Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

(1)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR

( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan OLEH :

MEGAWATI NIM : 080200331

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR

( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn ) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan OLEH :

MEGAWATI NIM : 080200331

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan, SH., M.H NIP : 195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

M. Nuh, SH., M. Hum Berlin Nainggolan, SH., M. Hum Nip : 130810667 Nip : 131572434

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmatanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun tujuan dari penulisan skrpisi adalah untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar sarjana Hukum. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )”.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk halangan yang harus dihadapi, dan akhirnya penulis dapat melewatinya, sehingga penulisan skripsi berhasil diselesaikan. Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan serta bahan-bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk mencapai kesempurnaan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan bagi semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan di Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I di Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak syafrudin Hasibuan, SH., M.H., DFM., selaku pembantu Dekan II di Fakultas Hukum USU Medan.

4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.H., selaku Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

7. Bapak M. Nuh, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, terima kasih untuk semua waktu yang bapak berikan kepada saya.

8. Bapak Berlin Nainggolan, SH., M.Hum., selaku Dosen pembinbing II, terima kasih untuk semua waktu, nasehat dan ilmu yang bapak berikan kepada saya serta penuh kesabaran membimbing saya mulai dari awal penulisan skripsi sampai dengan selesainya skripsi ini.

9. Ibu Yefrizawati, SH., M.Hum., selaku Dosen wali penulis selama penulis mengikuti perkuliahan dan yang telah banyak memberi dorongan dan nasehat pedala penulis.

10.Ibu dr. Rita Mawarni, SpF., selaku Dokter di RSU Adam Malik Medan. Terima kasih buat waktu yang diberikan kepada penulis serta bahan-bahan


(5)

yang telah ibu berikan sebagai penambah literatur dalam penulisan skripsi ini.

11.Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum USU Medan yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

12. Spesial ini semua penulis dedikasikan untuk kedua orangtua saya yang sangat saya banggakan. Ayah saya Surya Surbakti dan Ibu saya Nurlela br. Sembiring. Terimakasih untuk doa, dukungan dan cinta yang banyak sekali, kerja keras, pengorbanan, dan kasih sayang yang luar biasa yang penulis rasakan. Semangat ayah dan mama akan menjadi kebanggaan dan motivasi tersendiri untuk penulis.

13.Buat mama saya Pendi Sembiring, terimakasih atas doa dan dukungan mama selama ini yang telah membantu saya dalam memperoleh gelar Serjana Hukum.

14.Buat nenek dan kakek saya, terimakasih atas doa dan dukungan kalian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15.Buat Abang saya Briptu Sudirman Surbakti yang berjabat sebagai Brigadir Sipropam,terimakasih untuk kasih sayang, doa dan dukungan yang diberikan kepada adik selama ini.

16.Buat adik-adik saya Apriana br. Surbakti, Suhardi Surbakti, Supriyatto Surbakti dan Tika Pertiwi br.Surbakti. Terimaksih untuk doa dan dukungan yang diberikan kepada kakak dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada Adik saya Apriana br. Surbakti semoga menjadi dokter yang membanggakan bagi kedua orangtua kita.


(6)

17.Buat teman saya Hanna Mandela, Batara, Cristy dan Noni, terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

18.Buat teman-teman stambuk 2008, senang mengenal kalian semua : Tiwi, Misy, Nita, Icha, Oyn, Dwi, Danis, Dina, Iman, Pipin, Ester, dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan.

19.Buat Tim basket saya, senang kenal dengan kalian semua, kedua Coach saya Tema Loaly, Hansen Siahaan, dan teman-teman saya dalam tim Basket : Ka Vina, Ka Medo, Ka Xion, Ester, Sari, Tami, dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan.

20.Buat abang-abang dan kakak-kakak senior di fakultas Hukum USU.

21.Terimakasih juga buat seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara moral maupun dukungan kepada penulis.

Medan,...2012

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAKSI ...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...4

D. Keaslian Penulisan ...5

E. Tinjauan Pustaka ...6

F. Metode Penelitian ...12

G. Sistematika Penulisan ...13

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR ...15

A. Jenis dan Bentuk Visum Et Repertum ...17

1. Jenis-jenis Visum Et Repertum ...17

2. Bentuk dari Visum Et Repertum ...21

B. Kekuatan Pembuktian VER Menurut KUHAP ...24

C. Kedudukan atau Nilai VER Pada Tindak Pidana Pemerkosaan...29


(8)

D. Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Wanita yang

Belum Dewasa Merupakan Delik Aduan ...32

1. Orang yang berhak mengajukan Delik Aduan ...36

2. Jangka waktu dan mencabut Delik Aduan ...37

3. Beberapa Jenis Perkosaan ...38

4. Usaha Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan ...39

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI BAWAH UMUR ...43

A. Perlindungan Hukum terhadap korban menurut KUHAP dan UU No. 13 tahun 2006 ...44

1. Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana Perkosaan menurut KUHAP ...44

2. Perlindungan Hukum bagi korban tindak pidana Perkosaan menurut UU No.13 tahun 2006...52

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak (Korban) ditinjau dari UU No. 23 tahun 2002 ...55

C. Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku ditinjau dari KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 ...61

1. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku ditinjau dari KUHP ...61

2. Penerapan saksi pidana terhadap pelaku ditinjau dari UU No. 23 tahun 2002 ...67


(9)

1. Kasus posisi ...71

2. Analisis Kasus ...79

BAB IV PENUTUP ...84

A. Kesimpulan ...84

B. Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAKSI Megawati* M. Nuh, SH., M. Hum** Berlin Nainggolan, SH., M. Hum***

Di dalam skripsi ini ada 2 (dua) hal yang harus di bahas, yaitu : pertama, Bagaimana kekuatan pembuktian Visum Et Repertum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan di bawah umur; dan yang kedua, Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dibawah umur;. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap Undang-undang dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi dan melakukan analisis terhadap putusan pengadilan. Dan penulisan skripsi ini menggunakan data sekunder, yaitu data yang meliputi peraturan perundang-undangan,buku-buku, situs internet, dan makalah.

Kekuatan Pembuktian terhadap korban perkosaan dapat dilihat melalui visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter ahli Forensik atas permintaan penyidik, dimana didalam KUHAP visum et repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah dan yang pada dasarnya visum et repertum merupakan laporan tertulis dari seorang dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan sehingga dengan demikian visum et repertum dapat membantu penyidikan guna mengungkapkan suatu perkara pidana.

