Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)

BAB II
MASYARAKAT SUKU AKIT SEBAGAI MASYARAKAT HUKUM ADAT
A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia tahun 1998, keberadaan masyarakat
hukum adat menjadi salah satu primadona pembicaraan di kalangan ahli hukum dan
ahli antropologi hukum, Karena secara faktual masyarakat hukum adat di Indonesia
sudah ada sejak jaman nenek moyang sampai saat ini dan selalu memerlukan
perlindungan hukum dan pemenuhan yang memadai dari sisi hukum. Namun, karena
adanya beberapa pemaksaan pelaksanaan unifikasi hukum maka keberadaan
masyarakat hukum adat seakan tertutup oleh konsep hukum negara (state law).
Namun demikian, meskipun sering terpingkirkan dan terlupakan, masyarakat hukum
adat beserta atribut tradisionalnya masih ada di nusantara.49
Istilah masyarakat adat sering disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat.
Beberapa

pakar

membedakan

penggunaan


istilah

tersebut

yang

tentunya

pendefinisian ini dipengaruhi oleh pandangan dan latar belakang mereka. Istilah
“masyarakat adat” merupakan terjemahan dari kata indigenous peoples (bahasa
Inggris) yang dibedakan dengan istilah masyarakat hukum adat yang merupakan
terjemahan dari istilah rechtgemencshap (Bahasa Belanda). Di Indonesia istilah

49

Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat atas Tanah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, berkerjasama dengan Lembaga Penerbitan
Universitas Khairun Ternate Maluku Utara, 2010, Hlm.29.

Universitas Sumatera Utara


indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi “masyarakat asli”, melainkan

menjadi “masyarakat adat”.50
Ada perbedaan mendasar antara pengertian “masyarakat” dengan “masyarakat
hukum adat” Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan
kebudayaan. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (kumpulan orang yang
hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan
dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara
tersendiri. Kelompok ini secara sempit baik maupun luas mempunyai perasaan akan
adanya persatuan diantara anggota kelompok dan menganggap kelompok tersebut
berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan
dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata
tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas.
Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian
yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut).
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan
dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian
umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan

masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk
sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan
lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas
50

Ibid. Hlm. 42

Universitas Sumatera Utara

menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan
(sistem) hukum dan pemerintahan51.
1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Menurut Para Sarjana
Pengertian masyarakat hukum adat bermula dari Van Vollenhoven untuk
menggambarkan bahwa hukum asli suku-suku bangsa Indonesia mempunyai subjek
dan objek hukum. Disetiap suku, daerah memiliki istilahnya masing-masing, ada
yang menyebutnya desa, kelurahan, nagari, negorij, ana woe, suku dan sebagainya.
Intinya mereka ini merupakan komunitas manusia yang menyatu sebagai satu
paguyuban.52
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven

mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan
pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan
mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak
terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun
diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk

51

Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim)
di Provinsi Aceh , Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010, Hlm. 36
52
Dominikus Rato, Hukum Adat Kontemporer , LaksBang Justitia, Surabaya, 2015, Hlm. 81

Universitas Sumatera Utara

membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti
melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama – lamanya.53
Dari definisi yang dikemukakan ter Haar tersebut memiliki unsur-unsur sebagai

berikut:54
a.
b.
c.
d.

Ada kesatuan manusia yang teratur
Menetap disuatu daerah tertentu
Mempunyai penguasa-penguasa
Mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, dimana para
anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam.
e. Tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamalamanya.
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan Ter
Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul
secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat
besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan

menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan
sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh
anggotanya.55 Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuankesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan

53

Husein Alting, Op.cit. Hlm. 30
Domikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), Laksbang Justitia, 2014, Hlm. 85
55
Husein Alting, Op.cit. Hlm. 44

54

Universitas Sumatera Utara

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya.56
Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat adat
Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas

yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial
yang khas. Masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.57
Menurut Soepomo, masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat
dibagi atas dua golongan, yakni menurut dasar susunannya yaitu bertalian dengan
keturunan (genealogis), berdasarkan lingkungan (teritorial) dan gabungan antara
keturunan dan lingkungan. Sedangkan dari sudut bentuknya masyarakat hukum adat
ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih
tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta
merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.
Masing-masing masyarakat hukum adat tersebut dinamakan masyarakat hukum adat
yang tunggal, bertingkat dan berangkai.58

56

Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia , UNDP
Regional Centre in Bangkok, Jakarta, 2006, Hlm. 23
57

Husein Alting, Op.cit. Hlm. 31
58
Ibid, Hlm. 84

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang
merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu,
mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau
beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan dan memiliki
tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk
memisahkan diri.
Dari pengertian itu terdapat 6 (enam) unsur, yaitu:
1. Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan
kebersamaan karena kebersamaan keturunan dan atau wilayah
2. Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi
mereka
3. Memiliki kekayaan sendiri baik kekayaan material maupun immaterial
4. Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan
kelompok, yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang legal/

didukung oleh kelompoknya‟
5. Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka
6. Tidak ada keinginan dari anggota kelompok itu untuk memisahkan diri
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven , F.D.
Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat
sebagai berikut:59
a. Sifat magis religious
Diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan
masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat
bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara
berpikir yang prologka , animisme, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat
59

Ibid, Hlm. 46

Universitas Sumatera Utara

harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah
masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam

bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa setiap
perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan
sesuai dengan derajat perubahannya.
b. Sifat komunal (commuun)
Masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat
merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa
kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
c.

