Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak bukan saja sebagai karunia terbesar bagi pasangan suami istri dalam
membangun rumah tangga, tapi juga terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan
suatu bangsa. Oleh sebab itu, hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B)
UUD 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan

berkembang

serta

berhak

atas

perlindungan

dari


kekerasan

dan

diskriminasi.” 1
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan
tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu
tindakan hukum yang berakibat hukum. 2 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan
hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi
kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan kegiatan
perlindungan anak. 3
Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua,
yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

1

AM. Mujahiddin, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Ruang Lingkup

Perlindungan Terhadap Anak dan Istri), dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV NO.
290 Januari 2010, Jakarta:Mahkamah Agung, Hal. 72
2
Bismar Siregar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), Hal. 23
3
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta:Akademika Pressindo, 1983), Hal.
222

1
Universitas Sumatera Utara

2

Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan
dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama
bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial. 4
Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus memperhatikan dan
melaksanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak peliharaannya. Pasal 2

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 menentukan bahwa hak-hak anak berupa:
kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup
yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. 5
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam
hidup dan kehidupan anak, yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua.
Dalam kenyataannya banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini, yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan anak. Dalam lingkup rumah tangga, rasa
aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir
dari rumah tangga yang utuh dan rukun. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan
tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hal.1
5
Ibid, Hal 2


Universitas Sumatera Utara

3

kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah
tangga tersebut.6
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. 7
Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakar dari
rumah tangga. Orang tua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban
untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Ada
kecenderungan orang tua melempar tanggung jawab pendidikan anaknya hanya
pada sekolah. Lalu, mereka menyerahkan waktu anaknya kepada kemajuan
teknologi visual, TV dan internet. Tidak jarang, ibu muda menyuapi bayinya
sembari matanya terpaku pada tayangan kekerasan. TV berperan membuat jarak
sosial dalam relasi keluarga melebar. Ada juga anak yang mengunduh tayangan
pornograpi melalui internet. Anak menonton tanpa kendali, dininabobokkan dan
disuapi pengetahuan TV tanpa didampingi orang tua. Anak-anak sekolah berjudi,

bermain game online di warnet.Tak jarang ada yang berhutang dan mencuri agar
bisa mengikuti kemajuan IT. 8
Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah meliputi: 9

6

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
(Yogyakarta:Merkid Press, 2012), Hal. 1
7
Ibid, Hal. 2
8
https://studibudaya.wordpress.com/2010/02/05/penelantaran-anak-kejahatankemanusiaan/ diakses pada tanggal 5 September 2015 pukul 07.02 WIB
9
Erna Ratnaningsih dan Umi Lasmina, Hukum Keluarga, Masalah Perempuan, dan
Anak, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-2) Hal. 119 bisa juga dilihat dalam Varia
Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV NO. 290 Januari 2010, Jakarta:Mahkamah Agung, Hal. 73

Universitas Sumatera Utara

4


1. Suami, istri dan anak.
2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga.
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Adapun bentuk tindak kekerasan di dalam lingkup rumah tangga, yaitu
meliputi: 10
1.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.

2.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.


3.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu:

4.

Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan, yaitu:
a) Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum atau karena persetujuan
atau perjanjian memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak
melaksanakan kewajibannya tersebut.
b) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

10


Ibid

Universitas Sumatera Utara

5

Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai
alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggungjawab orang tua terhadap
pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah
mengakibatkan anak selalu menjadi korban. 11 Kemiskinan selalu dijadikan
argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat
seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta
sebagai gelandangan dan pengamen. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si
anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya.
Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun
penanganannya sangatlah kurang diperhatikan. 12
Dapat dikemukakan dalam penelitian ini diangkat dua (2) kasus tentang
penelantaran anak yang diputus dengan undang-undang kekerasan dalam rumah
tangga. Adapun kasus pertama yaitu penelantaran anak terjadi di Kota medan
dengan terdakwa yaitu Drive Loni E yang terjadi pada bulan Agustus 2013 yang

akibat dari perbuatannya anak mengakibatkab sakit baik fisik, mental maupun
sosial yang telah diputus oleh pengadilan medan dengan putusan nomor
2.632/Pid.B/2013/PN-Mdn. Kasus kedua yaitu terjadi di Kota Rantau Perapat
dengan terdakwa bernama Kriston Sianturi menelantarkan anaknya dengan cara
tidak memberikan nafkah terhadap ke empat anaknya setelah bercerai dari
Rosmaida br. Saragih, sehingga Rosmaida melaporkan kejadian tersebut kepada