Tindak pidana perkosaan terhadap wanita di bawah umur diatur dalam Pasal 287 KUHP, dimana pasal ini memuat jika tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum mencapai usia 15 tahun tetapi telah berusia diatas 12 tahun, dan tidak mengakibatkan luka parah atau meninggal, maka peristiwa ini adalah delik aduan dan apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang berusia dibawah 12 tahun maka peristiwa itu adalah delik biasa.

Perlindungan terhadap korban diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, UU No. 13 tahun 2006 dan Perlindungan terhadap korban khususnya anak diatur pada undang No. 23 tahun 2002 yaitu Undang-undang perlindungan anak. Sedangkan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan jika dilihat pada Pasal 287 ayat (1) dan (2) KUHP, dimana didalam KUHP mengenal sistem ancaman hukuman maksimal dan tidak mengenal sistem ancaman hukuman minimal. Undang-undang No. 23 tahun 2002, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) dimana dalam Undang-undang ini mengenal sistem ancaman hukuman minimal dan ancaman hukuman maksimal.

Kata Kunci : Visum Et Repertum, dan Pemerkosaan.

*

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

**

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

***


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Lebih buruknya adalah salah satu dari pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah orang terdekat atau bahkan orang yang berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan seluruh norma yang ada, karena pemerkosaan dilakukan dalam suatu perbuatan yang memaksakan seseorang (perempuan) untuk bersetubuh diluar perkawinan/ didalam perkawinan. Bahkan pemerkosaan adalah puncak dari pelecehan seksual yang paling mengerikan yang bagi setiap perempuan adalah hal yang menakutkan dan tidak seorang perempuan pun yang menginginkannya. Tindak pidana pemerkosaan sering menimbulkan luka traumatik yang mendalam.

Berbagai kasus pemerkosaan yang sering terjadi, pelaku bukan hanya melakukan pemerkosaan, tetapi juga diikuti dengan tindak kejahatan lain seperti merampas barang si korban atau bahkan membunuh si korban, dan bagi korban tindak pidana pemerkosaan sesungguhnya adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih sekedar kehilangan harta benda. Perempuan korban pemerkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis, mereka juga akan memperoleh stigma sebagai korban dari masyarakat. Pada tindak kejahatan ini walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah diatur didalam KUHP tampaknya tidak terpikirkan oleh


(12)

sipelaku. Kesulitan utama yang sering muncul dalam kasus tindak pidana pemerkosaan biasanya adalah soal pembuktian diakui atau tidak, sebab pembuktian tindak pidana pemerkosaan dipengadilan sangatlah tergantung sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pemerkosaan.

Untuk mengungkap suatu kasus pemerkosaan pada tahap penyidikan akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Adanya peranan dokter dalam membantu penyidik dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pemerkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pemerkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.1

Permohonan visum et repertum pada kedokteran kehakiman dalam tindak pidana pemerkosaan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang, yang berhak meminta visum et repertum adalah Penyidik, hakim Pidana, Hakim Perdata dan

1

Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi kedua, Ramadhan, Medan, 2005, Hal. 207.


(13)

Hakim Agama.2

1. Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP :

Penulis dalam hal ini hanya menguraikan permohonan visun et repertum yang dilakukan oleh penyidik terhadap dokter ahli forensik. Yang berhak mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum menurut KUHAP antara lain :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

2. Pasal 120 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

3. Pasal 133 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

ketentuan Pasal-pasal diatas telah memberikan gambaran, bahwa yang dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah penyidik. Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya beguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Visum et repertum dengan

2


(14)

demikian tidaklah dibuat / diterbitkan untuk kepentingan lain, karena tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim ( Majelis ) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim.3

B.Permasalahan

1. Bagaimana kekuatan pembuktian Visum Et Repertum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan di bawah umur ?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dibawah umur ?

C.Tujuan dan Manfaat penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kekuatan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana pemerkosaan.

2. Untuk mengetahui kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti dalam mengungkap tindak pidana pemerkosaan.

3. Untuk mengetahui bahwa visum et repertum merupakan salah satu bagian dari alat bukti di dalam KUHAP.

3

Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara


(15)

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis, dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum dan pengetahuan tentang ilmu kedokteran forensik secara khusus.

2. Secara praktis, dengan adanya penulisan skripsi ini dapat mengetahui perkembangan dari ilmu kedokteran forensik dimana pada saat ini semakin dibutuhkan ahli-ahli bagian forensik dalam membantu meringankan tugas penyidik dalam memberikan keterangan medis yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan Visum et repertum.

D.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “ kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan di Bawah Umur (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Medan) ”. Judul skripsi ini telah terlebih dahulu penulis konfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Pidana Universitas Sumatera Utara dan belum ada penulis lain yang mengemukakan judul skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatatera Utara. Seandainya dikemudian hari terdapat judul skripsi yang sama atau telah


(16)

ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E.Tinjauan Pustaka

1) Pengertian Pembuktian

Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.4

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah :

“Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan subtansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana ”.5

Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal empat macam sistem atau teori pembuktian, antara lain :

6

a. Positief wettelijke Bewijs Theorie

Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jike telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali.

4

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984, Hal.77.

5

Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, 1990, Hal. 38.

6


(17)

b. Negatief wettelijke Bewijs Theorie

Sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-undang juga menggunakan keyakinan Hakim. Walaupun menggunakan keyakinan Hakim, namun keyakinan tersebut terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan Hakim maka teori pembuktian ini sering disebut dengan pembuktian berganda.

c. Conviction Intime

Teori pembuktian ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu. Pada sistem ini lebih memberikan kebebasan kepada Hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Artinya adalah jika dalam pertimbangan putusan Hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya, maka terdakwa dapat dijatuhi putusan. Keyakinan Hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan Hakim tersebut.

d. Laconviction Raisonnee

Menurut teori ini, Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada


(18)

peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya. 2) Pengertian Visum Et Repertum

Pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata “Visual” yaitu melihat dan “Repertum” yaitu melaporkan. Berarti, “apa yang dilihat dan ditemukan”, sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter ahli forensik yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian ( ahli ) secara tertulis, sebagaimana yang tertuang dalam bagian pemberitaan ( hasil pemeriksaan ).7

Pemakain istilah pada berbagai visum et repertum kadang berlainan, namun maksudya dapat dipahami, seperti : visum et repertum pertama bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair ( basah, kering ), tembakan senjata api dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba bunuh diri atau lainnya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap dirumah sakit. Kemudian dalam hal dibuatkan visum et repertum akhir ( penghabisan ) dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat dokter atau dokter ahli yang mengobati atau menanganinya semula.

