Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

18

BAB II
DASAR HUKUM PENGATURAN PERJANJIAN BAGI HASIL
ATAS TANAH PERTANIAN

A. Perjanjian Pada Umumnya.
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/
harta benda atar dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak
untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.24
Perikatan yang dimaksud dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang
atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan
“perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian perjanjian. Dapat
dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat”.25
Perikatan adalah hal – hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain.
Hal yang mengikat itu menurut kenyataan dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang, dapat berupa peristiwa tertentu seperti lahirnya seorang bayi dan dapat pula
berupa suatu persetujuan jasa tertentu. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam
kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang dan masyarakat
diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian perikatan yang terjadi antara orang

yang satu dengan yang lain disebut hubungan hukum.26

24
25

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 6.
R. Subekti, Aspek- aspek Hukum Perikatan Nasional (Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992),

hlm. 12.
26

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni, Bandung, 1982), hlm. 5-6.

18

Universitas Sumatera Utara

19

Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek

hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi karena adanya tindakan hukum dari subjek hukum sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Jadi, perjanjian lahir sebagai akibat dari suatu proses
perbuatan atau tindakan para pihak yang terkait didalamnya. Dengan disasarkan
kepada suatu persetujuan, para pihak berjanji untuk saling mengikat diri untuk
mewujudkan tujuan tertentu. Dalam hal demikian, perjanjian selalu disandarkan pada
adanya persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari
persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari persetujuan
terjadi apabila ada suatu penawaran dari salah satu pihak yang diikuti oleh suatu
penerimaan dari pihak lain. Apa yang diterima, harulah cocok dengan apa yang
ditwarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu perjanjian. Tujuan ini dapat
diucapkan secra tegas

( uit drukkejik ) atau dapat juga secara diam-diam (

stilzigend).27
Landasan teori sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis adalah “suatu
kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, thesis, mengenai suatu kasus
atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang
mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat

kerangka berpikir dalam penulisan”.28

27

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Sumur,
Bandung, 1985), hlm.27.
28
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu & Penelitian, (Mandar Maju, Bandung, 1994), hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara

20

Menurut Yahya Harahap bahwa suatu persetujuan dianggap sah harus
memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari kedua belah pihak
yang membuat persetujuan ( toestemming );
2. Kecakapan atau kedewasaan ( bekwaamheid ) pada diri yang membuat
persetujuan;
3. Harus mengenai pokok atau objek yang tertentu ( bepaalde onderwerp );

4. Dasar alasan atau sebab musabab yang diperbolehkan (goorloofdeoorzaak).29
Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif karena berkenaan dengan
kapasitas orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat tentang suatu hal
tertentu dan sebab yang halal digolongkan dalam syarat objektif karena menyangkut
objek perjanjian.30
Keempat syarat diatas merupakan syarat limitatif dalam suatu perjanjian,
syarat tersebut harus terpenuhi sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat
dikatakan sah dan mempunyai kekutan hukum yang mengikat. Bila salah satu atau
beberapa syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat berakibat
batal (nietig) atau dapat dibatalkan. Dalam kaitan ini, R. Subekti mengatakan apabila
tidak dipenuhinya syarat pertama dan kedua, maka perjanjian tersebut dapat

29
30

Yahya Harahap, Arbitrase di Indonesia, (Gramedia, Jakarta, 1986), Hlm. 24.
Mariam Darus badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Alumni, Bandung, 1994), hlm.98.

Universitas Sumatera Utara


21

dimintakan pembatalannya kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhinya
syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 31
Kitab Udang – Undang Hukum Perdata pasal 1338 menyatakan bahwa semua
pesetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Suatu perjanjian dikatakan mengikat apabila telah ada kata sepakat
mengenai suatu hal tertentu. Sejak saat itu lahirlah hubungan hukum antara para
pihak yang membuat perjanjian dan masing-masing pihak terikat satu sama lain,
sekaligus menimbulkan hak dan kewajiban.
Perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dan perjanjian
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila ingin ditarik kembali, maka harus
dengan persetujuan kedua belah pihak, tanpa mengurangi hak – hak pihak lain.
B. Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian menurut Hukum Adat
Perjanjian Bagi Hasil dapat dikatakan berlaku diseluruh Indonesia dengan
memakai berbagai istilah adat setempat seperti “maro” di Jawa Barat, “nyakap” di
Lombok, “mawaih” di Aceh, “memperduai”di Sumatera Barat, “Belah Pinang” di
Toba, “toyo” di Minahasa, “tesang” di Sulawesi Selatan, sedangkan di Kabupaten
Langkat dinamakan dengan istilah “melahi” atau berarti membelahi.

Pengertian Bagi hasil yaitu hampir secara universal terdapat pada masyarakat
pertanian kecil di seluruh dunia, dimana seorang petani pemilik tanah mengajak
petani lain untuk menggarap seluruh tanah atau sebagian tanah miliknya dengan
perjanjian bahwa si penggarap menyerahkan sebagian yang besarnya telah ditentukan
31

R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Intermasa, Jakarta, 1982), hlm.20.