11

http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=aticle&sid=647, diakses
pada tanggal 8 September 2015 Pukul 21.35 Wib
12
http://rotsania.blogspot.com/2012/11/penelantaran-anak.html, diakses pada tanggal 8
September 2015 Pukul 21.45 Wib.

Universitas Sumatera Utara

6

polisi. Dalam kasus ini Kriston Sianturi diputus oleh Pengadilan Rantau Prapat

dengan putusan nomor: 498/Pid.B/2014/PN-Rap.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji
dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “Penerapan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap
Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PNMdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor-faktor penelantaran
anak?

2.

Bagaimana ketentuan undang-undang yang terkait dengan penelantaran anak?

3.

Bagaimana penerapan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak (Studi Terhadap Putusan
No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah diuraikan, maka

tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1.

Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor terhadap penelantaran
anak

Universitas Sumatera Utara

7

2.

Untuk mengetahui peraturan Undang-undang yang terkait terhadap
penelantaran anak

3.

Untuk melihat bagaimana penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan
No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian

hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam
bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama
terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498
Pid.B/2014/PN-Rap sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan
masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan
mengenai hukum pidana.
b. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini
diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak
hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya
dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus penelantaran anak di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini dengan judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran

Universitas Sumatera Utara

8

Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498
Pid.B/2014/PN-Rap)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini
penulisan memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan,
media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh
karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulisan dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
E. Tinjauan kepustakaan
1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni
straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah
yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam
berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai
berikut:13
1.

Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan
perundang-undangan lainnya.

2.

Peristiwa

pidana,

digunakan oleh

beberapa

ahli

hukum,

misalnya:

R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk
13

Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,( Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002), Hal

67 – 68

Universitas Sumatera Utara

9

dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin,
dalam

bukunya

"Hukum

Pidana".

Pembentuk

UU

juga

pernah

menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD'S 1950 [baca Pasal
14 ayat (1)].
3.

Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.
Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa
pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau
"Hukum Pidana I". Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada
judul buku "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun
menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.

4.

Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang
berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana.

5.

Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam
buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk
dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia".

6.

Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang
di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

7.

Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau,
misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana.
Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu,

ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar

Universitas Sumatera Utara

10

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 14
Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya
memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian
dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli yang dapat digolongkan
menganut pandangan (aliran) dualisme: 15
1.

Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum
positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang
menurut suatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan yang dapat
dihukum”. 16 Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum”. 17 Pompe mengadakan pembagian eleman Strafbaar feit atas:18

a.

Wederrechtelijkheid ( unsur melawan hukum)

b.

Schuld (Unsur kesalahan)

c.

SubsocialeI (unsur bahaya/gangguan/merugikan)

14

Adami Chazawi, Ibid , Hal. 69.
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, (Medan:USU-Press,
2010) , Hal. 73.
16
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya
Bakti,1997) ,Hal. 174
17
Ibid, Hal. 182.
18
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana ,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Hal.
104
15

Universitas Sumatera Utara

11

2.

Menurut Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu
serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”. 19

3.

H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam
pidana oleh Undang-undang. 20

4.

Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang
atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman. 21 Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para
ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai
peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana R. Tresna
menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 22

a.

Harus ada suatu perbuatan manusia.

b.

Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan
hukum

c.

Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggungjawabkan.

d.

Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

e.

Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang–
undang.

19

Ibid., hlm. 182.
Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 81
21
R. Tresna, Azas–Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), Hal. 27
22
Ibid, Hal. 28
20

Universitas Sumatera Utara

12

Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan
antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri
orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme
yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsurunsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan
monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana
seperti berikut: 23
1.