7


(19)

3) Pengertian tindak pidana Pemerkosaan

Tindak pidana pemerkosaan di atur dalam Pasal 285 KUHP, Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan. Namun demikian ada Pasal-pasal lain yang dapat digunakan dalam menangkap pelaku tindak pidana pemerkosaan, yaitu Pasal 286 dan 287 KUHP. Pasal 285 KUHP sifatnya adalah pasal pokok untuk kasus pemerkosaan. Ketiga pasal tersebut mengandung unsur yang sama yaitu adanya persetubuhan diluar perkawinan. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut, antara lain :

1. Pasal 285 KUHP berbunyi :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya besetubuh dengan dia diluar pernikahan dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.

2. Pasal 286 KUHP berbunyi :

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.

3. Pasal 287 KUHP ayat 1 berbunyi :

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.


(20)

Pasal 287 ayat (2) KUHP : penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP.

Adapun perbedaan Pasal 285, dengan Pasal 286 dan Pasal 287 ayat (1) KUHP adalah bahwa yang menjadi objek atau korban pada Pasal 285 adalah wanita tanpa batas umur, sedangkan pada Pasal 286 yang menjadi objek atau korban adalah seorang wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dan yang menjadi objek pada Pasal 287 ayat (1) adalah KUHP adalah seorang wanita yang belum berumur 15 tahun atau belum waktunya kawin jika tidak jelas berapa umurnya.

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan “perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita kemudian mengeluarkan air mani”. Sedangkan P.A.F. Lamintang dan Djisman samosir berpendapat bahwa “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar ikatan perkawinan dengan dirinya”.8

8

Abdul wahab dan M. Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual ( Advokasi atas hak asasi perempuan ), Refika Aditama, Bandung, 2001, Hal. 41.


(21)

4) Pengertian Anak menurut UU No. 23 tahun 2002

Pengertian anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 1 angka (1) memberikan rumusan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan jika dilihat dari KUHPerdata memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 BW yang berbunyi : “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 ( dua puluh satu ) tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”. Dan jika dilihat dari KUHP ( kitab undang-undang hukum pidana ) usia maksimal tentang anak adalah berbeda-beda, antara lain :

a. Pasal 45 dan 72 KUHP menegaskan usia maksimal anak adalah 16 tahun. b. Pasal 283 KUHP, usia maksimal anak adalah 17 tahun.

c. Pasal 287-293, usia maksimal anak adalah 15 tahun. 5) Pengertian Perlindungan Anak

Pengertian perlindungan anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 1 angka (2) memberikan rumusan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan matabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dam memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan


(22)

penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan oleh penulis dalam membuat skripsi ini meliputi :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penulis melakukan penelitian terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dalam penyusunan skripsi ini dan melakukan analisis terhadap putusan pengadilan untuk melihat penerapannya dalam praktek.

2. Jenis dan sumber Data

Data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, putusan pengadilan dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Data yang ada dalam penulisan skripsi ini dikumpulkan melalui cara studi kepustakaan yang berarti mempelajari dan menganalisa buku-buku, peraturan perundang-undangan, serta putusan perkara nomor 1.351/pid.B/2011/PN.MDN, juga sumber-sumber bacaan lain ynag terkait dengan permasalahan dalam penulissan skripsi ini.


(23)

4. Analisis Data

Data yang diperoleh, dianalisis dengan metode kualitatif yang berarti dengan menganalisa data-data dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal ynag terkait dalam penulisan skripsi ini.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini adalah terbagi dalam beberapa Bab antara lain, sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari sub-sub bagian yang dimulai dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan di Bawah Umur

Pada bab ini penulis membahas tentang kekutan pembuktian visum et repertum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dibawah umur, yang terdiri dari sub-sub bagian yaitu : jenis-jenis dan bentuk susunan visum et repertum, kekuatan pembuktian visum et repertum menurut KUHAP, kedudukan atau nilai visum et repertum pada tindak pidana pemerkosaan, serta tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum dewasa merupakan Delik Aduan.

Bab III : Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur


(24)

Pada bab ini penulis akan membahas tentang perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerkosaan, yang terdiri dari beberapa bagian antara lain : perlindungan hukum terhadap anak ( korban ) menurut KUHAP dan UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan hukum terhadap anak ( korban ) yang ditinjau dari UU NO. 23 tahun 2002, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku ditinjau dari KUHP dan UU NO.23 Tahun 2002, serta di bab ini secara khusus akan mengalisa kasus yang diperoleh penulis dari Pengadilan Negeri Medan dengan memberikan uraian singkat tentang kasus pemerkosaan yang terjadi pada anak dibawah umur.

Bab IV : Penutup

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, dimana dalam bab ini penulis mengemukakan hal-hal yang dianggap penting dari pembahasan tentang permasalahan yang ada didalam skripsi ini, kemudian penulis memberikan saran-saran yang dianggap perlu dalam penulisan skripsi ini.


(25)

BAB II

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN

DI BAWAH UMUR

Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum . Masalah visum adalah masalah utama yang menghubungkan dokter dengan kalangan penyidik atau kalangan peradilan, maka pemahaman mengenai masalah ini harus dikuasai dengan baik, tidak saja untuk kalangan dokter tetapi juga untuk penyidik, penuntut umum, pembela, dan hakim pengadilan. Visum et repertum adalah istilah asing, namun sudah menyatu dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun biasanya mengetahui bahwa visum et repertum berkaitam dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk polisi dan pengadilan.9

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad ( Lembaran Negara ) tahun 1937 No. 350 yang menyatakan :

Pasal 1 :

Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.

9


(26)

Pasal 2 ayat 1 :

Pada Dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam Pasal 1 diatas, dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut :

“Saya bersumpah ( berjanji ), bahwa saya sebagai dokter akan membuat pernyatan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan batin”.10

Bila diperinci isi Staatsblad ini mengandung makna :

1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di Belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah khusus ayat (2) dapat membuat visum et repertum.

