Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

(1)

1 S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHRISMANTO H.S 080200388

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENGGELAPAN

PREMI ASURANSI

(Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

CHRISMANTO H.S 080200388

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S Nurmalawaty SH., M.Hum

NIP. 196303311987031001 NIP. 19620907198812001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

OUTLINE

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENGGELAPAN PREMI ASURANSI (Analisis Putusan No.1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

NAMA : CHRISMANTO H.S NIM : 080200388

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.,M.S NIP.196303311987031001

Nurmalawaty,SH.,M.Hum NIP.19620907198812001


(4)

ABSTRAK Chrismanto H.S *

Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.,M.S ** Nurmalawaty,SH.,M.Hum ***

Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak dijumpai perbuatan curang (melawan hokum) dalam perjanjian asuransi. Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuhi delik perbuatan pidana. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penyidikan asuransi. Penegakan hokum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hokum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana penggelapan asuransi klaim asuransi terkait tindak pidana penggelapan di bidang asuransi pada Pasal 372 KUHP yang dinyatakan Barang siapa dengan sengaja dan melawan hokum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada adalah kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah. Dan Pasal 374 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Penegakan hokum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn. Tindak pidana premi asuransi sebagaiman dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum diatur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti “menggelapkan” tersebut. Dengan demikian,makna bagian inti atau unsure “menggelapkan” dalam Undang-Undang Asuransi,harus ditafsirkan sebagai “penggelapan” dalam KUHP.

*) Chrismanto H.S, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.,M.S, selaku Dosen Pembimbing I,Guru Besar Universitas Sumatera Utara


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis sampaikan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Sehubungan dengan itu,disusun skripsi yang berjudul : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENGGELAPAN PREMI ASURANSI (Analisis Putusan No.1952/Pid.B/2013/PN-Mdn).

Dalam menyelesaikan skripsi ini,telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin SH,MH,DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr.OK.Saidin,SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Dr.M.Hamdan,SH,MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan.


(6)

6. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH,MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Ibu Nurmalawaty,SH,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

8. Seluruh Staf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Marnangkok Situmorang dan Ibunda Riana Marpaung yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun materi serta doa yang tidak putus-putusnya sehingga terselesaikannnya skripsi ini.

10. Kepada seluruh keluarga yang selalu mendesak yang kemudian menjadi motivasi penulis menyelesaikan skripsi dan perkuliahan penulis.

11. Kepada teman-teman seperjuangan selama perkuliahan yang selalu mendukung yang membantu penulis menyelesaikan perkuliahan penulis.

12. Kepada drg.Tere Sihombing yang sudah banyak membantu dan member semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Kepada teman-teman stambuk 2008 yang masih tersisa sampai saat ini.

14. Kepada teman-teman Organisasi Gereja Naposobulung HKBP Gang Sado yang telah memberi semangat dan doanya atas selesainya skripsi penulis.

15. Kepada teman-teman Embrio Family dan Ferdinan Siboro yang selalu membantu dalam penyelesaian skripsi penulis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.


(7)

Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, Juli 2015 Hormat Saya

CHRISMANTO H.S 080200388


(8)

ABSTRAK Chrismanto H.S *

Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.,M.S ** Nurmalawaty,SH.,M.Hum ***

Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak dijumpai perbuatan curang (melawan hokum) dalam perjanjian asuransi. Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuhi delik perbuatan pidana. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penyidikan asuransi. Penegakan hokum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hokum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana penggelapan asuransi klaim asuransi terkait tindak pidana penggelapan di bidang asuransi pada Pasal 372 KUHP yang dinyatakan Barang siapa dengan sengaja dan melawan hokum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada adalah kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah. Dan Pasal 374 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Penegakan hokum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn. Tindak pidana premi asuransi sebagaiman dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum diatur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti “menggelapkan” tersebut. Dengan demikian,makna bagian inti atau unsure “menggelapkan” dalam Undang-Undang Asuransi,harus ditafsirkan sebagai “penggelapan” dalam KUHP.

*) Chrismanto H.S, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.,M.S, selaku Dosen Pembimbing I,Guru Besar Universitas Sumatera Utara


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat dan diikuti oleh majunya pemikiran masyarakat dalam usaha perniagaan membuat banyaknya usaha asuransi akhir-akhir semakin berkembang. Hal ini dapat dipahami mengingat meningkatnya laju pembangunan di Indonesia pada berbagai sektor kehidupan dan dapat mengakibatkan peningkatan risiko yang dihadapi. Risiko ini dapat timbul dalam berbagai bentuk, seperti kerusakan alat-alat, terganggunya transportasi, rusaknya proyek hasil pembangunan, kehilangan barang-barang berharga dan lain-lain. Lembaga asuransi atau pertanggungan dalam kondisi tersebut mempunyai fungsi sebagai lembaga yang akan mengalihkan risiko yang mungkin timbul atau dihadapi dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung).1

Sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia. Kemajuan tersebut antara lain berdirinya gedung-gedung yang megah, industri pesawat terbang, peningkatan dunia usaha perbankan, asuransi dan lain-lain. Akan tetapi selain segi positif dan adanya perkembangan tersebut, juga banyak segi negatif yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Kerugian itu antara lain terbakarnya gedung-gedung, jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana

1

Rizqia Gita Astiriani, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pengajuan Klaim Suransi Terkait Dengan Tindak Pidana Penipuan Di Bidang Asuransi (Studi di Polrestabes Surabaya), Jurnal Ilmiah Subyek Hukum Ekonomi , 2013.hal 1


(10)

deposan dan lain-lain. Dengan adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka melalui lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu dengan memberikan ganti kerugian apabila risiko itu benar-benar terjadi. 2

Perspektif hukum Indonesia, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang penanggung yang mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.3 Hubungan antara risiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen risiko, asuransi dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu risiko. Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang, baik karena hilangnya benda itu maupun karena kerusakan dan sebab lainnya.

Di samping risiko-risiko kerugian yang dihadapi baik oleh masyarakat maupun pemerintah seperti di atas, juga ada risiko-risiko yang tidak sepenuhnya mempunyai nilai ganti kerugian sesungguhnya. Dalam hal ini misalnya kematian, kecelakaan, hubungan kekeluargaan dan lain-lain. Dalam hal ini juga dapat diatasi melalui lembaga asuransi, sehingga orang atau keluarga tersebut dapat memenuhi kebutuhannya seperti sedia kala. Dalam asuransi jiwa selain bersifat pengalihan risiko juga bersifat menabung. Hal ini karena apabila kematian lebih lama dan

2

Ernest Runtukahu, Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi serta Penegakan hukumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Samratulangi, 2013, Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012.

