Etika Monastik Buddhis II
Buddhis II
Aturan Khandhaka Diterjemahkan dan Dijelaskan Oleh Bhikkhu Èhänissaro (Geoffrey DeGraff)
Bhikkhu Èhänissaro © 2007-2013
Hanya Untuk Distribusi Gratis
Etika Monastik
Buddhis
II
Aturan Khandhaka Diterjemahkan dan Dijelaskan
Oleh Bhikkhu Èhänissaro
(Geoffrey DeGraff)
Bhikkhu Èhänissaro
© 2007-2013
Hanya Untuk Distribusi Gratis
Anda dapat mencetak karya ini untuk distribusi gratis. Anda dapat menata ulang dan mendistribusikan kembali karya ini untuk digunakan dalam komputer dan jaringannya, pastikan Anda tidak dikenakan biaya dalam pendistribusian dan penggunaannya. Dengan kata lain, dilindungi oleh hak cipta.
Edisi Ketiga, Revisi: 2013
Judul Asli: The Buddhist Monastic Code II Oleh Bhikkhu Èhänissaro Access to Insight, 2013
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Etika Monastik Buddhis II Oleh Bhikkhu Vappa Pa Auk Tawya, Maymyo-Myanmar, 2013
Revisi 1 Oleh Bhikkhu Vappa Pa Auk Tawya, Mawlamyine Mon State-Myanmar, 2014
Karya ini telah disalin dari situs jaringan www.accesstoinsight.org dan dibuat ke dalam bentuk buku untuk distribusi gratis.
Untuk kritik dan saran mengenai terjemahan buku ini, Anda dapat mengirimkannya ke alamat e-mail:
Ini adalah harapan penulis agar tidak dikenakan biaya apapun. “Anda dapat menyalin dan mendistribusi ulang naskah apapun dari situs jaringan ini, pastikan bahwa Anda berpatokan pada dua prinsip ini:
1. Anda tidak diizinkan menjual salinan dan turunan naskah apapun dari situs jaringan ini.
2. Anda tidak diperbolehkan mengubah isi salinan dan turunan naskah apapun dari situs jaringan ini. (Bagaimanapun, Anda dapat, menata ulang mereka.)
Penulis telah membuat dan menyediakan buku ini dengan pemahaman yang jelas bahwa ini diberikan secara cuma-cuma, sebagai ungkapan dana. Anda dapat memindahkan naskah ini ke dalam komputer Anda, mencetaknya, membacanya, membagikannya di antara teman-teman Anda, menyalinnya ke situs jaringan pribadi Anda, menerjemahkannya ke lain bahasa, dan mendistribusikan mereka kembali secara elektronik—pastikan Anda tidak mengenakan biaya atau uang untuk ini. Mereka tidak berada dalam lingkup umum. Anda dapat menata ulang naskahnya kembali sesuka hati, tetapi Anda tidak diperbolehkan mengubah isinya tanpa pertama kali mendapatkan izin dari penulis, penerjemah, atau penerbit.”
Untuk informasi lebih lanjut lihat: http:www.accesstoinsight.orgfaq.htmlprotection
Daftar Singkatan
AN
Aòguttara Nikäya
Aniyata BD Book of Discipline
EMB1
Etika Monastik Buddhis, vol. I
Cariyäpièaka
Cv
Cüëavagga
DN
Dīgha Nikäya
Khuddakapäèha
MN
Majjhima Nikäya
Mv
Mahävagga
NP
Nissaggiya Päcittiya
Pc
Päcittiya
Pd
Paèidesanīya
Pr
Päräjika
PTS
Pali Text Society
Pv
Parivära
SN
Saþyutta Nikäya
Sn
Sutta Nipäta
Saòghädisesa
Theragäthä
V Vimati-vinodanī
Huruf-huruf dalam referensi untuk Mv, Cv, dan Pv merupakan bab, bagian dan sub-bagian; dalam referensi-referensi untuk DN, Iti, Khp, dan MN, wacana (Sutta); dalam referensi-referensi untuk AN, Cp, SN dan Sn (Saþyutta atau Nipäta) dan wacana; dalam referensi-referensi untuk Dhp, syair.
Kata Pengantar (Penulis)
EDISI INI adalah sebuah usaha untuk memberikan pengaturan, laporan yang lengkap tentang aturan pelatihan yang ditemukan dalam Khandhaka yang mengatur kehidupan para bhikkhu, bersama-sama dengan tradisi yang telah berkembang di sekitar mereka. Ini adalah pasangan untuk The Buddhist Monastic Code, Jilid Satu (EMB1), yang menawarkan penanganan yang serupa dari aturan pelatihan Pätimokkha.
Ada beberapa tumpang tindih antara materi dalam buku ini dan yang ada dalam EMB1, terutama karena aturan Khandhaka dan aturan Pätimokkha juga tumpang tindih. Meskipun setiap set aturan memiliki topiknya masing-masing, ada topik lain yang dicakup oleh kedua set tersebut, dan pengetahuan penuh dari topik membutuhkan perkenalan keduanya. Dalam beberapa kasus, aturan Pätimokkha dan penjelasan menyertai mereka dalam Sutta Vibhaòga tampaknya mengandaikan aturan Khandhaka; dalam kasus lain, yang dihubungkan di sekitar cara lainnya. Dengan demikian, sebagaimana ini dibutuhkan dalam EMB1 untuk membuat referensi yang sering ke Khandhaka untuk mendapatkan pengertian penuh dari beberapa aturan Pätimokkha, saya merasa perlu bahwa ini dibutuhkan dalam buku ini untuk merujuk kepada materi dalam EMB1 agar membuat aturan Khandhaka lebih dapat dimengerti dengan jelas. Dalam beberapa kasus, hal ini hanya berarti referensi silang; di lainnya, itu berarti mengangkat seluruh bagian dari EMB1 ke dalam diskusi. Semoga pembaca tidak akan menemukan rekapitulasi ini membosankan, karena mereka memberikan pengertian yang kompleks antara aturan dan membantu memberikan semacam pemahaman yang datang dari melihat semua jenis konteks yang relevan.
Banyak orang telah membantu dalam penulisan buku ini. Sesungguhnya rasa tanggung jawab saya dalam melakukan tugas ini adalah Acaan Suwat Suvaco (Phra Bodhidhammäcariya Thera), yang pada tahun 1997 meyakinkan saya bahwa pekerjaan ini harus dilakukan dan saya berada di posisi yang baik untuk melakukannya. Ketika konsep pertama dari edisi pertama selesai, B. Vajiro dan para bhikkhu di Abhayagiri Buddhist Monastery dan Wat Pa Nanachat semua membacanya dan menawarkan saran yang berguna untuk perbaikan, seperti yang dilakukan almarhum B. Paññävuddho. Di Bangkok, Phra Ñäêavorodom juga memberikan dorongan dan dukungan. Untuk edisi kedua ini, B. Ñäêatusita, dari Pertapaan Hutan di Kandy, Sri Lanka, memberikan kritik rinci yang membantu menjernihkan banyak ketidakakuratan dan inkonsistensi pada
Kata Pengantar (Penulis)
edisi pertama. Para bhikkhu di sini di Metta Forest Monastery juga memberikan umpan balik yang berharga dari banyak naskah yang mengarah ke revisi ini. Segala kesalahan yang tersisa dalam buku ini, tentu saja, adalah tanggung jawab saya sendiri. Jika Anda melihat mereka, silakan beritahu saya sehingga mereka dapat diperbaiki di edisi mendatang.