2. Visum et repertum mempunyai daya bukti yang syah/ alat bukti yang syah dalam perkara pidana.

3. Visum et repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-benda/ korban yang diperiksa.

Ketentuan pada staatsblad ini merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Setiap keterangan yang disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan

10


(27)

pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat visum et repertum. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir visum, masih dicantumkan ketentuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat maupun yang menggunakan visum et repertum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.

A.Jenis dan Bentuk Visum Et Repertum 1. Jenis-jenis Visum Et Repertum

Visum et repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain :11 1. Visum untuk korban hidup

Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas :

a. Visum seketika ( definitive )

yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.

b. Visum sementara

yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan, sehingga dapat menahan tersangka atau

11


(28)

sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini, belum ditulis kesimpulan.

Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa pidana, misalnya penganiayaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain. Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dengan hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti permulaan.

Apabila sikorban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan diketahuinya dari tubuh korban unutk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan didapat dari pemeriksaan korban.

c. Visum lanjutan

yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter


(29)

telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat penderita.

2. Visum jenazah

Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu :12 a. Visum dengan pemeriksaan luar

Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat yang hanya ditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna.

b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam

Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. Pemeriksaan bedah mayat berarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada, perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) unutk

12


(30)

dapat menentukan sebeb kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban.

Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang mempermudah atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya.

Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan sebagainya.


(31)

2. Bentuk dari Visum Et Repertum

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para pakar kedokteran kehakiman yaitu profesor H. Muller, Prof Mas soetedjo Mertodidjojo dan Prof Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu. Konsep visum et repertum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :13

1. Pro- Yustisia

Menyadari bahwa semua surat baru syah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum et repertum yang dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai.

13


(32)

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa dan siapa yang diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan

Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dal lain-lain.

Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakain


(33)

visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

4. Kesimpulan

Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini). Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup

Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan KUHAP pasal 186 : keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam


(34)

suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana berdasarkan KUHP pasal 242 yaitu sumpah palsu.14

B.Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Menurut KUHAP

Perlu diketahui bahwasanya visum et repertum itu dibuat bukan untuk kepentingan dokter dan bukan pula hanya untuk pemuas keinginan tahu dokter, misalnya didalam mengetahui penyebab kematian, penyebab perlukaan, adanya persetubuhan dengan kekerasan atau adanya gangguan jiwa pada barang bukti yang diperiksanya.

Visum et repertum dibuat dan dibutuhkan didalam rangka upaya penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai visum et repertum adalah perangkat penegak hukum, yang didalam tulisan ini dibatasi pada pihak penyidik sebagai instansi pertama yang memerlukan visum et repertum guna membuat terang dan jelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya visum et repertum ini turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan

14


(35)

medik yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang didalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilimu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan memebaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka Hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum di dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.

Didalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada satu Pasal pun yang memuat perkataan Visum et repertum. Visum et repertum hanya termuat dalam lembaran Negara tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.

Di dalam KUHAP terdapat pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan yaitu dalam bentuk keterangan ahli, pendapat orang


(36)

ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: Pasal 187 butir c).15

Di dalam KUHAP yang berhak mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum antara lain :

1. Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

2. Pasal 120 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

3. Pasal 133 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Dari ketentuan pasal-pasal diatas telah memberikan gambaran, bahwa yang dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah penyidik. Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara

15

Abdul Mun,im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, Jakarta, 1989, Hal. 3.


(37)

pidana menjadi jelas dan hanya beguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Dengan demikian visum et repertum tidaklah dibuat / diterbitkan untuk kepentingan lain. Karena tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim ( Majelis ) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim.16

Jika dilihat dari Hukum Acara Pidana, maka ketentuan perihal alat-alat bukti yang syah menurut KUHAP terdapat dalam Pasal 184 ayat (1), yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Memperhatikan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka visum et repertum digolongkan kedalam keterangan ahli (dokter atau dokter ahli kedokteran kehakiman), walaupun secara khusus visum et repertum tidak pernah dicantumkan dalam KUHAP sebagaimana salah satu alat bukti yang syah, namun visum ini sudah menjadi bagian dari keterangan ahli dan keterangan ahli itu sendiri harus memberikan pendapat atau konklusi yang

16


(38)

didasarkan atas keilmuan atau keahlian khusus mengenai suatu hal untuk kepentingan pemeriksaan.

Pada dasarnya visum et repertum merupakan laporan tertulis dari seorang seorang dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan sehingga dengan demikian visum et repertum dapat membantu penyidikan guna mengungkapkan suatu perkara pidana. Dalam suatu perkara pidana maka visum et repertum berfungsi sebagai berikut :

- Membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan - Menentukan tugas selanjutnya bagi penuntut umum dan Hakim di

Pengadilan

- Menggantikan sepenuhnya corpus delicti (pengganti barang bukti) karena barang bukti yang berasal dari tubuh manusia seperti luka maupun jenazah akan berubah.

Melalui hasil pemeriksaan dari dokter terhadap sikorban yang dituangkan dalam bentuk visum et repertum sebagai pengganti barang bukti, maka penuntut umum dapat lebih mempertajam tuntutannya serta menerapkan pasal-pasal dari KUHPidana terutama dalam peristiwa yang dilakukan dengan kekerasan bahkan jaksa selaku penuntut umum maupun Hakim setelah mempelajari isi dari visum et repertum dapat membayangkan bagaimana keadaan barang bukti pada saat terjadinya peristiwa pidana.

Melalui visum et repertum maka penyidikan tindak pidana yang menyangkut kesehatan dan nyawa manusia akan menjadi lancar dan berfungsi guna menggantikan sepenuhnya corpus delicti dan apabila tanda bukti suatu


(39)

perkara pidana merupakan suatu benda seperti senjata tajam, barang-barang hasil curian, dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka persidangan sebagai alat bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan corpus delicti yang berupa tubuh manusia, misalnya luka-luka pada tubuh seseorang selalu berubah-berubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur. Jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya corpus delicti yang demikian itu tidak mungkin diajukan ketengah sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti dengan visum et repertum.17

Dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka kedudukan keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk visum et repertum telah diterima dan diakui pleh Undang-undang sebagai alat bukti yang syah disamping visum digunakan sebagai keterang ahli juga digolongkan sebagai alat bukti surat, sebab merupakan keterangan ahli yang tertulis, diluar sidang pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP butir c yang berbunyi “surat keterangan dari seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keadilan mengenai hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

C.Kedudukan atau Nilai Visum Et Repertum Pada Tindak Pidana Pemerkosaan

Di dalam KUHAP kedudukan atau nilai visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang syah. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik

17


(40)

yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. 18

Pada tindak pidana perkosaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah merupakan kasus kesusilaan yang mana dalam proses pemeriksaannya disidang pengadilan oleh hakim harus dengan pintu tertutup, tetapi pada saat perkara diputus harus dinyatakan terbuka untuk umum. Seperti yang telah diketahui bahwa objek daripada perkosaan adalah perempuan tanpa menghiraukan apakah perempuan tersebut masih gadis (perawan) atau bukan gadis lagi. Apabila korban pemerkosaan tersebut adalah gadis yang masih perawan, maka pada prinsipnya yang memeriksa kasus perkosaan selalu menitikberatkan pemeriksaannya berdasarkan selaput dara/hymen apakah masih utuh atau tidak.