3

Khotibul Umam, Memahami & Memilih Produk Asuransi, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011, hal 5.


(11)

yang ditentukan dalam penutupan asuransi berarti penanggung akan memberikan sejumlah uang sebagaimana sudah ditetapkan sebelumnya. Tabungan inilah yang dapat disalurkan dalam turut membiayai, pembangunan nasional, di samping sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Seperti dikemukakan oleh bendaharawan keuangan Inggris yang menerangkan

“Menabung adalah salah satu alat pencegah yang paling baik terhadap inflasi, dan pertanggungan jiwa dalam hal ini telah membuktikan jasanya yang tak ternilai. Pertanggungan itu tidak hanya menciptakan suatu cara menabung yang teratur, tetapi selain daripada itu, yang artinya lebih penting lagi uang yang ditanam dalam pertanggungan jiwa, tidak mudah diambil kembali. Dengan keuntungan ini bagi bangsa, maka jasa-jasa yang semata-mata diberikan oleh pertanggungan jiwa

kepada individu, dapat berjalan bergandengan.”4

Tingkat kebutuhan masyarakat terhadap asuransi pada saat ini sangat tinggi. Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak terjadi perkembangan di berbagai aspek kehidupan, yaitu dari segala segi; ekonomi, teknologi, komunikasi, pendidikan, politik, sosial dan budaya. Perkembangan tersebut terjadi karena semakin banyaknya kebutuhan manusia didunia seiring dengan bertambahnya populasi di dunia. Sudah pasti setiap negara akan menncukupi segala kebutuhan masyarakatnya, baik pangan maupun teknologi yang diperlukan masyarakatnya. Dengan jalan saling berhubungan dengan negara-negara lain dengan melakukan perjanjian international. Dalam ruang lingkup yang lebih sempit lagi yakni dalam

4

H. van Barneveld, Pengetahuan Umum Asuransi, terjemahan Noehar Moerasad, (Jakarta: Bharata, 1980), hal. 12


(12)

ruang kehidupan nasional,dimana terjadi adanya peristwa hukum dalam manjalin hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau manusia dengan Negara. Dengan begitu sudah jelas terjadinya suatu peristiwa hukum dalam hal perbuatan hukum di dalam suatu Negara tersebut. Peristiwa hukum yang dimaksud dapat diartikan sebagai suatu perjanjian. Setiap perjanjian harus mempunyai jaminan dalam perwujudan hak dan kewajiban para pihaknya. Oleh karena itu asuransi berperan sebagai bentuk penjaminan atau pertanggungan terhadap ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Dalam hal perjanjian merupakan syarat mutlak terjadinya peristiwa hukum.

Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak dijumpai perbuatan curang (melawan hukum) dalam perjanjian asuransi. Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuhi delik perbuatan pidana. Adapun yang menjadi cakupan tindak pidana di bidang asuransi yaitu meliputi tindak pidana asuransi gelap, tindak pidana penggelapan kekayaan perusahaan asuransi, tindak pidana pemalsuan dokumen asuransi, tindak pidana penggelapan premi asuransi dan tindak pidana penipuan asuransi. Tindak-tindak pidana tersebut merupakan beberapa tindak tertentu yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), hanya saja objeknyabersifat khusus, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan usaha perasuransian, karena itu lahirlah suatu Undang-undang No. 40 Tahun 2014 tentang usaha perasuransian. Hal-hal terkait dengan usaha perasuransian seperti premi asuransi, kekayaan perusahaan asuransi dan dokumen perusahaan asuransi merupakan hal-hal khusus yang ditambahkan pada tindak pidana umum seperti penggelapan, penipuan, ataupun pemalsuan yang


(13)

terdapat dalam KUHP. Hal ini berarti undang-undang asuransi selain memuat Hukum Pidana Administratif juga merupakan sebagai Hukum Pidana Khusus. Alasan memilih judul tersebut dikarenakan kurangnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut penegakan hukum terkait tindak pidana penggelapan asuransi yang dilakukan. Seperti pada Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Terdakwa, Maria Rina Chrissanty Sinaga, Tempat Lahir, Medan Umur/Tgl. Lahir 29 Tahun / 15 Desember 1983, Jenis Kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Kiwi XVI No. 410 Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang / Jl. Kiwi Raya No. 183 Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Agama Kristen Katholik, Pekerjaan, Eks Pegawai BAS BNI Life Medan, Pendidikan SMU.

Berdasarkan latar belakang di atas maka, tertarik memilih judul Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah

1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana penggelapan asuransi

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn


(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana pengelapan asuransi

b. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn 2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :

1) Memberikan sumbangsih terhadap perkembangan hukum di Indonesia, khususnya mengenaipenerapan hukum materiil dalam tindak pidana penggelapan uang khususnya pada nasabah bank.

2) Menambah bahan referensi bagi penulis dan mahasiswa fakultas hukum dalam menambah pengetahuan tentang ilmu hukum.

b. Manfaat praktis

1) Menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum terhadap kejahatan penggelapan uang di Indonesia khususnya di Medan.


(15)

2) Menjadi salah satu bahan informasi atau masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi.

Skripsi ini asli ditulis dan diproses melalui pemikiran, referensi dari peraturan-peraturan, buku-buku, kamus hukum, internet, bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam bidangnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentukan undang-undang Indonesia telah menggunakan perkataan

"strafbaar feir' untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai "tindak pidana" di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang Sebenarnya dimaksud dengan perkataan "straafbaar teit" tersebut. Perkataan "fier” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti "perbuatan" sedangkan "strafbaar" berarti "dapat


(16)

dihukum", sehingga secara harfiah perkataan "strafbaar fief ' dapat diterjemahkan sebagai "sebagian dari suatu perbuatan yang dapat dihukum"5

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar

diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feir yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Pengertian tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaar feir dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.6

Moeljatno merumuskan istilah strafbaar feit menjadi istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.7

Berdasarkan uraian di atas, berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh manusia, baik dengan melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan ataupun tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana

5

Lamintang P.A.F, Dasar –Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: CitraAditya, 1997, hal 181

6

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012, hal 20

7

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 59.