Saya mendedikasikan buku ini untuk mengenang Acaan Suwat Suvaco, sebagai tanda terima kasih bukan hanya untuk dorongannya dalam usaha ini, tetapi juga untuk banyak pelajaran yang berharga yang telah berbaik hati mengajari saya Dhamma dan Vinaya, melalui kata dan contoh, selama bertahun-tahun.
Bhikkhu Èhänissaro Metta Forest Monastery Valley Center, CA 92082-1409 USA Maret, 2007
Kata Pengantar (Penerjemah)
Setelah beberapa kali tertunda, pengerjaan revisi terjemahan buku ini baru dapat saya selesaikan. Penerjemah hanya mampu menerjemahkan karya tulis ini semaksimal mungkin dengan kemampuan bahasa Inggris yang jauh dari sempurna.
Buku ini merupakan lanjutan dari buku The Buddhist Monastic Code 1 yang ditulis dan dijelaskan oleh Bhikkhu Èhänissaro yang membahas berbagai aturan di luar dari 227 aturan yang terdapat dalam Pätimokkha Bhikkhu, atau dapat disebut aturan Khandhaka. Aturan ini terdapat dalam Cüëavagga dan Mahävagga dari kitab Vinaya. Sebagian besar aturan yang ada di dalamnya hanyalah aturan yang membawakan pelanggaran dukkaèa atau pelanggaran dari perbuatan salah, meskipun ada beberapa di antaranya yang menimbulkan pelanggaran thullaccaya atau pelanggaran serius.
Selain membahas tentang aturan Khandhaka beliau juga menyajikan berbagai contoh transaksi Saògha (Saòghakamma) dalam bahasa Päli yang sebagian juga disertai dengan artinya. Buku ini sangat bermanfaat bagi para bhikkhu dan sämaêera yang ingin mempelajari peraturan yang sering kali disepelekan. Di samping itu, pembaca juga akan dapat mengetahui berbagai macam prosedur dalam berbagai transaksi Saògha; seperti kaèhina, paväraêä, penentuan batas dalam wilayah dll. Dalam beberapa kata Päli saya kesulitan mencari padanan kata yang tepat untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun begitu saya tetap menggunakannya seperti; Penerimaan (Upasampadä), Wilayah (Sïmä), Undangan (Paväraêä), Melepaskan-keduniawian (Pabbajjä), Pemula (Sämaêera) dsb.
Besar harapan saya dari pembaca hasil terjemahan ini ada yang dapat memberikan masukan atau saran, agar hasilnya semakin mendekati maksud yang ingin disampaikan penulis. Semoga terjemahan ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan pedoman vinaya lebih lanjut. Akhir kata, Buddha Säsana Ciraó Tièèhatu, semoga ajaran Buddha dapat bertahan lama. Sädhu… Sädhu… Sädhu… !
Bhikkhu Vappa Pa Auk Tawya Main Centre Mawlamyine-Mon State, Myanmar Desember, 2014
PENDAHULUAN
Khandhaka
Khandhaka—secara harfiah, “Koleksi”—bagian utama yang kedua dari Vinaya Pièaka, diikuti oleh Sutta Vibhaòga dan mendahului Parivära. Semua ada 22 Khandhaka, dibagi menjadi dua kelompok: Mahävagga (Mv.), atau Bab Besar, terdiri dari sepuluh Khandhaka; dan Cüëavagga (Cv.), atau Bab Kecil, terdiri dari dua belas Khandhaka. Setiap Khandhaka diatur dengan bebas seputar topik utama, dengan topik minor dimasukkan dalam mode yang cukup serampangan. Topik utama adalah ini:
Mv.I—Penerimaan Mv.II—Uposatha Mv.III—Kediaman Musim hujan Mv.IV—Undangan Mv.V—Alas Kaki Mv.VI—Obat-obatan Mv.VII—Kaèhina Mv.VIII—Kain-Jubah Mv.IX—Prinsip Transaksi Komunitas Mv.X—Kebulatan Suara dalam Komunitas
Cv.I—Transaksi Disiplin Cv.II—Penebusan dan Masa Percobaan Cv.III—Menjatuhkan Penebusan dan Masa Percobaan Cv.IV—Menyelesaikan Masalah Cv.V—Pusparagam Cv.VI—Tempat Tinggal Cv.VII—Perpecahan Cv.VIII—Protokol Cv.IX—Membatalkan Pätimokkha Cv.X—Bhikkhunï Cv.XI—Konsili Pertama Cv.XII—Konsili Kedua
Di samping dari pembukaan dan penutupan cerita mereka, tampaknya ada sedikit rencana untuk seluruh pengaturan Khandhaka.
Khandhaka
Khandhaka pertama dibuka dengan cerita tentang peristiwa awal di mana Buddha Tercerahkan; terus melalui konversi dua siswa utama-Nya, B. Säriputta dan B. Moggalläna; dan diakhiri otorisasi Buddha terhadap Saògha untuk menerima anggota baru ke dalamnya.
Kisah tentang keberhasilan Buddha yang tercerahkan dalam memimpin orang lain untuk tercerahkan menetapkan legitimasi-Nya sebagai pemberi hukum, sumber dari semua aturan yang terdapat dalam Khandhaka.
Kisah konversi dari dua siswa utama menetapkan dua prinsip: tercerahkannya Mata Dhamma dalam diri B. Säriputta menunjukkan bahwa jalan menuju pencerahan dapat berhasil diajarkan di luar kehadiran Buddha, menggunakan kata-kata lain dari Buddha sendiri; tercerahkannya Mata Dhamma dalam diri B. Moggalläna menunjukkan bahwa jalan untuk tercerahkan dapat berhasil diajarkan oleh siswa yang bahkan belum pernah berjumpa dengan Buddha. Kedua prinsip menunjukkan bahwa jalan pencerahan tidak selalu bergantung pada kontak pribadi dengan Buddha, dan maka hal itu dapat dengan sah dan efektif diajarkan pada waktu dan tempat seperti kita, yang jauh dari kehadiran-Nya.
Kisah tentang Buddha yang mengotorisasi Saògha untuk menerima anggota baru menetapkan legitimasi masing-masing bhikkhu baru yang diterima sesuai dengan pola yang ditentukan. Saògha yang telah menerima budi-Nya merupakan sebuah perizinan yang datang dari Buddha, dan pembimbingnya termasuk dalam silsilah mundur dari Buddha sendiri.
Dengan cara ini, cerita pembukaan membangun legitimasi Bhikkhu Saògha dan pelatihan para bhikkhu sebagaimana diwujudkan dalam Khandhaka dan Vinaya secara keseluruhan.