Sifat konkrit (Konkriet)
Diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap

hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam
atau samar.
d. Sifat kontan (kontane handeling)
Mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi.
Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara
sertamerta/seketika.
Berdasarkan definisi para ahli diatas, dapat dikatakan masyarakat hukum adat

adalah suatu masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun hidup
diwilayah geografis tertentu, mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak
berwujud, mempunyai penguasa, tidak memiliki pemikiran untuk memisahkan diri,

Universitas Sumatera Utara

memiliki sistem nilai, ideologi, politik, budaya dan sosial yang khas, serta memiliki
hubungan erat dengan tanah.
2. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Menurut Peraturan Perundangundangan
a. Undang- Undang Dasar 1945
Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini.
Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk kesatuan
masyarakat hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat,
serta masyarakat tradisional, sehingga istilah–istilah ini dapat digunakan sekaligus
atau secara berganti-gantian
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung. Namun demikian,
terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat. Hal ini muncul
sejak amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada tahun 2000, yakni penambahan pada Pasal 18 dan pemunculan bab khusus
mengenai Hak Asasi Manusia. Pengaturan mengenai keberadaan masyarakat hukum
adat terdapat didalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2)
berada dalam Bab Pemerintahan Daerah, sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam
Bab Hak Asasi Manusia. Berikut bunyi lengkap kedua pasal tersebut:
Pasal 18 B ayat (2) berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

Universitas Sumatera Utara

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
Pasal 28 I ayat (3) berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Dengan demikian, negara „mengakui‟ serta „menghormati‟ eksistensi
masyarakat hukum adat. Pada pasal 18B ayat (2) terdapat 3 (tiga) syarat :60
a. sepanjang masih ada,
b. sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban
c. sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia
b. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria
Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat lebih banyak dijumpai dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah., dengan pengecualian
UUPA. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA adalah salah satu peletak dasar konsep
dan materi pengaturan mengenai pengakuaan masyarakat hukum adat, UUPA dibuat
dalam rangka melaksanakan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur mengenai keberadaan masyarakat
hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum adat dalam UUPA berkenaan dengan
kedudukannya sebagai subyek yang berhak menerima kuasa dari negara dalam
rangka melaksanakan Hak Menguasai Negara dan memiliki hak ulayat.

60

Rikardo Simarmata, Op. cit., Hlm. 51

Universitas Sumatera Utara

UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah masyarakat
hukum adat. Sebagaimana tertuang dalam bunyi Pasal 3 yaitu:61
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan
Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dengan menggunakan konsep tersebut, UUPA sekaligus mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat
sebagai obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai
subyek.
c. Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum adat
yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan masyarakat
hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur:62
a.
b.
c.
d.

Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya;
Ada wilayah hukum adat yang jelas;
Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang
masih ditaati;
e. Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

61

Husein Alting, Op.cit. Hlm. 56
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi , Salemba Humanika, Jakarta, 2010, Hlm.33
62

Universitas Sumatera Utara

d. Menurut Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 mengatur tentang
pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tertuang di
dalam pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah
Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara
harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau
kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat sebagaimana
diatur dalam Pasal 4, maka harus melalui syarat-syarat:
a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Sebuah identifikasi harus dilaksanakan untuk mendapatkan pengakuan dan
perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat. Adapun sebuah identifikasi
itu adalah:63
a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. Wilayah Adat;
c. Hukum Adat;
d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
63

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Universitas Sumatera Utara

e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah
untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Bupati/Walikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota,
yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat
Hukum Adat. Hasil verifikasi dan validasi tersebut, kemudian disampaikan kepada
kepala daerah. Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat
dengan Keputusan Kepala Daerah.
e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 tentang tata cara
penetapan hak komunal atas tentang masyarakat hukum adat dan
masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu
Menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1 yang berbunyi, “masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga negara bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan”.
Bagi masyarakat hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan
hak atas tanahnya. Adapun syarat-syarat untuk dapat dikukuhkan sebagai masyarakat
hukum adat yaitu:64

64

Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
Atas Tentang Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu

Universitas Sumatera Utara

1. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
2. Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas
4. Ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati
f. Konfresi Konvensi ILO 69 Tahun 1989 mengenai Bangsa pribumi dan
Masyarakat Adat di Negara-negara merdeka
Masyarakat Adat adalah suku-suku bangsa yang berdiam dinegara-negara
merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok
masyarakat yang lain atau suku-suku bangsa yang telah mendiami sebuah negara
sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik
sendiri.65
Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi
Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986
meliputi:66
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4. Hak atas pendidikan;
5. Hak atas pekerjaan;
6. Hak anak;
7. Hak pekerja;
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
65

Rikardo Simarmata, Op.cit. Hlm. 24
Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Aktualisasi
Masyarakat Hukum Adat (MHA):Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan
Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat P enelitian dan Pengkajian Perkara,Pengelolaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi
RepublikIndonesia,2012 ,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/conetinfoumum/penelitian/pdf/2
Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 02 April 2016)
66

