Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu bermanfaat untuk memberikan referensi dan
gambaran hasil penelitian orang lain yang masih berkaitan dengan penelitian yang
akan dilakukan. Ramdani (2014), “Pelaksanaan Program Pemuda Sarjana
Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP-3) dalam Meningkatkan Kemandirian
Wirausaha Pemuda dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah”
(Studi di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta). Mengingat sudah
lamanya program ini Kemenpora menyadari bahwa keberadaan program ini belum
terasa cukup signifikan dampaknya bila diukur dalam aspek pengurangan
kemiskinan dan peningkatan asset masyarakat. Pelaksanaan program PSP3 di
wilayah Kecamatan Dlingo menghadapi berbagai kendala seperti kondisi
geografis yang berbukit-bukit dan sebagian wilayah memang sulit untuk
dijangkau, keterbatasan akses/sarana transportasi yang ada, faktor bahasa dan
budaya karena peserta sebagian besar berasal dari luar wilayah Suku Jawa,
kurangnya dukungan dari pemerintah daerah setempat, unsur pendanaan dari
pengelola program.
Setiawati (2011). Dari Penelitian Implementasi program Pemberdayaan
Pemuda Berbasis Tempat Ibadah (PPBTI) Masjid, yang dilaksanakan pada tahun

2008-2011 di Kendal dan Indramayu disimpukan bahwa implementasi program
PPBTI telah berjalan dengan baik dan memenuhi kesesuaian implementasi
program PPBTI. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yang menunjukkan
berjalannya implementasi dengan baik program pemberdayaan pemuda berbasis

Universitas Sumatera Utara

tempat ibadah (Masjid) 2008-2011. Pelaksanaan PPBTI masih komitmen dalam
menjalankan program meskipun respon peseta di Indramayu tidak seoptimal
peserta di Kendal seluruhnya berjalan dengan baik dan tepat. Sedangkan di
Indramayu berjalan tiga tahun namun di tahun pertama digantikan karena yayasan
kurang baik dalam menjalankan program.
Afif (2011), “Efektivitas Program Pertukaran Pemuda Antar Negara
(PPAN) Dalam Upaya Pemberdayaan Pemuda”. Ketidak efektivan program ini
dari segi SDM yaitu kurangnya sumber daya manusia terutama dalam proses
seleksi di daerah-daerah yang tidak memiliki keterwakilan sehingga perlu
dilakukan perbaikan. Dalam program ini dalam hal proses seleksi terutama pada
materi seleksi dan juri yang melakukan penilaian perlu diadakan perbaikan.
Hambatan lainnya yaitu kurangnya koordinasi dengan jajaran pemerintahan
setempat sehingga menyulitkan peserta, terutama pada saat pelaksanaan kegiatan

dan kurangnya tindak lanjut setelah program.Program PPAN perlu direvitalisasi
agar berjalan lebih efektif dan dapat mencapai tujuan dari program PPAN dan
perlu

diperbaikinya

tingkat

koordinasi

dengan

pelaksana

pada

jajaran

pemerintahan daerah.
Sarties, (2011). ”Efektivitas


Program

Pemberdayaan

Pemuda Pada

Organisasi Kepemudaan Al Fatih Ibadurrohman Kota Bekasi”.Efektivitas
ketepatan sasaran program yang terdiri dari indikator ditujukan untuk pemuda
belum bekerja dan pemuda putus sekolah diketahui tidak berjalan dengan efektif
karena dalam pelaksanaannya terdapat banyak peserta yang bukan berasal dari
dua sasaran tersebut. Efektivitas tujuan program yang terdiri indikator
membangun

jiwa

kemandirian,

memiliki


semangat

kewirausahaan,

dan

Universitas Sumatera Utara

menciptakan kebersamaan menunjukan nilai efektivitas cukup. Dari ketiga
indikator ini, upaya Organisasi Kepemudaan Al Fatih agar para peserta memiliki
semangat kewirausahaan dan menciptakan

kebersamaan

mendapat

nilai

efektivitas yang tinggi dari responden.


2.2 Teori Evaluasi Program
Evaluasi sering diartikan secara sempit dan kurang relevan, masih banyak
memandang evaluasi hanya berdasarkan aktifitasnya yang penting menonjol saja.
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, misalnya evaluasi dipandang sebagai
testing, atau sekedar penilaian saja. Secara mendasar evaluasi dipandang oelh para
ahli dari segi ontology, epistimologi dan metodologi. Berikut ini beberapa
evaluasi untuk dapat dijadikan acuan atau perbandingan.
Beberapa definisi evaluasi yang dikenal cukup luas antara lain adalah tiga
definisi yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Negara Bagian
California, Cronbach dan Suppes serta a Join Committee On Standart Of
Evaluation: “evaluasi adalah proses menentukan nilai atau aktifitas suatu kegiatan
untuk tujuan pembuatan keputusan.” evaluasi adalah suatu proses dimana data
yang relevan dikumpulkan dan ditransformasikan menjadi informasi bagi
pembuatan keputusan”.
Evaluasi sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan standar objektif yang
telah ditetapkan kemudian diambil keputusan atas objek yang dievaluasi. Evaluasi
adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai implementasi dan manfaat
(outcomes) suatu program yang berguna untuk proses pembuatan keputusan.