Untuk cerita penutup, baik Mahävagga dan Cüëavagga diakhiri dengan cerita yang mendekatkan para bhikkhu kota yang berperilaku tak pantas dengan para bhikkhu hutan yang berperilaku pantas. Penempatan cerita tersebut tampaknya dimaksudkan untuk membuat pendapat: bahwa kelangsungan Dhamma-Vinaya akan tergantung pada para bhikkhu yang berlatih di dalam hutan. Hal ini sesuai dengan bagian dari wacana (AN
VII.21) bahwa “selama para bhikkhu melihat manfaat bagi diri mereka
sendiri di dalam hutan, perkembangan mereka dapat diharapkan, bukan penurunan mereka.”
Bagaimanapun, antara rangkaian cerita ini, Khandhaka tampak diperintahkan secara acak, dan pengaturan internal individu Khandhaka
PENDAHULUAN
sering bahkan lebih serampangan. Kurangnya pengaturan yang jelas menciptakan masalah bagi setiap bhikkhu yang ingin berlatih sesuai aturan Khandhaka, sebagaimana aturan yang terkait dalam praktek sering tersebar di beberapa tempat yang sangat berbeda dari teksnya. Tujuan dari buku ini adalah untuk membawa aturan terkait bersama-sama dengan cara yang bertalian yang akan membuat mereka lebih mudah untuk dipahami dan dimasukkan ke dalam praktek.
Susunan. Secara pokok, aturan dalam Khandhaka jatuh ke dalam tiga kategori besar, berurusan dengan (1) masalah umum, (2) transaksi Komunitas, dan (3) hubungan antara bhikkhu dan sejawatnya, yaitu, bhikkhunï dan pemula. Untuk mencerminkan kategori ini, buku ini disusun ke dalam tiga bagian yang sama. Setiap bagian selanjutnya dibagi menjadi beberapa bab, dengan masing-masing bab ditujukan untuk topik tertentu. Dengan satu pengecualian (Bab 9), setiap bab jatuh ke dalam dua bagian: terjemahan dari aturan terkait dengan topik, didahului dengan diskusi yang bersifat menjelaskan. Diskusi ini memberikan gambaran topik dari babnya, untuk menjelaskan aturan secara individu yang berhubungan dengan topiknya, pada saat yang sama menunjukkan hubungan antara aturan. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang cukup tentang aturan untuk setiap bhikkhu yang ingin hidup bersamanya. Terjemahan aturan disertakan untuk menunjukkan bahan baku dari Kanon di mana diskusinya berdasar. Adapun Bab 9, topik—protokol—terkandung dalam aturan rinci yang membutuhkan sedikit diskusi, sehingga susunan terjemahan aturannya disertai penjelasan singkat.
Aturan. Secara formal, aturan dalam Khandhaka ada tiga jenis: larangan, pengecualian, dan arahan. Sebagian besar arahan adalah bersifat memberi larangan: jika seorang bhikkhu tidak melakukan seperti yang diarahkan, ia menimbulkan hukuman. Namun, beberapa dari arahan— seperti protokol (Bab 9) dan petunjuk tentang cara untuk tidak memakai jubah—memberikan banyak ruang untuk kelonggaran. Jika seorang bhikkhu memiliki alasan yang baik untuk menyimpang darinya, ia tidak menimbulkan hukuman dalam melakukannya. Hukuman hanya berlaku ketika ia menyimpang darinya keluar dari rasa tidak hormat. Sepanjang buku ini, pembaca harus menganggap semua arahan sebagai yang bersifat memberi larangan kecuali dinyatakan lain.
Khandhaka
Dalam hal keseriusan mereka, sebagian besar aturan dalam Khandhaka melibatkan dukkaèa (pelanggaran dari perbuatan salah), dengan sejumlah kecil thullaccaya (pelanggaran serius) yang tersebar di antara mereka. Teks sesekali membuat referensi yang berkenaan aturan dalam Pätimokkha, dan—sebagai orang yang telah membaca EMB1 akan memiliki catatan—referensi ini memainkan peranan yang penting dalam menentukan berbagai aturan. Dalam edisi ini, di mana keseriusan pelanggaran tertentu tidak disebutkan, pembaca harus menganggap itu sebagai dukkaèa. Kelas pelanggaran lain akan dicatat secara khusus.
Dalam kebanyakan kasus, kutipan di bagian aturan setiap bab merupakan terjemahan langsung dari Kanon. Namun, ada bagian— terutama di antara arahan—di mana terjemahan langsung akan memberikan bukti yang terlalu panjang dan berulang-ulang, yang tidak menambahkan apa-apa untuk diskusi, jadi saya telah cukup memberikan sinopsis dari poin utama di bagian itu. Untuk prosedur dan pernyataan transaksi (kamma- väcä) yang digunakan dalam transaksi Komunitas (saògha-kamma), saya hanya mencatat bab dan nomor bagiannya di mana bagian-bagian ini dapat ditemukan dalam The Book of Discipline (BD). Pernyataan transaksi yang sering digunakan disediakan dalam Lampiran. Bagian di mana terjemahan saya berbeda dari yang ada dalam BD ditandai dengan (§).
Beberapa bagian dalam bagian aturan tidak disebutkan dalam masing-masing diskusi. Dalam kebanyakan kasus, hal ini dikarenakan aturan tersebut dibahas di tempat lain, baik di EMB1 atau dalam buku ini. Namun, ada juga kasus di mana aturan tertentu atau transaksi dikembangkan dari waktu ke waktu. Misalnya, Mv.I menunjukkan bahwa prosedur untuk Penerimaan—transaksi Komunitas di mana anggota baru diakui oleh Saògha—mengalami banyak perubahan dalam menanggapi kejadian sebelum mencapai keputusan akhir. Dalam kasus seperti ini, letak teks dari bentuk awal aturan dan pola transaksi dikutip dalam bagian aturan tersebut, tetapi hanya bentuk akhir yang dijabarkan dan dibahas. Aturan dalam Cv.X yang hanya mempengaruhi bhikkhunï dan bukan bhikkhu akan paling baik dipahami dalam konteks Pätimokkha Bhikkhunï, sehingga tidak diterjemahkan atau dibahas di sini.
Diskusi. Tidak seperti perlakuan terhadap aturan Pätimokkha, Kanon tidak menyediakan kata-ulasan untuk aturan Khandhaka. Dan, meskipun itu menyediakan kisah awal untuk setiap aturan, sayangnya ada
PENDAHULUAN
sangat sedikit kasus di mana kisah sebenarnya membantu untuk menjelaskan aturan. Dalam beberapa kasus, kisah awalnya singkat, yang hanya menambahkan sedikit informasi untuk apa yang ada dalam aturan. Di lainnya, kisah awal sangat panjang (terjemahan bahasa Inggris untuk kisah awal aturan pertama dalam Mv.I mencapai lebih dari 51 halaman di BD) dan masih memiliki sedikit hubungan dengan aturan yang diperkenalkan. Misalnya, kisah awal untuk aturan yang mengizinkan para bhikkhu untuk menerima kain-jubah dari donor awam yang memberitahukan kisah hidup Jïvaka Komärabhacca, orang awam pertama yang memberikan dana semacam itu kepada Buddha. Meskipun kisah Jïvaka menarik di dalamnya dan dari itu sendiri, memberikan banyak wawasan yang menarik ke dalam sikap di masa awal Saògha, namun itu sangat tidak relevan dengan aturan itu sendiri.
