BOOK Santi Indra A Konstruksi Body of Knowledge

KONSTRUKSI BODY OF KNOWLEDGE
TENTANG HOAX DI INDONESIA:
UPAYA MERUMUSKAN LANDASAN
STRATEGI ANTI-HOAX
Santi Indra Astuti
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA)
� santi.indraastuti@gmail.com

Pendahuluan
Awal Januari silam, tepatnya 8 Januari 2017, sebuah gebrakan
dilakukan oleh komunitas yang menamakan diri “Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia (MAFINDO)”. Komunitas ini mendeklarasikan
“Piagam Masyarakat Anti Hoax” di enam kota secara serempak, yaitu
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Wonosobo dan Solo. Piagam
Masyarakat Anti Hoax mereleksikan keprihatinan akan masifnya
penyebaran hoax di Indonesia, sekaligus menyerukan upaya-upaya
konkret guna mengatasinya. Deklarasi MAFINDO terbukti cukup
menyita perhatian publik. Gerakan tersebut juga didukung oleh para
pemimpin daerah dalam berbagai tingkatan. Di Semarang, misalnya,
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berinisiatif menjadi bagian
dari Deklarasi MAFINDO. Untuk Bandung, para aktivis didukung oleh

Walikota Bandung Ridwan Kamil yang menandatangani Piagam Anti
Hoax, yang dibacakan beberapa hari sesudahnya oleh Ibu Walikota
Atalia Praratya. Di Jakarta, momen Deklarasi Anti Hoax bahkan
dihadiri oleh Menkominfo Rudiantara, tentunya bersama para pejabat
level nasional lainnya.
Deklarasi serentak juga berhasil menggulirkan aksi serupa di
wilayah Indonesia lainnya, seperti di Yogya-Purworejo-Magelang
(15 Januari 2017), Batam (22 Januari 2017), Pontianak – Kalimantan
Barat (20 Maret 2017) dan Samarinda –Kalimantan Timur (22 April
2017) yang diramaikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroeq Ishak.
Deklarasi antar kota lantas diikuti oleh deklarasi anti hoax antar instansi
atau antar komunitas. Misalnya, di Kabupaten Sanggau Kalimantan
283

Kolase Komunikasi di Indonesia

Barat, pada tanggal 24 Mei, unsur pemuda dan aparatur sipil negara
(ASN) ramai-ramai mendeklarasikan penolakan terhadap hoax.
NUtizen (sebutan untuk netizen NU) dan Pemuda Muhammadiyah
juga menyuarakan aspirasinya terkait hoax. Demikian pula wartawan,

seperti yang dilakukan oleh Forum Diskusi Wartawan Subang yang
mendeklarasikan penolakan hoax pada tanggal 15 Februari 2017.
Tak cukup hanya sekali, komitmen anti hoax di Kota Bandung
bahkan ditegaskan sampai tiga kali. Usai momen Deklarasi Anti Hoax
bersama MAFINDO (8 Januari 2017) di Car Free Day Dago, aksi serupa
dilangsungkan di Alun-Alun Bandung dengan nama “Aksi Bandung
Basmi Hoax” tanggal 20 Februari 2017, disusul oleh Aksi Bandung
Hantam Hoax (ABBAH) pada tanggal 19 Maret 2017. Begitu pula
keadaan di kota-kota lain. Eforia anti hoax menjalar di mana-mana.
Media juga terus-menerus mengangkat isu hoax/anti hoax dalam
pemberitaan, talk show, opini, dan sebagainya.
Kendati demikian, semua ini tampaknya belum ampuh untuk
menghapuskan hoax dari muka bumi. Hoax tetap merajalela di media
sosial dari waktu ke waktu. Menjelang Pilkada Jakarta, hoax bernuansa
politik dan agama menyebar. Usai Pilkada Jakarta, hoax bukannya
berhenti. Hoax politik berganti menjadi hoax dengan materi isu kesehatan,
pangan, ekonomi, maupun yang bersifat personal. Pun, sejumlah hoax
lama didaurulang, dan herannya, tetap saja disebarluaskan dan punya
‘fans’. Hal ini memunculkan keraguan atas keberhasilan gerakan anti
hoax. Sekaligus juga menimbulkan tanda tanya seputar efektivitas strategi

memerangi hoax. Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa demikian
sulit memerangi hoax, bahkan ketika banyak orang, dari kubu politik
manapun, sama-sama menyerukan perang melawan hoax? Ketika sebuah
hoax dibongkar, mengapa demikian sulit menerima kenyataan tersebut?
Alih-alih mengoreksi, yang terjadi adalah sikap defensive luarbiasa dan
bertahan dengan hoax yang dianggap sebagai kebenaran. Pemerintah,
akademisi, maupun para aktivis tampak mati kutu dan tidak mampu
menjelaskan permasalahan ini.

Permasalahan Riset
Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi di
Indonesia, saat strategi anti hoax gagal memerangi hoax, paling tidak

284

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

disebabkan oleh dua hal. Pertama, minimnya sumberdaya. Kedua,
minimnya pemahaman kita sendiri mengenai hoax di Indonesia
dan perilaku orang ketika berhadapan dengan hoax. Merumuskan

strategi memerangi hoax menjadi sulit, saat tak ada basis kajian atau
pengetahuan yang bisa dijadikan landasan kajian. Semua ini akhirnya
berpulang pada body of knowledge, atau kumpulan pengetahuan
tentang hoax di Indonesia yang tampaknya belum terumuskan oleh
siapapun. Padahal, keberadaan body of knowledge adalah kebutuhan
mutlak karena strategi atau kajian apapun membutuhkan dasar pijakan
sebagai starting point.
Dalam upaya untuk memberikan stimulus sehingga dapat
memperkaya kajian terkait, makalah ini bermaksud menyoal body
of knowledge hoax di Indonesia, dengan cara mengidentiikasi isuisu terpenting berdasarkan pengalaman terlibat dalam advokasi dan
edukasi anti hoax. Diharapkan, isu yang diangkat dapat memunculkan
ragam tanggapan dari komunitas akademik sehingga mampu
membentuk body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang valid
dan kredibel.

Metode Penelitian
Kajian ini merupakan bagian dari action research yang tengah
berlangsung untuk memahami fenonema hoax di Indonesia. Action
research merupakan sebentuk kajian yang difokuskan pada fenomena
yang tengah berlangsung, di mana sang peneliti terlibat di dalamnya.