Hakim dalam hal ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan atau keahlian tentang utuh atau tidaknya selaput dara/ hymen dari seorang perempuan. Untuk mendapatkan kepastian apakah selaput dara korban robek (utuh atau tidak utuh), maka hakim meminta bantuan seorang ahli, dalam hal ini seorang dokter yang juga didengar keterangannya sebagai saksi ahli dipersidangan dan memberikan penjelasan secara lisan tentang keadaan selaput dara si korban.19

18

Soeparmono, Op. Cit., Hal. 1.

Namun dalam praktek seorang dokter tidak perlu hadir dipersidangan, cukup mengeluarkan surat keterangan yang menjelaskan keadaan selaput dara korban yang mana hal-hal yang ditemukan dokter pada si korban akan dituangkan dalam visum et repertum.

19

Rita mawarni, Dikutip dari Makalah yang berjudul “Kejahatan Seksual Pemerkosaan,


(41)

Dalam praktek dipersidangan, pada tindak pidana pemerkosaan ada kalanya visum et repertum tidak terlampir dalam berkas perkara sehingga Hakim dalam memeriksa tindak pidana pemerkosaan tersebut mengalami kesulitan karena alat bukti tidak lengakap. Oleh karena itu ada baiknya setiap tindak pidana pekosaan sebelum dilimpahkan kepengadilan harus benar-benar teliti lebih dahulu terutama dalam hal alat bukti seperti visum et repertum sangat penting bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili terutama dalam hal pembuktiannya.

Pada tindak pidana perkosaan apabila dilengakapi dengan visum et repertum maka akan memperlancar jalannya pemeriksaan, sehingga Hakim dalam memeriksa perkara tersebut cukup mempedomani visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter. Soerang Hakim bila merasa ragu atas kebenaran ini atau kurang jelasnya visum et repertum, maka Hakim dapat mengahadirkan dokter yang mengeluarkan visum et repertum tersebut dipersidangan untuk didengar keterangannya sebagai saksi ahli. Seorang dokter dalam memeriksa korban tindak pidana perkosaan tidak selamanya menitikberatkan pemeriksaannya pada keadaan selaput dara/ hymen si korban. Perkosaan dapat dibuktikan melalui pemeriksaan sperma laki-laki yang ditemukan dalam vagina sikorban, selama 72 jam atau 3 hari, tanda-tinda kekerasan yang ditemukan pada tubuh sikorban seperti luka, bekas pukulan atau dinyatakan secara sungguh-sungguh dan soebyektif mungkin dalam visum et repertum. Dalam persidangan pada tindak pidana perkosaan, Hakim selalu mengaharapkan keterangan saksi ahli demi tercapainya kepastian Hukum.


(42)

D.Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Wanita yang Belum Dewasa Merupakan Delik Aduan

Didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP, Undang-undang telah menentukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tidak akan dituntut kecuali jika ada pengaduan. Tentang apa sebabnya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP oleh pembentuk undang-undang telah dijadikan suatu delik aduan, menurut VAN-BEMMELEN-VAN HATTUM ialah karena pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menikahi korban, yang apabila pernikahan tersebut benar-benar terjadi, maka dengan sendirinya tidak akan ada pengaduan dari pihak wanita yang merasa dirugikan.20

Adapun isi dari Pasal 287 ayat (1) KUHP : barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.

Pasal 287 ayat (2) KUHP : penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP terdiri dari unsur-unsur :

a. Unsur Subyektif:

20


(43)

1. Yang ia ketahui

2. Yang sepantasnya harus ia duga

Dari kedua unsur subyektif diatas yang masing-masing yakni “yang ia ketahui dan yang sepantasnya harus ia duga” di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut maksudnya, pria secara layak/wajar dapat menduga atau mengetahui bahwa umur wanita tersebut belum 15 tahun atau belum dapat dinikahi.

Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsu-unsur subyektif tersebut diatas, baik penuntut umum maupun Hakim harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang “mengetahui” atau setidak-tidaknya “dapat menduga” bahwa wanita yang mengadakan hubungan kelamin diluar nikah dengan dirinya itu belum mencapai usia 15 tahun atau belum dapat dinikahi. Jika pengetahuan atau dugaan pelaku tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka Hakim akan memberikan putusan bebas bagi pelaku.

b. Unsur-unsur Obyektif : 1. Barang siapa

Unsur “barang siapa” dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut menunjukkan pria. Apabila pria tersebut memenuhi unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal ini, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.


(44)

Untuk terpenuhinya unsur ini, tidaklah cukup jika hanya terjadi hubungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan alat kelamin pelaku dengan korban. Disamping itu Undang-undang juga mensyaratkan bahwa persatuan antara alat kelamin itu harus terjadi diluar perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan didalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP itu ialah perkawinan yang sah menurut undang-undang yang berlaku pada saat pernikahan itu dilakukan.

3. Wanita yang belum mencapai usia 15 tahun atau yang belum dapat dinikahi.

Di dalam ketentuan hukum pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP, undang-undang telah menetukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP itu tidak akan dituntut, kecuali jika ada pengaduan.