(17)

2. Tindak Pidana Penggelapan

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 Pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."8

Kejahatan ini dinamakan “Penggelapan Biasa” dalam kejahatan

penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah berada ditangan sipelaku dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya.

Sebagai contoh penggelapan biasa seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya dan uang hasil penjualannya dihabiskan. Mendekati pengertian bahwa tindak tesebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda tersebut.

Jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHPidana, antara lain:

8

Aprian,Dony.2013.(http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857185/redirect). (diakses tanggal 21 April 2015).


(18)

a. Tindak pidana verduistering yang diatur dalam Pasal 321 Wetboek van Strafrecht yang rumusannya ternyata sama dengan rumusan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHPidana merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum suatu

benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya

sembilan ratus rupiah”.

Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Tindak pidana penggelapan (verduistering) dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 372 KUHPidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subjektif : dengan sengaja b. Unsur objektif :

1) Barangsiapa

2) Menguasai secara melawan hukum 3) Suatu benda

4) Sebagian atau seluruh

5) Berada padanya bukan karena kejahatan.

Unsur opzettelijke atau dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana ataupun yang melekat pada diri pelakunya oleh sebab itu unsur


(19)

yang dengan sendirinya unsur tersebut harus didakwakan terhadap seorang terdakwa yang juga harus dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa.

b. Tindak Pidana “Penggelapan Berat”

Tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana, yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yakni:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang atas benda yang berada padanya karena hubungan kerja pribadinya atau karena pekerjaannya atau karena mendapat imbalan uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

lima tahun”.

Tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu gequlificeerde verduistering atau sebagai suatu penggelapan dengan kualifikasi tindak pidana dengan unsur-unsur yang memberatkan.

Unsur yang memberatkan sebagaimana dimaksud ialah karena tindak pidana penggelapan telah dilakukan atas benda yang berada pada pelaku:

a. Karena hubungan kerja pribadinya b. Karena pekerjaannya

c. Karena mendapat imbalan uang

Di dalam yuriprudensi tetap pernah disebut sebagai orang yang melakukan penggelapan atas benda yang ada padanya karena hubungan kerja pribadinya itu antara lain anggota-anggota pengurus Perseroan Terbatas (PT). Perlu diketahui bahwa kata-kata personlijke dienstbetrekking ataupun telah diterjemahkan dalam


(20)

kata-kata hubungan kerja pribadi dan yang secara material artinya hubungan kerja yang timbul karena perjanjian kerja itu oleh para penerjemah Wetboek van Strafrecht dan oleh para Penulis telah diartikan secara berbeda-beda, yakni ada yang mengartikan sebagai jabatannya atau berhubungan dengan pekerjaannya.9

Jika kata-kata personlijke dienstbetrekking harus diartikan sebagai hubungan kerja pada umumnya, sudah barang tentu pemberian arti seperti itu tidaklah benar karena hubungan kerja dapat saja timbul karena adanya ikatan dinas, dimana seseorang dapat diangkat secara sepihak oleh kekuasaan umum untuk menduduki suatu jabatan tertentu, sedangkan kata-kata hubungan kerja pribadi menujukkan bahwa penunjukan tentang jenis pekerjaan yang perlu dilakukan atau penentuan tentang besarnya imbalan yang akan diterima oleh pihak yang satu itu tidak ditentukan secara sepihak oleh pihak lain, melainkan diperjanjikan didalam suatu perjanjian kerja.

Kiranya sudah jelas bahwa yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana bukan masalah tindak pidana penggelapan yang dilakukan dalam jabatan seperti yang dimaksudkan diatas, melainkan hanya tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh perilaku dalam fungsi-fungsi tertentu.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan

Dari rumusan penggelapan tesebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda (eenig goed), yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya

9


(21)

bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederechtelijk).10

a. Unsur Objektif

1. Perbuatan memiliki

(Zicht toe igenen) diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 25-2-1958 Nomor 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan zicht toe igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian ini, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu. Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada bedanya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini adalah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan memiliki unsur objektif yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena sekedar dituju oleh unsur kensengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku berupa unsur objektif maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan

10

Dadangsumarnash.blogspot.com/2011/01/tidak-pidana-penggelapan-372.html (diakses tanggal 1 Juli 2015)


(22)

memiliki misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.

2. Unsur objek kejahatan (sebuah benda)

Benda yang menjadi objek penggelapan tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, hanya terdapat benda-benda berwujud dan bergerak saja dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti penggelapan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas.

Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan tetapi merupakan pencurian,karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dahulu. Lain dengan isinya untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya. Ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan


(23)

perbuatan lain yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan atau memindahkan gas tersebut.

3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan milik petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban atau orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri.

4. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Ada dua unsur yakni berada dalam kekuasaannya dan bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaaanya seperti yang telah disinggung diatas, suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dahulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan seperti menjual, menghibahkan, menukarnya dan sebagainya tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung).


(24)

b. Unsur Subjektif

1) Unsur kesengajaan

Dalam Crimineel Wetboek (KUHPidana) dicantumkan: “Kesengajaan

adalah kemauan untuk melakukn atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”11 Rumusan “sengaja” pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya

rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu “perkataan”, misalnya perkataan “memaksa”.

2) Unsur Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP

Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan

itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang12

3) Unsur Melawan Hukum

Dalam bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk berasal dari kata weder = bertentangan dengan atau melawan; recht = hukum jadi

wederrechtelijk adalah bertentangan dengan hukum atau melawan

11

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hal.156

12


(25)

hukum.13 . Untuk menjatuhkan suatu pidana, unsur-unsur tindak pidana pada suatu pasal harus dipenuhi. Salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah sifat melawan hukum baik secara eksplisit maupun secara implist diatur dalam suatu pasal.14 Ajaran melawan hukum dalam hukum pidana berdasarkan doktrin dibedakan menjadi dua yaitu ajaran sifat melawan hukum formil dan ajaran sifat melawan hukum materiil.

4. Pengertian Asuransi

Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut ”Verzekering” atau juga berarti pertanggungan. Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHDagang) adalah: ”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang

mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu” Pengertian Asuransi sebagaimana tercantum di dalam Buku Kesatu Bab IX Pasal 246 KUHDagang adalah sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang

13

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.65 14


(26)

diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.

H.M.N Purwosutjipto, memberikan definisi atau pengertian asuransi sejumlah uang sebagai berikut : ”Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar sejumlah premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan kepada penikmat dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.15

Pengertian asuransi menurut Pasal 246 KUHDagang semata-mata mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena secara historis ketentuan-ketentuan dalam KUHDagang kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi kerugian, di mana pada saat itu (tahun 1847) merupakan asuransi yang paling lengkap peraturannya.