Action research, karena itu, dideinisikan sebagai “a process of systematic
relection, enquiry and action carried out by individuals about their own
professional practice” (Frost, 2002 dalam Costello, 2003:3), atau “a
term used to describe professional studying their own practice in order to
improve it” (CTCW, 2002a dalam Costello, 2003:3). Menggabungkan
berbagai penjelasan dan contoh para ahli mengenai action research,
Costello berkesimpulan bahwa action research memiliki empat
karakteristik dasar, yaitu (1) its practical nature; (2) its focus on
change; (3) the involvement of cyclical process; dan (4) its concern with
participation (Costello, 2003:6). Karakteristik dasar action research
yang dirinci oleh Costello menjadi dasar dari pemilihan metode
dalam penelitian yang tengah berlangsung ini, berdasarkan beberapa
alasan: (1) Upaya mengonstruksi body of knowledge tentang hoax di
285

Kolase Komunikasi di Indonesia

Indonesia adalah persoalan yang menyertai permasalahan strategi
menangkal hoax yang bersifat praktis-aplikatif; (2) Fokus riset adalah
menghasilkan perubahan di tengah masyarakat. Pada level societal,

diharapkan strategi berfungsi hingga mencegah meluasnya dampak
hoax di tengah masyarakat; (3) proses penelitian berlangsung dalam
sebuah siklus: diawali dari aksi, dilanjutkan dengan pengumpulan data
lapangan, validasi, kontemplasi, releksi, kemudian melaksanakan aksi
lagi yang merupakan perbaikan dari proses sebelumnya; (4) kajian ini
melibatkan partisipasi peneliti di semua level aksi kampanye maupun
advokasi yang ditujukan guna memberantas hoax dan menuntaskan
permasalahan hoax di Indonesia.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian literatur,
observasi partisipan, wawancara dan diskusi kelompok terarah (focus
group discussion—FGD). Terdapat tiga jenjang tahapan penelitian,
yaitu: (1) Kajian literature untuk mendapatkan konsep hoax serta
mencari kajian-kajian tentang hoax yang berkualitas selama 6 (enam)
bulan terakhir; (2) Observasi partisipan di mana peneliti melibatkan
diri pada diskusi, aktivitas dan rembug isu hoax di berbagai wilayah;
dan (3) Wawancara dengan sejumlah narasumber terkait upaya
mendeinisikan hoax dan dimensi-dimensinya. Tahapan terakhir,
yaitu FGD belum dilakukan. Direncanakan, FGD akan dilaksanakan
setelah drat body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang menjadi
materi diskusi telah diselesaikan.

Body of Knowledge: Upaya Mengonstruksi Pengetahuan yang Khas
Body of Knowledge (BoK) sebagaimana disarikan dari Wikipedia
dapat dijelaskan sebagai sebuah struktur lengkap menyangkut konsep,
terminologi dan aktivitas yang digunakan sekelompok profesional
atau kelompok yang memiliki minat khusus guna memandu praktik
kerja masing-masing. BoK terdiri dari deinisi, ruang lingkup (dalam
lingkup praktis maupun area of knowledge), landasan dan sejarah
yang kontekstual, kumpulan aktivitas untuk mencapai hasil yang
diharapkan, prinsip, nilai-nilai atau asas ilosois yang memandu
aktivitas yang dilaksanakan. BoK bersumber dari landasan sejarah,
ditambah validasi atas pengalaman yang selama ini dilaksanakan,
dan diperkaya dengan hasil releksi para aktor pelakunya berdasarkan
amatan terhadap perkembangan yang terjadi menyangkut isu tersebut.
286

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

BoK akan berkembang seiring dengan dinamika perkembangan isu
atau praktik yang menjadi inti BoK di tengah publik atau masyarakat
yang berkepentingan.

A body of knowledge reveals the collective knowledge of a particular
profession at a speciic point in time (Usability Professionals’
Association, 2005) that may distinguish it from the body of knowledge
of another (Waite & Skinner, 2003) and establishes boundaries and
the place of the profession or discipline in epistemological schemata
(Bourque, Dupuis, Abran, Moore, & Tripp, 2001). Such boundaries
are important because they provide the intellectual foundation for
communication and successful practice (American Chamber of
Commerce Executives, 2005) and help maintain the identity and
cohesion of a profession (Canabal & Winchip, 2004)
(Nickols, et.al, 2009: 268)
Sebagaimana diungkapkan di awal tulisan ini, persoalan utama
menyangkut hoax di Indonesia dan lemahnya strategi anti hoax
menghadapi pabrik-pabrik hoax, diakibatkan salah satunya adalah
belum tersedianya body of knowledge mengenai hoax di Indonesia.
Mendeinisikan hoax mungkin bukan perkara sulit, karena literature
tentang hoax di berbagai referensi sudah sangat banyak. Namun, body
of knowledge bukan semata-mata deinisi dan teori. Body of knowledge
juga merupakan kumpulan pengetahuan yang bersumber dari validasi
pengalaman para aktor yang terlibat dalam berbagai level. Selain

itu, body of knowledge juga mengandung releksi berdasarkan hasil
amatan terhadap fenomena hoax yang berkembang. Pada titik inilah,
body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang lumayan solid dan
komprehensif sejauh ini belum ditemukan. Orang masih menangani
persoalan hoax secara parsial berdasarkan apa yang mereka hadapi.
Sudah itu, minim releksi.
Membangun body of knowledge pada dasarnya adalah mengonstruksi
pengetahuan. “It means understanding how scientiic knowledge is
constructed” (Rudolph, 2005 dalam Duschl, Schweingruber & Shouse,
2007: 168). Warganegara yang memahami bagaimana pengetahuan
dikonstruksi akan menjadi khalayak yang waspada terhadap klaimklaim ‘ilmiah’ tentang berbagai isu publik yang beredar di sekitar
mereka, dan berkontribusi pada kesehariannya. Misalnya tentang
pemanasan global, ekologi, makanan yang dimodiikasi secara genetic,
287

Kolase Komunikasi di Indonesia

pengobatan alternative, tidak ketinggalan seputar hoax. Mereka yang
memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi akan berkontribusi
pada penyelesaian masalah karena mereka mampu mengembangkan

model yang tepat dalam mencari solusi (Sandoval, 2005 dalam Duschl,
Schweingruber & Shouse, 2007: 168).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan body
of knowledge? Bagaimana membangun struktur pengetahuan yang
sistematis sehingga bermakna dalam menyelesaikan masalah? “We begin
with an elaboration on science as a way of knowing, sketching the goals
of the enterprise, the nature and structure of scientiic knowledge, and the
process by which it is constructed” (Duschl, Schweingruber & Shouse,
2007: 170). Berkaca pada tulisan tersebut, maka kata kunci dalam
mengembangkan body of knowledge adalah kumpulan pengetahuan
menyangkut isu yang dipermasalahkan, tujuan dari pengetahuan
tersebut, nature dan strukturnya, serta proses dalam mengonstruksi
pengetahuan terkait. Dalam dasar-dasar ilsafat, ini berarti body of
knowledge bermula dari aspek ontology (nature dan struktur), aspek
epistemologi (proses, metode) dan aksiologi (cara menyikapi, yang
tentu tak lepas dari tujuan keberadaan ilmu).
Tentu saja, ini pekerjaan yang sangat besar. Namun, harus dimulai
dari sekarang. Strategi memulainya adalah mengumpulkan sumberdaya
intelektual yang bisa diawali dari rujukan pada literatur-literatur yang
relevan dengan isu yang diangkat. Kemudian, memvalidasinya dengan