Universitas Sumatera Utara


Evaluasi adalah metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan,
implementasi dan efektivitas suatu program.
Untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu program atau proyek
mencapai sasaran dan tujuan yang direncakan, maka perlu diadakan evaluasi
dalam rangka peningkatan kinerja program atau proyek tersebut seperti yang
diungkapkan oleh (Hikmat, 2004) bahwa evaluasi adalah proses penilaian
pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja proyek untuk memberikan
umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja proyek. Evaluasi program adalah
upaya penelitian yang dilakukan secara sistematis dan objektif dengan tujuan
mengkaji proses dan hasil dari suatu kegiatan/program/kebijakan yang telah
dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk menentukan sejauh mana hasil atau nilai
yang telah dicapai program.
Hal tersebut seiring dengan pendapat (Moekijat, 1981) bahwa evaluasi
suatu penilaian berarti penentuan nilai. Evaluasi sangat diperlukan dalam rangka
keberlanjutan (sustainability) program tersebut. Evaluasi juga dilakukan sebagai
perhitungan ketepatan terhadap suatu program/kegiatan sehingga program dapat
memberikan nilai investasi yang memadai, seperti yang diungkapkan (Djamin,
1933) sebagai berikut : maksud serta tujuan evaluasi proyek/program adalah untuk
melakukan perhitungan perhitungan agar pilihan kita tepat dalam rangka usaha

kita untuk melakukan suatu investasi modal sebab apabila perhitungan kita salah,
berarti akan gagal usaha kita untuk memperbaiki tingkat hidup, ini berarti pula
pengorbanan/ penghamburan terhadap sumber/faktor produksi yang memang
sudah terbatas (langka).

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itulah sebelum kita mengambil keputusan untuk melakukan
investigasi terhadap suatu proyek atau program perlu dilakukan persiapan yang
matang, perlu diadakan perhitungan percobaan, kemudian mengevaluasi untuk
menentukan hasil dari berbagai alternatif, dengan cara membandingkan aliran
biaya dengan kemanfaatan yang diharapkan dari masing-masing alternative untuk
sekarang dan kemudian hari. Evaluasi adalah proses mengumpulkan dan
menyajikan informasi mengenai objek evaluasi, menilainya dengan standart
evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek
evaluasi.
Tuckman (1985) mengartikan evaluasi sebagai suatu proses untuk
mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu
program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang teah ditentukan. Evaluasi
biasanya ditunjukan untuk menilai sejauh mana keefektifan suatu program agar

dilakukan perbaikan – perbaikan untuk meningkatkan kualitas hasil dari program
tersebut. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat
kesenjangan

antara

harapan

dan

kenyataan.

Evaluasi

adalah

kegiatan

membandingkan hasil yang dicapai dengan rencana yang telah ditentukan.
Penilaian merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan sejak

tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program (Wijono,
1997). Setiap program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan
harus diukur pula sejauh mana efektivitas serta efisiensinya. Evaluasi program
yang baik bagi suatu program yang akan dilaksanakan harus disusun secara
bersamaan dengan penyusunan program, maksudnya adalah apabila suatu
program disusun hendaknya diikuti dengan rencana untuk mengevaluasinya.

Universitas Sumatera Utara

Melihat beberapa pengertian diatas tentang evaluasi, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah
suatu program dimulai dari implementasi sampai keluaran (output), dan dampak
(impact) dari program tersebut telah sesuai dengan tujuan program bersangkutan.
Defenisi evaluasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah
penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan. Selanjutnya
menyajikan

informasi

dalam


rangka

pengambilan

keputusan

terhadap

implementasi dan efektivitas program. Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui
keberhasilan suatu program. Evaluasi mempunyai tujuan utama yaitu mengetahui
berhasil tidaknya suatu program. Evaluasi ditujukan untuk menilai sejauh mana
keefektifan

suatu

program

agar


dilakukan

perbaikan-perbaikan

untuk

meningkatkan kualitas hasil dari program tersebut dan sejauh mana tujuannya
tercapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan
tersebut. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi,
implementasi dan dampak (Anderson, 1975). Evaluasi kebijakan dalam hal ini
dipandang sebagai suatu kegiatan yang fungsional.
Evaluasi dilakukan tidak hanya pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan
dalam seluruh kebijakan. Evaluasi meliputi perumusan masalah kebijakan,
implementasi maupun dampak kebijakan. Evaluasi kebijakan dibedakan ke dalam
tiga tugas yang berbeda, yaitu yang pertama menentukan konsekuensi yang
ditimbulkan oleh suatu kebijakan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan
standar atau criteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas pertama untuk