Pada tanggal 11 Februari 2014 pemerintah mengatur asuransi secara spesifik dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (selanjutnya disebut UU Perasuransian), istilah asuransi menurut Pasal 1 angka (1) adalah : Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau

15

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995 hal.10


(27)

tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh, mengumpulkan serta menganalisa setiap data maupun informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar skripsi mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten, adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.16 2. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif, dengan cara menganalisis bahan hukum secara komprehensif baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang diperoleh selama melakukan penelitian. Selain itu juga dilakukan secara deskriptif yaitu penulis berkeinginan untuk

16

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 1.


(28)

memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi.17

3. Sifat penelitian

Sifat penelitian dari skripsi ini lebih mengarah kepada sifat penelitian

deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum, penelitian deskriptif bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran secara tepat mengenai penegakan hukum terhadap kasus pengelapan premi asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn). Sifat dalam penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriptif dikarenakan sudah terdapatnya ketentuan peraturan perundang-undangan, literatur maupun jurnal yang cukup memadai mengenai permasalahan yang diangkat.

4. Data dan sumber data

Data maupun sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, antara lain sebagai berikut:

a. Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data pimer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.

17

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 36.


(29)

b. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrument hukum nasional, terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

Perasuransian jo Undang Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain: pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum yang membahas mengenai penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi (analisis putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn).

3) Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.


(30)

5. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan dan teknik wawancara. Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, karena penelitian hukum selalu berawal dari premis atau pernyataan normatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan peneliti.

6. Analisis data

Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal dua model analisis yakni, analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum empiris dengan jenis pendekatan penelitian deskriptif, maka teknis analisis data yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah teknis analisis data kualitatif atau disebut deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema, diketagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan


(31)

analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI

TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGELAPAN ASURANSI

Bab ini berisikan tentang Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi, Proses Penyidikan Tindak Pidana Pengelapan Asuransi dan Tindak Pidana Penggelapan Asuransi


(32)

BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI

Bab ini berisikan Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Asuransi, Penegakan Hukum terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi yang terdiri dari Kasus Posisi, Fakta, Dakwaan, Tuntuntan, Putusan Hakim dan Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya guna.


(33)

BAB II

PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI

A. Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi

Dalam dunia perasuransian, penyebutan kata ‘klaim’ menjadi sesuatu yang

sensitif. Sering didengar istilah ‘klaim’ yang dapat berarti ‘pergantian risiko’. Dalam asuransi jiwa, klaim mencakup beberapa hal. Dapat mengajukan klaim ketika Anda rawat inap di Rumah Sakit, mengalami cacat tetap total (yang disebabkan oleh sakit kritis terlebih dahulu, kecelakaan, maupun tidak), penyakit kritis, kecelakaan yang disertai meninggal, dan meninggal dunia.18

Jenis-jenis klaim dan syarat-syaratnya :

1. Rawat Inap di Rumah Sakit

Jika terjadi Rawat inap, maka dokumen yang diperlukan untuk pengajuan klaim adalah sebagai berikut :

a. Formulir Klaim karena kecelakaan yang ditandatangani oleh Pemegang Polis atau Penerima Manfaat sesuai Tanda Tangan pada SPAJ.

b. Surat keterangan Dokter.

c. Fotokopi seluruh hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi (jika ada). d. Kwitansi asli berikut rinciannya (PHS) atau kwitansi yang dilegalisir

(PRU Med) dari RS.

e. Fotokopi Kartu Identitas Pemegang Polis.

f. dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh Asuransi.

18

https://kenapaasuransi.wordpress.com/prosedur-pengajuan-klaim/ (diakses tanggal 11 April 2015)


(34)

2. Cacat Total dan Tetap

Jika terjadi keadaan cacat tetap total baik yang diakibatkan oleh kecelakaan, pasca penyakit kritis, maka dokumen yang perlu disiapkan untuk pengajuan klaim adalah :

a. Formulir Klaim Cacat Total dan tetap yang ditandatangani Pemegang Polis sesuai dengan tanda tangan SPAJ.

b. Surat keterangan Dokter Klaim Cacat Total dan Tetap (TPD).

c. Fotokopi seluruh hasil pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi (jika ada).

d. Surat Berita Acara Kepolisian Asli untuk cacat yang disebabkan oleh kecelakaan dan melibatkan pihak kepolisian.

e. Fotokopi Kartu Identitas Pemegang Polis.

f. dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh Asuransi. 3. Penyakit Kritis

Jika penyakit kritis tiba-tiba menyerang Anda, maka dokumen yang diperlukan untuk pengajuan klaim adalah :

a. Formulir Klaim Penyakit Kritis yang ditandatangani oleh Pemegang Polis atau Penerima Manfaat sesuai Tanda Tangan pada SPAJ.

b. Surat Keterangan Dokter Penyakit kritis yang sesuai dengan penyakit kritisnya.

c. Fotokopi seluruh hasil pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi. d. Fotokopi Kartu Identitas Pemegang Polis.


(35)

4. Kecelakaan yang disertai keadaan Meninggal

Jika terjadi Kecelakaan yang disertai dengan keadaan meninggal, maka Anda sebagai kerabat dekat si pemilik polis akan mengajukan manfaat asuransi Pru PADD (Personal Accident Death and Disablement). Dalam hal, ini, jika si pemilik polis mendapatkan kecelakaan dan kemudian meninggal, maka syarat-syarat yang harus diajukan terkait pengajuan klaim adalah :

a. Formulir Klaim karena Kecelakaan yang ditandatangani oleh Pemegang Polis atau Penerima Manfaat sesuai Tanda Tangan pada SPAJ.

b. Surat Keterangan Dokter Klaim Meninggal.

c. Surat Keterangan Meninggal dari Dokter/ RS dan Pemerintah setempat. d. Fotokopi seluruh hasil pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi. e. Fotokopi KTP/bukti kenal diri dari Penerima manfaat.

f. Surat Berita Acara Kepolisian Asli jika meninggal karena kecelakaan. g. Fotokopi Surat Perubahan Nama Tertanggung dan Penerima Manfaat (jika

ada).

h. Polis Asli dan Dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh asuransi. 5. Meninggal Dunia

Jika terjadi keadaan meninggal dunia bagi si pemilik polis, maka sama seperti pada keadaan kecelakaan yang menyebabkan meninggal, maka Anda sebagai kerabat dekat akan membantu proses pengajuan klaim ini.