Universitas Sumatera Utara

9. Hak atas tanah;
10. Hak atas persamaan;
11. Hak atas perlindungan lingkungan;
12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
13. Hak atas penegakan hukum yang adil.
B. Struktur Pemerintahan Masyarakat Adat Suku Akit
1. Gambaran umum Masyarakat Suku Akit
a. Keadaan Geografis Kecamatan Rupat Utara
Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian pesisir Timur Pulau
Sumatera antara 207‟37,2” - 0055‟33,6” Lintang Utara dan 100057‟57,6” 102030‟25,2” Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis memiliki batas-batas :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten
Kepulauan Meranti.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Rokan Hulu, dan Kota Dumai.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten
Kep.Meranti
Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai
yang ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam
perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak
Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km.
Luas wilayah Kabupaten Bengkalis 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan
lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya yang
berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Jika dirinci luas wilayah menurut kecamatan

Universitas Sumatera Utara

dan dibandingkan dengan luas Kabupaten Bengkalis, Kecamatan Pinggir merupakan
kecamatan yang terluas yaitu 2.503 km2 (32,20%) dan kecamatan yang terkecil
adalah Kecamatan Bantan dengan luas 424,4 km2 (5,46%). Jarak terjauh antara
ibukota kecamatan dengan ibukota Kabupaten Bengkalis adalah ibukota Kecamatan
Mandau yaitu Kelurahan Air Jamban (Duri) dengan jarak lurus 103 km. Dan jarak
terdekat selain Kecamatan Bengkalis adalah ibukota Kecamatan Bantan, yaitu desa
Selat Baru, dan ibukota Kecamatan Bukit Batu, yaitu Kelurahan Sungai Pakning
dengan jarak lurus 15 km.
Kecamatan Rupat Utara merupakan salah satu bagian dari wilayah kabupeten
Bengkalis. Secara geografis, kecamatan Rupat Utara berbatasan dengan Selat Malaka
disebelah utara, barat dan timur, dan berbatasan dengan kecamatan Rupat disebelah
selatan. Mulai Desember 2013 jumlah desa di Rupat Utara menjadi delapan desa yang
sebelumnya berjumlah lima desa. Desa-desa baru tersebut yaitu Hutan Ayu, Suka
Damai, Putri Sembilan. Desa Hutan Ayu dan desa Suka Damai merupakan pecahan
dari desa induk yaitu desa Titi Akar, sedangkan desa Putri Sembilan pecahan dari
desa induk yaitu desa Kadur.67
Berdasarkan data dari kantor kecamatan Rupat Utara, luas wilayah kecamatan
Rupat Utara adalah 628,50 km², dengan desa terluas adalah desa Titi Akar dengan
luas 185 km² atau sebesar 29,44% dari luas keseluruhan kecamatan Rupat Utara. Dan
desa terkecil adalah desa Putri Sembilan dengan luas 39 km² atau 6,21% dari luas
67

Kecamatan Rupat Utara Dalam Angka North Rupat Sub Regency In Figures 2015 , Penerbit
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2015, Hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan. Desa dengan jarak lurus terjauh dari ibukota kecamatan Rupat Utara
adalah desa Titi Akar dengan jarak lurus 25 km. Dan jarak terdekat adalah desa
Tanjung Medang sebagai ibukota kecamatan Rupat Utara.68
b. Keadaan Penduduk Kecamatan Rupat utara
Jumlah penduduk kecamatan Rupat Utara pada tahun 2014 berjumlah 16.132
jiwa, yang terdiri dari 8.205 jiwa adalah laki-laki dan 7.927 jiwa adalah perempuan.
Dengan sex rasio sebesar 104, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang besar
untuk komposisi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, karena dalam 100 orang
perempuan terdapat 104 orang laki-laki. Dengan luas wilayah kecamatan Rupat Utara
628,50 km² dan jumlah penduduknya 16.132 jiwa, ternyata menghasilkan kepadatan
penduduk sebesar 25.67 yang artinya dalam setiap 1 km² dihuni oleh sekitar 25 orang.
Berdasarkan kelompok umurnya, jumlah warga terbanyak di kecamatan Rupat Utara
berada di kelompok umur 30-34 tahun, diikuti oleh kelompok umur 25-29 tahun dan
35-39 tahun. Di Kecamatan Rupat Utara terdapat 4.336 jumlah keluarga. Rata-rata
jumlah anggota keluarga adalah empat orang.69
2. Sejarah Masyarakat Suku Akit
Kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat
dikatakan suku Rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah
menjadi rakyat Kerajaan Gasib-siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan siak
mengambil dan merakit kayu.