Universitas Sumatera Utara

melihat suatu kebijakan publik telah mencapai tujuan dan dampak yang
diinginkan atau tidak. Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan adalah menilai suatu
kebijakan berhasil atau tidak dalam meraih dampak yang diinginkan. Sedangkan
tugas ketiga adalah evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif
program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi
masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya telah
dicapai. Pengetahuan menyangkut sebab kegagalan suatu kebijakan dalam meraih
dampak yang diharapkan dapat dijadikan pedoman untuk mengubah atau
memperbaiki kebijakan di masa mendatang.
2.2.1. Tes, Pengukuran, Penilaian, Evaluasi Program
Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam evaluasi, yaitu tes,
pengukuran dan penilaian. Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan
pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan infomasi karakteristik suatu objek.
Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun motivasi.
Respon peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan menggambarkan kemampuan
dalam bidang tertentu. Tes merupakan bagian tersempit dari evaluasi.
Mardapi (2000), Pengukuran dapat didefenisikan sebagai penentapan
angka dengan cara sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Dengan
demikian. Esensi dari pengukuran adalah kauntifikasi atau penetapan angka
tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.
Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pengukuran memiliki konsep yang lebih luas dari pada tes. Guru dapat mengukur

Universitas Sumatera Utara

karakteristik suatu objek tanpa menggunakan tes, misalnya dengan pengamatan,
atau cara lain untuk memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif.
Penilaian memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. Penilaian
sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang
kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan
dengan system institusi. Berdasarkan pendapat diatas disimpuklan bahwa
penilaian merupakan kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.
Mardapi (2000), mengemukakan dalam pelaksanaan evaluasi terdapat
tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu :
1. Penentuan focus yang akan dievaluasi;
2. Penyusunan design evaluasi
3. Pengumpulan informasi
4. Analisis dan interpretasi informasi
5. Pembuatan laporan
6. Pengelolaan evaluasi
7. Evaluasi untuk evaluasi
Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi,
evaluator pada tahap awal harus menentukan focus yang akan dievaluasi dan
desain yang akan digunakan.
Hal ini berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara
implisit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana
melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data, menganalisis
dan membuat interpetasi terhadap data yang terkumpul serta membuat laporan.

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara
keseluruhan. Ada empat hal yang ditekankan pada rumusan tersebut, yaitu
1. Menunjuk pada penggunaan metode penelitian;
2. Menekankan pada hasil suatu program;
3. Penggunaan criteria untuk menilai
4. Kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa
mendatang.
Berdasarkan pendapat diatas disimpulkan bahwa evaluasi merupakan
proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeksripsikan,
menginterpretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai
dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program
selanjutnya.
Tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan
objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses
pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan
hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil
keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga
dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun
penyusunan kebijakan yang terkait dengan program. Untuk menjelaskan lebih
detail perlu dipaparkan mengenai berbagai model evaluasi program yang sering
digunakan. Model-model evaluasi program tersebut diantaranya adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Evaluasi Model Kirkpatrick, Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi
program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia
(SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
denga istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi
terhadap efektivitas program pelatihan (training) mencakup 4 level
evaluasi, yaitu , reaction, learning, behavior dan result.
2. Evaluasi Reaksi (Evaluation Reaction), Mengevaluasi terhadap reaksi
peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan peserta. Program pelatihan
dianggap efektif apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan dan
memuaskan bagi peserta pelatihan sehingga mereka tertarik termotivasi
untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta pelatihan akan
termotivasi apabila proses pelatihan berjalan secara memuaskan bagi
peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang
menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap
proses pelatihan yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi
untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut.
Kepuasan peserta pelatihan dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi
yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang
digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal
kegiatan dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat
dilakukan dengan reaksi dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan
lebih efektif.
3. Evaluasi Belajar (Evaluating Learning), terdapat tiga hal yang dapat
instruktur ajarkan dalam program pelatihan, yaitu pengetahuan, sikap

Universitas Sumatera Utara

maupun keterampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah belajar apabila
pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan
maupun peningkatan keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur
efektivitas program pelatihan maka ketiga aspek tersebut perlu untuk
diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun
perbaikan keterampilan pada peserta pelatihan maka program dapat
dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut
dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam pengukuran
hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal
berikut : 1) pengetahuan yang telah dipelajari, 2) perubahan sikap, dan 3)
keterampilan yang telah dikembangkan atau diperbaiki.
4. Evaluasi Tingkah Laku, Penilaian sikap pada evaluasi difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pelatihan dilakukan
sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku
difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat
kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti
pelatihan juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat
kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti
program pelatihan. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apakah
peserta merasa senang setelah mengikuti pelatihan dan kembali ke tempat
kerja? Bagaimana peserta dapat mentransfer pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperoleh selama pelatihan untuk diimplementasikan di
tempat kerjanya? Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah

Universitas Sumatera Utara

kembali ke tempat kerja maka evaluasi ini disebut sebagai evaluasi
terhadap outcomes dari kegiatan.
5. Evaluasi Hasil, Evaluasi hasil ini difokuskan pada hasil akhir yang terjadi
karena peserta mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil
akhir dari suatu program pelatihan di antaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kualitas terjadinya
kecelakaan kerja, penurunan pergantian dan kenaikan keuntungan.
Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun
membangun tim kerja yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi
terhadap dampak program. Tidak semua pengaruh dari sebuah program
dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena
itu evaluasi ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level
sebelumnya.
2.3 Teori Tentang Efektivitas
2.3.1 Pengertian Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil
atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer
mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau
menunjang tujuan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan
atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun
program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah
ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Handayaningrat (1994) yang
menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya.” Sedangkan Georgopolous dan Tannembaum