Jadi cara utama diskusi yang digunakan Kanon dalam membantu menjelaskan aturan dengan menempatkan setiap aturan dalam hubungan yang berkaitan dengan itu. Dari penempatan ini seseorang mungkin memperoleh gambaran tentang bagaimana aturan masuk ke dalam kesatuan yang logis.
Mengingat gambaran ini, itu kemudian akan memungkinkan untuk menambah materi penjelasan dari sumber lain. Sumber-sumber ini meliputi Komentar Buddhaghosa untuk Vinaya (Samanta-päsädikä), dua Sub- komentar (Säriputta Särattha-dïpanï dan Kassapa Vimati-vinodanï), dua panduan Vinaya Thai (Pubbasikkhä-vaêêanä dan Pangeran Vajirañäêa Vinaya-mukha), dan—kadang-kadang —tradisi lisan mengenai aturan. Sangat sedikit sarjana yang menulis Khandhaka lain di masa awal sekolah Buddhis, sehingga referensi dalam buku ini sampai Kanon Buddhis lainnya jarang terjadi. Seperti di EMB1, saya memberikan preferensi pada sumber awal Theraväda ketika konflik ini dengan yang kemudian, tapi saya melakukannya juga dengan rasa hormat yang kuat untuk sumber yang berikutnya, dan tanpa menyiratkan secara tidak langsung bahwa tafsiran saya tentang Kanon adalah satu-satunya yang paling sah. Selalu ada bahaya dalam menjadi terlalu independen dalam menafsirkan tradisi, dalam pendapat yang dipegang teguh dapat menyebabkan ketidakharmonisan dalam Komunitas. Jadi, bahkan dalam kasus di mana saya berpikir sumber yang belakangan salah memahami Kanon, saya telah mencoba untuk memberikan keyakinan penuh terhadap posisi catatan mereka—kadang- kadang dalam perincian yang mendalam—sehingga mereka yang berharap
Khandhaka
untuk mengambil sumber-sumber itu sebagai hak mereka, atau mereka yang ingin hidup dengan harmonis dalam Komunitas yang melakukan itu, masih menggunakan buku ini sebagai pedoman.
Dan—lagi, seperti dalam EMB1—saya telah mencoba memasukkan apa pun yang tampaknya paling layak untuk diketahui para bhikkhu yang bertujuan menggunakan aturan Khandhaka untuk mendorong kualitas disiplin dalam hidupnya—agar dapat membantu melatih pikiran dan hidup damai dengan sesama bhikkhu—dan bagi siapa saja yang ingin mendukung dan mendorong para bhikkhu dalam tujuan itu.
bagian satu
Umum
BAB SATU
Perawatan Pribadi
Seorang bhikkhu harus bersih, rapi, dan bersahaja dalam penampilan, sebagai refleksi dari kualitas yang sedang ia coba kembangkan dalam pikirannya.
Mandi. Meskipun Pc 57 melarang seorang bhikkhu dari mandi dengan interval kurang dari setengah bulan, kami telah mencatat dalam pembahasan aturan tersebut bahwa tampaknya itu dimaksudkan sebagai tindakan disiplin sementara bagi para bhikkhu yang menyusahkan Raja Bimbisära ketika ia ingin mandi di sumber mata air panas di dekat Räjagaha. Belakangan ketika Buddha menambahkan pengecualian pada aturan tersebut, maka ia membebaskan itu yang hampir juga ia batalkan. Selain itu, Mv.V.13 secara tegas membebaskan aturan itu di semua belahan dunia di luar pusat Lembah Gangga.
Pada zaman Buddha, mandi dilakukan di sungai, di kolam untuk mandi, sauna, atau tempat pancuran. Alih-alih sabun, orang menggunakan bubuk yang tidak berbau yang disebut chunam, yang diremas dengan air menjadi adonan seperti pasta. Para bhikkhu secara tegas diperbolehkan untuk menggunakan bubuk kotoran hewan, tanah liat, atau ampas sisa pewarna; menurut Komentar, chunam umumnya akan berada di bawah “ampas sisa pewarna.” Seorang bhikkhu dengan sejumlah ruam yang gatal, bisul kecil, atau sakit berkepanjangan, atau ia yang memiliki bau badan tidak sedap (dalam kata-kata dari Komentar, “dengan bau badan seperti seekor kuda”) dapat menggunakan serbuk wangi. Saat ini, Standar Besar akan memungkinkan sabun di bawah penyisihan tanah liat, dan sabun wangi atau deodoran di bawah penyisihan serbuk wangi untuk seorang bhikkhu dengan bau badan yang menyengat. Jika tidak, penggunaan pewangi terdaftar di antara kebiasaan buruk yang dilarang oleh Cv.V.36 (lihat Bab 10).
Etiket ketika mandi berkelompok adalah sebagai berikut bhikkhu junior tidak boleh mandi di depan bhikkhu yang lebih senior atau, jika mandi di sungai, ke hulu darinya. Jika ia mampu dan rela (dan, tentu saja, jika bhikkhu senior menyetujuinya), ia boleh memperhatikan keperluan para bhikkhu senior sementara mereka mandi. Sebuah contoh dari hal ini, diberikan dalam Komentar, adalah menggosokkan mereka. Ketika
Perawatan Pribadi
menggosok satu sama lain atau dirinya sendiri, ia dapat menggunakan tangannya atau tali atau sobekan kain. Karet busa, yang tampaknya tidak dikenal di zaman Buddha, mungkin akan dimasukkan di bawah sobekan kain.
Ia tidak diperbolehkan untuk menggosok badannya dengan tangan kayu, seutas tali dari manik-manik bubuk merah—menurut Komentar, ini berarti bubuk mandi yang dicampur dengan bubuk batu (cinnabar?) dan dibentuk menjadi manik-manik—atau dengan gosokan berukir dengan pola “gigi-naga”. Bagaimanapun, seorang bhikkhu yang sakit, dapat menggunakan gosokan yang tidak berukir. Pada masa Buddha, seorang pemuda saat mandi akan menggosok badannya berlawanan dengan pohon, berlawanan dinding, berlawanan satu sama lain (ini semua disebut “pijatan secara penuh”), atau berlawanan dengan tonggak gosokan (aèèhäna, yang menurut Komentar, mengambil nama dari bentuknya dengan pola seperti papan catur (aèèhapada) yang cocok untuk menguatkan otot-otot mereka. Para bhikkhu dengan tegas dilarang dari menggosok tubuh mereka dalam semua cara ini. Namun, mereka diizinkan untuk memijat diri mereka sendiri dan satu sama lain menggunakan tangan mereka.