68
69

Ibid.
Ibid, Hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

Pada zaman dahulu Siak adalah suatu kerajaan Melayu di Riau beribu kota Siak
Sri Indra Pura. Kerajaan ini didirikan sekitar abad ke 17 oleh Raja Kecil, yang
kemudian dikenal dengan gelar Sultan. Pada zaman itu terdapat sekelompok suku
yang bermukim dipinggiran sungai Siak. Sekelompok suku ini akhirnya memohon
kepada Sultan agar diberi izin untuk mengungsi kedaerah lain dengan alasan mereka
sering diganggu oleh binatang buas seperti Harimau dan Gajah. Akhirnya permintaan
sekelompok Suku tersebut diizinkan oleh Yang Maha Mulia Sultan Siak untuk
mencari Pulau yang tidak ada binatang buasnya.70
Berangkatlah sekelompok suku tersebut mengikuti arus ke muara Siak, setelah
sekian lama melakukan perjalanan nampaklah oleh mereka sebuah pulau Padang,
tetapi mereka berpikir bahwa binatang buas pasti masih bisa menyeberangi selat
karena diantara kedua buah pulau hanya dibatasi oleh Selat yang bersangkutan.
Kelompok suku tersebut kembali melakukan perjalanan menempuh lautan luas,
setelah melakukan perjalanan jauh yang sangat melelahkan dari kejauhan mereka
melihat sebuah pulau dibagian utara. Bagian baratnya terlihat sebuah sungai, dengan
perasaan gembira kelompok suku tersebut memasuki sungai itu, lalu mereka
beristirahat setelah melabuh sampan mereka ditengah sungai itu sambil melepaskan
lelah, lalu kelompok suku berbicara apa adanya, tiba-tiba kelompok suku tersebut di
perlihatkan sebuah bayangan manusia dari kejauhan berada disebelah kiri masuk
sungai, lalu mereka mendayungkan sampan mereka mendekati bayangan tersebut,

70

Anyang, Mengenang Sejarah Perjuangan Batin Pantjang di Kampung Titi Akar Kecamatan
Rupat Kabupaten Bengkalis Riau, Hlm. 13

Universitas Sumatera Utara

setelah mendekati bayangan itu, ternyata seorang nenek perempuan yang bernama
Datuk Bintang Beheleh, kelompok suku itu menanyakan siapa yang memiliki pulau
ini kepada sinenek, lalu nenek mejawab pulau ini dimiliki oleh Datuk Empang
Kelapahan.71
Kelompok suku itu bertanya kepada nenek tersebut, bahwa benar yang punya
pulau ini Datuk Empang Kelapahan, jika benar bolehkah kami berjumpa dengan
beliau. Lalu nenek itu menjawab, jika kalian ingin jumpa Datuk Empang Kelapahan,
jumpailah dulu Datuk kebeneh yang berada di sebelah kanan masuk sungai ini,
karena kami adalah suami istri. Kemudian kelompok suku tersebut menjumpai Datuk
Kebeneh, sesampainya pada tempat tujuan, kelompok suku menyampaikan maksud
dan tujuan mereka pada Datuk Kebeneh, bahwa mereka ingin mencari tempat
pengungsian karena ditempat asal mereka, mereka sering diganggu binatang buas dan
rasanya Pulau ini aman dari gangguan binatang buas. Oleh sebab itu kelompok suku
meminta di izinkan dari Datuk Kebeneh untuk menjumpai Datuk Empang Kelapahan.
setelah Kelompok suku mendapat penjelasan dan izin dari Datuk Kebeneh, Kemudian
berangkatlah kelompok suku bersama Datuk Bintang Beheleh untuk menjumpai
Datuk Empang Kelapahan, yang duduk di Pelang Dalam dengan menyusuri sungai
tersebut.72

71
72

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Setelah sampai ditempat tempat tujuan, kelompok Suku langsung menghadap
dan menerangkan tujuan mereka sebenarnya kepada Datuk Empang Kelapahan, agar
diperkenankan untuk tinggal di Pulau ini dengan alasan ditempat asal mereka sering
diganggu binatang buas. Lalu Datuk Empang Kelapahan menanyakan asal mulanya
tempat Kelompok suku, lalu mereka menjawab bahwa mereka berasal dari Hulu
Sungai Siak, yang di perintah oleh Raja kecil dengan gelar Sultan.73
Datuk Empang Kelapahan tidak merasa keberatan setelah mendengar
penjelasan dari kelompok suku, akhirnya permintaan mereka diizinkan untuk
bertempat tinggal di pulau itu dikabulkan oleh Datuk Empang Kelapahan, tapi dengan
syarat kelompok suku harus bisa memenuhi permintaan dari Datuk Empang
Kelapahan sebagai berikut:74
1. Sekerat Mata Beras
2. Sekerat Tampin Sagu
3. Sebatang Dayung Emas
Jika Kelompok Suku bisa memenuhi syarat ini, maka tinggallah kalian sampai
ke anak cucu kalian. Mendengar syarat yang telah ditentukan Datuk Empang
Kelapahan, kelompok suku merasa keberatan dan sangat berputus asa, bagaimana
mereka memenuhi syarat itu, sedangkan hidup susah, tidak ada tempat tinggal. Lalu
Datuk Empang Kelapahan berkata “ Jika benar Pulau itu Jodoh untuk kalian serta
anak cucu kalian kelak, pergilah menghadap Sultan di Singgasana, kalau benar Pulau

73
74

Ibid
Ibi, Hlm.14

Universitas Sumatera Utara

ini Jodoh kalian, sultan pasti menolong kalian”. Setelah mendengar hal tersebut
kelompok suku merasa gembira, kemudian meminta tempo sebanyak dua kali tujuh
hari kepada Datuk Empang Kelapahan untuk menemui sultan. Lalu berangkatlah
kelompok suku menemui Sultan, dengan menempuh waktu berhari-hari, sampailah
mereka di istana menghadap yang mulia Sultan dengan tata krama Kerajaan seperti
biasa mereka lakukan, kemudian kelompok suku mengabarkan kepada Sultan, bahwa
mereka telah menemukan sebuah Pulau yang bebas dari gangguan binatang buas
seperti harimau dan gajah, yang dipunyai oleh Datuk Empang Kelapahan, yang ingin
menukarkan Pulau itu dengan syarat:75
a. Sekerat Mata Beras
b. Sekerat Tampin Sagu
c. Sebatang Dayung Emas
Tuanku Raja Kecil menanyakan kepada kelompok suku tentang kemana nanti
pergi atau pindah Datuk Empang Kelapahan setelah permintaan kelompok suku
dipenuhi, lalu kelompok suku menjawab pertanyaan Tuanku Raja Kecil, kalau
permintaan mereka di penuhi, maka Datu Empang Kelapahan akan pindah ke Pulau
Tujuh. Setelah berita itu diterima sultan dan barang persyaratan itupun diserahkan
Sultan Mulia Siak kepada kelompok suku, kelompok suku kembali melakukan
perjalanan menuju Pelang Dalam, tibanya di Pelang Dalam, barang tersebut