Universitas Sumatera Utara

(1985), mengemukakan: “Efektivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan,
dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja
sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar
sasaran. Dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan mesalah
sasaran maupun tujuan.” Selanjutnya Steers (1985) mengemukakan bahwa:
“Efektivitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan
sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa
melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak
wajar terhadap pelaksanaannya”. Transformasi Pelayanan Publik mendefinisikan
efektivitas, sebagai berikut: “Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas,
fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau
sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya”
(Kurniawan, 2005).
Dari beberapa pendapat mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa
efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,
kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut
sudah ditentukan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :“Efektivitas adalah
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan
waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin
tinggi efektivitasnya”. Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat
dilakukan melalui konsep efektivitas. Konsep ini adalah salah satu faktor untuk
menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk
dan manajemen organisasi atau tidak. Dalam hal ini efektivitas merupakan

Universitas Sumatera Utara

pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki
secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input), proses, maupun keluaran
(output). Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan
personil, sarana dan prasarana serta metode dan model yang digunakan. Suatu
kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan
prosedur sedangkan dikatakan efektif bila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan
benar dan memberikan hasil yang bermanfaat.
Menurut Subagyo (2000) efektivitas adalah kesesuaian antara output
dengan tujuan yang ditetapkan. Efektivitas adalah suatu keadaan yang terjadi
karena dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud
tertentu dan memang dikehendaki, maka pekerjaan orang itu dikatakan efektif bila
menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki
sebelumnya (Gie, 1997). Adapun pengertian efektivitas menurut Hadayaningrat
sebagai berikut: “ Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran
atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya” (Handayaningrat, 1995).
Efektivitas merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai
sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Menurut Gibson (1994), efektivitas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Efektivitas individu, merupakan tingkatan efektivitas yang paling dasar yang
menekankan pada hasil karya individu atau anggota tertentu dari organisasi.
b) Efektivitas kelompok yang lebih menekankan jumlah kontribusi dari semua
anggotanya.

Universitas Sumatera Utara

c) Efektivitas organisasi, yang merupakan gabungan dari efektivitas individu
dan efektivitas kelompok yang secara sinergis mampu mendapatkan hasil
karya yang lebih tinggi tingkatnya.
Sementara itu Robbins (1994) menyatakan bahwa efektivitas dapat diukur dengan
tiga pendekatan, yaitu :
a) Pendekatan tujuan, dengan anggapan bahwa tujuan merupakan ukuran
efektivitas organisasi.
b) Pendekatan sistem, dengan anggapan bahwa kelangsungan hidup dan
perkembangan organisasi bergantung pada kemampuannya menghasilkan
produksi barang dan jasa yang dibutuhkan lingkungannya. Pendekatan sistem
ini lebih bersifat makro karena efektivitas mencakup baik aspek organisasi
maupun aspek lingkungannya.
c) Pendekatan konstituasi-strategis, yang didasari pada berbagai pihak yang
berkepentingan dalam kinerja.
Menurut Gibson (1994) ukuran efektivitas organisasi dapat dilihat dari
perspektif waktu yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
a) Jangka pendek, yaitu ukuran kegiatan kurang atau sama dengan satu tahun
yang mencakup kuantitas dan kualitas produksi yang dikonsumsi pelanggan,
efisiensi penggunaan sumber organisasi, serta kepuasan karyawan organisasi.
b) Jangka menengah, yaitu ukuran kegiatan organisasi selama 5 (lima) tahun
yang meliputi kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan internal
dan eksternal, serta kemampuan memperbesar kapasitas untuk berkembang.

Universitas Sumatera Utara

c) Jangka panjang, yaitu memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dalam hal
bertahan hidup dan berkembang.
2.3.2 Konsep Efektivitas Program
Penilaian terhadap tingkat kesesuaian program merupakan salah satu cara
untuk mengukur efektivitas program. Pendapat peserta program dapat dijadikan
sebagai ukuran untuk menentukan efektivitas program. Hal tersebut dinyatakan
oleh Cascio (1995) bahwa evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan dapat
dilakukan, diantaranya melalui reaksi peserta terhadap program yang diikuti.
Bermanfaatkah dan puaskah peserta pelatihan terhadap program pelatihan
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
mengukur reaksi peserta terhadap program pelatihan (Tulus,1996).
Budiani (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur efektivitas suatu
program dapat dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel sebagai berikut :
a) Ketepatan sasaran program, yaitu sejauhmana peserta program tepat dengan
sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya.
b) Sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggara program dalam
melakukan sosialisasi program sehingga informasi mengenai pelaksanaan
program dapat tersampaikan kepada masyarakat pada umumnya dan sasaran
peserta program pada khususnya.
c) Tujuan program, yaitu sejauhmana kesesuaian antara hasil pelaksanaan
program dengan tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya.
d) Pemantauan program, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah dilaksanakannya
program sebagai bentuk perhatian kepada peserta program.

Universitas Sumatera Utara

Sementara Kurniawan (2005) mengatakan mengenai ukuran efektivitas,
sebagai berikut: 1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai; 2. Kejelasan strategi
pencapaian tujuan; 3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap;
4. Perencanaan yang matang; 5. Penyusunan program yang tepat; 6. Tersedianya
sarana dan prasarana; 7. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat
mendidik.