Dalam konteks lain—membersihkan kaki sebelum memasuki tempat tinggal—ia diperbolehkan untuk menginjak penyeka kaki yang terbuat dari batu, pecahan batu, dan batu apung (“batu busa-laut”), sehingga akan tampak beralasan bahwa penggunaan batu apung atau batu lain untuk menggosok kotoran membandel saat mandi akan juga diizinkan.
Ketika meninggalkan air setelah mandi, ia harus membuat jalan bagi yang lain untuk memasuki air.
Ia diperbolehkan untuk mengeringi dirinya dengan penyeka air—di mana ketentuan bukan-pelanggaran untuk Pc 86 mengatakan boleh terbuat dari gading, tanduk, atau kayu—atau dengan potongan kain.
Perawatan gigi. Sikat gigi, benang gigi 1 , pasta gigi, dan bubuk untuk gigi belum dikenal di zaman Buddha. Namun, ada penyisihan kayu
gigi, yang merupakan hal yang sama seperti kayu pembersih gigi yang dibahas di bawah Pc 40. Buddha memuji kebaikan dari penggunaan kayu gigi sebagai berikut: “Ada lima keuntungan dalam mengunyah kayu gigi: Itu membuat mulut menarik, mulut tidak berbau busuk, pengecapan
1 Dental floss
BAB SATU
menjadi bersih, empedu dan lendir tidak melapisi makanannya, ia menikmati makanannya.” Saat ini, sikat gigi dan benang gigi akan berada di bawah penyisihan kayu gigi. Karena kayu gigi tidak boleh kurang dari empat lebar jari panjangnya, banyak Komunitas memperluas larangan ini untuk memasukkan tusuk gigi kurang dari empat lebar jari juga. Pasta gigi dan bubuk pembersih gigi, karena mereka terdiri dari garam mineral, akan berada di bawah penyisihan garam untuk obat.
Rambut kepala. Rambut kepala harus tidak dibiarkan tumbuh panjang. Itu harus dicukur setidaknya setiap dua bulan atau ketika rambut telah tumbuh sepanjang dua lebar jari—tergantung yang mana yang lebih dulu terjadi, kata Komentar. Di Thailand ada suatu kebiasaan bahwa semua bhikkhu mencukur rambut kepala mereka pada hari yang sama, sehari sebelum bulan purnama, sehingga Komunitas dapat memiliki penampilan yang seragam. Meskipun ini tidak wajib, seorang bhikkhu yang tidak mengikuti kebiasaan ini cenderung berdiri di luar sesamanya.
Sebuah pisau cukur adalah salah satu dari delapan kebutuhan dasar seorang bhikkhu. Ia juga diperbolehkan memiliki batu asahan, kotak pisau cukur, potongan kain tebal (untuk membungkus pisau cukur), dan semua aksesoris pisau cukur (seperti kulit pengasah). Saat ini, kelayakan ini akan mencakup semua jenis pisau cukur yang berpengaman. Komentar untuk Pr
2 meminta dengan tegas bahwa kotak pisau cukur jangan beraneka-warna.
Kecuali sakit—misalnya., ia memiliki luka di kepalanya—seorang bhikkhu tidak dapat menggunakan gunting untuk memotong rambutnya atau membuatnya dipotong. Pertanyaan menggunakan pisau cukur listrik untuk mencukur kepala adalah sebuah perdebatan. Karena gerakan memotongnya—bahkan dalam pencukur yang berputar—adalah mirip seperti gunting, banyak Komunitas tidak akan mengizinkan penggunaannya untuk mencukur kepala.
Seorang bhikkhu tidak boleh mencabut uban. (Di sini perkataan Komentar menyuguhkan bahwa larangan ini juga meliputi bulu badan sama halnya dengan rambut di kepala, tetapi selanjutnya mengatakan bahwa rambut jelek yang tumbuh, misalnya., pada alis, dahi, atau sekitar jenggot dapat disingkirkan.) Ia tidak boleh merapikan rambut kepalanya dengan sikat, sisir, dengan jari tangan digunakan sebagai sisir, dengan lilin lebah yang dicampur dengan minyak, atau dengan air yang dicampur minyak. Perapi rambut dari gel dan krim akan juga termasuk di bawah larangan ini.
Perawatan Pribadi
Komentar memberikan izin untuk menggunakan tangannya untuk mengusap ke bawah bulu badannya yang melingkar ke atas—untuk contoh, di atas lengan atau dada—dan mengusap kepala dengan tangan yang basah untuk menyejukkan atau untuk menyingkirkan debu.
Jenggot. Jenggot sebaiknya tidak dibiarkan panjang, meskipun— tidak sama seperti rambut di kepala—tidak ada ukuran panjang yang pasti, kecuali aturan dua bulan atau dua lebar jari berlaku di sini juga. Ia tidak boleh merapikan jenggotnya seperti kambing, persegi panjang, atau dalam gaya lainnya. Kumis sebaiknya tidak dirapikan, misalnya., dengan membuat ujung-ujungnya berdiri. Karena tidak ada larangan menggunakan gunting untuk memotong jenggot, pisau cukur listrik jelas dilayakkan dalam mencukur wajah.
Wajah. Seorang bhikkhu tidak menatap pantulan wajahnya pada cermin atau mangkuk berisi air kecuali wajahnya memiliki luka atau penyakit. Menurut Komentar, cermin di sini mencakup setiap permukaan yang memantulkan cahaya; semangkuk air, permukaan cairan. Komentar juga memberikan izin untuk melihat bayangan dirinya untuk memeriksa tanda-tanda penuaan yang akan digunakan dalam merenungkan tema ketidakkekalan. Vinaya-mukha, mencatat bahwa larangan menggunakan cermin datang dalam konteks aturan terhadap mempercantik wajah, berpendapat bahwa melihat pantulan dirinya untuk tujuan lain—misalnya, sebagai bantuan dalam mencukur kepala atau jenggot—harus diperbolehkan. Atau, mungkin dapat dikatakan bahwa penggunaan cermin saat mencukur akan mengurangi bahaya melukai diri sendiri dengan pisau cukur, dan sebagainya harus diperbolehkan di bawah pembebasan yang dibuat untuk “penyakit.”
Kecuali dalam keadaan sakit, ia sebaiknya tidak menerapkan losion, bedak, atau pasta untuk wajah. Referensi ini tampaknya untuk losion kecantikan, dll.. Losion, bedak, dan pasta obat yang dilayakkan (lihat Bab 5). Juga ada larangan menerapkan tanda ke wajah (seperti tanda kasta atau tanda peruntungan) dengan arang merah. Komentar menafsirkan arang merah sebagai yang meliputi alat pewarna. Wajah dan tubuh juga jangan dicat atau dicelup (misal., dengan kosmetik, pacar, atau cat minyak). Aturan ini akan juga melarang seorang bhikkhu untuk membuat tubuhnya
BAB SATU
ditato, meskipun tato yang dilakukan sebelum Penerimaan tidak harus dihapus (lihat Bab 14).