75

Ibid

Universitas Sumatera Utara

diserahkan kepada Datuk Empang Kelapahan, sebelum diterima Beliau berpesan, jika
benar sekelompok suku benar-benar ingin tinggal di Pulau ini, maka:76
1. Janganlah berhati dua
2. Jika ada sesuatu kesulitan/ kesusahan bakarlah kemenyan putih, sebutlah
nama beliau, biar bagaimana beliau akan membantu kesulitan daripada
anak cucu yang menempati pulau ini.
3. Saya pindah, yang tinggal di pulau ini adalah pengawal saya terdiri suami
istri. Sebelah timur Istri, yaitu Datuk Bintang Beheleh, sebelah barat
Suami yaitu Datuk Kebeneh, Sebelah Hulu adalah Datuk Sakti, Sebelah
Kuala adalah Panglima Galang.
4. Pulau ini saya namakan Pulau Betukah Empat, sedangkan Selat ini saya
namakan Selat Morong.
5. Pulau ini Jangan dijual/ digadaikan, memang betul pulau ini untuk anak
cucu kalian
Setelah menyampaikan pesan dan mendapatkan barang tukaran, Datuk Empang
Kelapahan pun berangkat menuju Pulau Tujuh. Sekelompok suku pun kembali ke
Istana Kerajaan Siak untuk melaporkan pesan serta nama Pulau Selat tukaran dari
Datuk Empang Kelapahan, setelah menanggapi apa yang disampaikan oleh kelompok
suku, Raja Kecil/ Sultan meminta kepada kelompok Suku jangan pulang dahulu ke
Pulau Betukar Tempat, karena Sultan meminta tolong pada kelompok Suku untuk
menebang kayu membuat bangsal berhubung seminggu lagi sultan akan menikahkan
anak Sultan.
Menurut permintaan Sultan, kayu tersebut harus disiapkan dalam masa tiga hari
setelah

mendapat

perintah

kelompok

suku

melaksanakan

pekerjaan

yang

diperintahkan oleh Sultan, supaya batas yang ditentukan jangan sampai telat, dan
jangan sampai di sia-siakan oleh Sultan yang telah banyak berjasa terhadap mereka,
akhirnya kelompok suku itu terbagi atas 3 kelompok:
76

Ibid

Universitas Sumatera Utara

a. Kelompok Khusus menebang kayu
b. Kelompok khusus mengangkut dan merakit
c. Kelompok khusus meratas (membersihkan sungai yang ditumbuhi kayu
bakau, untuk melewati rakit tersebut).
Sampai pada waktu ditentukan pekerjaan itupun siap mereka kerjakan dan
hasilnya mereka laporkan pada sultan, sultan merasa kagum pada pekerjaan mereka,
lalu sultan bertanya bagaimana cara mereka bekerja, diterangkanlah cara kerja
mereka oleh sekelompok Suku kepada Sultan, kemudian Sultan Siak memberi nama
pada masing-masing kelompok suku yang bekerja tersebut yaitu:77
a. Menebang Hutan, disebut suku Hutan
b. Merakit disungai disebut suku Akit Biasa
c. Meratas dan merintis jalan disungai disebut Suku Akit Hatas
3. Mata Pencaharian dan Agama Masyarakat suku Akit
Suku Akit yang mendiami Pulau Rupat telah hidup dari 3 mata Pencaharian
tradisional, yaitu bertani, mengambil hasil hutan bakau atau meramu, menangkap
ikan (nelayan), berburu dan satu mata pencaharian yang masih baru yaitu kuli atau
buruh. Sejak lama mata pencaharian suku Akit adalah menangkap ikan. Suku Akit
menangkap ikan dengan menggunakan bubu, yaitu sejenis perangkap sederhana yang
dibuat oleh suku tersebut, tetapi lama-kelamaan terjadi perubahan dengan
meninggalkan kehidupan menangkap ikan sebagai nelayan dan beralih untuk
berkebun.