J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian: 24
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja
atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut
Jonkers, 25 sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur yang
tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan
untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk
dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan
unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana
yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa
pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers

23

Adami Chazawi, Op.Cit, Hal. 75
Bambang Poernimo, Op, Cit, Hal. 91
25
Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,(Jakarta:Bina Aksara, 1987),

24

Hal.136

Universitas Sumatera Utara

13

hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita
selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat.
2.

Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

3.

H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum adalah
kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum
sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh
seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

4.

Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “
Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
Undang–undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam
Undang–undang, dan

Universitas Sumatera Utara

14

c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan
suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige
handeling. 26
5.

Menurut Jan Remmelink, 27 bahwa sekilas tampak bahwa membatasi
pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya
dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak
dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di
sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya
kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum (rechtsgoederen)
yang dilindungi oleh hukum.

6.

J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan. 28
Dari beberapa pendapat para sarjana diatas, maka dapat dikemukakan

bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang baik disengaja atau tidak
disengaja, yang apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan suatu peraturan
yang ada maka akibat dari perbuatannya diberikan sanksi sesuai hukuman yang
ada dalam peraturan tersebut.
Syarat utama penjatuhan pidana terhadap penelantaran anak adalah adanya
perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, hal
ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya
sebagai prinsip kepastian, Undang-undang pidana sifatnya harus pasti, di
26

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal. 176
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ,2003), Hal. 64 - 65
28
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990) Hal. 42

27

Universitas Sumatera Utara

15

dalamnya harus dapat diketahui yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pada
prinsipnya tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena
perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya
adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Namun unsur-unsur tindak pidana secara
keseluruhan pada umumnya dapat dibagi atas: 29
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang obyektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan pada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka dapat dijabarkan
bahwa unsur-unsur tindak pidana menelantarkan anak adalah: 30
a.

Unsur kelakuan yang disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 adalah perbuatan menelantarkan dalam rumah tangga dimana
kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga seharusnya memberikan
29
30

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002), Hal. 59
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Jakarta:Citra Aditya, 2009),

Hal. 29

Universitas Sumatera Utara

16

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang tersebut. Sedangkan
unsur akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya rumah tangga yang telah
dibangun atas dasar kesepakatan dalam ikatan pernikahan.
b.

Unsur hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan menurut beberapa
penulis Belanda berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan strafbaar feit,
sekalipun tambahan. Sehingga unsur ini lebih condong untuk memandangnya
sebagai elemen perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. Untuk hal
ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan penelantaran istri adalah
suami tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
istri maupun anak.

c.

Untuk unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana dalam Pasal 9
dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tidak mengatur halhal yang dapat memberatkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
penelantaran istri maupun anak.

d.

Tindakan penelantaran dalam rumah tangga setelah keluarnya Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 sudah menjadi perbuatan melawan hukum
pidana dimana ada sanksi pidana yang mengaturnya secara khusus dalam
Undang-Undang tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum obyektif yang
terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan pada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Universitas Sumatera Utara

17

e.

Unsur melawan hukum yang subyektif merupakan sifat melawan hukumnya
perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa.Pengetahuan
tentang sifat melawan hukum yang subyektif ini relatif belum lama, dapat
disimpulkan dalam tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang
menjadi unsur melawan hukum yang subyektifnya adalah niat suami.
2. Anak dan Penelantaran Anak
Pembicaraan tentang anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah

kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana
pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu
negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti
melindungi potensi sumber daya instansi dan membangun manusia Indonesia
seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. 31
Berbicara tentang anak, maka banyak dapat kita lihat beraneka ragam
mengenai pengertian anak. Oleh karena itu, umur menentukan apakah seseorang
tersebut dikategorikan anak-anak atau tidak. Beberapa pengertian anak menurut
hukum dapat diartikan sebagai berikut:
1. Menurut convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada tanggal
20 November 1989, yang telah diartikan oleh Indonesia, disebutkan dalam

31

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:PT.
RajaGrafindo Persada), Hal. 1

Universitas Sumatera Utara

18

Pasal 1 pengertian anak, adalah: semua orang yang dibawah umur 18 tahun,
kecuali Undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal. 32
2. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan. 33
Adapun beberapa Undang-undang yang terkait tentang pengertian anak
antara lain, sebagai berikut: 34
1.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, menysaratkan usia
perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3.