Dalam hal ini, dokumen-dokumen yang harus Anda siapkan meliputi : a. Formulir Klaim Meninggal karena Kecelakaan yang ditandatangani oleh


(36)

b. Surat Keterangan Dokter Klaim Meninggal.

c. Fotokopi seluruh hasil pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi. d. Fotokopi KTP/bukti kenal diri dari Penerima manfaat.

e. Surat Keterangan Meninggal dari Dokter/ RS.

f. Surat Keterangan Meninggal dari Pemerintah setempat.

g. Fotokopi Surat Perubahan Nama Tertanggung dan Penerima Manfaat (jika ada).

h. Surat Keterangan Kepolisian (BAP) asli jika tertanggung meninggal karena kecelakaan.

i. Polis Asli, dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh Asuransi. Jadi, jika ingin mengajukan klaim sesuai dengan kondisi yang terjadi, orang pertama yang hubungi adalah Agen Asuransi yang menjual Manfaat Asuransi kepada Anda. Jika misalkan Agen Asuransi Anda sedang berada di luar kota atau luar negeri, janganlah cemas. Anda bisa langsung menghubungi nomor telepon Manager Agen Anda di Polis. Atau, Anda juga dapat menghubungi perusahaan asuransi tersebut. Anda bisa melihat nomor kontak perusahaan di Polis yang Anda miliki. Seringkali perusahaan asuransi memiliki beberapa orang yang dipekerjakan di Rumah Sakit untuk membantu nasabah-nasabah asuransi dalam pengajuan klaim. Ada juga beberapa Agen Asuransi yang sudah berkomitmen dengan temannya untuk membantu pengajuan klaim jika salah satu dari mereka sedang dalam keadaan darurat. (Dalam hal ini Agen Asuransi Anda membawa seorang teman yang berprofesi sebagai Agen Asuransi juga untuk menyatakan


(37)

bahwa jika saya tidak bisa, maka ia akan menggantikan tugas dan tanggung jawab saya).

B. Proses Penyidikan Tindak Pidana Penggelapan Asuransi

Langkah- langkah yang diambil Penyidik dalam mengungkap tindak pidana penggelapan di bidang asuransi yang terjadi, adalah sebagai berikut:

1. Adanya laporan dari masyarakat 2. Identifikasi perkara dari penyidik

3. Menindaklanjuti laporan, apabila: a. Kasus Pidana

b. Adanya alat bukti yang cukup 4. Membuat pemberkasan tahap penyidikan

Apabila kelengkapan administrasi sudah dipenuhi, maka penyidik dapat langsung melakukan proses penyidikan. Pertama-tama penyidik menuju ke TKP, tindakan yang dilakukan penyidik di TKP adalah untuk mencari keterangan, petunjuk, identitas tersangka dan korban maupun saksi untuk kepentingan penyidikan selanjutnya, serta mengumpulkan bukti-bukti baik di tempat kejadian perkara maupun di tempat lain yang memungkin ditemukannya bukti-bukti lain sehingga membuat terang suatu tindak pidana penipuan di bidang asuransi yang sedang terjadi.


(38)

Berdasarkan Pasal 39 KUHAP mengenai denda sitaan, maka alat bukti yang bisa ditemukan dan dapat dikenakan penyitaan dalam proses penyidikan tindak pidana penipuan di bidang asuransi adalah:

a. Surat keterangan dokter b. Surat rekam medis

c. Bukti pengajuan klaim asuransi d. Bukti pencairan dana klaim asuransi e. Uang hasil pengajuan klaim asuransi

Setelah dilakukan pemeriksaan dan diketahui telah terjadi tindak pidana penipuan di bidang asuransi, maka penyidik segera melakukan proses penyidikan selanjutnya, yaitu penangkapan dan penahanan terhadap pelaku, penggeledahan, serta penyitaan barang bukti.

Adanya tindakan dari pihak tersangka yang beritikad untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban dan persetujuan dari pihak korban dalam hal ini pihak perusahaan asuransi untuk menghentikan penyidikan, maka penyidik beranggapan bahwa kasus tersebut patut untuk dihentikan. Selain itu penyidik beranggapan bahawa penyelesaian perkara tidak harus masuk ke meja hijau, dan penyidik juga menggunakan asas keadilan sebagai dasar dibuatnya surat perintah menghentikan penyidikan.

Tindakan ganti kerugian yang dilakukan sebagai pelaku tindak pidana penipuan di bidang asuransi terhadap korban yakni, pihak asuransi merupakan tindakan penyelesaian perkara melalui jalur mediasi penal. Jalur mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan


(39)

yang lazim diterapkan terhadap perkara perdata. Mediasi penal biasa digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak pidana ringan lainnya termasuk tindak pidana penipuan di bidang asuransi. Namun seiring perkembangan zaman dan kebutuhan korban, mediasi penal juga digunakan untuk menyelesaikan tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan. Berdasarkan serangkaian tindakan yang telah dilakukan penyidik mulai dari proses penyelidikan hingga proses penahanan tersangka tindak pidana penipuan di bidang asuransi, dapat disebutkan bahwa pelaksanaan penyidikan tindak pidana penggelapan di bidang asuransi terhadap pengajuan klaim asuransi tidak berjalan optimal. Hal ini karena penerapan SP3 yang dilakukan oleh penyidik dalam menyelesaikan kasus tersebut juga tidak sesuai dengan alasan-alasan limitatif yang telah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Selain itu terdapat beberapa kendala yang dialami penyelidik selama proses penyidikan.19

C. Tindak Pidana Penggelapan Asuransi

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam dan situasi yang tertentu oleh undang undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya.20

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 Pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP,

19

Auliaarahmi.Blogspot.Com/2014_05_01_Archive.Html (diakses tanggal 21 April 2015)

20

Asa-Keadilan.Blogspot.Com/2014/12/Tindak-Pidana-Bidang-Perasuransian_29.Html


(40)

merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."21 Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur ‘menggelapkan’ dalam Undang

-Undang Asuransi harus ditafsirkan sebagai ‘penggelapan’ dalam KUHP. Pasal 21

ayat (2) Undang-Undang Asuransi menentukan:

Berdasarkan kedua ketentuan di atas, bagian inti atau unsur-unsur tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah:

1. dengan sengaja dan melawan hukum;

2. memiliki premi asuransi yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;

3. yang ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.

