Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Ikan bawal air tawar merupakan ikan ekonomis penting, baik pada tingkat
benih sebagai ikan hias maupun pada tingkat dewasa sebagai ikan konsumsi.
Sebagai ikan hias, disamping mempunyai bentuk tubuh yang khas dan warna yang
menarik (sehingga disebut red belly), juga dapat berenang cepat dan mudah
dipelihara dalam akuarium. Sedangkan sebagai ikan konsumsi, ikan ini sangat
digemari masyarakat karena mempuyai daging yang tebal dan gurih, serta cepat
pertumbuhannya (Haetami, dkk., 2005).
Ikan bawal air tawar memilki 2 buah sirip punggung yang letaknya agak
bergeser ke belakang. Sirip perut dan sirip dubur terpisah, sedangkan sirip ekor
berbentuk homocercal. Ikan bawal memiliki bibir bawah menonjol dan memiliki
gigi besar serta tajam untuk memecah bibi-bijian atau buah-buahan yang
ditelannya. Lambung ikan bawal air tawar berkembang baik dan memiliki 43-75
buah cecapylorica. Panjang usus berkisar 2 - 2,5 kali panjang badan. Ikan bawal
memiliki insang permukaan, sehingga permukaan pernapasannya lebih luas dari
pada jenis ikan lain. Permukaan pernapasan yang luas ini memungkinkan ikan
bawal air tawar mampu bertahan hidup pada perairan yang memiliki kandungan

oksigen rendah. Pada kondisi perairan dengan kandungan oksigen terlarut kurang
dari 0,5 mg/l masih memungkinkan ikan ini dapat bertahan selama beberapa jam
(Yulianti, 2007). Deskripsi ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Gambar 2.

7

Gambar 2. Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Klasifikasi dan tatanama ikan bawal air tawar menurut Kottelat, dkk.,
(1993) adalah sebagai berikut:
Filum

: Chordata

Subfilum

: Craniata

Kelas


: Pisces

Subkelas

: Neopterigii

Ordo

: Cypriniformes

Subordo

: Cyprinoidea

Famili

: Characidae

Genus


: Colossoma

Spesies

: Colossoma macropomum

Pakan alami ikan bawal air tawar adalah plankton, rumput-rumputan,
biji-bijian, buah-buahan dan padi-padian liar. Ikan bawal yang dipelihara dalam
kolam cenderung ganas dan buas, suka menyerang ikan-ikan lain yang lemah dan

8

berukuran kecil. Oleh karena itu pembesaran ikan bawal sebaiknya dilakukan
secara monokultur di kolam air tenang tanpa pergantian air, kolam air mengalir
(kolam air deras) dan jala apung yang dipasang di pinggir waduk atau danau
(Yulianti 2007).
Bawal air tawar menjadi ikan hias boleh dibilang wajar karena bentuk
tubuhnya cukup unik, pipih seperti ikan discus. Selain itu, warnanya menarik,
gerakannya mempesona dan mempunyai sifat bergerombol bila dipelihara dalam
jumlah banyak. Oleh karenanya, ikan ini terutama yang masih kecil sering

dipelihara dalam akuarium yang dipajang dalam rumah. Menjadi ikan konsumsi,
bawal pun juga boleh dibilang wajar karena pertumbuhannya cepat dan dapat
mencapai ukuran besar (500gram) (Arie, 2000).

Kualitas Air Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Mutu Air

adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji

berdasarkan parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Sedangkan baku
mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/ atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup
(Purwanta, 2013).
Kualitas air dinyatakan dalam beberapa parameter, yaitu parameter fisika
(suhu, kekeruhan, padatan terlarut), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD,


9

kadar logam), dan parameter biologi (keberadaan plankton, dan bakteri)
(Syauqi, 2009). Ikan bawal air tawar termasuk tidak banyak menuntut lingkungan
bagus sebagai media hidupnya. Ikan ini mampu bertahan pada perairan yang
kondisinya jelek sekalipun, namun akan tumbuh dengan normal dan optimal pada
perairan yang sesuai dengan persyaratan habitatnya. Kisaran kualitas air yang
optimal untuk ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar (Colossoma
Macropomum).
Parameter