pengalaman ‘konteks Indonesia’ sehingga pendalaman mengenai
permasalahan hoax di Indonesia menjadi kaya. Untuk itulah, tulisan
ini terdiri dari dua sub bahasan, yaitu (1) konsepsi tentang hoax,
tipologi hoax, dan aspek lain yang terkait secara langsung; (2) model
gerakan anti hoax ‘rasa Indonesia’ pada aspek praksis. Baik aspek (1)
maupun (2), kendati bertitiktolak dari konsep yang sudah ada, namun
pembahasannya dikaitkan dengan konteks dan pengalaman para
aktivis anti hoax dalam melaksanakan aksinya.
Langkah Awal Mengonsep Hoax: Deinisi, Tipologi dan Aktor
Apakah sebenarnya hoax? Sejauh ini, hoax dideinisikan sebagai
fakta yang direkayasa, atau dengan kata lain, kebohongan. Namun,
apakah semua kebohongan dapat dinyatakan sebagai hoax? Bagaimana
dengan dongeng, kisah, legenda, opini, mitos, dan sebagainya?
288

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

Bagaimana dengan dalih yang kerap diciptakan orangtua kita untuk
‘menyelamatkan’ kita? Apakah teks atau narasi semacam itu dapat
disebut sebagai ‘hoax’? Persoalan menyatakan mana ‘hoax’ dan mana
yang ‘bukan hoax’, harus bertitik tolak dari body of knowledge tentang
hoax. Dalam situasi penuh ketidakpastian, karena hoax itu sendiri
dalam praktiknya terus berkembang sesuai dengan kreativitas produser
dan distributornya, maka berikut ini adalah upaya merunut muasal
kata maupun konsep yang mengerangka ‘hoax’.
Hoax dideinisikan sebagai “deliberate fabrication or falsiication in the
mainstream or social media (pemalsuan atau perekayasaan informasi yang
disengaja dalam media sosial maupun media arus utama lainnya)” (Rubin,
Chen dan Conroy, 2015). Deinisi hoax yang lebih kuno juga kurang lebih
sama, yaitu “… a deliberately concocted untruth made to masquerade as
truth (rangkaian ketidakbenaran yang dikerangka sedemikian rupa dan
disebarluaskan sebagai kebenaran)” (McDougall, 1941). Sebuah informasi
bisa saja mengandung kesalahan (misinformation) atau bias. Namun,
kekeliruan dalam hoax adalah buah dari kesengajaan. Dengan kata lain,
hoax adalah rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan,
namun ‘dijual’ sebagai kebenaran (a purposefully false story or account that
is presented to be true)” (Silverman, 2015). Karena urusannya adalah pada
‘kebenaran’ atau ‘fakta’, kerap hoax disamakan dengan fake news, yaitu berita
palsu yang mengandung informasi yang disengaja guna menyesatkan
orang dan kerap memiliki agenda politik tertentu (fake news stories contain
deliberately misleading information and oten have prominent political
agendas)” (Merwe, 2016). Bukan sekadar ‘misleading’ alias menyesatkan,
informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun
disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta (Alcott & Gentzkow, 2017).
Berkaca pada berbagai deinisi di atas, maka apapun pernyataannya,
hoax mengandung unsur-unsur: (1) informasi yang menyesatkan
(misleading information); (2) tindakan yang disengaja (deliberate or
purposefully act); dan (3) ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah
sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth).
Hoax dibedakan dengan scam/con. Hoax terjadi pada skala yang lebih
besar, diarahkan untuk menarik perhatian publik, sekaligus merepotkan
publik dan menghabiskan sumberdaya untuk mengurusinya. Ini berbeda
dengan scam/con, yaitu sebuah upaya individual untuk ‘mengerjai’

289

Kolase Komunikasi di Indonesia

individu lain atau menguras dana pihak lain melalui penipuan (Silverman,
2015). Hoax juga dibedakan dengan prank atau lelucon. Prank adalah “a
mischievous or humorous trick” (Pellegrini, 2015). Dalam bahasa Indonesia,
gampangnya diterjemahkan sebagai ‘lucu-lucuan atau gila-gilaan ngerjain
orang’, dari yang berskala ringan seperti “Spontan Uhuy”-nya Komeng,
sampai yang kelas berat dan bikin malu plus horror seumur-umur seperti
“Scare Tactics”. Hoax dibedakan dengan rumor atau gossip. Rumor/gossip
adalah “unveriied and instrumenally relevant statements in circulation
that arise in context of ambiguity (pernyataan-pernyataan yang tidak atau
belum terveriikasi yang beredar dan muncul dalam konteks ambiguitas)”
(Silverman, 2015). Rumor/gosip secara alamiah memang begitu adanya.
Jikalau ‘menyesatkan’, itu bukan disengaja atau diniatkan demikian. Hoax
juga bukan satir (satire), yaitu “a rhetorical strategy (in any medium)
that seeks wittily to provoke an emotional and intellectual reaction in an
audience on a matter of public … signiicance (strategi retoris nan cerdik
dalam berbagai medium untuk memicu reaksi emosional dan intelektual
mengenai permasalahan yang menonjol di tengah publik)” (Phiddian,
2013 dalam Rubin, Conroy dan Chen, 2015). Namun, salah satu bentuk
satire yaitu news satire, kerap menampilkan fakta padahal iksi—hoaxnya
itu di sini.
Perkembangan isu maupun motif dan ‘keisengan’ manusia,
berbuah pada berbagai jenis hoax. Dari segi tipologinya, hoax dapat
dibedakan berdasarkan aspek muatan isu, bentuk dan tujuan.
a. Dari segi muatan hoax, perbedaannya lebih pada isu, tema atau
topik.
1. Hoax keuangan/ekonomi/bisnis
Misalnya informasi mengenai gagal likuid yang berakibat pada
tumbangnya bank-bank besar milik swasta.
2. Hoax kesehatan/farmasi
Misalnya informasi mengenai buah-buahan yang diimpor
dari hailand yang terkontaminasi tetesan darah pekerja yang
menderita AIDS.
3. Hoax politik
Misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang
menimbulkan kontroversi, padahal tidak demikian halnya.