Tindak pidana bidang perasuransian, adalah serangkaian perbuatan terlarang oleh undang undang, dalam kaitan dengan kegiatan perasuransian, yang karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman berupa penjara maupun denda bahkan perampasan

21

Aprian,Dony.2013.(http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857185/redirect). (28 Juni 2015)


(41)

kekayaan, Sedangkan Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak (perusahaan asuransi dan pemegang polis) yang menjadi dasar bagi penerimaan premi sebagai imbalan untuk :

1. Memberikan penggantian kepada Tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita oleh tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya sesuatu peristiwa yang tidak pasti, atau

2. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada Meninggalnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada Hidupnya Tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Selanjutnya bahwa Obyek Asuransi adalah meliputi Jiwa dan Raga serta Kesehatan Manusia, Tanggungjawab Hukum, Benda dan Jasa serta Kepentingan lainnya yang dapat Hilang, rusak, Rugi dan atau berkurang Nilainya. Lebih lanjut bahwa Pemegang Polis adalah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian Asuransi untuk memperoleh manfaat perlindungan atau resiko bagi dirinya, dan bagi Tertanggung. Sedangkan Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi itu sendiri.

Sasaran pokok ketentuan larangan atau pidana dalam bidang perasuransian tsb, adalah terutama terhadap pelaku penyelenggara atau pelaksana badan usaha perasuransian maupun Nasabah (calon pemegang polis atau calon tertanggung), tanpa membedakan antara perseorangan dengan badan usaha atau koorporasi


(42)

dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak maupun kewajiban dihadapan hukum, Sedangkan fungsinya adalah selain untuk mewujudkan Kepatuhan terhadap hukum juga untuk melaksanakan Etika dalam arti seluas luasnya.

Ketentuan tentang tindak pidana di bidang Asuransi terdapat dalam Pasal 73 Sampai dengan Pasal 82, Undang Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah sebagai berikut :

Pasal 73

(1) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha asuransi syariah, Usaha Reasuransi, atau Usaha Reasuransi Syariah tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usa ha Pialang Reasuransi tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ta hu n d a n pida na d en da pa ling ba nya k Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Tiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi

tanpa izin usaha sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Rumusan kejahatan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : a. perbuatan menyesatkan, adalah perbuatan yang ditujukan pada orang, dalam

hal ini penanggung dari perbuatan mana menimbulkan pesan atau gambaran yang lain dari keadaan yang sebenaranya.

b. caranya dengan tipu muslihat, c. pada penanggung asuransi,

d. mengenai keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan itu, e. sehingga menyetujui perjanjian,


(43)

f. perjanjian mana : (a) tidak akan dibuat, dan atau (b) setidak-tidaknya tidak dengan syarat yang demikian, apabila keadaan yang sebenarnya diketahui.

Pasal 382 KUHP, yang menyatakan: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atas kerugian menanggung asuransi atau pemegang surat bodemerij yang sah, menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu benda yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran; atau mengaramkan, mendamparkan, menghancurkan, merusakkan, atau membikin tidak dapat dipakai, kapal yang dipertanggungkan, atau yang muatannya, maupun upah yang diterima unsur pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan, atau yang atasnya telah diterima uang bodemerij diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Unsur-unsur dari Pasal 382 adalah sebagai berikut: a. Unsur obyektif:

1. Perbuatan: (a) menimbulkan kebakaran (b) ledakan (c) mengaramkan (d) mendamparkan (e) menghancurkan (f) merusakkan (membikin tidak dapat dipakai)

2. Menimbulkan kerugian pagi penanggung atau pemegang surat bodemerij 3. Obyeknya: (a) benda yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran

(b) kapal yang dipertanggungkan, kapal yang muatannya dipertanggungkan, kapal yang upah untuk pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan

4. Kapal-kapal tersebut yang atasnya telah diterima uang bodemerij b. Unsur subyektif:

1. maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain 2. dengan melawan hukum

Pasal 74

(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,


(44)

anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan informasi, data, dan/atau dokumen k epa da pi ha k ya ng berk ep enti nga n se ba ga ima na dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 46 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 75

Setia p O ra ng ya ng d en ga n s e nga ja tida k me mb erik a n informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 76

Setiap Orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 77

Setiap orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset a tau menu ru nk a n nila i a set P eru s a ha a n A su ra nsi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 78

Setiap Orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana


(45)

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 79

Anggota direksi dan/atau pihak yang menandatangani polis baru dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 80

Setiap Orang, yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keu a nga n, ya ng me ng gu na k a n a tau mengu n gk a pk a n informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan we w ena n gn ya b erda sa rk a n k epu tu sa n O torita s J a sa Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 81

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, atau Pasal 80 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali, dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

(2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana:

a. Dilakukan atau diperintahkan oleh Pengendali dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi

perintah; dan

d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Pasal 82

Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp. 600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah). Industri asuransi hampir seluruhnya berdasarkan nilai saving atau nilai anuitas yang terhitung sejak Nasabah mengikuti program atau produk asuransi, sehingga dalam waktu tertentu , setiap Polisnya telah memiliki Nilai Tunai yang dijadikan dasar perhitungan (aktuaria) terhadap resiko pembayaran klaim Jika terjadi resiko yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Asuransi (Polis), dengan sejumlah variasi yang ditentukan semacam rasio (index) yang berlaku bagi calon Tertanggung yang hidup terlama berbanding dengan Tertanggung yang berusia singkat, berikut perbandingan antara premi yang terhimpun dengan klaim pembayaran resiko yang akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi.


(46)

BAB III

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI

A. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Asuransi

Tindak pidana penggelapan premi asuransi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian22 tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum di atur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti (bestanddeel) "menggelapkan" tersebut. Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur "menggelapkan" dalam Undang-Undang Asuransi, harus ditafsirkan sebagai "penggelapan" dalam KUHP. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi menentukan: "Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,-(dua milyar lima ratus juta rupiah)”

Pasal 372 KUHP menentukan: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Berdasarkan dua ketentuan tersebut bagian inti atau unsur-unsur tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah:

22


(47)

1. Dengan sengaja dan melawan hukum;

2. Memiliki premi asuransi yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;

3. Yang ada padanya bukan karena kejahatan.

Dengan demikian, ketika seseorang didakwa melakukan tindak pidana pengelapan premi asuransi, pada hakekatnya Penuntut Umum harus dapat membuktikan keseluruhan bestanddeelen atau unsur-unsur tersebut. Secara teknis penuntutan, dalam Surat Dakwaan selain harus disebutkan bahwa terdakwa melanggar Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Asuransi, juga ditambahkan bahwa perbuatannya tersebut melanggar Pasal 372 KUHP (Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 jo Pasal 372 KUHP).