Meskipun salep obat mata diperbolehkan, peraturan di atas akan juga melarang kosmetik untuk mata.
Bulu badan. Bulu hidung sebaiknya tidak dibiarkan tumbuh panjang. (Dalam kisah awal untuk aturan ini, orang keberatan dengan bhikkhu dengan bulu hidung yang panjang “seperti siluman”). Jepitan diperbolehkan untuk menarik mereka keluar; dengan perluasan, gunting juga diperbolehkan untuk memangkas mereka. Vinaya-mukha mencatat kalau bulu hidung melakukan fungsi yang berguna dalam menjaga debu masuk ke paru-paru dan sebagainya penafsiran aturan ini hanya berlaku untuk bulu hidung yang tumbuh panjang melewati lubang hidung.
Bulu di dada atau perut sebaiknya tidak ditata. Bulu di daerah “pribadi”—di mana Vibhaòga untuk bhikkhunï merupakan aturan yang serupa, yaitu Pc 2, mengidentifikasi bulu ketiak dan daerah kemaluan— sebaiknya tidak disingkirkan kecuali ada luka pada daerah tersebut dan kebutuhan untuk menerapkan obat.
Kuku. Kuku jari tangan dan kuku jari kaki jangan dibiarkan tumbuh panjang.
Pada suatu kesempatan seorang bhikkhu dengan kuku yang panjang pergi piêéapäta 2 . Seorang wanita, saat melihatnya, berkata, ‘Ayo, yang
mulia. Kita melakukan hubungan seksual.’ “Cukup, saudari. Itu tidak diizinkan.” “Tapi, yang mulia, jika Anda tak mau mengajak (hubungan seksual), saya akan mencakar-cakar tubuh saya sekarang dengan kuku saya sendiri dan membuat bualan: ‘Saya telah dianiaya oleh bhikkhu ini!’” “Apakah Anda tahu (apa yang Anda lakukan) (§), saudari?” Kemudian wanita itu, setelah mencakar-cakar tubuhnya dengan kukunya sendiri membuat bualan: “Saya telah dianiaya oleh bhikkhu ini!”
2 Berkeliling dari rumah ke rumah mencari dana makanan. Dari sini selanjutnya dipahami demikian
Perawatan Pribadi
Orang-orang, menyerbu, menahan bhikkhu itu. Tapi mereka melihat kulit dan darah di kuku wanita itu. Melihat hal ini, (dan berkata,) “Ini telah dilakukan oleh wanita itu sendiri. Bhikkhu ini tidak bersalah,” mereka membiarkannya pergi.
Kuku harus dipotong sejajar dengan daging—pemotong kuku diperbolehkan untuk keperluan ini—dan hanya boleh digosok sekadar menyingkirkan kotoran dan noda. Komentar menerjemahkan poin terakhir ini sebagai kelayakan juga untuk membersihkan kotoran di bawah kuku.
Telinga. Instrumen untuk membersihkan kotoran dari telinga diperbolehkan tetapi tidak dapat dibuat dari bahan yang mewah. Bahan yang diperbolehkan adalah tulang, gading, tanduk, buluh, bambu, kayu, damar, buah (§) (misalnya., tempurung kelapa), tembaga (logam), atau kulit kerang. Di bawah Standar Besar, plastik saat ini akan berada di bawah daftar ini juga. Sepuluh daftar benda-benda ini harus diingat, karena sering berulang di Khandhaka.
Ornamen. Ornamen berikut tidak untuk dikenakan (di sini kata Päli untuk memakai—dharati—juga berarti menyimpan atau memiliki): Perhiasan telinga (menurut Komentar, ini termasuk setiap hiasan telinga, bahkan sehelai daun palem), rantai, kalung, ornamen pinggang (bahkan benang, kata Komentar), korset hias, gelang-gelang, dan cincin. Tidak satu pun dari aturan ini membuat pengecualian ketika motifnya selain ornamen. Jadi menggunakan jam tangan untuk tujuan praktis, gelang tembaga
dikenakan untuk alasan kesehatan, atau manik-manik 3 berwarna yang
dikenakan untuk tujuan meditasi, semua akan dilarang di bawah aturan- aturan ini.
Aturan
Mandi
“Saya mengizinkan bedak sebagai obat bagi orang yang memiliki penyakit gatal, bisul kecil, luka berkepanjangan, atau luka borok; atau bagi ia yang
3 Tasbih
BAB SATU
bau badannya menyengat. Saya mengizinkan (bubuk) kotoran hewan, tanah liat, dan ampas pewarna bagi orang yang tidak sakit. Saya mengizinkan ulekan.”—Mv.VI.9.2
“Tubuh tidak boleh digosok berlawanan pohon oleh seorang bhikkhu yang sedang mandi. Siapa pun yang bergesekkan dengan itu (dengan cara seperti itu): pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.1.1
“Tubuh tidak boleh digosok berlawanan dinding oleh seorang bhikkhu yang sedang mandi. Siapa pun yang bergesekkan dengan itu (dengan cara seperti itu): pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.1.2
“Ia tidak boleh mandi pada tonggak penggosok. Siapa pun yang mandi (di sana): pelanggaran dari perbuatan salah”... “Ia tidak boleh mandi dengan tangan kayu. Siapa pun yang mandi (dengan itu): pelanggaran dari perbuatan salah “... “Ia tidak boleh mandi dengan seutas tali dari manik- manik cinnabar. Siapa pun yang mandi (dengan itu): pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.1.3
“Ia tidak boleh ‘terbenam penuh’ membuat pijatan [K: menggosokkan tubuhnya berlawanan dengan tubuh orang lain]. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Ia tidak boleh mandi dengan gosokan berukir seperti gigi naga. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Saya mengizinkan penggosok tak berukir bagi orang yang tidak sakit.”—Cv.V.1.4
“Saya mengizinkan sobekan kain (atau seutas tali dari kain) (untuk menggosok badan)”... “Saya mengizinkan tangan biasa [K: memijat].”— Cv.V.1.5
“Saya mengizinkan tiga macam penyeka atau penggosok kaki: batu, pecahan batu, batu apung (secara harfiah, ‘batu busa-laut’) (§).”— Cv.V.22.1
“Saya mengizinkan pengering air, untuk mengeringkan dirinya bahkan dengan kain.”—Cv.V.17.1
Perawatan Pribadi
“Jika ia mampu atau mau, ia dapat memberikan layanan untuk para bhikkhu senior bahkan di dalam air. Ia sebaiknya tidak mandi di depan para bhikkhu senior atau ke hulu dari mereka. Ketika keluar dari air setelah mandi, buatlah jalan bagi mereka memasuki air.”—Cv.VIII.8.2
Perawatan gigi
“Ada lima keuntungan dalam mengunyah kayu gigi yaitu: membuat mulut menarik, mulut tidak berbau busuk, pengecapan menjadi bersih, empedu dan lendir tidak melapisi makanannya, ia menikmati makanannya. Saya mengizinkan kayu gigi.”—Cv.V.31.1
“Sepotong kayu untuk gigi yang panjang tidak boleh dikunyah. Siapa pun yang mengunyahnya: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan kayu gigi dengan ukuran paling panjang delapan jari. Dan pemula tidak boleh dikilik dengan itu. Siapa pun yang melakukannya: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Kayu gigi yang terlalu pendek tidak boleh dikunyah. Siapa pun yang mengunyahnya: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan kayu gigi setidaknya empat lebar jari panjangnya.”— Cv.V.31.2