290

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

Salah satu hoax politik yang ramai diperbincangkan belakangan
ini adalah penggunaan dana setoran haji untuk pembangunan
infrastruktur. Hoaxnya terletak pada pernyataan bahwa
kebijakan tersebut dikeluarkan oleh presiden Jokowi, padahal
ternyata sudah ada sejak 2010, bahkan telah divalidasi oleh
MUI sejak tahun 2012.
4. Hoax agama
Misalnya menyangkut praktik beragama kelompok tertentu.
5. Hoax tentang seni
Misalnya terkait dengan kepemilikan hak cipta, pencipta kreasi,
dan sebagainya.
6. Dll.
b. Dari eskalasi dampak aktivitas hoax.
1. Prank, dampaknya terbatas pada individu dan komunitasnya.
Tidak berdampak secara politis, dan tidak sampai menjadi
kasus hukum yang berat. Walaupun bisa berujung juga pada
urusan hukum, namun ini jarang terjadi karena sifatnya luculucuan saja.
2. Harmful Hoaxes, yaitu hoax yang menimbulkan kekacauan,
dan kesengsaraan dalam skala besar.
• Journalistic Hoaxes, atau pada literature lain disebut
sebagai ‘media hoax’, yaitu “… a purposefully false story
or account that is presented by a news organization as true
(sebuah informasi yang disajikan oleh organisasi berita dan
dinyatakan sebagai karya jurnalistik yang berlandaskan
kebenaran)” (Boyle, 2015).
• Email/Online Hoaxes
Penipuan lewat email, dengan motif menguras uang
sasarannya.
• Anthrax Hoaxes
Hoax berbentuk powder alias tepung. Seseorang mendapatkan
kiriman bubuk putih pada saat eforia wabah anthrax terjadi.
Bubuk putih itu sebenarnya bedak/talc biasa, namun diaku
sebagai serbuk anthrax yang membuat kehebohan.

291

Kolase Komunikasi di Indonesia

• Identity Hoaxes
Menyamar, menyaru, atau memalsukan identitas untuk
mempermalukan pemilik identitas sesungguhnya, atau
mempermalukan lembaga/komunitasnya.
• Scholarly Hoaxes
Muncul dalam bentuk paper atau karya ilmiah,
menggunakan kutipan di sana-sini sehingga tampak
meyakinkan, padahal sebenarnya hoax belaka.
c. Dari segi tujuan
1. Monetary Hoax,
-

Tujuannya adalah mendapatkan uang atau keuntungan
lainnya, baik secara langsung maupun tak langsung.

2. Attention Seeker
-

Mencari perhatian pihak tertentu, atau menginvestasikan
namanya di tengah masyarakat dengan tujuan mendapatkan
pengakuan dan prestise. Kelompok-kelompok yang
mengaku-aku sebagai Anonymous Indonesia bisa
dikategorikan dalam kelas ini.

3. Racial Hoax
-

Kejahatan hoax yang ditujukan untuk menimpakan
kesalahannya pada pihak lain mengatasnamakan ras, etnis,
asal-usul, warna, dsb.

4. Hate Crime Hoax
-

Laporan adanya kejahatan yang sebenarnya tidak pernah
terjadi, dengan tujuan mendapatkan keuntungan baik
keuntungan ekonomi maupun mendapatkan perhatian.
(Pellegrini, 2008).

Hoax dan sebarannya sama sekali bukan kejadian tunggal. Dunia
hoax adalah ruang sosial yang melibatkan pelaku dan korban, yang
menjadi bagian dari operasi berantai sebuah informasi palsu dan
menyesatkan. Disebutkan secara eksplisit ataupun tidak, hoax memiliki
aktor dan target, yang dapat dipetakan secara ringkas sbb.
1. Produsen Hoax, yaitu pencipta atau kreator hoax, bisa individu atau
team.
292

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

2. Distributor Hoax, yaitu pihak yang
menyebarluaskan hoax. Ini terbagi menjadi:

membagikan

atau

a. Distributor Utama, yang menjadi instrumen produsen hoax
b. Retailer, yaitu konsumen yang turut menyebarluaskan hoax,
baik itu disadari atau tidak disengaja. Instrumennya mulai dari
website, media massa, jaringan/networking, hingga pasukan
buzzer.
3. Khalayak, yaitu target hoax, terbagi menjadi
a. Konsumen, konsumen yang ditargetkan untuk mengonsumsi
hoax.
b. Distributor, konsumen
mendistribusikan hoax.

yang

ditargetkan

untuk

turut

c. Korban, konsumen yang dijadikan sasaran atau muatan hoax
d. Kombinasi, kombinasi a, b, dan c.
Guna menyusun strategi ampuh untuk memerangi hoax,
identiikasi aktor-aktor terlibat sangat penting, karena penanganannya
pun spesiik sesuai dengan posisi masing-masing. Tipologi aktor di
atas baru sebatas identiikasi peran. Diperlukan kajian lebih mendalam
untuk memetakan posisi masing-masing dalam lingkar-lingkar ruang
sosial, sesuai dengan konstelasi isu yang dihadapi.
Dalam melaksanakan aksi, produser didorong motif-motif
tertentu, yang merentang mulai dari:
a. Motif eksistensi, yaitu ingin terkenal, keren, populer, mendapatkan
pengakuan dan prestise, atau status baru dalam isu terkait di tengah
masyarakat atau komunitas tertentu.
b. Motif ideologis, yaitu menciptakan hoax sebagi alat bantu
untuk menyebarluaskan ideology atau nilai yang diyakini, atau
untuk menghantam ideology lain yang dinilai membahayakan
eksistensinya.
c. Motif komersial, yaitu memperbesar keuntungan ekonomi baik
secara langsung (misalnya, meningkatkan web traic) atau secara
tidak langsung (menggiring opini khalayak).
d. Motif protektif, yaitu melindungi pihaknya, atau pihak lain dengan
menciptakan hoax guna mengalihkan perhatian.

293

Kolase Komunikasi di Indonesia

e. Motif chaos/anarkis, yaitu melempar hoax yang disengaja guna
menciptakan kekacauan di tengah publik. Pada level yang ringan,
motif chaos bertujuan sekadar untuk mengganggu atau merepotkan
pihak-pihak tertentu. Misalnya, isu kedatangan girl band Korea
dilemparkan, sehingga mengundang kerepotan Bekraf dan Istana
Negara untuk mengklariikasi. Pada level yang berat, motif chaos
berubah menjadi anarkisme yang ditata sedemikian rupa untuk
menghilangkan ‘trust’ pada pemerintahan.
Dalam praktiknya, motif-motif ini tidak ditemukan berdiri
sendiri. Hoax girl band Korea untuk memeriahkan peringatan 17
Agustus di Indonesia, misalnya, memiliki motif eksistensi dan
komersial dari produsennya. Hoax berkaitan dengan isu agama juga
kerap bersinggungan dengan isu ras/etnik. Tak bisa ditutup-tutupi lagi,
topik keberagaman di Indonesia tergolong semakin sensitif belakangan
ini, terlebih di media sosial tempat hoax beredar.
Diversity issues are always thought to have high level of sensetivity
despite its signiicance to be introduced to diverse public in Indonesia.
Furthermore, numerous hoaxes in a regard to the issues in Indonesia
have been escalating dramatically due to some factors, such as an
inluence to public in general election and a discredit to speciic
ethnics and religions.
(Alam, 2017)
Dari aspek ini, bukan hanya kategorisasi hoax saja yang perlu
dikuak. Lebih jauh lagi, perlu ditemukan dan dianalisis hoax macam
apa saja yang laris di Indonesia, seperti apakah hoax ‘tipikal’ Indonesia
yang dikonsumsi secara khas pula oleh khalayak Indonesia dari
berbagai latar budaya, lingkar komunitas, segmentasi sosial ekonomi,
maupun karakteristik lainnya. Hal-hal seperti inilah yang harus dikaji
dan dikembangkan untuk membangun body of knowledge terkait
persoalan hoax di Indonesia.
Mengembangkan Strategi: Model Inokulasi sebagai Logika Gerakan
Anti Hoax
Sebagaimana telah disampaikan di awal tulisan, tujuan utama dari
proyek mengembangkan body of knowledge ini terarah pada upaya
merumuskan strategi yang tepat sasaran dalam menumpas hoax, atau
meminimalkan dampaknya di tengah publik. Sebelum merumuskan
294