Universitas Sumatera Utara

22

terlebih dahulu dari hasil panenya kepada pemilik tanah. Beberapa istilah bagi hasil
ini di Indonesia antara lain meudua laba (Aceh), pebalokkan (Karo), bolah pinang
(Toba), bahandi (Nganjuk), tumoyo (Tondano), mempaduakan (Minangkabau),
teseng (Makassar), Nyakap (Bali), sedangkan beberapa istilah dari luar negeri
misalnya Merradria (Italia), aparceria (Spanyol), halfwinning (Belgia), deelbouw
(belanda), sedangkan dalam ilmu pertanian dengan istilah internasionalnya adalah
Sharecropping.32
A.P. Parlindungan menjelaskan bahwa pengertian bagi hasil adalah jelas

merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga hukum adat lainnya
dan tidak dapat diajukan teori-teori lain, oleh karena mungkin lingkungan di negaranegara lain memungkinkan ditafsirkan demikian, tetapi dalam sistem dar Hukum
Adat itu sendiri, dia pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi menolong
sesama warga dan tidak melulu dapat dianggap sebagai suatu usaha bisnis seperti
yang terjadi dan kemudian berkembang di negara – negara lain.33
Bagi Hasil menurut K.Wantjik Saleh berasal dari Hukum Adat yang biasanya
disebut juga hak Menggarap yaitu hak seseorang untuk mengusahakan pertanian
diatas tanah milik orang lain dengan perjanjian bahwa, hasilnya akan dibagi anatara
kedua belah pihak berdasarkan persetujuan, dengan pertimbangan agar pembagian
hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar
terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan terjamin pula
32

Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1982, hlm.354.
A.P. Parlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia ( Suatu Studi Komparatif ),
(cv. Mandar Maju, Bandung 1991), hlm.18.
33

Universitas Sumatera Utara


23

kedudkan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak – hak dan
kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik.34
Dasar perjanjian paruh hasil tanah ialah dimana saya ada sebidang tanah tapi
tak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya, tapi
walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat
persetujuan dengan orang lain supaya ia menerjakannya, menanaminya dan
memberikan kepada saya bagian hasil panennya dan fungsinya ialah membuat
berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanah sendiri dan mempergunakan tenaga
pekerjaan dari orang lain tanpa milik tanah sendiri.35
Latar belakang terjadinya bagi hasil antara lain karena:36
a. Bagi Pemilik Tanah.
1.

Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk
mengerjakan tanah sendiri.

2.


Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi
kesempatan pada orang lain mengerjakan tanah miliknya.

b. Bagi penggarap.
1.

Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai
pekerjaan tetap.

34

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah,(Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), hlm.51.
Bzn Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebakati
Poesponoto,( Pradnya Paramita, Jakarta, 1980), hlm.125
36
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Sarana Media, Jakarta, 1987), hlm.154.
35

Universitas Sumatera Utara


24

2.

Kelebihan waktu bekerja karena milik tanah terbatas luasnya, tanah
sendiri tidak mencukupi.

3.

Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

Dalam sistem hukum adat yang ada dalam masyarakat Indonesia, bagi hasil
pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan untuk menolong sesama
warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara – negara
lain.
Bagi hasil merupakan suatu lembaga hukum adat, sebagaimana lembaga –
lembaga hukum adat lainnya pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis bagi
menolong sesama warganya.37 Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk persetujuan
antara seseoarang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang
disebut


penggarap,

berdasarkan

perjanjian

mana

penggarap

diperkenankan

mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara
penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah
disetujui bersama.38
Berdasarkan tradisi bagi hasil bahwa apabila suatu perjanjian telah mendapat
persetujuan dari kedua belah pihak, berarti sudah mengikat dan keadaan itu terus
berkembang sedemikian rupa, hal ini terjadi akibat pengaruh ekonomi keuangan,
sehingga prinsip yang mengandung asas pemerataan mulai bergeser ke arah
kepentingan ekonomi. Hukum yang dipakai masyarakat dalam melakukan perjanjian

37
38

A.P. Parlindungan, Op.Cit, hlm.2.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1,(Djambatan, Jakarta, 1994), hlm.102.

Universitas Sumatera Utara

25

bagi hasil adalah hukum adat yang tidak tertulis. Jadi apabila seseorang memiliki
sebidang tanah, karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, tetapi
tetap berkeinginan untuk mendapatkan hasil, maka yang bersangkutan akan
memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah
tersebut, dan hasilnya dibagi antara kedua belah pihak sesuai imbangan pembagian
hasil yang telah mereka tentukan sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan
perjanjian bagi hasil menurut hukum yang berlaku saat ini, tidak hanya terbatas pada
pemilik tanah itu saja, tetapi juga orang lain yang mempunyai hubungan hukum
tertentu dengan tanah tersebut, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan seorang
penggarappun selaku pihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil dalam
batas-batas tertentu berhak pula untuk melakukan perjanjian bagi hasil dengan pihak
ketiga.
Selanjutnya dikatakan bahwa mengenai besarnya bagian untuk masing-masing
pihak tidak ada yang seragam, karena besar bagian yang akan diterima sangat
tergantung pada luas lahan yang tersedia, jumlah penggarap yang menginginkan
tanah tersebut, keadaan kesuburan tanah, termasuk status atau kedudukan pemilik
didalam masyarakat setempat.
Dari segi bentuk perjanjian bagi hasil pada umumnya ditetapkan dengan
adanya persetujuan kedua belah pihak, dengan kata lain keikutsertaan kepala
persekutuan atau kepala desa dalam perjanjian tersebut bukanlah merupakan suatu
keharusan. Namun apabila kita liat dalam sistem perjanjian bagi hasil pada umumnya
misalnya perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh seorang kontraktor bangunan

