Kajian Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Gizi Buruk pada Balita di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk
Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya
manusia. Peran gizi dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia telah
dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan
mempengaruhi kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada balita tidak hanya
menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan
dan produktivitas di masa dewasa.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi
makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein.
Masalah

gizi

makro

adalah


masalah

gizi

yang

utamanya

disebabkan

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat
gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro. (Depkes RI, 2002)
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Takalar oleh Mahaeni pada tahun
2010 bahwa gizi buruk terjadi karena pemenuhan kebutuhan gizi balita masih sangat
minim, akibatnya rendahnya motivasi, kuatnya pengaruh budaya masyarakat, serta
perilaku yang kurang mendukung karena ketidaktahuan, sikap kurang dan ketidak
mampuan bertindak karena ketidak berdayaan ekonomi.

6
Universitas Sumatera Utara


Menurut WHO salah satu masalah gizi buruk terjadi akibat konsumsi
makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena adanya
gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat badannya kurang dari
berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), gizi buruk adalah status
gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan Z-score 2 SD

Sumber : Kemenkes RI, 2011

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Status Gizi Berdasarkan Antropometri WHO 2005 dengan Gejala Klinis
Status Gizi dengan pengukuran antropomerti WHO 2005 dengan gejala-gejala

klinis yaitu :
1. Marasmus
Marasmus memiliki ciri-ciri:Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang
hanya terbungkus kulit, otot lemah, lunak, wajah tampak tua (monkey face), sering

pada bayi < 12 bulan, mudah menangis/cengeng dan rewel, kulit menjadi keriput,
jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana
longgar), perut cekung, dan iga gambang, sering disertai penyakit infeksi (umumnya
kronis berulang), diare kronik atau konstipasi (susah buang air), tidak ada edema,
warna rambut tidak berubah.
2. Kwashiorkhor
Kwasiorkor memiliki ciri-ciri: wajah bulat (moon face), biasa terjadi pada
anak usia 1-3 bulan, edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama
punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab, pandangan mata sayu, rambut tipis
kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan
mudah rontok, terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel, terjadi
pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk, terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
dan berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement
dermatosis), sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut, anemia dan diare.

Universitas Sumatera Utara

3. Marasmic-Kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala

klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk
Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat
di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan dan akar
masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu :
a. Faktor Langsung
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
2. Penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh
sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
b. Faktor tidak Langsung
1. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat
2. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Faktor lain yang dikemukan oleh Adriani & Wirjatmadi ( 2012) dalam buku
mereka pengantar gizi masyarakat bahwa status gizi dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut :


Universitas Sumatera Utara

1. Faktor langsung dipengaruhi oleh :
a. Asupan berbagai makanan
b. Penyakit
2. Faktor tidak langsung
a.

Ekonomi

keluarga,

penghasilan

keluarga

merupakan

faktor


yang

memengaruhi kedua faktor yang berperan langsung terhadap status gizi
b.

Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena kemampuan
menghasilkan produk pangan

c.

Pola Asuh, salah satu kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang

d.

Budaya, masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang
dipandang dari segi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.

e.

Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek akan memudahkan

anak menderita penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi saluran pencernaan.

f.

Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi
anak
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi

buruk pada balita, yaitu:
1.

Keluarga miskin

2.

Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak

3.

Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran

pernapasan dan diare.