Nilai

Suhu

27-290C

Oksigen Terlarut


2,4-6 mg/l

Karbondioksida

Maksimal 5,6 mg/l

pH

7-8

Amoniak

Maksimal 0,1 mg/l

Nitrit

Maksimal 1 mg/l

Alkalinitas


50-300 mg/l CaCO3

Sumber

Djarijah (2001)

Effendi (2003)

Sumber : Syauqi (2009)
Limbah Cair Industri Tahu
Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu
maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah
padat dan cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena
limbah padat industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Air banyak
digunakan sebagai bahan pencucian dan merebus kedelai untuk proses
produksinya. Akibat dari banyaknya pemakaian air dalam proses pembuatan tahu
maka limbah cair yang dihasilkan juga cukup besar. Limbah cair industri tahu
memiliki beban pencemar yang tinggi. Pencemaran limbah cair industri tahu

10


berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas pembuatan
tahu dan air bekas perendaman tahu (Agung dan Hanry, 2009).
Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah,
yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa
kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat
lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut
dengan ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses awal
(pencucian) bahan baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terjadi tidak
begitu banyak (0,3)% dari bahan baku kedelai. Limbah cair pada proses produksi
tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan
proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu. Sebagian
besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan
kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih. Cairan ini
mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah ini sering
dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan
bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007).
Air buangan dari proses pembuatan tahu ini menghasilkan limbah cair
yang menjadi sumber pencemaran bagi manusia dan lingkungan. Limbah tersebut,
bila dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mengakibatkan

kematian makhluk hidup dalam air termasuk mikroorganisme (jasad renik) yang
berperan penting dalam mengatur keseimbangan biologis air, oleh karena itu
penanganan limbah cair secara dini mutlak perlu dilakukan (Husin, 2008).

11

Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu
Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu
yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis,
kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan
permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu 30°C35°C dan sekitar 80°C-100°C dari air bekas merebus kedelai. Senyawa-senyawa
organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak
dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah
yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50% sedangkan lemak 10%.
Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan
meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut (Husni dan Esmiralda, 2010).
Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain :
1.

Padatan tersuspensi , yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam

air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan
air, semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut maka air akan
semakin keruh.

2.

Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai
jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang
diperlukan oleh aktivitas mikroba dalam menguraikan zat organik secara
biologis di dalam limbah cair. Limbah cair industri tahu mengandung bahanbahan organik terlarut yang tinggi.

3.

Oksigen yang Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen
kimiawi merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator untuk

12

mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat
dalam air. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka

oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan
dan hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan
hidup.
4.

Nitrogen – total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran
senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino dan protein
(polimer asam amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari
campuran N-organik, N-Amonia, nitrat dan nitrit. Nitrogen organik dan
nitrogen amonia dapat ditentukan secara analitik menggunakan metode
Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan
sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa N-Total adalah
senyawa-senyawa yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui
aksi mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah.

5.

Derajat keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam
pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah menguap. Hal ini
mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk (Husin,
2008).

Mortalitas
Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua
tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah
kelahiran hidup (World Health Organization). Kematian dapat menimpa kapan
saja dan dimana saja. Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian (umumnya,
atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi,

13

per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan
kematian per 1000 individu per tahun, hingga rata-rata mortalitas sebesar 9.5
berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda
dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit
selama periode waktu tertentu (Daelami, 2001).
Apabila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup
tinggi maka kadar oksigen terlarut cepat sekali mengalami pengurangan. Keadaan
perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah maka akan berbahaya
bagi organisme akuatik. Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (letal)
maupun bukan kematian (sub letal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah
laku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik (Bosman dkk, 2013).
Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan
kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan
karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya
berupa bahan – bahan yang bukan bahan alam,misalnya pestisida, detergen, dan
bahan artifisial lainnya (Effendi, 2003).
Proses terjadinya mortalitas kelihatan berawal dari perubahan tingkah laku
seperti dari gerakan normal menjadi gerakan tak menentu, tubuh membentuk garis
vertikal dengan permukaan air, benih ikan jatuh ke dasar akuarium dan akhirnya
ikan mati (Syafriadiman dkk, 2009). Pengaruh zat toksik terhadap ikan
menyebabkan morfologi insang berubah dan tidak menyebabkan kematian dalam
periode panjang. Selain itu, zat toksik dapat merusak fungsi respirasi dari insang
sehingga proses metabolisme dalam tubuh terganggu dan menurunkan laju
pertumbuhan (Kusriani dkk, 2012).