77

Anyang, Ibid, Hlm. 15

Universitas Sumatera Utara

Dahulu makanan pokok suku akit adalah sagu dan beras dengan penyedap ikan
asin dan jarang makan sayuran. Sedangkan babi peliharaannya, seluruhnya dijual
kepada orang Cina, dengan harga ditetapkan oleh pembeli. Disamping menangkap
ikan, sesuai dengan perkampungan suku Akit antara selat morong dengan selat
malaka, kegiatannya juga melakukan penebangan kayu teki dan bakau. Namun,
semua hasil usaha tersebut tidak membawa mereka kepada kelangsungan hidup yang
lebih layak. Bahkan mereka adakalanya dihadapkan kepada kesulitan yang terjadi di
luar kemampuan mereka, seperti adanya sistem ijon, sistem yang telah mendarah
daging sejak lama. Ladang padi, juga dilakukan mereka. Tetapi usaha ini dilakukan
secara

sederhana

sekali

dengan

penghasilan

yang tidak

memadai

untuk

kehidupannya. Demikian juga usaha yang dilakukan dengan mencari kayu ke dalam
hutan.78 Dalam lapangan pertanian suku Akit telah menanam padi, jagung, kacang,
ubi dan sayuran. Pada saat sekarang suku Akit telah berkebun, seperti Kebun kelapa,
kopi, Karet dan Sawit yang mana ditanam diatas hak milik pribadi masing-masing
masyarakat suku Akit.
Perkebunan karet dan sawit merupakan mata pencaharian yang utama bagi
masyarakat suku Akit, untuk menunjang kelangsungan hidup dan pendidikan anak
mereka. Dahulu suku Akit banyak tidak memiliki pendidikan, namun dengan
perkembangan zaman dan semakin pesat ilmu pengetahuan, banyak Anak suku Akit
yang bersekolah Dasar sampai ke perguruan Tinggi.

78

Noerbahrij Yoesoef, Masyarakat Terasing dan Kebudayaannya di Propinsi Riau, Up.
Telagakarya, Pekanbaru, 1992, Hlm. 47-48

Universitas Sumatera Utara

Masuknya suku Cina, Batak dan Jawa di pulau Rupat ini, untuk berdagang
sehingga perekonomian di pulau rupat semakin maju. Pergaulan yang erat antara suku
Akit dengan orang Cina, menyebabkan banyak perempuan Akit bersuamikan orang
Cina, hal ini disebabkan bahwa segala hasil penangkapan, ternak babi, hasi
penebangan kayu teki dan hasil kebun dijual kepada suku Cina, tetapi pergaulan itu
tidak hanya sekedar memberikan keuntungan ekonomi bagi kedua belah pihak, tetapi
pembauran itu juga menampilkan suatu aliran kepercayaan yang khas, yang mereka
sebut kepercayaan Datuk Kimpung dan Nenek Bakul. Kedua macam roh ini diyakini
amat

besar

kemampuannya

memberikan

perlindungan,

mengobati

dan

menghindarkan orang dari malapetaka. Pemujaan terhadap Datuk kimpung dan Nenek
Bakul telah dilakukan tiap 15 bulan 7 tahun Cina, yang upacaranya hampir sama

dengan Konghucu. Tanda-tanda kepercayaan ini adalah:79
a.
b.
c.
d.
e.

Upacara dilakukan dirumah Bathin
Pengikut upacara menghadap keluar rumah
Upacara memakai pembakaran kemenyan
Batin berdiri didepan memimpin upacara
Pemujaan dilakukan dengan menundukkan diri sambil mengikuti ucapan
batin yang antara lain, membaca jusmilah, selamat 3 kali dengan tangan
diayunkan keatas
f. Upacara berakhir dengan makan minum

Besarnya jumlah suku akit yang beragama Budha, banyak berhubungan dengan
beberapa faktor, diantaranya adalah:80
a. Agama Budha telah dikenal orang Akit melalui pergaulan dengan orang
Cina, tanpa mendatangkan gejolak atau perubahan apa-apa bagi mereka

79
80

UU. Hamidy, Op.cit, Hlm. 176
Ibid, Hlm. 177

Universitas Sumatera Utara

b. Hubungan yang erat antara Akit dengan Cina Tionghoa, disamping telah
terjadi pembauran (nikah-kawin) lebih-lebih pola-pola hubungan anak
semang (Akit) dan Majikan (Cina Tionghoa)
c. Kalau memeluk Agama Budha, tradisi akit tidak terganggu, terutama
untuk makan babi dan minuman noboi (minuman keras)
d. Agama Budha tidak mempunyai perbedaan prinsip dengan kepercayaan
animisme Akit (meskipun ada warna Islam) sebab itu dengan mudah
mereka terima, dan bisa membuat sekte baru berupa kepercayaan Datuk
Kampung dan Nenek Bakul.
Meskipun agama Budha sudah begitu banyak di anut oleh Suku Akit, tapi
sekitar 60 % dari mereka mengakui bahwa agama Budha sama saja dengan
kepercayaan mereka yang lama.81 Di dalam masyarakat Suku Akit, meskipun
beragama budha dan konghucu yang banyak mereka percayai, namun ada juga suku
Akit beragama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan adanya penyebaran agama
Islam dan Kristen yang dibawa oleh pemuka agama.
4. Sistem Kekerabatan Masyarakat Adat Suku Akit
Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan yang Maha Esa
bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, manusia membutuhkan
manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Sejak manusia lahir telah hidup
dalam keluarga, dengan ayah, ibu dan saudaranya atau dengan orang yang
mengasuhnya. Kemudian manusia mengenal anggota kerabat dan tetangganya, lalu
manusia itu mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan sebagai
anggota kerabat dalam kehidupannya berkeluarga.