Address at tindak pidana penggelapan premi asuransi sementara itu mengenai idiom "barang siapa" bukanlah bagian inti atau unsur suatu tindak pidana, sekalipun praktek hukum kerap kali memasukkannya sebagai unsur suatu tindak pidana. Idiom "barang siapa" merujuk kepada addres at suatu tindak pidana, yaitu siapakah yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana. Idiom `barang siapa" disini hanya merupakan penegasan tentang subyek dari suatu tindak pidana. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang adalah "barang siapa" sebagaimana dimaksud dalam rumusan tindak pidana, tergantung dari jawaban apakah seseorang tersebut adalah subyek hukum yang dituju oleh norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang memuat suatu tindak pidana. Untuk itu, diperlukan suatu tinjauan secara


(48)

komprensif terhadap suatu perundangan-undangan, apakah seseorang adalah orang yang dimaksud dengan larangan atas tindak pidana itu. 23

Dengan kata lain, perlu pengkajian yang komprensif tentang suatu perundang-undangan, sehingga dapat dikenali dengan tepat subyek hukum yang dituju dari padanya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana asuransi. Hal ini menyebabkan harus diadakan pengkajian sejarah perundang-undangan asuransi yang dengan hal itu dapat diketahui siapakah yang dituju dari norma hukum pidana yang terdapat dalam undang undang tersebut. Pengertian "barang siapa" dalam rumusan tindak pidana asuransi bukan hanya ditujukan "siapa saja, setiap orang dapat menjadi pelaku tindak pidana". Tetapi lebih jauh lagi apakah seseorang tersebut adalah orang yang memang dengan tepat dituju oleh Undang-Undang Asuransi.

Untuk mendapat gambaran tentang address at suatu tindak pidana dapat juga dilakukan dengan melihat hal ihwal kepentingan yang hendak dilindungi oleh norma-norma hukum pidana itu. Adalah suatu keharusan etis, jika suatu pembentuk undang-undang hendak menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, menggambarkan dengan jelas kepentingan apakah yang hendak dilindungi dalam hal ini. Dengan memahami dengan baik kepentingan apakah yang hendak dilindungi dengan melarang dan mengancam suatu perbuatan dengan pidana, maka dapat diketahui pula address at dari norma hukum tersebut.

Undang-Undang Asuransi adalah Undang-Undang Administratif, yang didalamnya memuat norma-norma yang sifatnya "mengatur" usaha perasuransian.

23


(49)

Dengan demikian, pertama-tama Undang-Undang Asuransi mengatur para pelaku usaha yang bergerak dibidang perasuransian untuk mentaati berbagai ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Asuransi pertama-tama ditujukan agar supaya norma hukum administratif yang terdapat dalam undang-undang tersebut ditaati oleh para pelaku usaha perasuransian. Hal ini juga dapat dipahami bahwa Undang-Undang Asuransi terutama diadakan untuk melindungi masyarakat dalam memanfaatkan jasa pelayanan usaha perasuransian. Terutama dari kegiatan usaha perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan hal di atas, rumusan tindak pidana penggelapan premi pada dasarnya ditujukan terhadap "setiap orang yang mempunyai keterkaitan dengan usaha perasuransian". Hal ini menyebabkan idiom "barang siapa" dalam rumusan tindak pidana penggelapan premi asuransi, tidak tepat apabila hanya ditafsirkan sebagai "setiap orang", tetapi sepanjang "setiap orang" tersebut terkait dengan usaha perasuransian.

Sehubungan dengan hal di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut: Apabila seseorang pembantu rumah tangga ditugaskan oleh majikannya untuk membayar premi asuransi jiwa majikannya tersebut ke Kantor Cabang PT Asuransi XL, tetapi uang tersebut tidak dibayarkan si pembantu melainkan digunakan untuk yang lain, maka perbuatan si pembatu rumah tangga tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai penggelapan premi asuransi. Melainkan hanya penggelapan biasa. Hal ini dikarenakan pembantu rumah tangga ini adalah subyek hukum yang tidak mempunyai kaitan dengan usaha perasuransian, sehingga


(50)

bukanlah "orang yang yang dituju oleh Undang-Undang Asuransi. Dengan kata lain, dalam kasus hipotetis ini si pembantu rumah tangga bukanlah "barang siapa"yang menjadi address at tindak pidana penggelapan asuransi. Sementara itu harus diingat, makna idiom "barang siapa" dalam Undang-Undang Asuransi bukan hanya terhadap orang perseorangan (natuural perroon), tetapi juga korporasi, baik badan hukum (recht per.roon) ataupun bukan badan hukum. Mengingat sangat kompleksnya tindak pidana dan pertanggungjawaban korporasi, maka mengenai hal ini akan kami bicarakan secara tersendiri.

2. Unsur "dengan sengaja dan melawan hukum"

Terdapat dua hal penting yang pada hakekatnya sangat berbeda satu dengan yang lain dalam bagian inti ini. Yaitu "dengan sengaja" yang dipisahkan dengan kata "dan" terhadap kata-kata "melawan hukum". Terhadap konstruksi demikian, sebenarnya masih berlaku aturan pokok yang dikenal dalam kepustakaan hukum pidana, yaitu "melihat kepada tempat disebutkannya perkataan "dengan sengaja" dalam ketentuan bersangkutan, sehingga "melawan hukum selalu harus dikuasai oleh "dengan sengaja".24 Artinya kesengajaan meliputi bagian inti atau unsur "melawan hukum" dan unsur-unsur lain yang disebutkan berikutnya. Ditambahkannya perkataan "dan" di antara "dengan sengaja" dan "melawan hukum, "menunjukkan pengobyektifan "melawan hukum" dari kesengajaan".25 Dalam hal ini, perkataan "melawan hukum" dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak

24

Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994), hal. 6

25


(51)

pidana tersebut sebenarnya secara normal dibolehkan, tetapi sebagai perkecualian dalam keadaan melawan hukum menjadi tidak boleh.

a. Tentang "dengan sengaja"

