
dalam masyarakat yang berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan
mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan

41

UU. Hamidy. Op.cit, Hlm. 166.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001, Hlm.42.
43
Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988,
Hlm.10.
42

Universitas Sumatera Utara

hukum.44 Penelitian Empiris yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan
interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja dalam masyarakat.45
2. Sifat Penelitian
Adapun sifat penelitian adalah deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis
yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis
dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
pembagian waris Suku Akit yang kemudian diteliti melalui sampel atau data yang
telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum dari masalah yang
dibahas.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini di Kecamatan Rupat Utara, Pulau
Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi, adalah sekumpulan obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala
atau seluruh kejadian unit yang akan diteliti.
Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat suku
Akit yang tinggal di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau.

44

Zainuddin Ali, Op.cit, Hlm.105.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, 2010, Hlm. 49.
45

Universitas Sumatera Utara

b. Sampel
Untuk

mempermudah

penelitian maka

ditentukan sampel. Sampel

merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan objek penelitian yang
dianggap dapat mewakili keseluruhan Populasi, dan metode yang digunakan
untuk menentukan sampel adalah Metode Purposive Sampling.
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah Masyarakat suku Akit
jumlah 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga yang tinggal di Kecamatan
Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Adapun
penentuan syarat sampel ini yaitu:
1. Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum
Adat
2. Masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di Kecamatan
Rupat utara
3. Masyarakat Adat suku akit yang masih menggunakan hukum Adatnya
5. Responden dan Informan Penelitian
a. Responden
Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat adat suku Akit yang
Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum
Adat, masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di
Kecamatan Rupat utara dan masyarakat Adat suku Akit yang masih
menggunakan hukum Adatnya. Adapun jumlah Responden penelitan
sebanyak 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga suku Akit di Pulau Rupat,
Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.

Universitas Sumatera Utara

b. Informan
Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara
sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan
objek penelitian yang terdiri dari:
1. Kepala Adat Suku Akit ( Bathin) jumlahnya 4 (empat) orang
2. Kepala Penghulu Desa Titi Akar jumlahnya 1 (satu) orang
3. Dosen Hukum Adat Jumlahnya 1 (satu) orang
4. Dosen Antropologi Hukum Jumlahnya 1 (satu) orang
6. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu :
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik
melalui wawancara, kuisioner, observasi (baik partisipasi maupun non
partisipasi).
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian daalam bentuk
laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data
sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi
sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan
hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit
sebagai masyarakat Hukum Adat.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil
penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,
jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data
elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.
7. Teknik Pengumpulan Data
Adapun Teknik Pengumpulan Data yang di gunakan adalah:
a. Penelitian Kepustakaan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan
penelitian kepustakaan (library resarch), yaitu dengan mengumpulkan dan
mempelajari serta menganalisa ketentuan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit sebagai masyarakat
Hukum Adat.

Universitas Sumatera Utara

b. Penelitian Lapangan
Penelitian Lapangan (field research) dalam penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan data pendukung yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian
Lapangan ini dilaksanakan selama + 3 (tiga) bulan di Kecamatan Rupat
Utara, Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis. Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
pengamatan langsung. Pengamatan langsung terhadap kehidupan
masyarakat suku akit serta upacara perkawinannya dengan cara melihat
langsung dan mengabadikannya lewat foto (kamera).
2. Wawancara, yaitu tanya jawab langsung dengan informan secara
terstruktur dengan menyiapkan pedoman wawancara yang diarahkan
kepada masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan kepada
Kepala suku Akit (Bathin), Kepala Desa Titi Akar, Ketua Pengadilan
Negeri Bengkalis, Kepala Kantor Kecamatan Rupat Utara, dan Kepala
Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis serta
masyarakat suku Akit yang pernah melakukan pembagian harta warisan,
hasil wawancara tersebut direkam serta ditulis di buku.
3. Kuisioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membuat
daftar-daftar pertanyaan yang memiliki korelasi dengan permasalahan
yang diteliti, yang pada umumnya dalam daftar pertanyaan itu telah
disediakan jawaban-jawabannya kepada responden. Dengan demikian

Universitas Sumatera Utara

responden hanya diberi tugas untuk memilih jawaban sesuai dengan
seleranya. Kendatipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pula
bahwa dalam kuisioner itu bentuk pertanyaannya model essei, dimana
hal

ini

responden

sendirilah

yang

memberikan

jawabannya.

Penggunaan kuisioner ini amat efektif bila jumlah sampelnya banyak.
Teknik penelitian kuisioner ini dilakukan kepada Masyarakat suku
Akit yang pernah melakukan pembagian warisan.
8. Analisis Data
Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam
rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti46. Analisis data adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan
satuan urutan dasar.47 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data dengan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data terhadap data primer
dan data sekunder.
Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang
menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang
terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek
penelitian.48

46

Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara dalam
Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm. 143.
47
Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hlm. 3.
48
Johan Nasution. Metode Penelitian Hukum. Mandar Maju, Jambi, 2008, Hlm. 174.

Universitas Sumatera Utara

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang
diperoleh dari penelitian lapangan kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai
dengan data yang sejenis. Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun
secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif dengan
metode deskriftif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh
tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pembagian waris adat suku Akit di
Kecamatan Rupat Utara.
Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan dengan
menggunakan kerangka berfikir Induktif kualitatif.

Universitas Sumatera Utara