Jika tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum mencapai usia 15 tahun tetapi telah berusia diatas 12 tahun, dan tidak mengakibatkan luka parah atau meninggal, maka peristiwa ini adalah delik aduan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang berusia dibawah 12 tahun maka peristiwa itu adalah delik biasa. Dengan perkataan lain Pasal 287 KUHP tidak merupakan delik aduan, jika :

1. Wanita tersebut belum mencapai usia 12 tahun; 2. Wanita tersebut luka parah;


(45)

3. Wanita tersebut meninggal dunia;

4. Wanita tersebut merupakan anaknya sendiri, anak tirinya atau anak angkatnya yang masih dibawah umur;

5. Wanita tersebut merupakan seorang anak dibawah umur yang pengawasannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan pada pelaku.21

Kecermatan diperlukan pada penerapan Pasal 287 KUHP khususnya unsur kesalahan yang dirumuskan dengan “diketahui atau patut dapat menduga”. Maksudnya, si pria secara layak/wajar dapat menduga bahwa umur wanita tersebut belum 15 tahun. Jika tubuh si wanita seperti wanita dewasa maka akan sulit mempersalahkannya.

Pada umunya delik aduan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, antara lain :22 1. Delik Aduan Absolut/Mutlak

Delik aduan absolut atau mutlak ini adalah jenis peristiwa pidana yang dapat dituntut bilamana ada pengaduan, misalnya peristiwa pidana yang diancam dengan Pasal 284, 287, dan Pasal 293 KUHP, serta pasal-pasal lainnya dalam KUHP yang biasanya menyatakan bahwa peristiwa ini hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan yang diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga pengaduannya berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini

21

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal.60

22

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,


(46)

dituntut”. Dengan demikian pengaduan dalam delik aduan ini adalah onsplitbaar (tidak dapat dipecah/tidak dapat dibelah).

2. Delik Aduan Relatif

Delik aduan relatif adalah delik dalam keadaan tertentu saja diperlukan adanya pengaduan, sedangkan pada umunya ia merupakan kejahatan biasa. Pengaduan ini dilakukan bukan untuk menuntut peristiwanya tetapi pengaduan diperlukan untuk menuntut orangnya,sehingga pengaduannya berbunyi : saya minta si A dituntut. Dalam hal ini maka pengaduan tersebut bersifat splitbaar (dapat dipecah/dibelah).

1. Orang yang Berhak Mengajukan Delik Aduan

Jika dilihat dalam Pasal 72 KUHP dapat diketahui bahwa yang berhak mengajukan Delik Aduan adalah :

a. Orang yang dikenai atau orang yang menjadi korban kejahatan yang bersangkutan.

b. Dalam hal orang yang bersangkutan belum cukup umur atau belum dewasa atau dibawah pemilikan orang lain, maka yang berhak mengajukan pengaduan adalah wakilnya yang sah dalam perkara-perkara sipil.

c. Jika wakil-wakil tersebut tidak ada, maka yang berhak mengadu adalah wali yang mengawasi, keluarga sedarah dalam garis lurus.


(47)

d. Dalam hal orang bersengkutan meninggal, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan ibu bapaknya, anak atau suaminya ( isterinya) yang masi hidup.

2. Jangka Waktu Mengajukan dan Mencabut Delik Aduan : a. Pasal 74 ayat (1) KUHP

Dari pasal ini dapat diketahui bahwa jangka waktu mengajukan pengaduan itu adalah :

- Pengaduan dimulai pada saat orang yang berhak mengadu itu mendengar/mengetahui peristiwa yang dilakukan.

- Jangka waktunya adalah 6 bulan bagi mereka yang tinggal di Indonesia dan 9 bulan bagi mereka yang tinggal di luar Indonesia.

- Jika pengaduan itu dengan lisan, maka waktunya adalah pada saat pemberitahuan dengan lisan itu diajukan.

- Jika pengaduan itu tertulis, maka waktunya adalah pada saat tanggal pengiriman surat pengaduan itu.

- Khusus untuk Pasal 293 ayat (3) KUHP, jangka waktu pengaduan adalah 9 bulan bagi mereka yang tinggal di Indonesia dan 12 bulan bagi mereka yang tinggal diluar indonesia, hal ini berhubungan dengan jangka waktu mengandung (hamil) bagi seorang perempuan.

b. Pasal 75 KUHP

Jika dilihat dari bunyi Pasal 75 KUHP dapat diketahui bahwa orang yang mengajukan pengaduan, dalam tempo 3 bulan terhitung mulai dari pemasukan pengaduan itu, dapat mencabut kembali


(48)

pengaduannya. Pengaduan yang telah dicabut tidak dapat diajukan lagi.

3. Beberapa Jenis Perkosaan

Jika dilihat dari segi bentuk dan jenis perkosaan yang terjadi di indonesia, maka perkosaan dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis perkosaan, yaitu :23

a. Sadistic Rape/ perkosaan sadis

Pada saat sebelum atau sesudah perkosaan terjadi, maka pelaku melakukan perbuatan sadis terhadap korbannya. Dalam hal ini pelaku perkosaan menggunakan kekuatan fisik untuk menyakiti korban, seperti memukul, menyiksa dan sebagainya.

b. Anger Rape

Hubungan seksual yang dilakukan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan biologis dari pelaku, tetapi untuk melampiaskan rasa kekecewaan, marah dan prustasi yang dialami oleh pelaku.

c. Domination Rape

Dimana pelaku melakukan perkosaan dengan menggunakan kekuasaan sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

d. Exploitation Rape

Dimana pelaku melakukan perkosaan dengan menggunakan keunggulan dan kekuasaan yang dimilikinya, sehingga ia bisa mengambil keuntungan dari posisi wanita yang bergantung pada pelaku dari segi

23


(49)

ekonomis dan sosial. Posisi ketergantungan tersebut dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan persetubuhan dengan korban.

e. Seductive Rape

Dimana pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal oleh korban. Persetubuhan terjadi karena adanya situasi merangsang yang diciptakan oleh kedua pihak.

4. Usaha Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dapat mencemarkan nama baik sikorban, keluarga serta menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. Untuk itu kejahatan haruslah ditanggulangi sedini mungkin dengan berbagai usaha karena tidak seorangpun anggota masyarakat yang menghendaki terjadinya tindak pidana, khususnya tindak pidana pemerkosaan. Dalam tindak pidana perkosaan, penulis menggunakan cara penggulangan seperti penanggulangan yang bersifat preventif,represif dan reformasi.

1. Penanggulangan Preventif

Penanggulangan preventif adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu, sebab bagaimanapun kejahatan itu tidak akan pernah habis. Disamping itu usaha pencegahan dapat mempererat kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat.24

24

Http://isjd.pdii.lipi.co.id./admin/jurnal/131087381_1410_5349.Fdf.,diakses pada tanggal 17 April 2012.