Rambut kepala
“Rambut kepala tidak boleh dibiarkan tumbuh panjang. Siapa pun yang melakukannya: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan dua- bulan (pertumbuhannya) atau dua lebar jari.”—Cv.V.2.2
“Saya mengizinkan pisau cukur, batu asahan, kotak pisau cukur, potongan kain tebal, dan semua aksesoris pisau cukur.—Cv.V.27.3
“Ia tidak boleh memotong rambut kepalanya dengan gunting. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan Anda untuk memotong rambut dengan gunting pada keadaan sakit (kisah awal: seorang bhikkhu memiliki luka di kepalanya dan tak dapat bercukur)”... “Bulu di lubang hidung sebaiknya tidak dibiarkan tumbuh panjang. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Saya mengizinkan penjepit”... “Ia sebaiknya tidak membuat uban
BAB SATU
dicabut. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.27.5
“Ia sebaiknya tidak mengatur rambut kepala dengan sikat... dengan sisir... dengan jari tangan digunakan sebagai sisir... dengan lilin lebah dicampur dengan minyak... dengan air dicampur minyak. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.2.3
Jenggot dan bulu badan
“Jenggot sebaiknya tidak dirapikan. Jenggot jangan dibiarkan tumbuh panjang. Itu sebaiknya tidak dirapikan seperti kambing. Itu sebaiknya tidak dihias seperti persegi. Bulu dari dada sebaiknya tidak dirapikan. Bulu dari perut sebaiknya tidak dirapikan. (Terjemahan untuk dua pernyataan terakhir ini mengikuti Komentar. Sebuah terjemahan alternatif, tidak didukung oleh Komentar, baca itu sebagai larangan yang berhubungan dengan bulu di sekitar wajah, yang pertama (parimukhaó) dapat dibaca sebagai “kumis” dan yang kedua (aééharukaó atau aééhadukaó) sebagai “jenggot potongan daging domba.”) Kumis sebaiknya tidak diatur (membuatnya berdiri). Bulu di kemaluan tidak dapat disingkirkan. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah “... “Saya mengizinkan bulu di daerah itu disingkirkan dalam keadaan sakit.”—Cv.V.27.4
Wajah
“Ia sebaiknya tidak memandang pantulan wajahnya pada cermin atau dalam mangkuk berisi air. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Saya mengizinkan itu, atas perhitungan penyakit, ia memandang pantulan wajahnya pada cermin atau dalam mangkuk berisi air.”—Cv.V.2.4
“Wajah sebaiknya tidak dibalur (dengan losion). Wajah sebaiknya tidak digosok dengan pasta. Wajah sebaiknya tidak dibedaki. Wajah sebaiknya tidak ditandai dengan arang merah. Anggota tubuh sebaiknya tidak dicat atau diwarnai. Wajah sebaiknya tidak dicat atau diwarnai. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”... “Saya mengizinkan itu, atas perhitungan penyakit, wajah dibalur (dengan losion).”—Cv.V.2.5
Perawatan Pribadi
Kuku
“Kuku sebaiknya tidak dibiarkan tumbuh panjang. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah”—Cv.V.27.1
“Saya mengizinkan alat pemotong kuku”... “Saya mengizinkan kuku dipotong sampai sejajar daging”... “Salah satu dari 20 kuku sebaiknya tidak dipoles. Siapa pun yang melakukan itu: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan mereka dipoles untuk menjauhkan kotoran dan noda.”— Cv.V.27.2
Telinga
“Saya mengizinkan alat untuk menghilangkan kotoran dari telinga”... “Ia sebaiknya tidak menggunakan instrumen yang mewah untuk menghilangkan kotoran dari telinga. Siapa pun yang menggunakannya: pelanggaran dari perbuatan salah. Saya mengizinkan bahwa mereka dibuat dari tulang, gading, tanduk, buluh, bambu, kayu, damar, buah (§) (misalnya., tempurung kelapa), tembaga (logam), atau kulit kerang.”— Cv.V.27.6
Ornamen
“Ornamen telinga sebaiknya tidak dipakai. Sebuah rantai sebaiknya tidak dipakai. Kalung... ornamen pinggang... korset hias (§)... gelang... cincin sebaiknya tidak dipakai. Siapa pun yang memakainya: pelanggaran dari perbuatan salah.”—Cv.V.2.1
Kain Keperluan
Kain Keperluan
Seorang bhikkhu memiliki empat kebutuhan primer—kain-jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan—dan berbagai perlengkapan sekunder. Ini dan lima bab berikut membahas keperluan yang diperbolehkan dan yang tidak, bersama dengan penggunaan yang tepat dari keperluan yang diperbolehkan. Sutta memberikan latar belakang untuk diskusi ini dengan menyorot sikap yang tepat yang seorang bhikkhu harus kembangkan terhadap keperluannya: Ia harus merenungkan peran mereka, tidak sebagai bagian dalam diri mereka, tetapi sebagai alat belaka terhadap pelatihan pikiran; dan ia harus mengembangkan sikap merasa puas dengan apa pun keperluan yang ia terima.
“Dan apakah aliran (kotoran batin) yang harus ditinggalkan menurut penggunaannya? Ada kasus di mana seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan kain-jubah hanya untuk menahan dingin, untuk menahan panas, untuk mencegah gigitan serangga, nyamuk, angin, matahari, dan binatang melata; hanya untuk keperluan menutupi bagian tubuh yang menyebabkan rasa malu.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia makan dana makanan, tidak untuk bermain-main, maupun memabukkan, maupun untuk menggemukkan, maupun untuk mempercantik diri; tetapi hanya untuk bertahan hidup dan kelanjutan dari tubuh ini, untuk mengakhiri penderitaan, untuk mendukung kehidupan suci ini, dengan berpikir, ‘Dengan ini saya akan menghancurkan perasaan lama (dari rasa lapar) dan tidak membentuk perasaan baru (dari kekenyangan). Saya akan memelihara diri saya, bebas dari celaan, dan hidup dalam kenyamanan.’
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat tinggal hanya untuk menahan dingin, untuk menahan panas, untuk mencegah gigitan serangga, nyamuk, angin, matahari, dan binatang melata; hanya untuk perlindungan dari buruknya cuaca dan untuk kesenangan dalam penyepian.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan keperluan obat- obatan yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit hanya untuk
BAB DUA
menahan rasa sakit dari setiap penyakit yang muncul dan untuk kebebasan maksimum dari penyakit.