2.3.3. Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat
sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan
tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang
dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan
pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan
jasa. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana
yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan (Siagian, 2001).
Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat
sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka
hal itu dikatakan tidak efektif.
Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau
tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1978), yaitu: a) Kejelasan tujuan
yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya karyawan dalam pelaksanaan
tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai. b)
Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada
jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai sasaran-

Universitas Sumatera Utara

sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian
tujuan organisasi. c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap,
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan
artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuantujuan dengan usaha-usaha
pelaksanaan kegiatan operasional. d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya
berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu
dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak,
para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja. f)
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi
adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang
tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi. g) Pelaksanaan yang efektif dan
efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara
efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya,
karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya. h)
Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat
manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut terdapatnya
sistem pengawasan dan pengendalian.
Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan
Lubis (1987), yakni: 1). Pendekatan Sumber (resource approach) yakni mengukur
efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi
untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun nonfisik yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi. 2). Pendekatan proses (process approach) adalah untuk

Universitas Sumatera Utara

melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses
internal atau mekanisme organisasi. 3). Pendekatan sasaran (goals approach)
dimana pusat perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk
mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana. Selanjutnya Strees dalam
Tangkilisan (2005) mengemukakan 5 (lima) kriteria dalam pengukuran
efektivitas, yaitu: 1). Produktivitas; 2). Kemampuan adaptasi kerja; 3). Kepuasan
kerja; 4). Kemampuan berlaba; 5). Pencarian sumber daya. Sedangkan Steers
(1985) dalam bukunya “Efektrivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran
efektivitas, sebagai berikut: 1). Pencapaian Tujuan adalah keseluruhan upaya
pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar
pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti
pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti
periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: Kurun waktu
dan sasaran yang merupakan target kongkrit. 2). Integrasi yaitu pengukuran
terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi,
pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi
lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi. 3. Adaptasi adalah kemampuan
organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan
tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.
2.4. Definisi Kepeloporan
Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

menyamakan

pelopor

dengan

kata“pionir”, artinya “yang berjalan di depan/ terdahulu”, atau “perintis” dan
pembuka jalan. Pelopor berarti bahwa mereka mesti berjalan di depan atau
membukakan jalan bagi para klien (dalam konteks ini pemuda yang diberdayakan)

Universitas Sumatera Utara

untuk mencapai model kepemimpinan yang diinginkan. Sikap kepeloporan
seseorang dapat dirujuk pada pengertian leksikal bahwa pelopor adalah “pasukan
perintis (yang terdepan) gerak pembaharuan (tanpa memperhitungkan resiko yang
mungkin dialami” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).
Dalam UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan tertulis dalam pasal
1 ayat 9 bahwa dalam pengembangan kepeloporan pemuda adalah kegiatan yang
mengembangkan potensi dalam merintis jalan, melakukan terobosan, menjawab
tantangan, dan memberikan jalan keluar atas berbagai masalah dan dalam pasal 29
ayat 1 tertulis bahwa pengembangan kepeloporan pemuda dilaksanakan untuk
mendorong kreativitas, inovasi, keberanian melakukan terobosan, dan kecepatan
mengambil keputusan sesuai dengan arah pembangunan nasional. Selanjutnya
dalam pasal 29 ayat 4 tertulis bahwa pengembangan kepeloporan pemuda
dilaksanakan sesuai dengan karakteristik/ ciri khas daerah. Dalam buku panduan
program pemilihan pemuda pelopor, kepeloporan adalah akumuasi semangat,
sikap dan kesukarelawanan yang dilandasi kesadaran diri atas tanggung jawab
sosial untuk menciptakan sesuatu dan atau mengubah gagasan menjadi suatu
karya nyata yang dilaksanakan secara konsisiten, gigih dan diakui oleh
masyarakat luas karena mampu memberikan nilai tambah pada sendi sendi
kehidupan

masyarakat.

Kepeloporan

dalam

perspektif

kepemimpinan

merefleksikan suatu kekuatan (power) yang memiliki kontribusi signifikan
terhadap terbentuknya kualitas dan akuntabilitas pemimpin itu sendiri.
Kepeloporan dapat digolongkan menjadi beberapa bidang, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan
2. Sosial, Budaya, Pariwisata dan Bela Negara

Universitas Sumatera Utara

3. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
4. Pangan
5. Teknologi Tepat Guna, Komunikasi dan Informasi.