(50)

Kebijaksanaan dan langkah pencegahan kejahatan juga harus dilakukan dengan melihat kondisi-kondisi yang ada didalam masyarakat. Dari hal ini dapat kita ketahui mencegah sebelum terjadi kejahatan harus dilakukan. Oleh karena itu lembaga-lembaga yang ada didalam masyarakat harus melaksanakan fungsinya secara aktif dan kreatif sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang berniat jahat untuk melakukan kejahatan termasuk di dalamnya kejahatan perkosaan atau setidaknya dapat memperkecil tingkat kejahatan.

2. Penanggulangan Represif

Penanggulangan Represif adalah penanggulangan setelah terjadinya kejahatan dengan memberikan tekanan terhadap pelaku kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang kembali dan penanggulangan ini pada umumnya ditujukan kepada sipelaku kejahatan tersebut, yang dimulai dengan usaha penangkapan, pengusutan di peradilan, dan penghukuman.

Penanggulangan yang bersifat Represif ini adalah berupa tindakan penanggulangan yang dilakukan setelah terjadi kejahatan dengan memberikan sanksi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya/kesalahan yang dilakukan oleh sipelaku atau dengan kata lain para pelaku diminta mempertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Oleh sebab itu dalam tindakan penanggulangan kejahatan secara penal ini, peranan polisi, jaksa dan hakim sangatlah penting. Pihak kepolisian perlu mengembangkan sistem responnya yang cepat dan tepat apabila mendapat laporan mengenai tindakan-tindakan kriminal. Setelah itu mengadakan pengusutan dengan kerjasama dari anggota masyarakat sehingga dapat mengajukan ke pengadilan


(51)

untuk mendapatkan pembuktian yang obyektif demi tercapainya keadilan bagi masyarakat. Upaya ini dalam kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur diharapkan kepada pelaku di hukum lebih berat lagi karena terkadang pelaku dapat juga bebas.

3. Penanggulangan bersifat Reformatif

Penanggulangan kejahatan perkosaan yang bersifat reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar Undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah residivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang semuanya adalah menuju pada kesembuhan, sehingga si pelaku kejahatan dapat menjadi manusia yang baik.

Upaya Reformatif ini dilakukan setelah adanya upaya-upaya lain serta upaya ini bertujuan mengembalikan atau memperbaiki jiwa si penjahat kembali, yang mana untuk kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan metode reformatif dinamik (metode klasik dan metode moralisasi) serta metode profesional service. Melalui metode reformatif dinamik, yakni metode yang memperlihatkan cara bagaimana mengubah penjahat dari kelakuannya yang tidak baik, terdapat metode klasik dengan jalan memberikan hukuman yang berat. Walaupun metode ini tidak berlaku bagi semua kejahatan, mengingat hukuman yang berat semata-mata tidak mengubah tingkah laku penjahat itu sendiri.25

25

Http://isjd.pdii.lipi.co.id./admin/jurnal/131087381_1410_5349.Fdf.,diakses pada tanggal 17 April 2012.


(52)

Metode moralisasi diterapkan dengan jalan memberikan bimbingan dan ceramah dalam penjara sehingga dapat merubah perilaku si pelaku untuk menginsyafi semua perbuatannya yang tidak terpuji dan ia tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut. Sedangkan metode profesional service, diharapkan Pengadilan dan Penjara mendapat bantuan dari ahli-ahli Profesional yang membantu di dalam penyelidikan sehingga mendapatkan penilaian yang objektif terhadap keadaan si terdakwa.


(53)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR

Perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perkosaan merupakan salah satu kebutuhan yang semakin mendesak. Hal ini disebabkan kurangnya pengaturan secara tegas dan jelas tentang perlindungan hukum terhadap korban dalam KUHAP. Sistem peradilan pidana lebih mengedepankan bagaimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku. Sementara perlindungan hukum terhadap korban dalam pemeriksaan pengadilan kurang diperhatikan.

Korban diartikan sebagai mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat dari mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita. Realitas perkosaan biasanya terjadi secara spontan bahkan ada juga memang pemerkosa sudah mempunyai niat dari awal, namun semua tergantung ada tidaknya kesempatan pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dari segi pelaku pemerkosa, bisa dilakukan oleh orang asing juga oleh orang sudah dikenal oleh korban.26

Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap setiap tindakan sewenang-wenang, yang artinya setiap orang berhak memperoleh perlindungan hukum, dan disisi lain setiap orang juga harus patuh pada hukum yang berlaku. Hukum harus memberikan keadilan, hukum bukan keadilan karena hukum adalah aturan hukum umum sehingga hukum harus memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi pelaku maupun korban kejahatan tanpa

26

Arif Gosita, Relevansi Victimologi dengan terhadap Para korban Perkosaan, Jakarta, 1987, Hal.79.


(54)

bedakan. Namun perlindungan hukum terhadap korban terkesan terasing dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan minimnya pengaturan korban sebagai pihak yang dirugikan (baik secara fisik maupun psikis). Dalam peraturan perundang-undangan pidana mengakibatkan kurangnya pembahasan -pembahasan mengenai korban di dalam proses pidana. Peran dan posisi korban di dalam proses pidanas sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana di indonesia (KUHAP) lebih banyak diposisikan kualitas saksi. Sehingga proses persidangan lebih mengarah kepada kepentingan penjatuhan sanksi pidana daripada kepentingan korban secara luas, dan apa yang menjadi kepentingan korban sering terabaikan.

Permasalahan korban menjadi permasalahan hukum yang membutuhkan satu pikiran yang serius. Korban sebagai pihak yang dirugikan langsung tidak memiliki akses yang kuat untuk dapat menentukan sikap yang berhubungan apa yang sedang dialaminya. Menguatnya perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP ternyata hingga saat ini belum diimbangi dengan dengan perhatian yang sama terhadap nasib korban kejahatan yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu terabaikannya oleh sistem peradilan pidana.27

A.Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Korban) Menurut KUHAP dan UU No.13 Tahun 2006

1) Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Korban) Menurut KUHAP

27

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana

Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro

Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban


(55)

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kesusilaan termasuk korban kejahatan perkosaan diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, juga diatur dalam ketentuan yang dikhususkan bagi pemeriksaan persidangan kejahatan kesusilaan. Ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

Dengan adanya kalimat yang menyatakan “kecuali dalam perkara kesusilaan” ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP tersebut menunjukkan, bahwa korban tindak pidana kesusilaan termasuk dalam hal ini adalah korban kejahatan perkosaan memperoleh perlindungan hukum dalam pemeriksaan pengadilan terhadap kehormatan dan harga dirinya untuk tidak dilihat dan didengar atau diketahui oleh umum tentang peristiwa yang dialaminya. Dengan demikian fakta peristiwa yang dikemukakan korban atau saksi korban dalam pemeriksaan pengadilan tidak berakibat rasa malu dan rendah harga diri yang menyebabkan penderitaan psikis bagi korban perkosaan.