Universitas Sumatera Utara

26

dengan pemilik tanah, sering dilakukan di hadapan Notaris baik perjanjian itu dalam
bentuk notariil ataupun dibawah tangan. Imbangan pembagian hasil atas tanah
ditetapkan oleh kedua belah pihak, dan pada umumnya tidak menguntungkan pihak
penggarap. “Hal ini disebabkan tanah pertanian sedikit dan tenaga penggarap lebih
banyak, sehingga imbagan pembagian hasilnya bukan mertelu (Jawa), jejuron
(Priangan) yang pembagian hasilnya dua untuk pemilik dan satu bagian untuk
penggarap atau sampai dibagi empat”.39
Perjanjian bagi hasil yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam
segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasar perjanjian bagi hasil ialah dimana
seseorang memiliki tanah namum tidak ada kemauan untuk mengusahakan sendiri
tanahnya tetapi memiliki keinginan untuk memungut hasil tanah tersebut sehingga
membuat persetujuan dengan orang lain agar mengerjakannya.
Menurut Soerojo Wignjodipoero bahwa dasar dari pada transaksi bagi hasil ini
adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan
tanahnya, tetapi ia tidak ingin atau tidak dapat mengerjakannya sendiri.40
Hukum adat tidak mengenal ketentuan yang sebagaimana terdapat dalam
KUHPerdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlulan adanya syarat – syarat
subjektif (yang membuat perjanjian) dan syarat objektif yaitu apa yang dijanjikan
oleh masing- masing pihak yang merupakan isi perjanjian atau apa yang diinginkan
para pihak dengan membuat perjanjian tersebut.
39

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm.145.
Soerojo Wignjodipoero, Sejarah serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan,
(Gunung Agung, Jakarta, 1985), hlm.211.
40

Universitas Sumatera Utara

27

Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur
subjektif ataupun unsur objektif, akan tetapi bagaimana terjadi dan terlaksananya
perjanjian itu, serta dilandasi oleh kesepakatan biasanya dikenal dengan istilah
konsensualisme.
Selain adanya kesepakatan antara pihak – pihak dalam hukum adat, juga
dikenal kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum adat tidak mengenal
perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap dan yang cakap
melakukan perbuatan hukum.41 Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam
kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya
menurut hukum adat jawa seseorang dikatakan cakap penuh melakukan perbuatan
hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri. Namun demikian
masalah kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung pada
penilaian masyarakat setempat.
Batasan hukum tentang kedewasaan menurut Supomo adalah dewasa dalam
hukum adat kriterianya bukanlah umur, tetapi kenyataan – kenyataan atau ciri – ciri
tertentu. Ciri – ciri yang menentukan seseorang dewasa atau belum, yaitu :42
1. Kuat gawe ( mampu bekerja sendiri ), cakap untuk melakukan segala
pergaulan dalam kehidupan masyarakat serta mempertanggungjawabkan
sendiri segala-galanya;
2. Cakap mengurus harta bendanya serta lain – lain keperluannya sendiri.

41
42

Djojodiguno, Asas – asas Hukum Adat, (Djambatan, Jakarta, 1976), hlm.14.
Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat,(Djambatan, Jakarta, 1967), hlm.25-27.

Universitas Sumatera Utara

28

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang
menyatakan anak yang belum dewasa dimaksud adalah yang belum mampu
melakukan perbuatan hukum menurut ukuran masyarakat hukum adat bersangkutan,
dilihat dari keadaan anak dan kemampuan berpikir dan bertindak si anak. Bisa saja
anak yang belum mencapai usia 18 tahun sudah dianggap dewasa. Pada umumnya
bila si anak sudah berumah tangga sendiri atau sudah dinyatakan dewasa oleh
kerapatan adat, maka si anak sudah dianggap dewasa.43
Selanjutnya Ter Haar44 mengemukakan mengenai beberapa corak bertalian
dengan sifat perjanjian bagi hasil ini. petama, bahwa pembentukan penghulu –
penghulu rakyat tidak pernah menjadi syarat untuk sahnya untuk berlakunya tidak
usah ada pengisaran yang harus terang, perjanjian itu dilaksanakan diantara kedua
belah pihak saja. Selanjutnya jarang dibuat surat akta dari pada perbuatan hukum itu,
lebih – lebih bahwa perjanjian paruh hasil tanaman itu diadakan atau dibuat satu
tahun panen, dari musim tanam sampai musim panen. Itupun bilamana tidak ada hal
lain yang ditetapkan karena ada sebab – sebab istimewa, dan kalau demikian menurut
prinsipnya lama perjanjian semacam ini dapat dibuat oleh siapa saja yang
menghendaki tanah itu, si pemilik tanah, si pembeli gadai, si penyewa tanah atas
perjanjian jual tahunan, juga si pemakai tanah kerabat, hasil karena jabatannya, betul
ia tidak memiliki tanah tetapi ia menajalankan suatu usaha yang pada asasnya selalu
diperbolehkan mengenai mengerjakan tanah dan memperhasilkannya.

43
44

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 89
B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm. 126

Universitas Sumatera Utara

29

Dengan demikian perjanjian bagi hasil tanaman terlaksana dengan jalan
mengizinkan orang lain masuk ke tanah pertanian, dimana ia melakukan hanya denga
pemufakatan bahwa orang yang diizinkan masuk tadi si pemaruh akan menanam
tanaman dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada siempunya hak atas
tanah itu. Tentang pemufakatan lebih lanjut mengenai bagian dari hasil panen yang
akan diserahkan kepada siempunya hak atas tanah dan lainnya maka hal ini biasanya
disebutkan dalam perjanjian.
C. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang – Undang Nomor
02 Tahun 1960.
1.