14

Rudiyanti dan Astri (2009) menyatakan bahwa ikan yang terkena racun
bahan pencemar dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif, menggelepar, lumpuh
dan

kemudian

mati.

Secara

klinis

hewan

yang

terkontaminasi

racun

memperlihatkan gejala stress bila dibandingkan dengan kontrol, ditandai dengan
menurunnya nafsu makan, gerakan kurang stabil, dan cenderung berada di dasar.
Hal ini diduga sebagai suatu cara untuk memperkecil proses biokimia dalam
tubuh yang teracuni, sehingga efek lethal yang terjadi lebih lambat.

Uji Pendahuluan (Nilai Kisaran)
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical
range test) yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam
uji lanjutan atau uji toksisitas sesungguhnya, yaitu konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati
50% (Husni dan Esmiralda, 2010).
Percobaan pada tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kisaran
konsentrasi krisis bahan uji yang akan digunakan untuk penentuan LC50.
Pengujian dihentikan setelah mencapai jam ke-48. Hewan uji yang mati pada
waktu pengamatan segera dikeluarkan dari media uji untuk menghindari
kemungkinan perubahan kualitas air yang bukan disebabkan oleh bahan uji.
Hewan uji diamati pada tiap konsentrasi dan dihitung secara kumulatif dalam tiap
jam. Disamping itu diamati pula tingkah laku hewan uji dalam wadah yang diberi
perlakuan. Nilai LC50 ditentukan untuk tujuan penelitian nilai ambang batas yang
layak di suatu lingkungan penelitian (Rumampuk, dkk., 2010).

15

Uji Toksisitas
Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan kimia dan
durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria efek. Efek dari suatu
bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana organisme perairan dapat
melakukan seluruh aktivitasnya secara normal, dan hanya dengan keberadaan
stress lingkungan (contoh : perubahan dalam pH, DO, dan suhu) bahan kimia
tersebut menimbulkan dampak buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk
juga dapat ditimbulkan oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas
(yang tidak terdeteksi pada awal uji) dengan bahan kimia utama yang diuji,
walaupun tanpa kehadiran stress lingkungan. Uji toksisitas dilakukan untuk
mengukur tingkatan respons yang dihasilkan oleh level spesifik dari suatu
stimulus (konsentrasi bahan uji kimia) (Tahir, 2012).
Penelitian toksisitas sangat penting untuk mengetahui batas toksisitas dan
konsentrasi aman, sehingga akan ada kerugian minimum untuk biota air
kedepannya. Di antara beberapa penelitian tentang toksisitas, bioassay yang
merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam studi
lingkungan akuatik dengan organisme yang sesuai. Penggunaan ikan sebagai
bioassay karena ikan dapat beradaptasi terhadap kondisi laboratorium serta
ketersediaan mereka melimpah dan tingkat bervariasi kepekaan terhadap zat
beracun (Damayanty dan Nurlita, 2013).
Limbah cair industri tahu yang dibuang ke badan air penerima tanpa
pengolahan merupakan salah satu sumber pencemar terhadap perairan yang
menyebabkan kematian biota aquatik sehingga perlu dilakukan penelitian uji
toksisitas akut. Uji toksisitas akut merupakan salah satu bentuk penelitian

16

toksikologi perairan. Uji tersebut berfungsi untuk mengetahui apakah effluent
yang masuk ke badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam
konsentrasi tertentu menyebabkan kematian hewan uji yang dinyatakan dalam
nilai LC50. Hewan uji yang digunakan adalah ikan karena dapat menunjukkan
reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap senyawa pencemar terlarut
dalam batas konsentrasi tertentu (Husni dan Esmiralda, 2010).
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi
toksisitas akut LD50, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik, dan
mekanisme kematian. Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya
toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh
data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk
memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat
dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya (Soeksmanto dkk, 2010).
Uji toksisitas dibedakan menjadi uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik.
Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukkan Lethal dose atau disingkat LD50
suatu zat. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik
diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Assagaf dkk, 2013).
Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah satu
bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah
efluen atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam
konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Sehingga uji ini dapat digunakan
dalam menilai kinerja suatu unit pengolahan. Parameter yang diukur biasanya
berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang

17

menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek
(Esmiralda, 2010).
Uji toksisitas akut merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi
toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan tertentu
dalam suatu pemaparan jangka pendek terhadap berbagai konsentrasi bahan kimia
uji. Kriteria efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan),
ketiadaan gerakan/immobility dan kehilangan keseimbangan (pada avertebrata),
dan pertumbuhan (pada alga). Uji toksisitas akut dapat dilakukan dengan suatu
jangka waktu pemaparan yang telah ditentukan (time-dependent test) untuk
mengestimasi LC50 24 jam atau LC50 96 jam atau mengestimasi EC50 48 jam.
Akan tetapi, uji toksisitas akut juga dapat dilakukan dengan batas waktu
pemaparan

yang

tidak

ditentukan

sebelumnya

(time independent

test)

(Tahir, 2012).
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam dosis tunggal. Jadi yang
dimaksud dengan uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur
derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan
pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan
dalam satu kesempatan saja. Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk
menentukan potensi ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan
gejala yang timbul pada hewan uji. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas
akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan
data kualitatif yang berupa gejala klinis (Atmojo, 2009).

18

Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang
dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub akut, dan kronis. Toksisitas
akut adalah efek total pada dosis tunggal dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas
akut bersifat mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel. Dosis merupakan
jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh. Besar kecilnya dosis menentukan efek
secara biologi (Ramdhini, 2010).
Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple
dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat,
biasanya reversibel, yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari
hewan percobaan, dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk
menentukan

klasifikasi

zat

kimia

sesuai

dengan

toksisitas

relatifnya

(Retnomurti, 2008).

LC50
Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan,
perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu
dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi uji toksisitas digunakan untuk
mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat
menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis. Salah satu biota yang dapat
digunakan untuk uji toksisitas adalah ikan, dengan syarat harus mempunyai
kepekaan tinggi; memenuhi syarat umur, berat, dan panjang; serta sesuai dengan
ikan yang hidup di perairan yang tercemar (Pratiwi dkk, 2012).

19

Parameter Kualitas Air
Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang
tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan
dianalisis terlebih dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia,
dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi
mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), penyaing
(kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit (pathogen). Dengan demikian, air
yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan ikan yang akan dipelihara
(Daelami, 2001).
1. Oksigen terlarut
Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernapasannya harus terlarut dalam air.
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di
dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota
akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua
aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif
yang tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam
suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya
perbedaan struktur molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara
tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam dalam sel
darah (Kordi dan Tancung, 2007).
2. Suhu
Semua jenis ikan umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan
suhu air yang mendadak. Oleh karena itu, terjadinya kenaikan maupun penurunan
yang besar dan mendadak akan berakibat kurang baik bagi kehidupan ikan.

20

Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila terjadi perubahan
dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress dengan gejala ikan
berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di permukaan, serta terjadi
kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama. Kisaran suhu yang baik bagi
kepentingan budidaya ikan adalah antara 25-32 0C. Kisaran suhu ini umumnya
terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Indonesia. Dengan demikian, Indonesia
mempunyai

kondisi

yang

menguntungkan

untuk

usaha

budidaya

ikan

(Daelami, 2001). Suhu air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur
dapat menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Apabila ikan
mengalami kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan
berfungsi dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres (Sipahutar, dkk., 2013).
3. Derajat keasaman (pH)
Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu
rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan
akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak
yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).
4. Amoniak
Amoniak di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air,
berasal dari dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi
(Effendi, 2004). Bentuk amoniak di air yang berbahaya karena merupakan racun
bagi ikan adalah bentuk amoniak (NH3) bukan ion. Bentuk amoniak lain seperti
ion amoniak (NH4+) tidak berbahaya, kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi.

21

Tingkat daya racun amoniak (NH3) pada air kolam bisa mematikan ikan pada
batas 0,1-0,3 mg/l, sedang pada tingkat konsentrasi amoniak (NH3) antara 0,6-2,0
mg/l hanya dapat meracuni ikan jika terjadi kontak yang berlangsung secara
singkat (Daelami, 2001).