Universitas Sumatera Utara

Faktor lain yang mempengaruhi status gizi di kemukakan oleh Arisman
(2004), menurut beliau status gizi dipengaruhi oleh determinan biologis yang meliputi
jenis kelamin, lingkungan dalam rahim, jumlah kelahiran , berat lahir, ukuran orang
tua, dan konstitusi genetik serta faktor lingkungan seperti keadaan sosial ekonomi
keluarga.
2.3.1

Faktor Langsung
Faktor langsung penyebab gizi buruk adalah :

2.3.1.1 Asupan Makanan
Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu
beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI
Eksklusif.(Menko Kesra RI, 2013)
Gizi buruk banyak terjadi pada anak usia enam bulan hingga lima tahun pada

umur tersebut tubuh anak memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila
kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat gizi
yang ada dalam tubuh, yang akibatnya semakin lama cadangan semakin habis dan
akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang akan menimbulkan perubahan pada
gejala klinis.
Berdasarkan penelitian Arnisam (2006) di Kecamatan Ulee Kareng Kota
Banda Aceh, anak dengan asupan energi yang kurang mempunyai risiko 2,9 kali lebih
besar untuk mengalami status gizi kurang di banding dengan anak yang asupan
energinya cukup, sedangkan anak dengan asupan protein yang kurang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

risiko 3,1 kali lebih besar untuk mengalami status gizi kurang di bandingkan dengan
anak yang asupan proteinnya cukup. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam
pemberian makanan anak adalah umur, aktivitas, keadaan sakit dan jenis
kelamin.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)
2.3.1.2 Penyakit Infeksi
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan
dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit
pernafasan akut (ISPA).

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi merupakan hubungan timbal
balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan
gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang
umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan
batuk rejan.
Pudjiadi (2000) berpendapat interaksi antara malnutrisi dan penyakit infeksi
sudah lama diketahui. Infeksi dapat mempengaruhi asupan makanan sehinggga akan
kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaiknya malnutrisi berpengaruh negatif
terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Interaksi sinergistik antara
malnutrisi da penyakit infeksi antara lain :
1. Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi
Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan
telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan karena hilangnya nafsu makan
penderita penyakit infeksi sehingga masukan zat gizi dan energi kurang dari

Universitas Sumatera Utara

kebutuhannya. Pada penderita penyakit infeksi memerlukan kebutuhan energi dan
zat gizi yang meningkat karena katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang
tinggi.

2. Dampak Malnutri terhadap Penyakit Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas penderita terhadap berbagai
infeksi. Tubuh memiliki tiga macam pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu :
a. Melalui sel (imunitas seluler)
b. Melalui cairan (imunitas humoral)
c. Aktivitas leukosit polimorfonukleus
Hasil penelitian Hidayat dan Noviati Fuada (2011) mereka mengungkapkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian penyakit diare dengan
status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB. Balita yang
sering mengalami diare berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi
buruk, pendek dan kurus dibandingkan dengan balita yang normal atau berstatus gizi
baik.
2.3.2

Faktor tidak Langsung
Faktor tidak langsung penyebab gizi buruk antara lain ialah :

2.3.2.1 Ketersedian Pangan
Pertanian berpengaruh terhadap gizi melalui produksi pangan untuk keperluan
rumah tangga dan distribusi hasil tanaman perdagangan, ternak dan jenis pangan lain
yang dijual di pasar lokal atau tempat lain. Jika pangan diproduksi dalam jumlah dan
ragam yang cukup, kemudahan bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dan kalau keluarga memiliki uang yang cukup untuk membeli keperluan
pangan yang tidak ditanam di tempatnya, tidak akan banyak terjadi kurang gizi dan
kurangnya pangan.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara timur
menyimpulkan bahwa persediaan pangan yang kurang menjadi penyebab tidak
langsung yang berpengaruh terhadap asupan makanan anak didalam keluarga. (Marut,
2007). Kurangnya pangan yang cukup untuk dimakam merupakan salah satusebab
utama rendahnya keadaan penghidupan keluarga. Cara-cara bertani yang tidak baik
mengakibatkan rendahnya produksi tanaman, ternak dan produksi pertanian lainnya.
Produksi pertanian yang rendah menyebabkan pendapatan petani berkurang.
Kemiskinan dan kurangnya pangan yang tersedia untuk konsumsi rumah tangga
karena rendahnya produksi tanaman biasanya menyebabkan timbulnya kurang
gizi.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)
2.3.2.2