Latar belakang Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960
Perjanjian bagi hasil semula diatur menurut Hukum Adat yang ada di

Indonesia, dengan kata lain sesuai dengan lingkungan hukum adat setempat. Dimana
segala aturan yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil tersebut baik itu besarnya
imbangan bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka waktu serta luasnya tanah yang
diperjanjikan semuanya itu ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
yang berjanji saja, yang pada umumnya tidak menguntungkan kepada pihak
penggarap. Pengaturan perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang – Undang oleh
Pemerintah, adalah dalam rangka untuk melindungi golongan penduduk yang
berekonomi lemah terhadap praktek – praktek yang sangat merugikan mereka dari
golongan yang ekonominya kuat.
Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 02
Tahun 1960 tetang perjanjian bagi hasil, bahwa mengenai besarnya bagian yang

Universitas Sumatera Utara

30

menjadi hak masing – masing pihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung
pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya,
keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat.
Tanah yang tersedia pada umumnya tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang
menginginkan menjadi penggarap sangat besar, maka seringkali tarpaksa penggarap
menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi hak kepadanya atas bagian yang
sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang telah dipergunakannya untuk
mengusahakan tanah yang bersangkutan.
Dalam rangka untuk melindungi golongan yang eknomominya lemah terhadap
praktek-praktek yang merugikan mereka dari yang golongan ekonomi kuat
sebagimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil, menjadi latar belakang
dibuatnya Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 tersebut, yang bertujuan untuk
mengatur perjanjian bagi hasil, dengan maksud:45
1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas
dasar yang adil dan,
2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam
kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak

45

Bahan Pokok Penyuluhan Hukum Undang – Undang Pertanahan, Departemen Kehakiman
RI Dirjen Hukum dan Perundang – Undangan Direktorat Penyuluhan Hukum,( Jakarta, 1996-1997),
hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

31

banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah
sangat besar,
3. Dengan terselenggaranya apa yang telah disebut diatas, maka akan
bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani penggarap, hal mana
akan

berpengaruh

baik

pada

caranya

memelihara

kesuburan

dan

mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada
produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam
melaksanakan program akan melengkapi sandang dan pangan rakyat.
Dalam Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil,
terdapat beberapa batasan, antara lain:
 Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak
menguasai tanah. Undang–undang nomor 02 Tahun 1960 tidak membatas
bahwa hanya yang memiliki Hak Milik saja yang boleh membagi hasilkan
tanahnya, tetapi juga lain penguasaan tanah seperti penyewa ataupun dengan
sesuatu hak tertentu menguasai tanah orang lain.46
 Penggarap, yang dimaksud dengan penggarap atau petani menurut pasal 2
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 adalah;
a.

Orang-orang tani, yang dengan mengadakan perjanjian bagi hasil tanah
garapannya tidak akan melebihi 03 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi
penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau pejabat
yang ditunjuk olehnya.

46

A.P.Parlindungan, Op.Cit., hlm.15.

Universitas Sumatera Utara

32

b.

Badan Hukum, yang pada asasnya badan – badan hukum apapun dilarang
untuk menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini
penggarap haruslah seorang petani. Tetapi adakalanya, bahwa justru
untuk kepentingan umum atau kepentingan desa, sesuatu badan hukum
perlu diberi izin untuk menjadi penggarap. Misalnya suatu koperasi tani
yang ingin menjadi penggarap atas tanah-tanah yang terlantar di desadesa. Dalam hal ini hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa yang akan
diizinkan dan bukan badan-badan hukum lain, sebagimana Perseroan
Terbatas dan C.V.

c.

Hasil tani ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh
penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya
untuk menanam dan panen sedangkan biaya tenaga kerja di tanggung oleh
penggarap sendiri.
Perjanjian bagi hasil berdasarkan pada pasal 01 Undang – undang Nomor

02 Tahun 1960 adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain
pihak yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan
perjanjian

mana

diperkenankan

oleh

pemilik

tersebut

untuk

menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik dengan pembagian
hasil antara kedua belah pihak.
2.

Bentuk Perjanjian Bagi Hasil

Universitas Sumatera Utara

33

Mengenai bentuk perjanjian bagi hasil ini disebutkan dalam pasal 3 Undang –
undang Nomor 02 Tahun 1960 yang menentukan bahwa semua perjanjian bagi hasil
harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis di hadapan Kepala
Desa atau yang setingkat dengan itu, tempat letaknya tanah yang bersangkutan
dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan
penggarap. Perjanjian secara tertulis ini dimaksudkan untuk menghindarkan keragu –
raguan, yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-hak dan kewajibankewajiban kedua belah pihak, lamanya jangka waktu perjanjian dan lainnya.
Perjanjian bagi hasil memerlukan pengesahan dari Camat dan atau kepala
Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu. Hal ini
dimaksukan agar pengawasan secara preventif dapat diselengkarakan dengan sebaikbaiknya. Perjanjian bagi hasil yang dibuat secara tertulis di hadapan Kepala Desa
tersebut perlu mendapat pengesahan dan diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan. Pentingnya Kepala Desa mengumumkan tentang adanya perjanjian
bagi hasil pada kerapatan adat atau desa agar segala sesuatunya menjadi terang dan
jelas.
Bentuk perjanjian bagi hasil sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
02 Tahun 1960 tentang pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang terdapat pada pasal 3
yakni;
1. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri
secara tertulis di hadapan Kepala Desa dari desa atau daerah yang setingkat
dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selanjutnya dalam