Undang-undang

Nomor

3

Tahun

1997

tentang

Pengadilan

Anak,

mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
kawin.
4.

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
mendefenisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
dan belum pernah kawin.

5.

Undang-undang

nomor

13

tahun

2003

Tentang

Ketenagakerjaan

membolehkan usia anak bekerja adalah 15 tahun.

32

Ibid, Hal. 13
Undang-undang no 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat ( 1 ).
34
Adi Supeno, kriminalisasi Anak ( Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan ), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2010), Hal. 41.
33

Universitas Sumatera Utara

19

6.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dinotasikan menjadi anak berusia
7 sampai 15 tahun.
Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia

anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21
tahun

ditetapkan

berdasarkan

pada

pertimbangan

kepentiangan

usaha

kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi
serta kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang
melampaui usia 21 tahun. Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti
tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.35
Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara
membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan
kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis attau pengamen, anak
jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis
pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak. 36
3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengkaji mengenai masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab
kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif yang dapat
dilakukan oleh setiap orang. Misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang,
menampar, meninju, menggigit, semuanya itu adalah contoh daripada bentukbentuk kekerasan. Disamping hal-hal itu juga, kadang-kadang kekerasan
merupakan tindakan yang normal, namun tindakan yang sama pada suatu
35
36

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Hal. 564
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, (Bandung: Nuansa, 2006), Hal.

55.

Universitas Sumatera Utara

20

situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan. 37
Situasi dimana suatu tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai
tindakan agresif dan kapan tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai suatu
tindakan

normal

dan

situasional.

Istilah

kekerasan

digunakan

untuk

menggambarkan sebuah perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert)
dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan
(deffense) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. 38
Dalam pandangan klasik suatu tindak kekerasan (violence) menunjukan
kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan Undangundang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata
dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat
mengakibatkan kematian pada seseorang, defenisi sangat luas sekali karena
menyangkut pula perbuatan mengancam di samping suatu tindakan nyata. Namun
demikian kekerasan dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan ini menunjukan
kepada tingkah laku yang berbeda-beda baik motif maupun mengenai
tindakannya seperti perkosaan dan pembunuhan. 39
Kejahatan

kekerasan

oleh

Yesmil

Anwar 40

diartikan

sebagai:

“Penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan
37

http://digilib.unila.ac.id/8890/2/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 5 September 2015
pada pukul 08.08 WIB
38
Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: PT.
Ghalia, 2002), Hal. 11
39
Romli Atmasasmitha, Teori & Kapita Selekta Kriminolog, (Bandung: PT. Eresco,
1992), Hal. 55.
40
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosio cultural
Kriminologi Hukum ( Bandung:Unpad Press, 2004), Hal. 54.

Universitas Sumatera Utara

21

memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau
perampasan hak”.
Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan: 41
“Perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Menurut
penjelasan ini, kekerasaan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih
bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan
pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa
paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang
dilukai.”
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Pasal 1 Undangundang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau

perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
F. Metode Penelitian
Bambang Sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya
ilmiah ada beberapa 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:
1. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan
yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut
sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian
ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
41

Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, (Surabaya: Arkola, 1994),

Hal. 223

Universitas Sumatera Utara

22

perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai
lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 42
2. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal
karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori
mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di
dalam masyarakat. Atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research. 43
Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.

Jenis penelitian
Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan

menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta
menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu “Penerapan
Undang-Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap
Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn
dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”
2.

Sumber Data
Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer terdiri dari bahan-bahan hukum yang perundangundangan, catatan-catan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer
adalah:
1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
42

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007 ), Hal. 81
43
Ibid, Hal. 43

Universitas Sumatera Utara

23

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan
Dalam Rumah Tangga
4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentamg Hak Asasi Manusia
5. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 22 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
6. Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn
7. Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap
b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen–dokumen resmi44, jadi bahan hukum sekunder ini bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan
acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan / buku
yang berkaitan tentang penelantaran anak
c)

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Besar

Bahasa

Indonesia,

kamus

Inggris-Indonesia,

kamus

hukum,

ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan Iainlain.
3.

Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi

ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu penelitian terhadap
44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana Prenada, Media Group,
2009 ), Hal. 41

Universitas Sumatera Utara

24

literatur–literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai
dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
4.

Analisis Data
Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis

data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan perkerjaan seorang
peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal,
dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji. 45 Dari hasil analisis ini
diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan
dalam skripsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan
serta memberikan saran seperlunya. Dalam penulisan skripsi ini, data yang
dianalisis adalah dengan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisa data–data
dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal
yang terkait dalam penulisan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis
maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas lima
bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :
BAB I:

PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki
bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan
hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah,

45

Bambang Sunggono, Op.Cit, Hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

25

tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II:

BENTUK - BENTUK
PENELANTARAN ANAK

DAN

FAKTOR

-

FAKTOR

Bab ini akan membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk dan faktorfaktor yang terjadi pada penelanataran anak.
BAB III: KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN
PENELANTARAN ANAK
Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan penelantaran anak seperti ketentuan penelantaran
anak menurut KUHP, penelantaran anak menurut UU No. 39 Tahun
1999, penelantaran anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 perubahan
atas UU No. 22 Tahun 2002, dan penelantaran anak menurut UU No.
23 Tahun 2004.
BAB IV: PENERAPAN
UNDANG-UNDANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK ( STUDI
PUTUSAN NO: 2632 PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO:
498 PID.B/2014/PN-RAP )
Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penerapan undangundang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak
pidana penelantaran anak ( studi putusan no: 2632 pid.b/2013/pn-mdn
dan putusan no: 498 pid.b/2014/pn-rap )
BAB V:

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai
kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan
terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian dari hasil
penulisan tersebut akan diakhiri dengan saran-saran.

Universitas Sumatera Utara

BAB II
BENTUK-BENTUK DAN FAKTOR-FAKTOR PENELANTARAN ANAK
A. Bentuk-Bentuk Penelanataran Anak
Kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia belum banyak
dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh data dan deteksi
kasus-kasus

penelantaran

anak

ini.

Kesulitan

disebabkan

para

pelaku

penganiayaan dan penelantaran anak adalah mereka yang berotoritas lebih tinggi
dari pada korban (anak). Sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka
membiarkan para korban tanpa mendapatkan bantuan pelayanan medik. Oleh
karena itu, sangat perlu bantuan dan kerjasama dari semua pihak. Terlebih petugas
kesehatan untuk mampu melakukan deteksi penganiayaan atau penelantaran anak,
sehingga korban (anak) memperoleh pertolongan medik dan perlindungan
semestinya. Adapun bentukBerikut bentuk-bentuk Penelantaran Anak: 46
a.

Tidak memberikan kehidupan dalam lingkup rumah tangganya. Yang
meliputi: nafkah, biaya sekolah anaknya, pakaian dan rumah / kontrakan,
pada

pokoknya

biaya

kebutuhan

hidup

dalam

keluarga

atau

kebutuhan primair.
b.

Tidak memberikan perawatan atau pemeliharaan kepada orang dalam lingkup
rumah tangganya, yaitu adanya perhatian dan kepedulian kepada orang-orang
yang berada di bawah tanggungannya, misalnya tidak membiarkan isteri,
anak-anaknya atau orang yang tinggal bersamanya menderita dengan sakit
yang di alami, yang meliputi biaya kesehatan, biaya kecantikan, obat-obatan,
46

http://sudonoalqudsi.blogspot.co.id/2014/06/integrasi-undang-undang-nomor-23tahun.html diakses pada tanggal 15 September 2015 pukul 17.06 WIB

26
Universitas Sumatera Utara

27

biaya sekolah, dan lain sebagainya yang menjadi tanggungan suami. Karena
dalam Demikian juga sebaliknya menjadi tanggungan isteri, bila ia punya
pembantu yang menetap dalam lingkup rumah tangganya sekalipun sudah
bercerai dengan suaminya. Jadi dapat digolongkan ke dalam tindakan
penelantaran apabila seseorang mengabaikan atau tidak mempedulikan nasib
keluarga, misalnya mengalami sakit, sehingga harus menderita karena tidak
terurus, atau anak-anaknya dibiarkan tidak sekolah.
c.