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

indicator-indikator strategi tersebut, adalah penting untuk melihat logika
dasar yang melandasi strategi anti hoax berfungsi di tengah publik.
Berikut ini adalah model Inokulasi yang diaplikasikan sebagai logika
dasar untuk mengembangkan strategi anti hoax. Pada awalnya, model
Inokulasi yang dirumuskan oleh William McGuire (1961) digunakan
untuk menjelaskan operasi komunikasi dan kontrakomunikasi.
Kemudian, penggunaannya berkembang di berbagai bidang seperti
periklanan dan marketing communication. Kini, model tersebut
dipinjam sebagai landasan perumusan strategi anti hoax, karena pada
dasarnya, yang dihadapi dalam upaya memberantas hoax adalah
sebuah medan perang antar pesan-pesan komunikasi.

Skema
Logika Gerakan Anti Hoax: Model Inokulasi

Model di atas dihasilkan dari focus group discussion (FGD)
yang dilaksanakan oleh Komunitas Anti Hoax Bandung pada bulan
Februari 2017. McGuire menggunakan metaphor epidemi virus untuk
menjelaskan bagaimana vaksin bekerja.
McGuire (1964) suggested that attitudes could be inoculated against
persuasive attacks in much the same way that one’s immune system
can be inoculated against viral attacks. In medical immunization,
weakened forms of viruses are injected into the body, and the
body then reacts to this injection (e.g., through cell adaptation),
protecting the body from future attacks from stronger versions of
that virus. McGuire (1964) contended that by exposing individuals
to a persuasive message that contains weakened arguments against
an established attitude (e.g., a two-sided message, or a message
that presents both counterarguments and refutations of those
counterarguments), individuals would develop resistance against
stronger, future persuasive attacks.
(Jackson, Compton, homton & Dimmock, 2017:122)

295

Kolase Komunikasi di Indonesia

Dengan meminjam metafor virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh, maka situasi yang terjadi dapat dijelaskan sbb.
Inokulasi berlangsung saat situasi darurat terjadi, akibat serangan
virus yang massif. Menggunakan ini sebagai metaphor, maka virus
yang mengancam hidup manusia (dalam hal ini, harmoni di tengah
masyarakat), adalah hoax. Untuk mengatasi serangan, dibutuhkan
antivirus dan vaksin. Antivirus berfungsi untuk melemahkan atau
membunuh virus guna mencegah meluasnya dampak virus secara
langsung. Sementara vaksin membantu tubuh untuk mengembangkan
sistem kekebalan tubuh, yang dapat mengatasi serangan-serangan
virus lebih lanjut. Dalam situasi ini, hoax menjadi virus yang merusak,
hoaxbuster dan penegakan hukum menjadi antivirus untuk memulihkan
situasi. Sementara yang menjadi vaksinnya adalah kompetensi literasi
yang harus dimiliki oleh setiap warganegara.
Marilah kita urai satu persatu, diawali dari sang Antivirus dalam
Model Inokulasi, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai penegakan
hukum. Pada ‘kamar’ antivirus, yang berfungsi untuk melumpuhkan
virus dalam gerak cepat, terdapat unsur hoaxbuster dan law enforcement
atau penegakan hukum. Hoaxbuster adalah aktor sekaligus ujung
tombak gerakan anti hoax pada taraf ‘antivirus’. Sedangkan penegakan
hukum merupakan instrumennya.
Antivirus Hoax: Hoaxbuster & Instrumen Penegakan Hukum
Hoaxbuster memegang peranan penting dalam model Inokulasi
Anti Hoax ini. Menurut pendiri Indonesia Hoax Buster (IHB), Citra
Pertiwi, “hoaxbuster adalah orang-orang yang memerangi hoax dengan
cara membongkar trik atau tipuan hoax, kemudian menyebarluaskan
temuannya ke kelompok-kelompok yang telah telanjur terinfeksi”
(wawancara, 9 Februari 2017). Debunking hoax melibatkan serangkaian
prosedur. Menyadari bahwa sebagian besar warga Indonesia tidak akrab
dengan Internet dan teknologi Informasi, maka, IHB menyiasatinya
dengan cara menyusun prosedur yang mudah dioperasikan. “Kami
mencoba menyusun prosedur yang paling sederhana, sehingga setiap
orang bisa menjadi hoaxbuster, tak peduli berapapun umurnya, latar
belakang pendidikannya, tipe gawainya, atau spesiikasi alat-nya,” tutur
Citra Pratiwi (wawancara, 22 Februari 2017). Disadari, bahwa muatan
hoax terkadang begitu canggih, sehingga membutuhkan analisis pakar.
296