2.4.1 Dasar Hukum Kepeloporan
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan;
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010,
tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2010, tentang
Rencana Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) 2010 -2015;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011,
tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda serta
Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

84/P Tahun 2009,

tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II;
7. Peraturan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Nomor : 193 Tahun
2010,

tentang Organisasidan Tata Kerja Kementerian

Pemuda dan

Olahraga.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Bidang – Bidang Kepeloporan
Adapun bidang dalam kepeloporan adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan
Kepeloporan bidang pendidikan merupakan upaya nyata pemuda yang
secara nyata menghasilkan karya-karya kepeloporan pendidikan
meliputi: inovasi, metodologi dan model pembelajaran, media dan alat
bantu pembelajaran, teknologi pembelajaran, pengembangan dan
pengelolaan pendidikan secara swadaya baik formal maupun non
formal. Sub-sub bidang pendidikan tersebut merupakan fenomena atas
tindakan kepeloporan pemuda yang secara langsung dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat dan diapresiasi oleh berbagai pihak dan
pemerintah daerah setempat sebagai kepeloporan di bidang pendidikan.
2. Sosial, Budaya, Pariwisata dan Bela Negara
Kepeloporan bidang sosial, budaya, pariwisata dan bela negara
merupakan prakarsa pemuda yang secara riil menghasilkan karya nyata
rumpun-rumpun bidang yang mencakup: (1) Sosial: Penanggulangan
bencana, pelayanan kesejahteraan sosial, tindakan kesukarelawanan dan
prakarsa kemanusiaan lainnya, (2) Budaya : berupa pemusik, penari
perupa dan pemeranan dengan mengutamajan karakteristik dan kearifan
lokal untuk memelihara kebhinekaan dan mengharumkan budaya
bangsa; (3) Pariwisata: Potensi suatu wilayah atau daerah yang
dimanfaatkan

oleh

masyarakat

dengan

mengutamakan

potensi

sumberdaya alam sebagai daya tarik pariwisata tingkat nasional maupun
internasional. Karya kepeloporan pariwisata tersebut akan berdampak

Universitas Sumatera Utara

pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; dan (4)
Bela Negara : Karya kepeloporan pemuda yang berkonsentrasi pada
upaya menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kesadaran bernegara
melalui kegiatan memelihara kerukunan

masyarakat, penanganan

konflik dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan, perdamaian
didalam negara dan bangsa yang berdaulat.
3. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Kepeloporan bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
merupakan prakarsa kepeloporan pemuda dalam mengkonservasi potensi
sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan penataan,
pengolahan, pelestarian, produksi dan pemasaran terkait dengan sub-sub
bidang: air bersih, pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan,
perikanan, kelautan dan kemaritiman untuk meningkatkan perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat yang keberlanjutan sumber daya alam dan
lingkungan.
4. Pangan
Kepeloporan bidang pangan adalah upaya mengembangan potensi
sumber daya alam dalam bidang pangan dan mengutamakan peningkatan
nilai guna, produksi, pengolahan, pemanfaatan, pengelolaan dan
pemasaran produksi pangan untuk meningkatkan kesehatan pangan dan
kecukupan gizi, menuju pada tercapainya ketahanan pangan nasional,
yang akan berdampak pada meningkatnya nilai tambah perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat.
5. Teknologi Tepat Guna, Komunikasi dan Informasi

Universitas Sumatera Utara

Kepeloporan bidang teknologi tepat guna dan komunikasi informasi
adalah upaya nyata pemuda dalam menciptakan, menginovasi,
mengembangkan dan merekayasa teknologi berbagai bidang yang
mengahasilkan karya nyata, yang memberikan manfaat bagi peningkatan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan bidang
komunikasi

dan

informasi,

karya-karya

pemuda

merupakan

pengembangan system, jaringan dan model aplikasi berbasis informasi
teknologi , yang mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat
lunak (software) guna meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan
interaksi dan komunikasi jaringan sosial yang ada di masyarakat.
2.5 Pengertian Pemuda
Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami
perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional,
sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini
maupun masa datang. Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan
generasi sebelumnya. Secara internasional, World Human Organization menyebut
sebagai ”young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19
tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. Definisi yang kedua, pemuda adalah
individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun
belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. (Mulyana, 2011) Pemuda
menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Sedangkan menurut draft
Rancangan Undang - Undang Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia
antara 18 hingga 35 tahun. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa
perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda selalu

Universitas Sumatera Utara

memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam
makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat
pembaharu. Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan
sebutan generasi muda dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi
muda, atau kaum muda memiliki definisi beragam. Definisi tentang pemuda di
atas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori usia sedangkan definisi
lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda/ generasi muda/ kaum muda adalah
mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif. Mulyana (2011)
mengemukakan bahwa pemuda lebih dilihat pada jiwa yang dimiliki oleh
seseorang. Jika orang tersebut memiliki jika yang suka memberontak, penuh
inisiatif, kreatif, antikemapanan, serta ada tujuan lebih membangun kepribadian,
maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai pemuda. Acuan yang kedua inilah
yang pada masa lalu digunakan, sehingga pada saat itu terlihat bahwa organisasi
pemuda itu lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang secara usia sudah
tidak muda lagi, tetapi mereka mempunyai jiwa pemuda. Oleh sebab itu
kelemahan dari pemikiran yang kedua itu organisasi kepemudaan yang
seharusnya digunakan sebagai wadah untuk berkreasi dan mematangkan para
pemuda dijadikan kendaraan politik, ekonomi, dan sosial untuk kepentingan
perorangan dan kelompok.
Mulyana (2011) mengemukakan bahwa selain didasarkan pada usia
pemuda juga dapat dilihat dari sifat/jiwa yang mengiringinya. Jika didasarkan
pada sifat maka pemuda mempunyai ciri-ciri : 1) Selalu ingin memberontak
terhadap kemapanan. Hal ini lebih disebabkan karena pada usia ini seorang
pemuda sedang mencari identitas diri. Keinginan untuk diakui dan ingin