Universitas Sumatera Utara

34

undang-undang ini disebut ; Kepala Desa dengan dipersaksikan oleh dua
orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap;
2. Perjanjian bagi hasil termasuk dalam ayat (1) diatas memerlukan pengesahan
dari Camat atau Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain
setingkat dengan itu selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut : Camat;
3. Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi
hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir;
4. Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diatas.
Undang-undang bagi hasil ini menegaskan bahwa setiap perjanjian bagi hasil
harus dibuat dalam bentuk tertulis, disaksikan oleh dua orang saksi, dibuat dihadapan
Kepala Desa serta memerlukan Pengesahan dari Camat, yang bertujuan agar pihak
penggarap tidak dirugikan, juga untuk menghindarkan adanya keraguan yang
mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak, lamanya jangka waktu perjanjian.
Dalam peraturan Menteri Agraria nomor 4 tahun 1964 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil menetapkan dalam pasal 1 bahwa perjanjian
bagi hasil tersebut harus dibuat di hadapan Kepala Desa dengan cara mengisi buku
daftar yang disediakan untuk itu oleh Kepala Desa yang bersangkutan, dengan
disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pemilik dan penggarap menurut
daftar dari lampiran 1 peraturan tersebut, kemudian perjanjian itu dibukukan di dalam
buku daftar sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 02

Universitas Sumatera Utara

35

Tahun 1960 tersebut. Selanjutnya pada setiap bulan Kepala Desa menyampaikan
buku daftar tersebut kepada Camat yang bersangkutan untuk memperoleh pengesahan
dan tiap – tiap tiga bulan sekali yaitu pada akhir triwulan, camat dibantu oleh Panitia
Landreform Kecamatan memberikan laporan kepada Panitia Landreform Daerah
Tingkat II tentang hal ikhwal penyelenggaraan perjanjian bagi hasil di kecamatannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pedesaan juga dapat
diketahui yang menjadi tugas fungsi pokok dari pada kepala desa yaitu terdapat pada
pasal 26 dinyatakan bahwa :
(1)Kepada Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, Pembinaan Pemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2)Dalam melaksanakan tugas sembagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
Kepala Desa Berwenang:
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. Memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa
d. Menetapkan Peraturan Desa;
e. Menetapkan Anggaran Pendapatandan BelanjanDesa;
f. Membina kehidupan masyarakat Desa;
g. Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h. Membina
dan
meningkatkan
perekonomian
Desa
serta
mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. Mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. Mengembangkan kehidupan sosial masyarakat Desa;
l. Memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. Mengordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjukkan kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
o. Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

36

(3) Dalam menjalankan tugas yang dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berhak:
a. Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan Desa;
b. Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan
lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan;
dan
e. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada
perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
Kepala Desa berkewajiban:
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan
dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhineka Tunggal Ika;
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. Menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. Melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel,
transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari
kolusi, korupsi dan nepotisme;
g. Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
h. Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. Mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. Melaksanakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Desa;
k. Menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. Mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan
lingkungan hidup;dan
p. Memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Kemudian dari pada itu, dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak
dan kewajiban sebagimana yang dimaksud dalam pasal 26 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014, maka Kepala Desa berkewajiban untuk;

Universitas Sumatera Utara

37

a. Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir
tahun masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
b. Meyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir
masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. Memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran;
dan
d. Memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan
pemerintah secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun
anggaran.
3.

Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil
Dalam undang-undang nomor 02 Tahun 1960, jangka waktu perjanjian

dibatasi dengan tahun. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 yakni:
1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan di dalam surat
perjanjian tesebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu
itu ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurangkurangnya 5 (lima) tahun.
2) Dalam hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda
Agraria, oleh Camat diizinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan
jangka waktu yang kurang dari apa yang ditentukan dalam ayat ( 1 ) diatas,
bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil diatas tanah yang
bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka
perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen,
tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun.

Universitas Sumatera Utara

38

4) Jika ada keragu-raguan, apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau sawah
kering, maka Kepala Desalah yang memutuskannya.
Penetapan jangka waktu dalam undang-undang ini diharapkan dapat
menjamin penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak dalam
berusaha untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan waktu 3 (tiga) tahun untuk
sawah dan 5 (lima) tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas
minimum.
Perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan
perjanjian bagi hasil itu berahlih kepada pemilik baru. Dan jika penggarap meninggal
dunia, maka perjanjian bagi hasil itu berahlih kepada atau dilanjutkan oleh ahli
warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian
hanya mungkin dala hal-hal sebagai berikut;
a. Atas persetujuan kedua bela hpihak yang bersangkutan dan telah mereka
laporkan kepada Kepala Desa.
b. Dengan izin Kepala Desa atas tuntukan si pemilik, didalam hal penggarap
tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagimana mestinya atau tidak
memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang
telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memeuhi beban-beban yang
menjadi tanggungannya seperti ditegaskan didalam perjanjian kepada orang
lain.

Universitas Sumatera Utara

39

4.

Syarat sahnya perjanjian bagi hasil
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dikatakan sah menurut Undang – undang

nomor 02 tahun 1960, adalah:
1) Dalam pasal 3 ayat ( 1 ) dirumuskan, bahwa semua perjanjian bagi hasil harus
dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala
Desa tempat letaknya tanah yang bersangkutan, dengan dipersaksikan oleh 2 (
dua) orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. Maksud dari
ketentuan ini ialah :
a.

Agar dapat dihindarkan terjadinya keragu-raguan di kemudian hari, yang
mungkin menimbulkan

perselisihan mengenai hal sesuatu yang

bersangkutan dengan perjanjian itu.
b.