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

“Dalam mengurai hoax yang sangat kompleks, dibutuhkan kepakaran
tersendiri. Untuk itu, kami diperkuat oleh para relawan dari berbagai
latar belakang dengan tingkat kepakaran yang mumpuni. Hoax tentang
hutang Indonesia, misalnya, akan dibahas oleh rekan relawan ahli
ekonomi. Adapun hoax tentang farmasi atau kesehatan, seperti vaksin,
diuraikan oleh beberapa rekan dokter dan ahli farmasi yang memang
menguasai jalur produksi dan distribusi vaksin,” lanjut Citra. Sistem ini
disebut dengan crowdsourcing—melibatkan sumber-sumber kredibel
dari berbagai titik untuk ‘menelanjangi’ hoax.
Sistem crowdsourcing berbasis kerelawanan juga menjadi basis
gerakan kelompok anti-hoax lain seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan
Hoax (FAFHH) yang diketuai oleh Septiaji. FAFHH menjalin kerjasama
dengan IHB, juga dengan Indonesian Hoaxes Community (IHC) di
dalam wadah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Dalam
payung kerjasama ini, dimungkinkan adanya tukar-menukar konten
sehingga hoax bisa dipecahkan dengan cepat dan titik penyebarannya
bisa dilokalisir, untuk kemudian dipersempit dan dinetralisir. Cara
kerja ini, mirip dengan cara kerja kalangan medis untuk memblokir
sebaran virus.
Peran strategis hoaxbuster juga divalidasi oleh penelitian
yang dilakukan oleh Drone Emprit, sebuah lembaga konsultasi
yang bergerak dalam analisis data digital. Dalam presentasi yang
dilaksanakan pada bulan Maret 2017, Ismail Fahmi selaku Direktur
Drone Emprit memperlihatkan bahwa peran hoaxbuster relative efektif
dalam membendung penyebaran hoax secara massif. Menggunakan
model analisisnya, yang menggambarkan sebaran titik-titik hoax
yang mengepung sebuah isu, Fahmi menunjukkan bahwa kepungan
hoax pun buyar begitu hoaxbuster, yang hanya direpresentasikan
oleh beberapa titik, mulai bergerak melawan opini mainstream. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kehadiran hoaxbuster relative efektif
guna mengeblok hoax dan melokalisir penyebarannya, sehingga tidak
meluas lebih jauh lagi.
Menyadari strategisnya peran hoaxbuster sebagai pasukan
task force, pendiri FAFHH sekaligus inisiator MAFINDO Septiaji
menyatakan niatnya untuk memproduksi agen-agen hoaxbuster
sebanyak mungkin dan menguatkan mereka yang telah memosisikan

297

Kolase Komunikasi di Indonesia

diri sebagai hoaxbuster. “Menjadi hoaxbuster tidak mudah. Mereka
harus kuat mental juga, karena biasanya begitu menyampaikan fakta
sebenarnya, banyak anggota grup yang tidak terima lalu mem-bully
ramai-ramai. Kalau tidak tahan, ya bisa-bisa let the group, dan itu
sama sekali tidak kami rekomendasikan karena beresiko menciptakan
echo chamber,” tutur Septiaji dalam wawancara yang berlangsung pada
tanggal 17 Maret 2017.
Echo chamber adalah sebuah fenomena di mana media sosial
yang mestinya menjadi ruang diskusi publik yang egaliter, hanya
menggemakan suara dari satu pihak saja. Alih-alih menampilkan
keberagaman, echo chamber justru memperkuat polarisasi karena
absennya suara-suara alternative. Inilah yang terjadi pada media sosial
seperti Facebook maupun WhatsApp. “It facilitates the expansion of
echo-chambers by making it easier than ever to ilter out anything that
doesn’t align with one’s perspective” (Hutchinson, 2016). Facebook
melakukannya melalui sistem algoritma yang secara otomatis
menyaring informasi sejenis (atau se-kubu). WhatsApp dan kelompok
sejenis menciptakan echo chamber setelah grup chat ditinggalkan oleh
orang-orang yang berbeda pendapat karena satu dan lain hal.
Hoaxbuster sebagai antivirus, yang bertugas sesegera mungkin
melumpuhkan virus dan menghentikan penyebarannya, tidak bisa
bekerja sendiri. Perlu adanya penegakan hukum atau law enforcement
yang memberi sanksi bagi pelaku, sekaligus menimbulkan efek jera
bagi yang lain. Berkenaan dengan hoax, saat ini terdapat beberapa
regulasi yang dijadikan pijakan hukum oleh pihak berwajib.
Pertama, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 28
ayat 1 dan 2, serta pasal 45.
Pasal 28
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya
bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal
Rp 1 miliar.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA)
298

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

Pasal 45
Setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 28
ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling lama enam tahun
dan atau denda paling banyak Rp1 miliar. 
Kedua, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana pasal 14 dan 15. 
Pasal 14
(1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan
bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan
rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya
sepuluh tahun.
(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan
rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara
setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15:
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti
setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian
akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,
dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.
Ketiga, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, sampai Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Bermuatan Negatif.
Keempat, Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran
kebencian telah menyebabkan terjadinya konlik sosial.
Ditinjau dari aspek perundang-undangan yang ada, regulasi
di Indonesia terlihat telah berupaya mengakomodasi kebutuhan
penegakan hukum bagi produksi maupun penyebaran hoax. Kendati
demikian, para ahli hukum tentulah yang paling berwenang untuk
mengevaluasi kekuatan sebuah Undang-Undang. Satu hal yang pasti,
hukum di Indonesia belum mengatur hak dan kewajiban melindungi
299

Kolase Komunikasi di Indonesia

masyarakat dari bahaya hoax yang dibebankan kepada platformplatform media sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan
Jerman kepada Facebook
“Platfom seperti Facebook akan diwajibkan secara hukum untuk
membangun sebuah kantor perlindungan hukum di Jerman yang
buka 24 jam sehari, 365 hari setahun,” ujar anggota parlemen
dari Partai Sosial Demokrat homas Oppermann kepada  Der
Spiegel awal pekan ini. “Jika, setelah pemeriksaan, Facebook tidak
menghapus berita palsu dalam waktu 24 jam, ia akan mendapat
denda individual sampai 500 ribu euro,” kata Oppermann.
Subjek dari berita palsu itu akan dapat meminta koreksi secara
berimbang.”
(“Jerman Akan Denda Facebook Rp 7 M untuk Satu Berita Hoax”,
22 Desember 2016, https://www.tempo.co)
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Jerman memang memuaskan.
Kendati demikian, berbagai terobosan pun telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan beberapa
penyedia layanan sosial media besar. Sumber Kemenkominfo
mengungkapkan, dengan Google, pemerintah Indonesia bekerjasama
menyiapkan Trusted Flagger (pelapor tepercaya) untuk menilai konten.
Kesepakatan dengan Twitter berbuah pada dijadikannya Kominfo
sebagai Focal Point (titik pusat) penanganan konten negatif. Facebook,
atas arahan pemerintah Indonesia, membentuk Tim Khusus untuk
mempercepat proses penanganan konten negatif. Sementara Telegram
membentuk jalur komunikasi khusus dengan pemerintah dan tim yang
memahami budaya Indonesia untuk mempercepat laporan. Adanya
kesepakatan-kesepatakan ini membuat upaya mengatasi hoax kini
memiliki landasan hukum dan instrumen yang kuat. Dalam model
Inokulasi, hoaxbuster dan instrumen penegakan hukum menjadi
antivirus yang siap melumpuhkan hoax dalam waktu singkat sehingga
sebarannya tidak meluas.
Vaksin Anti Hoax: Literasi Digital dan Instrumen Fact Checkers
Unsur terakhir dari model Inokulasi ala McGuire yang digunakan
untuk memberantas hoax adalah vaksin anti-hoax. Kegunaan vaksin
adalah memberikan daya imunitas tubuh (kekebalan), sehingga tubuh
dapat mengatasi sendiri serangan virus yang datang. Membangun
mekanisme pertahanan diri terhadap serangan hoax, yang diibaratkan
300