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan perhatian mendorong pemuda untuk berbuat sesuatu yang ”tidak
biasa-biasa saja dan sama dengan yang lain”. Ditinjau dari 3 sisi positif
perilakunya akan memunculkan kreatifitas, akan tetapi disisi lain akan muncul
penentangan dari pihak lain khususnya pihak orang dewasa yang sudah mapan. 2)
Bekerja keras dan pantang menyerah. Sifat kedua ini berhubungan erat dengan
sifat pertama. Kerja keras dan pantang menyerah inilah yang mendorong pemuda
berlaku revolusioner. Perilaku revolusioner inilah yang memunculkan anggapan
bahwa pemuda itu tidak berpikir panjang sehingga akan berpotensi untuk
menimbulkan konflik baik itu dengan sesama pemuda maupun dengan orang tua.
3) Selalu optimis. Sifat ini sangat menunjang sifat kerja keras dan pantang
menyerah. Sifat optimis ini akan mendorong pemuda selalu bersemangat berusaha
untuk mencapai cita-citanya. Berdasarkan dua tinjauan tersebut, mendefinisikan
pemuda itu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena tidak hanya dari sisi usia
bahwa seorang individu dikatakan muda, akan tetapi juga harus ditunjang oleh
sifat/jiwa yang berbeda dengan golongan usia lainnya. Seseorang yang berusia
muda belum tentu dapat dikatakan pemuda jika sifat/jiwanya tidak mencerminkan
seorang pemuda. Demikian juga sebaliknya seseorang yang sudah tidak masuk
kategori muda secara usia belum tentu tidak mempunyai sifat/jiwa seperti pemuda
pada umumnya. Untuk lebih mudahnya definsi pemuda haruslah didasarkan pada
usia yaitu usia antara 13 sampai 35 tahun dan harus mempunyai sifat/jiwa
pemberontak, pekerja keras, pantang menyerah, serta selalu optimis.
Ditinjau secara etimologis, pemberdayaan (empowering) berasal dari kata
dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian
tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju

Universitas Sumatera Utara

berdaya, atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan, kemampuan, dan atau
suatu proses pemberian daya, kekuatan, kemampuan dari pihak yang memiliki
daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Teguh, 2004). Memperoleh
dan memberi daya/kekuatan dari pihak yang telah lebih dulu memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya sering menggunakan istilah
memberdayakan. Pihak yang

belum berdaya bukan semata-mata diberdayai

namun dalam konteks pemberdayaan, pihak tersebut memperoleh serangkaian
proses belajar menuju berdaya. Pembangunan berbasis pemberdayaan merujuk
pada tindakan positif yang

memiliki tujuan dalam segala aspek kehidupan.

Pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk
pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan
warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik sehingga pada
akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kedudukannya dalam masyarakat (Anwar, 2007). Suparjan dan Hempri (2003)
pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan,
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam
menentukan masa depan mereka. Usaha-usaha perbaikan kedudukan sosial,
pemenuhan kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok, dan masyarakat
dalam berbagai bidang melalui bermacam-macam kegiatan, salah satunya dalam
bentuk pendidikan. Pemberdayaan dalam bentuk pendidikan merupakan
perwujudan proses belajar masyarakat untuk memperoleh keberdayaan,
pengertian dan kepekaan/kesadaran sosial sehingga memiliki kemampuan atau
daya.

Universitas Sumatera Utara

Pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, menurut pendapat Ambar
(2004) mengungkapkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal,
yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering),
terciptanya kemandirian. Beberapa pernyataan tentang pemberdayaan, dapat
disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses aktualisasi dirimelalui
kegiatan pemberian, pengembangan, penguatan kemampuan, daya, potensi diri
sehingga tercipta kemandirian. Dengan demikian, kegiatan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat dirasakan cukup penting dalam pembangunan salah
satunya melalui kegiatan karang taruna yaitu pemberdayaan yang melibatkan
masyarakat terutama pemuda.
Menurut Undang Undang No.40 tahun 2009 tentang kepemudaan pasal
24 dan 25, pemberdayaan pemuda adalah kegiatan membangkitkan potensi dan
peran aktif pemuda. Pemberdayaan pemuda difasilitasi oleh pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi kepemudaan yang dilakukan
melalui peningkatan iman dan takwa, peningkatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, penyelenggaraan pendidikan bela negara dan ketahanan nasional,
peneguhan kemandirian ekonomi pemuda, peningkatan kualitas jasmani, seni
dan

budaya

pemuda,

peningkatan

kemampuan

hubungan

internasional,

peningkatan kemampuan pengelolaan lembaga kepemudaan, dan penyelenggaraan
penelitian serta pendampingan kegitan kepemudaan. Pemberdayaan pemuda
dilaksanakan secara terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk meningkatkan
potensi dan kualitas jasmani, mental spiritual, pengetahuan, serta keterampilan
diri dan organisasi menuju kemandirian pemuda. Pemberdayaan pemuda

Universitas Sumatera Utara

difasilitasi oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan organiasi
kepemudaan.