“Aliran (kotoran batin), kekesalan, atau demam yang akan muncul jika ia tidak dapat menggunakan ini (dengan cara ini) tidak muncul padanya ketika ia menggunakan mereka (dengan cara ini). Ini disebut aliran (kotoran batin) yang harus ditinggalkan”—MN 2.
“Dan bagaimana seorang bhikkhu puas? Bagaikan seekor burung, ke mana pun ia pergi, terbang dengan sayapnya bagaikan hanya itu bebannya, demikian pula ia harus puas dengan satu set jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Ke mana pun ia pergi, ia hanya membawa keperluannya saja. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu merasa puas.”—DN 2.
“‘Dhamma ini adalah untuk orang yang merasa puas, bukan untuk orang yang tidak merasa puas.’ Demikian itu telah dikatakan. Dengan mengacu pada apa yang dikatakan? Ada kasus di mana seorang bhikkhu terpuaskan dengan kain-jubah usang, setiap sisa dana makanan, setiap tempat tinggal bekas, keperluan obat-obatan apa pun untuk menyembuhkan segala penyakit. ‘Dhamma ini adalah untuk ia yang merasa puas, bukan untuk orang yang tidak puas.’ Demikian itu telah dikatakan. Dengan mengacu pada apa yang telah dikatakan.”—AN VII.30.
Selanjutnya, untuk seorang bhikkhu yang benar-benar mewujudkan tradisi yang mulia, ia sebaiknya tidak hanya merenung dan puas dalam menggunakan keperluannya, tapi ia harus memastikan bahwa perenungan dan kepuasannya tidak mengarah ke kebanggaan.
“Ada kasus di mana seorang bhikkhu puas dengan kain-jubah usang... makanan sisa apapun... segala tempat tinggal rapuh. Ia tidak, demi kain- jubah... makanan... tempat tinggal, melakukan apa pun yang tak pantas atau tak sesuai. Tidak mendapatkan kain-jubah... makanan... tempat tinggal, ia tidak gelisah. Mendapatkan kain-jubah... makanan... tempat tinggal, ia menggunakannya tanpa melekat padanya, tidak tergila-gila, tersucikan, melihat kelemahan (kelekatan pada itu), dan melihat jalan
Kain Keperluan
keluar untuk lepas dari mereka. Ia tidak, atas perhitungan kepuasannya dengan setiap kain-jubah... makanan... tempat tinggal, memuji dirinya atau merendahkan yang lain. Dalam hal ini ia rajin, cekatan, waspada, dan berperhatian. Ini dikatakan untuk menjadi seorang bhikkhu yang berdiri teguh dalam tradisi yang mulia di masa lampau” — AN IV.28.
Dalam cara ini, keperluan memenuhi tujuannya—sebagai alat bantu yang dimaksudkan mereka, daripada hambatan, untuk melatih pikiran.
Bahan jubah. Kandidat pentahbisan harus memiliki satu set jubah sebelum ia dapat diakui oleh Komunitas sebagai seorang bhikkhu (Mv.I.70.2). Setelah ditahbiskan ia diharapkan untuk menjaga jubahnya dalam kondisi baik dan mengganti mereka ketika mereka usang terpakai.
Jubah dapat dibuat dari enam jenis bahan jubah: linen, katun, sutra, wol, goni, atau rami. Seperti dicatat di bawah pembahasan dari NP 1, Sub- komentar untuk aturan tersebut termasuk campuran dari salah satu atau semua jenis kain di bawah “rami.” Ada kelayakan terpisah untuk jubah, jubah sutra, syal wol, dan kain wol, tetapi rupanya ini lebih tua dan harus dimasukkan di bawah daftar enam itu. Nilon, rayon, dan kain sintetis sekarang diterima di bawah Standar Besar.
Seorang bhikkhu bisa mendapatkan kain dengan mengumpulkan kain-kain sisa, menerima dana kain dari perumah-tangga, atau keduanya. Buddha memuji untuk menjadi puas dengan yang sedikit.
Jubah yang terbuat dari kain buangan adalah satu dari empat pendukung, atau nissaya, dari mana seorang bhikkhu baru, diberitahu segera setelah pentahbisannya. Menjaga pendukung ini adalah satu dari tiga belas praktik dhutaòga (Thag XVI.7). Mv.VIII.4 berisi serangkaian cerita tentang kelompok bhikkhu yang, bepergian bersama-sama, berhenti dan memasuki tanah pekuburan untuk mengumpulkan kain bekas mayat di sana. Aturannya menghasilkan: Jika kelompok pergi bersama, anggota dari kelompok yang mendapatkan kain harus memberikan bagian kepada mereka yang tidak punya. Jika beberapa bhikkhu memasuki tanah pekuburan sementara rekan-rekannya tinggal di luar atau masuk sesudahnya, mereka yang masuk (atau masuk pertama) tidak perlu memberikan bagian kain yang mereka dapatkan kepada mereka yang
BAB DUA
datang kemudian atau tinggal di luar dan tidak menunggu mereka. Namun, mereka harus berbagi bagian kain yang mereka peroleh jika rekan mereka menunggu atau mereka telah membuat kesepakatan sebelumnya bahwa semua harus berbagi kain yang diperoleh. Komentar untuk Pr 2 membahas etiket untuk mengambil potongan kain dari mayat: Tunggu sampai mayat itu dingin, untuk memastikan bahwa makhluk halus (peta) dari orang yang telah mati sudah tidak lagi berada di dalam tubuh itu.
Adapun dana kain-jubah, Mv.VIII.32 mendaftar delapan jalan dalam mana seorang donor mungkin langsung memberikan dana kainnya:
1. Dalam wilayah,
2. Dalam kesepakatan,
3. Di mana makanan dipersiapkan,
4. Ditujukan kepada Komunitas,
5. Kedua pihak dari Komunitas,
6. Bagi Komunitas yang telah menyelesaikan musim hujan,
7. Setelah ditunjuk, dan
8. Untuk individu.
Ada ketentuan kompleks yang mengatur cara di mana masing- masing jenis dana ini akan ditangani. Karena mereka terutama menjadi tanggung jawab distributor kain-jubah, mereka akan dibahas dalam Bab 18. Namun, ketika para bhikkhu tinggal sendiri atau dalam kelompok kecil tanpa menentukan distributor kain-jubah, akan lebih bijaksana untuk menginformasikan diri mereka sendiri tentang ketentuan tersebut, sehingga mereka dapat menangani dana kain-jubah dengan benar dan tanpa pelanggaran.
Setelah seorang bhikkhu telah memperoleh kain, ia harus menentukan atau menempatkannya di bawah kepemilikan bersama seperti yang dibahas di bawah NP 1, NP 3, dan Pc 59.
Membuat Jubah: Petunjuk Menjahit. Set jubah dasar adalah tiga: jubah luar dua lapisan, satu lapis jubah atas, satu lapis jubah bawah. Hingga dua dari jubah ini dapat dibuat dari kain yang tidak dipotong dengan batas yang dipotong (sebuah anuväta—lihat di bawah). Jubah tanpa batas yang dipotong tidak dapat dikenakan; hal yang sama juga berlaku