Religiusitas pada Lansia

BAB I
PENDAHULUAN

Masa Lansia atau usia tua adalah periode penutup dalam rentang kehidupan
seseorang. Masa lansia ini dikatakan pula sebagai suatu periode dimana seseorang telah
beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu
yang penuh manfaat. Usia 60-an, biasanya dipandang sebagai garis pemisah antara usia
madya dan usia lanjut (Hurlock, 1999). Proses menua merupakan suatu proses biologis.
Setelah bertahun-tahun, kondisi tubuh akan menurun, kulit menjadi kendur, berkerut,
fungsi sistem jantung dan pernafasan juga menurun. Perubahan juga terjadi pada otak.
Beberapa perubahan fisik yang dihubungkan dengan proses penuaan dapat diobservasi
secara langsung. Kulit individu yang menua menjadi lebih pucat, muncul bercak-bercak
di kulit, kulit menjadi kurang elastis dan seiring lemak dan otot yang mulai mengendur
kulit menjadi berkerut. Rambut di kepala juga semakin memutih dan mulai menipis
(Papalia, 2007).
Perubahan-perubahan tersebut sering diistilahkan dengan ‘proses menua’ yang
tentunya akan mempengaruhi struktur fisik maupun mental individu. Periode selama usia
lanjut, yaitu ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dikenal dengan
istilah ‘senescence’ yaitu masa proses menjadi tua. Kemunduran fisik maupun mental ini
dapat mengakibatkan kesehatan lansia menjadi buruk. Pada saat kesehatannya
memburuk, lansia cenderung berkonsentrasi pada masalah kematian. Semakin lanjut usia


4

seseorang, individu biasanya menjadi lebih mementingkan tentang kematian itu sendiri
dan kematian diri sendiri (Hurlock, 1999).
Pemikiran tentang kematian merupakan bagian yang penting pada tahap akhir
kehidupan bagi banyak individu. Lansia menghabiskan waktu lebih banyak untuk
memikirkan kematian dibandingkan dengan individu yang masih berusia muda.
Merenung dan merencanakan kematian merupakan bagian yang normal dalam kehidupan
lansia (dalam Lahey, 2003). Pada usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan mengenai kematian
meningkat, perkembangan integritas pun meningkat melalui peninjauan hidup yang
positif dan hal ini mungkin dapt membantu mereka untuk menerima kematian dengan
lebih baik (Santrock, 2009).
Kematian secara umum dipandang sebagai proses musnahnya tubuh (Papalia,
2007). Definisi kata’mati’ dalam kamus sangat sederhana yakni transisi antara kehidupan
dan ketiadaan hidup. Menurut Rab, kematian dapat disebabkan oleh empat faktor, yaitu
berhentinya pernafasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung serta
pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri. Dengan demikian kematian
dapat diartikan sebagai berakhirnya eksisitensi seorang manusia atau keadaan yang nyata

di dunia ini. Masyarakat di sepanjang sejarah peradaban manusia memiliki keyakinan
filosofis atau kepercayaan keagamaan yang berkaitan dengan kematian (Hoyer & Rodin,
2003). Satu hal pada lansia yang diketahui sedikit berbeda dari orang yang lebih muda
yaitu sikap mereka terhadap kematian. Banyak hal yang dapat mempengaruhi ketakutan
lansia terhadap kematian. Frey menyatakan bahwa lansia yang memiliki efikasi diri yang

5

positif memiliki tingkat ketakutan yang rendah tentang hal yang akan dialami pada saat
kematian dan memiliki tingkat ketakutan yang lebih sedikit terhadap rasa sakit yang
mungkin dialami pada saat kematian menjelang (Newman & Newman, 2006). Individu
yang mendeskripsikan diri mereka sebagai individu yang religius, yang memiliki sistem
dukungan sosial yang kuat dan yang memiliki rasa keberhargaan diri yang kuat
cenderung tidak mengalami ketakutan akan kematian (dalam Newman & Newman,
2006).
Pandangan masyarakat timur terhadap individu lanjut usia adalah suatu masa
untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan urusan
atau kegiatan keduniawian. Masa ini diyakini sebagai masa yang sudah dekat bagi lansia
untuk kembali ke hadirat Tuhan. Lansia menjadi lebih tertarik pada kegiatan keagamaan
karena hari kematiannya semakin dekat (Hurlock, 1999). Kondisi uzur di usia lanjut

menyebabkan lansia senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tidak berdaya dalam
menghadapi kematian. Rasa takut akan kematian ini pada lansia umumnya semakin
meningkat. Bimbingan dan penyuluhan agama sangat dibutuhkan oleh individu yang
berada pada tingkat usia lanjut ini untuk menghilangkan rasa kecemasan. Religiusitas
atau penghayatan keagamaan memiliki pengaruh yang ternyata sangat besar terhadap
kesehatan fisik dan mental lanjut usia. Koenig mengatakan bahwa individu yang berusia
65 tahun keatas menemukan bahwa agama merupakan faktor terpenting yang dapat
membantu lansia mengatasi stress (Lowry & Conco, 2002). Agama dapat memenuhi
beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi

6

kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan penting dalam
kehidupan serta menerima berbagai kekurnagan di masa tua (dalam Santrock, 2009).
Studi lain juga manyatakan bahwa praktik religiusitas dan perasaa religius
berhubungan dengan rasa kesejahteraan atau ‘sense of well being’, terutama pada wanita
dna individu diatas usia usia 75 tahun. Sama halnya dengan studi lain di San Diego yang
menyatakan hasil bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan
dengan kesehatan yang lebih baik (Cupertino & Haan, dalam Santrock, 2009).
Secara sosial, komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, seperti

aktivitas sosial, dukungan sosial dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru
atau pemimpin. Hasil studi mneyebutkan bahwa aktivitas beribadah atau bermeditasi
sering diasosiasikan dengan panjangnya usia (McCullough & Others, dalam Santrock,
2009). Hasil studi lain yang juga mendukung menyatakan bahwa terdapat sosiasi yang
positif antara religiusitas atau spiritualitas dengan kesejahteraan atau well-being,
kepuasan pernikahan dan keberfungsian psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan
buhun diri, penyimpangan, kriminalitas dan penggunaan alkohol serta obat-obatan
terlarang.
Idealnya selama masa dewasa akhir, perhatian ego akan kematian berkurang.
Seiring usia yang semakin bertambah, lansia umumnya juga akan semakin tertarik untuk
melibatkan diri dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Kondisi ini pada ahirnya
membuat individu cenderung menjadi lebih mudah dalam menerima kematian mereka
sebagaimana adanya dan mulai memandang kematian sebagai bagian yang alamiah
dalam rentang kehidupan. Kematian tidak lagi menjadi ancaman bagi nilai pribadi

7

seseorang (Newman & Newman, 2006). Berdasarkan pemaparan diatas, Maka penulis

tertarik untuk meninjau lebih lanjut mengenai teori-teori yang berkaitan religiusitas

dan masa akhir kehidupan atau lansia.

8