81

Ibid. Hlm.178

Universitas Sumatera Utara

Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan itu tidak saja terbatas pada adanya
hubungan keturunan (pertalian darah) dan

perkawinan, tetapi dapat terjadi

dikarenakan hubungan kebaikan yang merupakan hubungan adat, dalam benuk
pengangkatan anak atau saudara ataupun hanya dalam bentuk pengakuan saja.
Hubungan antara keluarga yang satu dan keluarga yang lain terjalin hubungan hukum
dan kerjasama saling membantu dalam kekerabatan sehari-hari. Hubungan hukum itu
berlaku sesuai dengan hukum adat masyarakat setempat, tergantung kepada pribadi
warga adat, pemuka adat dan masyarakat adat yang bersangkutan.82
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur kedudukan
pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan
sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian
anak. Intinya hukum adat kekerabatan mengatur pertalian darah (sekuturunan),
pertalian perkawinan, dan perkawinan Adat.83 Jadi hukum kekerabatan adat adalah
aturan-aturan adat yang mengatur bagaimana hubungan antara warga adat yang satu
dan warga adat yang lain dalam ikatan kekerabatan.84
Kekerabatan merupakan hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain
yang mempunyai hubungan darah atau keturunan

yang sama dalam keluarga.

Kekerabatan merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri, lepas dari ruang lingkup

82

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Penerbit Fajar Agung, Jakarta, 1987, Hlm 2
Ibid, Hlm. 4
84
Ibid, Hlm. 3
83

Universitas Sumatera Utara

yang disebut kekerabatan, kesatuan yang utuh, bulat diantara anak dan ayah,
berlangsung terus menerus tanpa batas.85
Hubungan kekeluargaan dengan sebab hubungan darah terjadi dalam 3 (tiga)
garis:
1. Menurut garis lurus ke atas: bapak, kakek, puyang disebut leluhur
2. Menurut garis turun kebawah: anak, cucu, dan cicit disebut keturunan
3. Menurut garis kesamping atau menyimpang: saudara kandung, saudara
seayah, seibu, serta kakek atau nenek
Hubungan kekeluargaan memegang peran penting dalam hal berikut:
a. Masalah

perkawinan,

untuk

meyakinkan

apakah

ada

hubungan

kekeluargaan yang merupakan larangan untuk mejadi suami istri (karena
terlalu dekat, misalnya adik sama kakak kandung)
b. Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan/ warisan.
Secara teoritis sistem kekerabatan atau keturunan dapat dibedakan dalam tiga
corak:86
1. Sistem Patrineal, yaitu suatu sistem keturunan yang menarik garis dari
pihak bapak pada sistem ini posisi pria lebih dominan pengaruhnya
daripada wanita di dalam masalah pewarisan. Di Indonesia sistem
kekerabatan ini digunakan oleh masyarakat adat Gayo, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian
2. Sistem Matrineal yaitu sistem keturunan yang menarik garis dari pihak ibu,
pada sistem ini posisi wanita lebih dominan pengaruhnya daripada pria di

85
86

Dewi Lestari, Op.cit. Hlm. 118
Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 23

Universitas Sumatera Utara

dalam masalah pewarisan. Di Indonesia sistem kekerabatan ini digunakan
oleh masyarakat adat Minangkabau, Enggano dan Timor
3. Sistem Parental atau Bilateral yaitu sistem keturunan yang menarik garis
dari kedua orang tua atau menarik garis dua sisi bapak dan ibu, di mana
posisi pria dan wanita tidak dibeda-bedakan atau dianggap setara di dalam
masalah pewarisan. Di Indonesia sistem kekerabatan ini digunakan oleh
masyarakat adat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Sulawesi dan lainlain.
a. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Suku Akit di Kecamatan Rupat
Utara.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita
dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudarasaudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Hukum adat Indonesia mengenal 3 (tiga) sistem perkawinan yakni endogami,
eksogami dan eleutherogami.

87

Bagi masyarakat Adat Suku Akit sistem perkawinan

di Kecamatan Rupat Utara yakni Eksogami. Hal ini dikarenakan banyak anak
perempuan suku Akit melakukan perkawinan campuran dengan suku Cina,
dikarenakan tidak ada larangan bagi Adat untuk melakukan perkawinan dengan suku
lain.
Masyarakat Adat Suku Akit memiliki anak perempuan dan laki-laki, ketika
mereka dewasa mereka akan melakukan perkawinan dengan sukunya maupun suku
lain. Syarat yang diberikan adat suku akit bagi anak perempuan dapat menikah jika
umur anak tersebut sudah 18 tahun, agar tidak bertentangan dengan Undang-undang
87

Wawancara dengan Bapak Athang, Wakil Kepala Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pada
hari Rabu, Tanggal 03 Juni 2016, Pukul 20.30

Universitas Sumatera Utara

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. jika wanita sudah menikah akan mengikuti
suaminya. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang
perempuan secara akan menyatukan secara lahir bathin. Suatu ikatan lahir bathin
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri.
Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan yang menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Perkawinan merupakan Persetujuan seorang lakilaki dan seorang perempuan yang secara hukum untuk hidup bersama-sama untuk
berlangsung selama-lamanya88. Dan perkawinan dapat juga di definiskan sebagai
hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu
yang selama mungkin.89
Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau
ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan
lahir bathiin merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan
hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami
istri, sedangkan ikatan bathin merupakan hubungan nonformal, suatu ikatan yang
tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang
mengikatkan dirinya. Ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga
dijadikan fundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan
88

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm. 6
Rien G Katasapoetra.1998. Pengantar ilmu Hukum Lengkap. Penerbit Bina Aksara, cetakan 1,
Jakarta, Hlm.97.
89