Agar dapat diselenggarakan pula pengawasan baik secara preventif, agar
ketentuan-ketentuan dari Undang-undang Nomor 02 tahun 1960 itu
diindahkan sebagaimana mestinya.

2) Jika pemilik tanah belum cakap hukum, ia diwakili oleh walinya, yang
bertindak untuk ada atas namanya, jika pemilik sudah sangat lanjut usianya
atau sakit sehingga tidak dapat datang sendiri kehadapan Kepala Desa untuk
menandatangani surat perjanjian itu, maka dapatlah pemilik tersebut
diperkenankan menunjuk kuasa untuk menandatangani atas namanya.
Didalam hal yang demikian, maka didalam surat perjanjian yang bersangkutan
supaya dicatat pula alasan, mengapa pemilik tidak dapat menandatanganinya
sendiri.

Universitas Sumatera Utara

40

3) Oleh Kepala Desa yang bersangkutan pada waktu diadakan perjanjian
hendaknya dijelaskan kepada pemilik dan penggarap ketentuan-ketentuan dari
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 serta ketentuan-ketentuan yang
disebutkan dalam surat perjanjian itu, khususnya mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban mereka masing-masing. Jika pemilik dan penggarap
mengadakan syarat-syarat yang tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan
penetapan kepala daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya, maka
hal itu hendaknya diberitahukan pula pada mereka untuk ditiadakan atau
diganti dengan syarat lain.
4) Jika penggarap itu adalah suatu badan hukum, maka sebelum perjanjian bagi
hasil diadakan dengan pemilik daerah Swatantara Tingkat II (Kabupaten /
Kota) dari daerah tempatnya tanah yang akan dibagihasilkan itu, yaitu kalau
badan hukum tersebut berbentuk koperasi tanai atau koperasi desa.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 dinyatkan,
bahwa pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang untuk menjadi
penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini penggarap haruslah seorang
petani, tetapi ada kalanya, bahwa justru untuk kepentingan umum atau
kepentingan desa, sesuatu badan hukum perlu diberi izin untuk menjadi
penggarap atas tanah-tanah yang terlantar di desa-desa. Dalam hal itu
hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan bukan
badan hukum lain.

Universitas Sumatera Utara

41

Dalam menentukan diizinkan atau tidaknya suatu badan hukum menjadi
penggarap, harus diadakan penilaian dari sudut kepentingan desa atau
kepentingan umum.
Didalam pemberian izin kepada koperasi desa dan koperasi tani itu
hendaknya diminta pertimbangan pada instansi-instansi setempat yang
bersangkutan, misalnya pejabat-pejabat dari jawatan agraria, koperasi,
pertanian yang dianggap perlu.
5) Surat-surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam langkap tiga, yang aslinya
dibubuhi materai, disimpan pemilik atau penggarap sebagai turunan. Lembar
kedua dan ketiga tidak ditanda tangani oleh pemilik, penggarap dan para
saksi, tetapi merupakan turunan yang diberikan oleh Kepala Desa. Dengan
demikikan tidak perlu bermaterai. Surat perjanjian dicatat oleh Kepala Desa di
dalam buku register.
6) Sebab oleh karena keadaan daerah tidak selalu sama, maka kiranya kuranglah
bijaksana jika besarnya biaya administrasi yang boleh dipungut oleh Kepala
Desa berhubung karena pekerjaan yang bersangkutan dengan pembuatan
surat-surat perjanjian itu ditetapkan secara sentral. Lebih tepatlah kiranya
bilamana penetapan itu diadakan untuk setiap daerah Swatantara Tingkat II
dipersilahkan untuk menetapkan besarnya biaya yang dimaksudkan itu, untuk
daerahnya masing-masing. Untuk tidak menambah beratnya beban pihakpihak yang bersangkutan maka penetapan biaya tersebut hendaknya jangan
melampaui Rp.10,- (Sepuluh Rupiah) untuk tiap perjanjian, yang harus

Universitas Sumatera Utara

42

dibayar oleh pemilik, kecuali penggarap adalah suatu badan hukum, dalam hal
mana penggaraplah yang membayarnya.
7) Surat-Surat Perjanjian yang ditandatangani oleh Pemilik, penggarap, para
saksi dan Kepala Desa secepat mungkin diajukan kepada Camat untuk
memperoleh pengesahan.
8) Surat-surat perjanjian yang diterima oleh Camat itu dicatat dalam buku
register. Oleh Camat hendaknya diadakan pemeriksaan apakah segala sesuatu
yang sudah memenuhi atau tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan
dari Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960 serta dengan penetapan Kepala
Daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya. Jika diperlukan izin
bagi penggarap karena tanah garapannya melebihi 3 hektak ( pasal 2 ayat ( 2 )
maka hendaknya diperhatikan apa yang disebut dalam pejelasan Undang –
Undang Nomor 02 Tahun 1960 yang dipakai sebagai pedoman. Pada asasnya
seorang petani yang sudah mempunyai tanah 3 hektar tidak diperkenankan
untuk mendapat tanah garapan lagi, tetapi kalau luas tanah yang melebihi 3
hektar itu tidak seberapa (sebagai pedoman ditetapkan paling banyak ½
(seperdua) hektar maka tidaklah ada keberatan untuk diberi izin). Agar para
pihak yang berkepentingan dapat segera memperoleh kepastian mengenai
perjanjian yang dilakukan tersebut, maka hendaknya para Camat memberi
keputusan untuk mengesahkan perjanjian yang diterima dalam waktu paling
lama 1 ( satu ) minggu.