2.5.1 Tujuan Pemberdayaan Pemuda
Konsep pemberdayaan masyarakat tidak semata-mata

muncul tanpa

tujuan. Pemberdayaan erat kaitannya dengan pembangunan, dan pembangunan
merujuk pada

tujuan dan perbaikan. Menurut Ambar (2004), tujuan

pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan telah disinggung sejak awal, konsep
pemberdayaan merupakan aplikasi program alternatif yang digunakan untuk
tujuan tertentu. Pemberdayaan merupakan pembangunan berbasis masyarakat
berarti sasaran pemberdayaan itu sendiri adalah masyarakat dan pelaku utama
dalam kegiatan tersebut juga masyarakat. Tujuan utama dalam pemberdayaan
masyarakat adalah terciptanya kemandirian. Kemandirian masyarakat adalah
suatu kondisi yang ditandai oleh kemampuan untuk berpikir, memutuskan suatu
hal yang dipandang tepat demi pemecahan masalah dengan menggunakan
kemampuan atau daya yang dimiliki. Pada intinya kemandirian dalam hal
berpikir, bertindak dan pengendalian diri. Hal serupa juga diungkapkan World
Bank dalam Totok dan Poerwoko (2013) menyebutkan bahwa pemberdayaan
sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok
masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan
pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuandan keberanian untuk
memilih (choice) sesuatu (konsep, metode, produk, tindakan, dan lainnya) yang

Universitas Sumatera Utara

terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Pada dasarnya pemberdayaan
bertujuan untuk memberikan kesempatan membentuk individu maupun kelompok
menjadi lebih berdaya, mandiri dan berani melalui proses belajar sehingga terjadi
perbaikan keadaan.

2.6 Pegembangan Wilayah
Pengembangan wilayah mempunyai arti peningkatan nilai manfaat
wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih
banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata
membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana dan prasarana, barang dan
jasa yang tersedia dan kegiatan usaha – usaha masyarakat yang meningkatkan,
baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam dan
Mahalli, 2011).
Pengembangan wilayah (Regional Development ) adalah upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup. Secara luas, pengembangan wilayah
diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori
ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya
mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan
lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan
(Nugroho dan Dahuri, 2004).
Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh Rostow,
Fisher, Hoover, Thompson, dan lainnya. Teori ini lebih dianggap mengadopsi
unsur spasial dan sekaligus melengkapi kekurangan teori sektor. Pertumbuhan dan

Universitas Sumatera Utara

perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan, yaitu: 1)
Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah
sangat bergantung dari hasil industri tersebut, antara lain seperti minyak, hasil
perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri yang
demikian dimiliki oleh seluruh negara pada masa awal pertumbuhannya. 2)
Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah
mempu mengekspor selain komoditas dominan juga komoditas lainnya. Misalnya
dalam komoditas dominan yang diekspor sebelunya berupa minyak bumi mentah,
maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor metode teknologi
penambangan dan produk turunan dari minyak bumi mentah tersebut. 3) Tahapan
kematangan ekonomi. Pada tahapan ini menujukkan bahwa aktivitas ekonomi
telah terdiversifikasi dengan munculnya industri subsitusi impor, yakni sebuah
industri yang menghasilkan bahan yang sebelumnya harus di impor dari luar
wilayah. Pada tahapan ini pula mencerminkan wilayah tersebut telah mandiri di
bandingkan dengan wilayah lainnya. 4) Tahapan pembentukan metropolis. Pada
tahan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu menjadi pusat kegiatan
ekonomi serta mampu melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran.
Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan
kenaikan impor yang sangat signifikan. 5) Tahapan kemajuan teknis dan
profesional. Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu meberikan
peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam perkembangan
wilayah, produk dan proses produksinya yang relatif canggih, baru, efisien, dan
terspesialisasi. Aktivitas perekonomian telah mengandalkan inovasi, modifikasi,

Universitas Sumatera Utara

dan imitasi yang mengarah pada pemenuhan kepuasan individual dibanding
kepentingan masyarakat.
Pengembangan

wilayah

merupakan

strategi

memanfaatkan

dan

mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan e

Dokumen yang terkait

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

0 0 15

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

0 0 2

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

0 0 11

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015) Chapter III V

0 0 91

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

0 1 5

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

0 0 11

PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PELEPAH PISANG SEBAGAI KOMPONEN DAUR ULANG KERTAS Sri Karyati, Lucky Herawati, Sri Puji Ganefati

0 1 8

PENGGUNAAN RANGKAIAN FILTRASI FM2FV UNTUK MENURUNKAN KADAR KEKERUHAN DAN COLIFORM AIR HUJAN DI RS BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2012 - Repository Poltekkesjogja

0 0 9

PENGGUNAAN BENDA ASLI PADA CERAMAH UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN KONDISI LINGKUNGAN DI SDN KLODANGAN DAN SDN BERBAH I, SLEMAN Dewi Arfiyanti, Lucky Herawati, Lilik Hendrarini

0 0 5

Pengaruh Bioscreen Anti Radiasi dari Tanaman Sansevieria trifasciata lorentii mein liebling terhadap Penurunan Radiasi Laptop

0 4 7