Pola Asuh
Asuhan anak atau interaksi ibu dan anak terlihat erat sebagai indikator kualitas

dan kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak. Pola asuh dapat dipakai sebagai
peramal atau faktor risiko terjadinya kurang gizi atau gangguan perkembangan pada
anak. Peran ibu dalam keluarga sangat besar dalam menanamkan kebiasaan makan
pada anak dan proses tumbuh kembang yaitu kebutuhan emosi atau kasih sayang
diwujudkan dengan kontak fisik dan psikis, misalnya dengan menyusui segera setelah
lahir. (Adriani & Wirjatmadi, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Penelitian syahbuddin (2003) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara
peran ganda ibu dengan kurang baiknya pola asuh terhadap anak. Terkadang tidak
semua ibu atau pengasuh mengetahui bagaimana mengasuh anak tumbuh dan
berkembang secara optimal, padahal usia balita identik dengan peletakan fondasi
suatu bangunan. Oleh karena itu, pengetahuan gizi dan perannya dalam mendukung
tumbuh kembang anak sangat dibutuhkan oleh orang tua dan pengasuh
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triwinarti dan Anies
Irawati (2004) di Kabupaten Bogor, mereka menyimpulkan pola asuh berpengaruh
pada gangguan pertumbuhan berat bayi sejak berumur satu bulan, dan berlanjut
sampai bayi berumur sembilan bulan dan menurut mereka juga pola asuh mulai
berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi ketika bayi berumur lima
bulan, dan berlanjut sampai bayi berumur sembilan bulan.
2.3.2.3

Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan
Kutipan Hidayat dan Noviati Fuada (2011) dalam Soekirman dkk (2010)

mengatakan masalah gizi selain disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi, juga
dapat terjadi akibat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri. Sehingga
memudahkan timbulnya penyakit infeksi. Sanitasi lingkungan sehat secara tidak
langsung mempengaruhi kesehatan anak balita yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi kondisi status gizi anak balita.
Hidayat dan Noviati Fuada (2011) dalam penelitian yang mereka lakukan
tentang hubungan sanitasi lingkungan, morbiditas dan status gizi balita di Indonesia,
mereka menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi

Universitas Sumatera Utara

lingkungan sehat dengan status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U. Balita
yang tumbuh di lingkungan tidak sehat berpeluang satu kali lebih besar akan
mengalami status gizi buruk di bandingkan dengan balita yang normal atau status gizi
baik.
Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi
anak. Fasilitas kesehatan harus mampu menampung dan menjangkau masyarakat di
daerah-daerah tertinggal. (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Penelitian dengan metode
kualitatif yang dilakukan oleh

Sihotang (2012) pada Keluarga Mandah Di

Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi, dari hasil wawancara yang semua
balita jarang dibawa ke Posyandu ataupun ke fasilitas kesehatan lainnya. Ada
beberapa alasan yang membuat balita tersebut jarang dibawa ke Posyandu yaitu
sebagai berikut : pertama adalah akses ke sarana pelayanan kesehatan. Keberadaan
lokasi mandah membuat keluarga kesulitan untuk sewaktu-waktu keluar untuk
sekadar membawa balita mereka menimbang ke Posyandu.
2.3.3 Masalah Utama Penyebab Gizi Buruk
2.3.3.1 Kemiskinan
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa masalah kemiskinan adalah akar
dari masalah kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap pangan di
rumah tangga sulit dicapai sehingga orang akan kekurangan berbagai zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh. .(Menko Kesra RI, 2013)
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah
sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan

Universitas Sumatera Utara

protein) lebih rendah dibandingkan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan, 2003).
Hal ini terkait dengan kemampuan rumah tangga untuk menyediakan pangan yang
ditentukan oleh faktor ekonomi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suiraoka dkk (2011) pada keluarga miskin dan tidak miskin di Kecamatan Denpasar
utara, dari hasil analisis mereka menunjukan ada perbedaan status gizi balita pada
keluarga miskin dan tidak miskin. Perbedaan ini dapat disebabkan berbagai faktor
misalnya penyebab langsung yaitu pada balita keluarga miskin asupan zat gizi lebih
rendah dibanding dengan balita keluarga tidak miskin demikian juga halnya dengan
keadaan sanitasi yang kurang baik pada keluarga miskin mengakibatkan terjadinya
penyakit infeksi.
Tingginya angka prevalensi underweight dan stunting akibat kekurangan gizi
erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat menjadi penyebab
penting kekurangan gizi. Sebaliknya kekurang gizi dapat memiskinkan, anak kurus
dan pendek karena kurang gizi mudah sakit, kurang cerdas dan tidak produktif.
Keadaan ini berdampak rendahnya daya saing kerja, tingkat kerja dengan pendapatan
rendah yang dapat memiskinkan. Salah satu ciri kemiskinan adalah ketidak mampuan
untuk memperoleh makanan yang bergizi seimbang sehingga rentan terhadap
berbagai kekurangan gizi.(Menko Kesra RI, 2013)
2.3.3.2 Tingkat Pendapatan
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang
anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer
seperti makanan maupun yang sekunder.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian yang juga dilakukan di Manggarai oleh Marut (2007), menyatakan
semakin tinggi pendapatan perkapita maka status gizi anak akan semakin baik. Faktor
pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan
makan.
Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan makan yang
selanjutnya berperan dalam penyediaan prioritas penyediaan pangan berdasarkan nilai
ekonomi dan nilai gizinya. Bagi mereka dengan pendapatan yang sangat rendah
hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan berupa sumber karbohidrat yang
merupakan pangan prioritas utama. Jika tingkat pendapatan meningkat maka pangan
merupakan prioritas kedua. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang
menyebabkan seseorang tidak mampu membeli pangan (Suhardjo, 2003).
2.3.3.3 Tingkat Pendidikan
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat
menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang
baik. Pendidikan formal dan informal diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
gizi ibu. Hasil penelitian yang dilakukan di Sumatera barat oleh Saputra & Rahmah
HN (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin
kecil resiko anak balita terkena gizi buruk.
Pendidikan formal sangat diperlukan oleh ibu rumah tangga dalam
meningkatkan pengetahuan dalam upaya mengatur dan mengetahui hubungan antara
makanan dan kesehatan atau kebutuhan tubuh termasuk kebutuhan zat gizi bagi

Universitas Sumatera Utara

anggota keluarganya. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan mendapat
akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat dan bergizi bagi dirinya dan
keluarganya dalam upaya memenuhi zat gizi yang diperlukan. (Adriani &
Wirjatmadi, 2012)
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Devi (2010) di 7 Provinsi di
Indonesia, bahwa persentase status gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik
diderita balita dari ayah yang tidak bersekolah dan berpendidikan hanya sampai tamat
SD dan Sekolah Menengah Pertama. Tetapi berbeda dengan pendidikan ibu,
persentase gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik pada balita dari ibu yang
berpendidikan hanya sampai tingkat SD dan ibu yang tidak bersekolah.
2.3.3.4 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
pengolahan dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan
berlebihan sehingga merusak dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.
Pengetahuan masyarakat tentang memanfaatkan potensi alam dan biologis untuk
meningkatkan mutu gizi menu makanan keluarga.
Widiastuti dkk (2013) dalam penelitian mereka menyimpulkan bahwa
pengetahuan ibu memiliki hubungan yang positif dengan status gizi balita usia 6-24
bulan, dimana ibu yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki kemungkinan
balitanya memiliki status gizi di atas garis merah lebih besar daripada ibu dengan
kategori pengetahuan rendah. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang

Universitas Sumatera Utara

maka semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperoleh untuk
dikonsumsi.
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh dari
pengalaman diri sendiri maupun pengalaman diri seseorang. Tata cara pemeliharaan
kesehatan dan pengetahuan tentang gizi meliputi: pemilihan bahan-bahan makanan
yang bergizi bagi kesehatan, manfaat makanan bergizi bagi kesehatan, pentingnya
olahraga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya yang ditimbulkan
dari kurangnya asupan zat gizi, pentingnya istirahat yang cukup, rekreasi, relaksasi,
dan sebagainya, bagi kesehatan (Arisman, 2004).
Pengaruh Pengetahuan gizi dalam proses persepsi, sikap dan perilaku orang
atau masyarakat untuk mewujudkan kehidupan dengan status gizi yang baik, sebagai
bagian dalam kesehatan jasmani dan rohani. Pengetahuan gizi memegang peranan
penting dalam menggunakan pangan yang tepat. Pengetahuan tentang gizi juga dapat
diperoleh melalui media cetak, media elektronik, serta ceramah-ceramah dikelompok
sosial. Kurangnya pengetahuan gizi mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam
menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu
penyebab terjadinya gangguan gizi. Pengetahuan bahan makanan perlu sebagai dasar
untuk menyusun hidangan. Selain dipengaruhi besarnya pendapatan. Pendapatan dan
kebiasaan makan memegang peran penting dalam konsumsi bahan makanan
penduduk. Semakin tinggi taraf ekonomi seseorang, pola konsumsi terhadap bahan
makanan bisa berubah (Suhardjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Pencegahan Gizi Buruk
Beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak :
1.

Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI
yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

2.

Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandunganprotein,
lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak
minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.

3.

Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika
tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.

4.

Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah
sakit.

5.

Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk
proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat
mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin
penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada
kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan

secara

umum.

Namun,

biasanya

akan

meninggalkan

sisa

Universitas Sumatera Utara

gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di
kemudian hari.

2.5 Perawatan Gizi Buruk
Pengobatan gizi adalah :
1.

Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.

2.

Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing
penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di Rumah
Sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh. (Lusa, 2009)

2.6 Landasan Teori
Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait.
Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu faktor
makanan dan penyakit infeksi, keduanya saling mempengaruhi. Faktor lain yang
berpengaruh yaitu ketersedian pangan di keluarga. Semuanya itu terkait pada kualitas
pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga dan pelayanan
kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan dan akses informasi
terutama tentang gizi dan kesehatan pada gambar 1 dijelaskan penyebab masalah gizi
anak. (Unicef, 1998)

Universitas Sumatera Utara

STATUS GIZI

Asupan
Pangan/Gizi

Ketersediaan
Pangan
Tk. RT

Pola
Asuh

Penyakit
Infeksi

Penyebab
Langsung

Sanitasi &
Pelayanan
Kesehatan

Penyebab tidak
Langsung

Kemiskinan, Pendidikan, dan Pengetahuan
Rendah, Keterampilan, Ketersediaan
Pangan dan Kesempatan Kerja

Masalah
Utama

Krisis Politik, Sosial dan Ekonomi

Akar Masalah

Gambar 2.1. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Anak Balita
(UNICEF, 1998)

2.7 Kerangka Pikir
Kerangka pikir penelitian saya tulis berdasarkan asumsi-asumsi yang
diperoleh dari survei awal yang dilakukan dan berdasarkan literatul-literatur
kepustakaan. Kerangka pikir ini mungkin akan mengalami perubahan dalam
pelaksanaan penelitian nantinya. Temuan-temuan baru mungkin akan muncul dalam
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kota
Lhokseumawe sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara






Karakteristik Keluarga
Pendidikan
Pengetahuan
Pendapatan
Pekerjaan

Pola Asuh




Pola Asuh Makan
Pola Asuh Perawatan
Kesehatan
Pola Asuh Higiene dan
Sanitasi Lingkungan

Gizi Buruk

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Universitas Sumatera Utara