Universitas Sumatera Utara

43

9) Perjanjian-perjanjian yang mendapat pengesahan Camat diumumkan oleh
Kepala Desa dalam kerapatan desa atau adat yang akan datang berikutnya.
5.

Hak, Kewajiban Pemilik dan Penggarap
a. Hak dan Kewajiban Penggarap
Dalam berlangsungnya perjanjian bagi hasil, maka pemilik berhak atas
bagian tanah yang ditetapkan oleh Bupati atau Kepala Daerah Tingkat II
setempat.
Dilain pihak yang menjadi kewajiban pemilik sekaligus merupakan
kewajiban penggarap seperti yang telah diatur dalam pasal 8, 9, dan 10
Undang – Undang Nomor 02 Tahun 1960, yakni :
1) Larangan pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada
pemilik yang bersangkutan dengan maksud untuk memperoleh hak
mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi hasil.
2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada poin di atas berakibat bahwa
uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan
pada bagian pemilik dari hasil tanah termasuk dalam pasal 7.
3) Larangan adanya pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan
penggarap, kepada penggarap atau pemilik dalam bentuk apapun juga
yang mempunyai unsur – unsur ijon.
4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa
yang dibayarkan tersebut pada poin ketiga diatas, tidak dapat dituntut
kembali dalam bentuk apapun juga.

Universitas Sumatera Utara

44

5) Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang
untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adlah
pemilik tanah yang bersangkutan.
6) Dengan berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka
waktu maupun karena salah satu sebab pada pasal 6, penggarap wajib
menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam
keadaan baik.
Undang-Undang ini juga menegaskan larangan terhadap adanya ijon
baik kepada penggarap maupun kepada pemilik, seperti pembayaran
dilakukan

lama

sebelum

panen,

ataupun

dengan

bunga,

juga

menghentikan kebiasaan dalam meperoleh hak untuk bagi hasil dimana
calon penggarap tersebut memberikan barang atau pemberian sesuatu
ataupun sejumlah uang kepada pemilik.
b. Hak dan Kewajiban Penggarap
Penggarap selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk
mengusahakan tanah yang bersangkuran dan menerima bagian dari hasil tanah
itu sesuai dengan imbangan pembagian yang ditetapkan bagi daerah tersebut.
Kewajiban penggarap yang sebagaimana telah ditentukan juga merupakan
kewajiban bersama antara pemilik dan penggarap, untuk itu penggarap
berkewajiban pula untuk;
1) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik;
2) Menyerahkan bagian hasil yang menjadi hak dari pemilik;

Universitas Sumatera Utara

45

3) Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungan selaku penggarap;
4) Meminta izin kepada pemilik apabila penggarap ingin menyerahkan
pengusahaan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
6.

Luas Maksimum
Batasan terhadap luas maksimum tanah yang dipunyai oleh penggarap baik

milik sendiri atupun yang diperoleh karena sewa atau bagi hasil adalah 3 (tiga)
hektar, seperti yang telah diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 02 Tahun
1960 tentang Perjanjian bagi Hasil yakni;
1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam poin 3 dan tiga pasal
ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam pejanjian bagi hasil
hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri
maupun yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjanjian bagi hasil
ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar;
2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi hasil tanah
garapannya akan melebihi 3 ( tiga ) Hektar, diperketankan menjadi penggarap,
jika mendapat ijin dari Menteri Muda Agraria atau Agraria, atau pejabat yang
ditunjuk olehnya;
3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil,
kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk
olehnya.
Pembatasan terhadap luas maksimum tanah yang dikerjakan oleh penggarap
dimaksudkan agar tanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja, juga agar

Universitas Sumatera Utara

46

sebanyak mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Pemilik yang
diperkenankan untuk membagihasilkan tanahnya adalah apabila pemilik tersebut
memiliki tanah 2 (dua) hektar ke atas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang penetapan
perimbangan khusus dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil.
Tentang badan hukum menjadi penggarap adalah dilarang dalam hal
perjanjian bagi hasil. Tetapi ada kalanya bahwa untuk kepentingan umum atau
kepentingan desa, sesuatu badan hukum perlu di beri ijin untuk menjadi penggarap
atas tanah-tanah terlantar di desa, dalam memori penjelasan undang-undang
disebutkan bahwa badan hukum di maksud adalah badan hukum yang berbentuk
koperasi tani.
7.

Imbangan Pembagian Hasil Tanah
Jumlah besarnya hasil tanah secara umum diatur oleh Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 02 Tahun 1960, yang menyatakan besarnya bagian hasil tanah yang menjadi
hak penggarap dan pemilik untuk setiap Daerah Tingkat II yang bersangkutan,
dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat
yang disisihkan sebelum dibagi dan factor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan
adat setempat.

Bupati Daerah Tingkat II memberikan keputusannya mengenai

penetapan imbangan pembagian hasil tanah kepada Badan Pemerintah Harian dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960 telah memberikan
pedoman dalam imbangan hasil tanah antara pemilik dan penggarap, yakni;
1) 1 : 1 ( satu banding satu ) untuk padi yang ditanam di sawah.