Universitas Sumatera Utara

bahagia.90 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan:
“ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.91
Menurut Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun1974 tentang Perkawinan telah
mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang wanita
apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. setelah pelaksanaan perkawinan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya
perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Menurut hukum Adat, secara umum syarat sahnya suatu perkawinan apabila
memenuhi 3 (tiga) tahap yaitu:
a. Peminangan
Peminangan menurut hukum adat berlaku untuk menyatakan kehendak pihak
satu kepihak lainnya dengan maksud untuk melaksanakan perkawinan. Peminangan
lazimnya dilakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Lain

90

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional , Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008, Hlm 104.
91
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

halnya di Minangkabau yang menganut sistem Matrineal, dimana pihak wanita
melakukan peminangan kepada pihak pria.92
b. Pertunangan
Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak
pria dengan orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anakanak mereka dengan jalan peminangan93
Alasan dilakukan pertunangan pada masing-masing daerah pastinya berbeda,
tetapi dapat persamaan umum, diantaranya:
1. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah
dilangsungkan dalam waktu dekat
2. Khusus di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara mudamudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah
diikat oleh pertunangan itu .
3. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih
mengenal sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan
menjadi suatu pasangan yang harmonis.94
Akibat dari suatu pertunangan bahwa kedua belah pihak telah terikat untuk
melakukan perkawinan. Tetapi ikatan disini tidak berarti, bahwa kedua belah pihak,
tidak boleh tidak, harus melakukan suatu perkawinan.95 Setelah pertunangan, kedua
belah pihak pasti melanjutkan ke perkawinan. Namun, pertunangan ini masih
mungkin dibatalkan dalam hal-hal yang berikut ini:96
1. Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang
baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.
92

Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 47-48
Ibid
94
Surojo Wignjodipuro, Op.cit, Hlm. 150-151
95
Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 125
96
Ibid
93

Universitas Sumatera Utara

2. Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya, kalau menerima tanda
tunangan tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus dikembalikan
sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan kalau pihak yang lain
yang tidak memenuhi janjinya, maka tanda tunangan tidak perlu
dikembalikan.
Menurut Athang, ada beberapa syarat yang harus dilewati untuk melakukan
pernikahan Adat didalam Suku Akit:97
1. Maresek

Maresek adalah proses dimana perkenalan antara orang tua kedua belah pihak.
Proses diawali dengan menanyakan kepada pihak perempuan, mengenai apakah
sudah ada yang punya dan sudah berapa lama berhubungan pasangan kekasih dengan
anak lelakinya.
2. Meminang

Setelah proses mempertanyakan calon mempelai wanita tersebut telah dijawab
oleh pihak wanita dan tidak ada yang melamar sang wanita, maka pihak pria
memberitahu niat baik mereka untuk meminang atau melakukan proses pelamaran
kepada pihak wanita.
Pihak keluarga pria datang kepada keluarga calon mempelai wanita dengan
membawa tepak sirih, yang lengkap berisi pinang (melambangkan Jantung), kapur
(melambangkan Otak), gambir (melambangkan Darah), tembakau (melambangkan

97

Hasil wawancara dengan Athang, sebagai Wakil Ketua Adat Masyarakat Adat Suku Akit,
Pada hari Rabu tanggal 13 April 2016

Universitas Sumatera Utara

bulu seluruh badan) dan sirih (melambangkan kulit), 1 (satu) stel pakaian. Bila
pinangan telah diterima oleh pihak keluarga perempuan, maka sebagai tali pengikat,
diberikan 2 (dua) buah cincin emas sebanyak 1 Ci atau 3,75 gram. Dalam Adat Suku
Akit, Mas Kawin terbagi atas 3 (tiga) yaitu:
a. 88 Likur
b. 48 Likur
c. 28 Likur
3. Mengantar uang belanja dan penentuan hari pernikahan
Proses ini merupakan proses pengantaran jumlahnya uang belanja kepada
pihak keluarga perempuan yang jumlahnya tergantung dari kemampuan dan
persetujuan kedua belah pihak. Pada waktu penyerahannya dihadiri oleh pihak
keluarga calon penggantin wanita yang jumlahnya tergantung dari kemampuan kedua
belah pihak. Pada penyerahannya dihadiri Kepala Suku. Pada waktu itu juga
ditentukan waktu yang tepat untuk melangsungkan pesta perkawinan.
4. Pembacaan Janji atau talik98
Ketika sampai pada hari yang ditentukan, yang mana pesta perkawinan
dilangsungkan dirumah pengantin perempuan. pihak pengantin perempuan menunggu
kedatangan pengantin lelaki yang diarak dengan bebena dan diikuti tarian Maleng.
Sampai dihalaman rumah, pengantin laki-laki duduk, lalu diadakan pertunjukan silat
seperti halnya perkawinan suku Melayu, kemudian pengantin lelaki disembah oleh
pengantin perempuan, selanjutnya mereka berdua dengan disaksikan oleh kaum
kerabat, menghadap Ketua Suku (Bathin).
98

Talik adalah istilah yang diambil dari bahasa Akit yang Artinya sumpah

Universitas Sumatera Utara

Dalam peresmian perkawinan masyarakat Adat Suku Akit, ketua adat
melakukan tanya jawab kepada kedua pengantin, yang mana selalu dilakukan pa