Tidak memberikan penghidupan, perawatan, pemeliharaan kepada setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Selama ini
belum ada mantan suami yang ditangkap polisi karena tindakannya
menelantarkan isteri dan anak-anaknya. Isteri yang diceraikan bisa saja
menggugat mantan suaminya secara perdata ke Pengadilan, menggugat agar
mantan suami memberi nafkah kepada anak-anaknya, apalagi saat ini Negara
sedang

konsis

dengan

rakyat

miskin

melalui

pengadilan

dengan

menggalakkan program justice for the poor, namun akan sia-sia bila suami
telah pergi meninggalkan anak-anak dan mantan isterinya, sementara mantan
suami tidak sedikit pun meninggalkan atau menyimpan harta kekayaan.
Mengutip dari makalah Kusnandi Rusmil 47, bahwa penelantaran anak
meliputi:

47

Kusnandi Rusmil, Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak, Makalah
Disampaikan Pada Seminar Sehari “Penanganan Korban Kekerasan Pada Wanita dan Anak”,
tanggal 19 Juni 2004 di Rumah Sakit Hassan Sadikin Bandung, Hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

28

a.

Penelantaran untuk mendapatkan perawatan kesehatan, misalnya mengingkari
adanya penyakit serius pada anak.

b.

Penelantaran anak untuk mendapatkan keamanan, misalnya cedera yang
disebabkan kurangnya pengawasan dari situasi rumah yang membahayakan.

c.

Penelantaran emosi, yaitu tidak memberikan perhatian kepada anak, menolak
kehadiran anak.

d.

Penelantaran pendidikan. Anak tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan
usianya, tidak membawa anak ke sarana pendidikan atau menyuruh anak
mencari nafkah untuk keluarga, sehingga terpaksa putus sekolah.

e.

Penelantaran fisik, yaitu jika anak tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian
atau tempat tinggal, yang layak untuk mendapat sarana tumbuh kembang
yang optimal.
Dalam Buku Gunarsa D. Singgih, menjabarkan penelantaran anak dalam

beberapa bentuk, yaitu: 48
a.

Deprivasi (keterasingan) Pendidikan
Deprivasi pendidikan merupakan salah satu bentuk penelantaran anak.

Orang tua yang tidak memberikan peluang pendidikan layak bagi anak-anaknya
berarti menelantarkan anak-anak mereka untuk memiliki kesempatan tumbuh dan
berkembang secara baik. Lingkungan sosial yang tidak memberikan fasilitas
pendidikan yang baik bagi anak-anak berarti menelantarkan anak-anak. Makin
miskin pendidikan anak dan makin lama deprivasi pendidikan itu berlangsung,
makin besar kemungkinan anak mengalami gangguan perilaku dengan indikator48

Gunarsa D. Singgih, Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), Hal. 113.

Universitas Sumatera Utara

29

indikator tersebut. Deprivasi pendidikan ternyata menimbulkan munculnya
gangguan perilaku anak seperti kecenderungan menarik diri, kesulitan
mengembangkan interaksi sosial dan kurang memiliki rasa aman.
b. Morbiditas Ibu
Morbiditas ibu merupakan salah satu aspek penting yang mempengaruhi
munculnya penelantaran anak. Morbiditas dalam hal ini meliputi:
(a) keterbatasan kemampuan nalar ibu untuk menghadapi tantangan pengasuhan
anak.
(b) kecenderungan ibu menderita sakit akibat rendahnya kualitas hidup.
(c) keterbatasan rasa tanggung jawab ibu untuk mengurus pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Ketiga aspek di atas juga dipengaruhi oleh kemiskinan dan keterbatasan
kemampuan membaca, karena ditemukan adanya hubungan masalah penelantaran
anak dengan kondisi buta huruf orang tua. 49
c.