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

sebagai vaksin inilah yang diupayakan melalui gerakan literasi, yang
diperkuat dengan instrumen pendukung berupa fact checkers dan situs
pelapor.
Literasi secara hariah dideinisikan sebagai “a person’s ability to
read the written word” (Potter, 2014:15), atau “kemampuan membaca
dan menulis yang ditandai dengan kemampuan memahami pernyataan
singkat yang ada hubungannya dengan kehidupannya” (UNESCO,
2005 dalam Iriantara, 2009:4-5). Buckingham memperluas konsepsi
literasi menjadi “sekumpulan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan
(2003:4 dalam Guntarto, 2015:10). Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah literasi digunakan secara meluas dan longgar, pada semua cara
berkomunikasi, media berkomunikasi, dimensi komunikasi, bahkan
muatan dan produk komunikasi. Fenomena ini menyebabkan konsep
literasi harus dideinisikan ulang menjadi “Kemampuan menempatkan,
mengevaluasi, menggunakan dan mengomunikasikan melalui berbagai
sumber daya termasuk sumber-sumber daya teks, visual, suara dan
video” (Lamb, 2003 dalam Iriantara, 2009: 3). Maka, lahirlah istilahistilah baru yang berhubungan dengan literasi, mulai dari literasi
informasi, literasi media, literasi televisi, dan lain-lain. Dalam kajian
tentang literasi, secara garis besar literasi hadir dalam dua sisi: (1)
konsepsi; dan (2) praksis (Gong & Irkham, 2012:vii).
Literasi macam apakah yang diperlukan untuk mampu
membendung hoax? Dari sisi konsepsi, istilah literasi yang kerap
dimunculkan untuk mengatasi penyebaran hoax adalah literasi
informasi, literasi media, literasi digital, literasi internet, bahkan literasi
online. Dari segi praksis, literasi untuk membendung hoax lebih banyak
berbicara mengenai pendekatan atau metode yang paling efektif untuk
membangun kapasitas literasi yang dimaksud. Strategi membendung
hoax melibatkan semuanya, baik sisi konsepsi maupun praksis. Istilah
literasi media, literasi digital, dan literasi informasi acap dimunculkan,
kemungkinan karena semua istilah tersebut berhubungan langsung
dengan hoax sebagai produk informasi yang disebarluaskan melalui
medium digital.
Literasi informasi, dalam sejumlah kepustakaan, dinyatakan
sebagai kemampuan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan,

301

Kolase Komunikasi di Indonesia

menyaring dan mengevaluasi informasi dan untuk membentuk opini
yang kokoh berdasarkan kemampuan tersebut (Irianto, 2012:10).
Literasi media, yang mengalami perkembangan pesat selama 30
tahun terakhir, dideinisikan sebagai “kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi isi pesan media
(Aufderheide, 1993 dalam Guntarto, 2015:11).
Akses adalah kemampuan untuk mencari informasi dan
menemukan pesan yang terdapat dalam sebuah media. Analisis
mengacu pada proses untuk mengetahui tujuan si pembuat pesan
media, untuk khalayak yang mana, bagaimana teknik konstruksi
(pesan) yang digunakan, sistem symbol serta teknologi yang
digunakan untuk membangun pesan tersebut. Analisis mencakup
kemampuan untuk mengenali konteks politik, ekonomi, sosial
dan sejarah di mana pesan media yang diproduksi dan diedarkan
sebagai bagian dari sistem budaya. Evaluasi merujuk pada proses
menilai kebenaran, keaslian kreativitas, atau kualitas dari pesan
media yang ditemui, dan membuat penilaian (baik-buruk, benarsalah) tentang pesan media tersebut. Tahap berikutnya adalah
kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan dalam berbagai
macam bentuk (menggunakan bahasa, fotograi, video, media
online, dan lain-lain).
(Aufderheide, 1993 dalam Guntarto, 2015:11)
Informasi adalah muatan pesan dalam media. Media sendiri adalah
sarana untuk menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk. Digital/
digitalisasi adalah hasil kemajuan teknologi telekomunikasi: bisa berupa
platform, media, bentuk, bahkan budaya. Seiring dengan dominasi
media digital dalam kehidupan sehari-hari, maka lahirlah kebutuhan
Digital Literacy yaitu “an ability to use information and communication
technologies, to ind, evaluate, create, and communicate information,
requiring both cognitive and technical skills (sebuah kecakapan untuk
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, guna menemukan,
mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan informasi, yang
membutuhkan keahlian kognitif maupun keterampilan teknis)” (ALA
Digital Literacy Taskforce, 2011).
Kapasitas literasi digital tidak berdiri sendiri. Terdapat sejumlah
literasi dan kapasitas lainnya yang terkait dengan literasi digital. Bertitik
tolak dari kerangka kerja yang disediakan oleh Beetham & Sharpe
(2010), Joint Information Steering Committee (JISC) yang berbasis
302

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

di Inggris memformulasikan literasi digital sebagai umbrella concept
atau konsep payung yang terdiri dari 7 (tujuh) komponen lainnya, yaitu
Media Literacy, Information Literacy, ICT Literacy, Communication &
Collaboration, Digital Scholarship, Learning Skill, dan Career & Identity
Management, sebagaimana tergambar dalam skema berikut ini.

Skema
Unsur Esensial Digital Literacy versi JISC

Ketujuh unsur tersebut menjadi pondasi yang menguatkan digital
literacy, tidak hanya untuk memberantas hoax, tetapi lebih jauh lagi,
memfungsikan warga negara sehingga dapat berpartisipasi dalam
kehidupan yang mau tak mau telah memasuki Era Digital (JISC, 2014).
Guna menangkal hoax, vaksin Literasi Digital harus diperkuat
dengan berbagai instrumen. Terkait dengan instrumen penegakan
hukum, saat ini sudah muncul beragam aplikasi maupun program yang
dikembangkan berbagai pihak guna menampung peran aktif masyarakat
dalam menanggulangi hoax. Kementerian Komunikasi dan Informasi
RI melalui Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) menyosialisasikan
program Trust+ Positif guna menyaring konten negatif.
Sistem TRUST+Positif menerapkan mekanisme kerja adanya
server pusat yang akan menjadi acuan dan rujukan kepada seluruh
layanan akses informasi publik (fasilitas bersama) serta menerima
informasi – informasi atas fasilitas akses informasi publik
303