Kesengajaan adalah bentuk kesalahan, yaitu salah satu unsur yang menentukan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, kesengajaan (dan termasuk kealpaan) adalah syarat-syarat untuk mempertanggung jawabkan seseorang yang melakukan tindak pidana. Sementara itu, untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, terlebih dahulu dapat dipastikan yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk hal dapat dipertanggung jawabkannya orang melakukan perbuatan itu. Konsekuensi dari pandangan ini adalah pada dasarnya kesengajaan seharusnya tidak dimasukkan kedalam rumusan tindak pidana. Memang masalah kesengajaan diperlukan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Kesengajaan adalah bentuk ketercelaan yang umum atas suatu perbuatan. Pada dasarnya perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan pembuatnya. Hanya terhadap perbuatan-perbuatan tertentu yang dianggap penting yang sekalipun terjadi karena kealpaan pembuatnya, juga dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, kealpaan adalah bentuk ketercelaan yang khusus. Setelah menjadi dasar pertimbangan kriminalisasi, maka masalah kesengajaan disimpan sampai nanti ada orang dipertangungjawabakan atas tindak pidana tersebut.


(52)

Konsepsi sebagaimana tersebut di atas digunakan dalam Rancangan KUHP. Namun demikian berbeda halnya dengan KUHP yang sekarang ini masih berlaku. Perkataan "dengan sengaja" dan dengan berbagai variasinya dimasukkan dalam rumusan tindak pidana. Pencantuman kata-kata "dengan sengaja” dalam suatu rumusan tindak pidana karena harus dipahami bahwa hal itu dimaksudkan hanya untuk mempermudah penafsiran unsur-unsur berikutnya.

Dalam tindak pidana penggelapan asuransi, "dengan sengaja" berarti adanya "kesadaran" dan "pengetahuan" atau `purposely" and "knowingly" (willen en wetten) pada diri pelaku ketika melakukan perbuatan yang secara materil melawan hukum, yaitu memiliki premi asuransi yang ada padanya bukan karena kejahatan.26 Dengan demikian, dalam membuktikan adanya tindak pidana penggelapan asuransi, pertama-tama harus nyata bahwa pelaku dengan kesadaran dan pengetahuannya melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu, perbuatan melawan hukum tersebut ditujukan dengan kesadaran dan pengetahuannya pula untuk melakukan perbuatan pemilikan premi yang ada padanya bukan karena kejahatan.

b.Tentang "melawan hukum"

"Melawan hukum" selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana. Namun demikian, baru harus dibuktikan apabila menjadi bagian inti (be.rtanddee

dari tindak pidana yang didakwakan. Praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur "dengan melawan hukum". Pada awalnya, "melawan hukum" diartikan secara formil (bertentangan

26

George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 440.


(53)

dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser ke arah materil, yaitu selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Lebih jauh lagi, pergeseran selanjutnya, melawan hukum materil juga diartikan dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundangundangan (melawan hukum formil), tetapi sepanjang perbuatan terdakwa adalah "tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan", sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). 27

B. Penegakan Hukum terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi yang terdiri dari Kasus Posisi, Fakta, Dakwaan, Tuntuntan, Putusan Hakim dan Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn

1. Kasus Posisi

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Terdakwa:

Nama Lengkap : MARIA RINA CHRISSANTY SINAGA

Tempat Lahir : Medan

Umur/Tgl. Lahir : 29 Tahun / 15 Desember 1983

27

Komariah E. Sapardjaja Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 225-226.


(1)

(proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, artinya bukan saja lembaga perbankan dan asuransi, tetapi juga penyedia jasa keuangan lainnya sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1 ke 5 UU TPPU yang menyebutkan penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kostodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.

Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas namakan rang lain sipelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari perbuatan pencucian uang. Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta


(2)

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,-(lima belas milyar rupiah)”.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

B. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh bab hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana pengelapan asuransi klaim asuransi terkait tindak pidana penggelapan di bidang asuransi pada Pasal 372 KUHP yang dinyatakan Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dan Pasal 374 KUHP: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.


(4)

atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti "menggelapkan" tersebut. Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur "menggelapkan" dalam Undang-Undang Asuransi, harus ditafsirkan sebagai "penggelapan" dalam KUHP.

C. Saran

Dari kesimpulan tersebut di atas dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat melakukan penyempurnaan Pasal-Pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan terkait tindak pidana pengelapan di bidang asuransi, khususnya tindak pidana penipuan di bidang asuransi yang dilakukan oleh pihak tertanggung terhadap pihak perusahaan asuransi sebagai penanggung risiko.

2. Bagi masyarakat, dapat secara cermat mengetahui sanksi yang akan diterima apabila terbukti melakukan kejahatan pengajuan klaim asuransi dengan cara tipu muslihat, agar tidak terjadi pelanggaran atas aturan hukum yang berlaku.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Fletcher, George P., Rethinking Criminal Law Oxford: Oxford University Press, 2000.

H. van Barneveld, Pengetahuan Umum Asuransi, terjemahan Noehar Moerasad, Jakarta: Bharata, 1980

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1:

Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995 Ilyas, Amir Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education

Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012.

Lamintang P.A.F, Dasar –Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: CitraAditya, 1997

Komariah E. Sapardjaja Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Runtukahu, Ernest, Tindak pidana penggelapan premi Asuransi serta penegakan hukumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Samratulangi, 2013, Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012.


(6)

Umam, Khotibul, Memahami & Memilih Produk Asuransi, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Jurnal

Rizqia Gita Astiriani, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pengajuan Klaim Suransi Terkait Dengan Tindak Pidana Penipuan Di Bidang Asuransi (Studi di Polrestabes Surabaya), Jurnal Ilmiah Subyek Hukum Ekonomi , 2013

D. Website

Saleh, Roeslan Masih Saja Tentang Kesalahan Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994 Dadangsumarnash.blogspot.com/2011/01/tidak-pidana-penggelapan-372.html (diakses tanggal 1 Juli 2015)

https://kenapaasuransi.wordpress.com/prosedur-pengajuan-klaim/ (diakses tanggal 11 April 2015)

Auliaarahmi.Blogspot.Com/2014_05_01_Archive.Html (diakses tanggal 21 April 2015)

Asa-Keadilan.Blogspot.Com/2014/12/Tindak-Pidana-Bidang-Perasuransian_29.Html (diakses tanggal 1 Mei 2015)

Aprian,Dony.2013.(http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857185/redirec t). (28 Juni 2015)