Disfungsi keluarga
Disfungsi keluarga khususnya terkait dengan adanya gangguan perilaku

orang tua. Dari sejumlah keluarga yang orang tuanya berpendidikan rendah serta
mengalami gangguan kepribadian, ketergantungan obat dan kecanduan alkohol,
kasus penelantaran anak lebih banyak ditemukan. Anak-anak mereka tidak terurus
kesejahteraannya, terabaikan kesehatannya dan terkesampingkan pendidikannya.

49

Ibid

Universitas Sumatera Utara

30

d. Rasialisme terselubung
Masalah rasialisme terselubung mempengaruhi jumlah kasus penelantaran
anak. Rasialisme ini terselubung karena tidak terungkap ke permukaan, dengan
adanya berbagai pertimbangan tertentu. Akan tetapi, kenyataan di Amerika
Serikat, misalnya, memperlihatkan fasilitas layanan sosial yang diberikan pada
anak-anak kulit berwarna (selain anak kulit putih) lebih terbatas daripada fasilitas
bagi anak-anak kulit putih. Di samping itu, akibat ketidaksetaraan fasilitas layanan
sosial (termasuk fasilitas pendidikan dan tempat-tempat bermain) diperoleh
gambaran bahwa anak-anak kulit hitam terkesan lebih telantar.
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penelantaran Anak
Penelantaran anak merupakan salah satu jenis kekerasan terhadap anak.
Terjadinya

kekerasan

terhadap

anak

disebabkan

berbagai

faktor

yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya demikian kompleks.
Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor
internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari
kondisi keluarga dan masyarakat, seperti: 50
1.

Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku,
autisme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan anak
akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

2.

Kemiskinan keluarga, orangtua menganggur, penghasilan tidak cukup,
banyak anak.

50

Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, (Bandung:
Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997), Hal. 366.

Universitas Sumatera Utara

31

3.

Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian,
ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak
mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4.

Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik
anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan
(unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.

5.

Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua,
misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan
emosional dan depresi.

6.

Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami
perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

7.

Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya
tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,
pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham
ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol
sosial yang stabil.
Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya

kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: 51
1.

Faktor orangtua/keluarga
Faktor orangtua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan

penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orangtua melakukan
kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya adalah:

51

Kusnandi Rusmil, Op.cit., Hal. 60

Universitas Sumatera Utara

32

a.

kepatuhan anak kepada orangtua.

b.

hubungan asimetris.

c.

Dibesarkan dengan penganiayaan.

d.

Gangguan mental.

e.

Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun social.

f.

Pecandu minuman keras dan obat.

2.

Faktor lingkungan sosial/komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya

kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan
kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya:
a.

Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.

b.

Kondisi sosial ekonomi yang rendah.

c.

Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.

d.

Status wanita yang dipandang rendah.

e.

Sistem keluarga patriarchal.

f.

Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.

3.

Faktor anak itu sendiri

a.

Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan
ketergantungan anak kepada lingkungannya.

b.

Perilaku meyimpang pada anak.

Universitas Sumatera Utara

33

Dalam literatur lain juga memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor
yang dapat dijadikan indikator untuk mengkaji ada tidaknya penelantaran anak
yaitu meliputi: 52
a. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan meliputi keadaan lingkungan secara menyeluruh
termasuk fasilitas sosial untuk bermain, fasilitas pendidikan, dan layanan
kesehatan untuk anak.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial mencakup dukungan keluarga, peluang yang diberikan
oleh keluarga bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, juga
dukungan finansial keluarga untuk melengkapi fasilitas kebutuhan tumbuh
kembang anak.
c. Keterampilan pengasuh (caregivers)
Keterampilan pengasuh mencakup pengetahuan dan kecakapan pengasuh
untuk memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan
kemampuannya, tidak memaksa anak melakukan hal tertentu yang tidak layak
pada taraf usianya dan waspada akan kemampuan anak.
d. Kesejahteraan anak itu sendiri
Adapun kesejahteraan anak itu sendiri meliputi kondisi bawaan anak yang
harus diwaspadai serta dicermati oleh lingkungan, khususnya pengasuh. Misalnya,
ada anak-anak yang lebih peka terhadap penyakit ter

Dokumen yang terkait

Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

7 150 82

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)

1 44 93

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)

2 48 113

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 7

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 1

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 25

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 2