Universitas Sumatera Utara

47

2) 2 / 3 ( dua per tiga ) bagi penggarap dan 1 / 3 ( satu per tiga ) bagi pemilik
untuk tanaman palawija yang di tanam di sawah dan/ atau di tanah kering.
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 04 Tahun 1964,
menetapkan dalam pasal 1, yaitu bagi pemilik tanah 2 hektar yang
menyerahkan tanahnya dengan perjanjian bagi hasil dan belum melaksanakan
bagi hasil sesuai dengan imbangan yang telah ditetapkan oleh Bupati / Kepala
Daerah Tingkat II yang bersangkutan menurut ketentuan Undang-Undang
Nomor 02 Tahun 1960, maka terhitung panen awal, setiap kali melakukan
pelanggaran dikenakan perimbangan pembagian hasil sebagai berikut :
1) 60 % (enam puluh persen) untuk penggarap tanah
2) 20 % (dua puluh persen) untuk pemilik tanah
3) 20 % (dua puluh persen) untuk pemerintah yang harus diserahkan kepada
panitia landreform kecamatan setempat, kecuali bagi daerah yang telah
memberlakukan ketentuan perjanjian bagi hasil dengan imbangan 60 %
(enam puluh persen) untuk bagian penggarap.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 tentang
pedoman pelaksanaan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1960, maka
besarnya bagi hasil tanah tersebut adalah:
1) 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 ( satu ) bagian untuk pemilik bagi
tanaman padi yang ditanam di sawah;

Universitas Sumatera Utara

48

2) 2 / 3 ( dua per tiga ) bagian untuk penggarap, 1/ 3 ( satu per tiga ) bagian
untuk pemilik bagi tanaman palawija yang ditaman di sawah dan padi
yang ditanam dilahan kering.
Pembagian tersebut ialah hasil bersih yaitu hasil kotor setelah dikurangi
dengan biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga
ternak, biaya menanam, biaya panen dan zakat.
Berkaitan denga hal itu, denga keputusan bersama Menteri Dalam Negeri
dan

Menteri

Pertanian

Nomor

221

Tahun

1980

dan

Nomor

714/Kpts/Um/9/1980 tentang petunjuk pelaksanaan Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 dalam bagian kedua menentukan
bahwa besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan
pemilik, sebagimana yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor
02 Tahun 1960, sepanjang mengenai padi yang ditanam disawah,
mempergunakan pedoman sebagai berikut;
1) Ditetapkan oleh Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah berdasarkan usul
dan pertimbangan Camat / Kepala Wilayah Kecamatan serta instansi –
instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi
pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerah itu, dengan
terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan Kepala Desa dengan
Lembaga Musyawarah Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa.

Universitas Sumatera Utara

49

2) Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam
dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir d Undang- Undang
Nomor 02 tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk hasil natura padi gabah,
sebesar maksimum 25 % ( dua Puluh lima Persen ) dari hasil kotor yang
besarnya di bawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam
Daerah Tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan atau dalam bentuk
rumus sebagai berikut :
Z = 1 / 4 x, dalam mana,
Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan
panen
X = hasil kotor
3) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi ratarata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh
Bupati / Walikotamadya Kepada Daerah yang bersangkutan, maka hasil
kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak,
tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus ( 2 ) diatas, dibagi
dua sama besar antara penggarap dan pemilik, atau dalam bentuk rumus
sebagai berikut ( rumus 1 );
Hak Penggarap = Hak Pemilik = X – Z = X – 1 / 4 X
2
2
4) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap di atas hasil produksi rata-rata
Daerah Tingkat II/ Kecamatan sebagaimana yang ditetapkan oleh Bupati /

Universitas Sumatera Utara

50

Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian
yang menjadi hak penggarap dan pemilik ditetapkan sebagai berikut :
a.

Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi (antara
penggarap dan pemilik ) menurut rumus 1 diatas.

b.

Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap
dan pemilik dengan imbangan 4 (empat) bagian bagi penggarap dan 1
(satu) bagian bagi pemilik atau dalam bentuk rumus sebagai berikut
(rumus 2) ;
Hak Penggarap = Y – Z + 4 ( X – Y ) = Y – 1 / 4 X + 4 ( X – Y )
2
5
2
5
Hak Pemilik = Y – Z + 1 ( X – Y ) = Y – 1 / 4 X + 4 ( X – Y )
2
5
2
5
Dimana Y = hasil produksi rata – rata Daerah Tingkat II atau
Kecamatan yang bersangkutan

5) Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada
kenyataannya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1 dan
rumus 2 di atas, maka tetap diperlakukan imbangan yang lebih
menguntungkan penggarap.
6) Ketetapan Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah mengenai besarnya
imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta
hasil produksi rata-rata per hektar di Daerah Tingkat II atau Kecamatan
yang bersangkutan, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

51

7) Zakat disisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisab padi ditetapkan
sebesar 14 kwintal.
8.

Perjanjian Bagi Hasil Setelah Berlakunya UUPA Nomor 05 Tahun 1960
Undang-Und

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Di Kecamatan Payung Kabupaten Karo)

3 57 149

PELAKSANAAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN Pelaksanaan Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Komparatif Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan Pelaksanaan Bagi Hasil di Desa Blagungan Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sra

0 2 15

PENDAHULUAN Pelaksanaan Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Komparatif Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan Pelaksanaan Bagi Hasil di Desa Blagungan Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen).

0 5 5

PELAKSANAAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN Pelaksanaan Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Komparatif Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan Pelaksanaan Bagi Hasil di Desa Blagungan Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sra

0 0 17

PERJANJIAN BAGI HASIL ATAS TANAH PERTANIAN DI DESA CITALEM KECAMATAN CIPONGKOR KABUPATEN BANDUNG BARAT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960.

0 0 2

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

0 0 18

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

0 0 2

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

0 1 17

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Chapter III V

0 0 63

Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Ujung Teran Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat

0 0 4