Kolase Komunikasi di Indonesia

untuk menjadi alat analisa dan proiling penggunaan internet di
Indonesia.
(“Trust Positif!”, 23 Oktober 2013, www.kominfo.go.id)
Melalui aplikasi ini, Trust+ Positif membuka fasilitas pelaporan
konten negatif yang terbuka bagi netizen, sekaligus mengembangkan
database yang bisa dijadikan rujukan. Ide serupa juga dilansir oleh
MAFINDO, melalui itur turnbackhoax.id.
Selain sudah menggunakan protokol HTTPS, Turn Back Hoax
kini memiliki itur notiikasi. Fitur ini memungkinkan pengguna
mendapatkan semua notiikasi serta pemberitahuan dari laporan
yang sudah disampaikan ke Turn Back Hoax. Hal tersebut
akan memudahkan pengguna mendapatkan pembaharuan
mengenai hoax, berita bohong dan lain-lain yang dilaporkan
ke Turn Back Hoax. Sementara itu notiikasi terhadap laporan
yang sudah disampaikan tentunya memudahkan pengguna
mendapatkan update dari laporan tersebut.
(“Ini Fitur Terbaru Turn Back Hoax”, 26 Desember 2016, Berita Satu)
Di daerah, pemerintah setempat tidak tinggal diam. Melengkapi
instrumen yang telah ada, Diskominfo Kota Bandung pada pertengahan
Agustus 2017 merilis website SARING. Website ini adalah singkatan
dari “Sok Atuh Laporkeun Situs Negatif ”, terdiri dari 5 tahapan dalam
melaporkan konten Internet yang negatif. Dr. Ahyani Raksanegara,
Kadiskominfo Kota Bandung, menjelaskan bahwa berdasarkan laporan
masyarakat mengenai URL konten negatif, Kemenkominfo akan segera
melakukan pemblokiran. Website SARING di-launching pada acara
Bimbingan Teknis dan Outbond Kelompok Informasi Masyarakat
(KIM) sebagai simbol bahwa upaya mengatasi hoax wajib melibatkan
upaya pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput (wawancara, 8
Agustus 2017). Kota Bandung merupakan contoh sebuah administrasi
pemerintahan kota yang sigap menanggapi isu hoax mulai dari
kampanye hingga advokasi.
Selain aplikasi untuk memilter konten negatif, instrumen lain
yang tidak kalah penting adalah fact checkers, atau database guna
melakukan klariikasi atas hoax yang beredar. Sumber-sumber fact
checkers memiliki misi mengecek kebenaran fakta atau konsistensi
antara fakta/realitas objektif (yang sesungguhnya), dengan informasi

304

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

yang terduga ‘hoax’. Sumber fact checkers menjadi rujukan situs anti
hoax ketika sedang menelanjangi sebuah hoax. Jika di luar negeri,
seperti AS, situs anti hoax dan fact checkers itu berbeda wadah (karena
sejatinya, fungsinya juga berbeda), maka di Indonesia, resources yang
mendedikasikan diri sebagai fact checkers masih terhitung minim, dan
sedang berada dalam tahap mengembangkan diri.
Di negara-negara lain, fact checkers baik sebagai lembaga maupun
database banyak digunakan sebagai rujukan. Snopes.com misalnya,
banyak dijadikan rujukan untuk membongkar hoax politik semasa
Pilpres AS 2017. Hingga sekarang, Snopes aktif membongkar hoax,
mulai dari tudingan bahwa komentar Presiden Trump terhadap Korea
Utara menyontek kalimat karakter Red Skull dalam komik Captain
America
(status: False) (http://www.snopes.com/ire-and-furycomic-book-villain/), hingga pernyataan Presiden Rusia Vladimir
Putin bahwa Korea Utara tidak memiliki persenjataan nuklir namun
memiliki ‘trillions of mineral’ (status: Unproven) (http://www.snopes.
com/vladimir-putin-north-korea-trillions-in-minerals/). Selain itu,
ada pula FactCheck.org dengan fungsi yang sama, menjadi fact checkers.
FactCheck.org adalah bagian dari proyek Annenberg for Public Policy
Center, diperkuat oleh para relawan yang melacak kebenaran fakta
yang viral di media sosial. Baik Snopes.com maupun FactCheck.org
memiliki mekanisme crowdsourcing.
Di Indonesia, upaya menjadi fact checkers atau menjadi penyedia
database guna mengklariikasi berita atau informasi terduga hoax,
sebenarnya telah dimulai sejak tahun lalu oleh sejumlah situs yang
dikelola oleh komunitas-komunitas anti-hoax, seperti Indonesia Hoax
Buster (IHB), Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), dan
Indonesia Hoaxes Community (IHC). Di fanpage mereka masingmasing, publik dapat menanyakan kebenaran fakta sebuah informasi.
Beberapa hoax ‘legendaris’ berhasil diungkap, seperti klaim kedatangan
10 juta tenaga kerja illegal asal China dan lambang palu arit dalam
lembar uang kertas RI. Kendati demikian, forum yang terbentuk tidak
sepenuhnya berfungsi sebagai fact checkers. Kadang bercampur pula
dengan edukasi, sosialisasi kegiatan, dan lain-lain. Untuk itu, guna
memfokuskan diri pada upaya mengembangkan fact checkers, FAFHH
mengembangkan situs web turnbackhoax.id, yang mengarsipkan
hasil diskusi grup Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di
305

Kolase Komunikasi di Indonesia

Facebook. Di bawah payung organisasi MAFINDO, ketiga komunitas
anti-hoax juga dimungkinkan untuk bertukar hasil debunking hoax—
sedikit banyak, ini juga berfungsi sebagai fact checkers yang lumayan
komprehensif.
Pembahasan mengenai instrumen pelengkap strategi menangkal
hoax, mengakhiri babak awal upaya mengembangkan body of knowledge
tentang hoax di Indonesia dalam upaya mencari strategi anti hoax yang
paling efektif. Body of knowledge mengidentiikasi poin-poin terpenting
dalam sebuah isu disesuaikan dengan tujuannya. Dalam permasalahan
hoax, body of knowledge menandai struktur pengetahuan yang perlu
dikembangkan tentang permasalahan hoax di Indonesia.

Penutup
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tulisan ini hanyalah
sebuah stimulus. Menggunakan model Inokulasi sebagai logika gerakan
anti hoax, maka konsep-konsep terpenting dari strategi yang akan
dirancang telah dijelaskan. Pekerjaan selanjutnya adalah melakukan
validasi atas pengalaman para aktivis dalam mengaplikasikan program
anti hoax, baik dalam level penyadaran hingga advokasi. Lesson learned
yang diperoleh akan memperkaya pembelajaran yang diperoleh,
sehingga memberi kontribusi signiikan dalam memformulasikan
strategi menangkal hoax.
Tak dapat dipungkiri, persoalan hoax di Indonesia adalah sebuah
‘lux’ yang dinamikanya luarbiasa—sebuah narasi yang tak kunjung
mencapai titik akhir. Tanpa adanya body of knowledge tentang
permasalahan hoax di Indonesia, dikuatirkan strategi melawan hoax
akan mengambang karena didasarkan pada teori-teori dan konsepkonsep yang ‘asing’ dan tidak berpijak pada kenyataan di Indonesia.
Tulisan ini baru menawarkan sebuah peta konsep be