Ketentuan Pasal 285 KUHP hanya menegaskan batasan ancaman pidana 12 tahun penjara dan tidak menegaskan batasan batasan minimal ancaman sanksi, sehingga secara tidak langsung hakim diberikan ruang yang sangat luas untuk memutuskan ancaman sanksi pidana sampai serendah-rendahnya. Pengaturan ancaman sanksi tersebut tentunya membuka peluang ringannya hukuman dari ancaman maksimal yang dikenakan bagi pelaku, dan hal ini kurang adil bagi kepentingan dan hak-hak korban yang telah menderita akibat perbutan kejahatan


(56)

perkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Berkaitan dengan penuntutan, Pasal 287 ayat (2) KUHP mengatakan bahwa penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan. Kejahatan perkosaan dikategorikan kedalam delik biasa atau penuntutan dapat dilakukan tanpa aduan dari korban. Maka tanpa aduan dari korbanpun jika ada seseorang yang mengetahui peristiwa tersebut dapat memberitahukan kepada pihak yang berwajib. Bila kondisi hukum pidana indonesia tidak berubah, maka korban kejahatan perkosaan tidak akan dapat terlindungi.28

Perlu diketahui, bahwa sebagai pusat atau subyek korban berhak didengar keterangannya, mendapat informasi atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan keinginnya untuk mendapat keadilan, dan situasinya dipulihkan perampasan hak dan kekerasan yang dialaminya. Sejalan dengan perkembangan kemajuan masyarakat, berbagai kelemahan ini harus segera diatasi. KUHAP dinilai sebagai salah satu produk hukum bangsa indonesia yang mempunyai predikat sebagai “karya agung”.29

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) Bab XIII tentang penggabungan perkara ganti kerugian, Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan kepada pihak korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban, khususnya korban perkosaan. Jadi selain pelaku telah

28

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana

Perkosaan menurut KUHP, dikutip dari Tesis Ira Dwiati Univeristas Diponegoro Semarang yang

Berjudul“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan

Pidana”, diakses tanggal 21 Maret 2012.

29


(57)

mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.

Dalam hukum pidana dikenal ganti kerugian yang dapat berbentuk restitusi atau kompensasi. Dalam hal ini restitusi merupakan ganti kerugian yang dibebankan pada pelaku tindak pidana, sedangkan kompensasi merupakan ganti kerugian yang di berikan oleh negara kepada korban kejahatan.

Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kedalam proses peradilan pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggung jawabkan kepada pelaku tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Namun penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tidak efektif karena jarang digunakan. 30

Gugatan ganti rugi tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan melalui proses pidana. Disamping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana bila pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Proses penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa Hakim dapat menolak atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban atau keluarganya.

30

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana

Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro

Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban


(58)

Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat metteril, sedangkan kerugian yang bersifat immatteril tidak dapat diterima. Kerugian immaterial tersebut harus diajukan dalam perkara perdata. Dalam Pasal 100 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa apabila terdakwa dalam perkara pidananya tidak mengajukan banding, maka penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan banding atas putusan atau penetapan gugatan ganti kerugiannya.

Berdasarkan uraian diatas secara garis besar dalam KUHAP diatur beberapa hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan khususnya perkosaan dalam suatu proses peradilan pidana, yaitu :31

1) Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum. Hak ini adalah hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan ( Pasal 77 Jo Pasal 80 KUHAP). Hal ini penting untuk diberikan guna menghidarkan adanya upaya dari pihak-pihak terntentu dengan berbagai motif yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan.

2) Hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi

Hak ini adalah hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP). Kesaksian (saksi) korban sangat penting untuk diperoleh

31

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana

Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro

Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban


(59)

dalam rangka mencapai suatu kebenaran materil. Oleh karena itu, untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi, diperlukan sikap proaktif dari aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi. 3) Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang

menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dan pidana. Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi kepada tersangka/terdakwa. Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti rugi hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir, permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan pututusan.

4) Hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan korban kejahatan.

Dalam KUHAP ada beberapa Pasal yang mengatur hak korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu :32

1) Hak menuntut penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana (Pasal 98-Pasal 101 KUHAP)

32

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak pidana

Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti Univeristas Diponegoro

Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan terhadap korban


(60)

2) Hak atas pengembalian barang milik korban yang disita (Pasal 46 ayat (1) KUHAP)

3) Hak pengajuan laporan atau pengaduan (Pasal 108 ayat (1) KUHAP) 4) Hak pengajuan upaya hukum banding (Pasal 233) dan kasasi (Pasal 244).

Hak ini menyangkut penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Hak ini ada apabila terhadap perkara pidana tersebut diajukan upaya hukum.

5) Hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168).

6) Hak untuk didampingi juru bahasa (Pasal 177 ayat (1) KUHAP) 7) Hak untuk didampingi penterjemah (Pasal 178 ayat (1) KUHAP)

8) Hak untuk mendapat penggantian biaya sebagai saksi (Pasal 299 ayat (1))

Dalam dimensi sistem peradilan pidana maka kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu :

a. Aspek Positif

KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan korban perlindungan dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu :

1. Korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang didengar dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).


(61)

2. Korban hadir disidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa.

b. Aspek Negatif

Sebagaimana diterangkan diatas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkritnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung.33

Bahkan didalam KUHAP tersebut terlihat bahwa perlindungan hak-hak korban masih sedikit bila dibandingkan dengan hak-hak pelaku tindak pidana. Pertama, hak untuk mendapatkan bantuan hukum tidak diakomodasi bagi korban. Korban harus berhadapan dengan perilaku aparat penegak hukum dan pelaku. Korban seakan-akan sudah diwakili oleh negara dalam hal ini melalui aparat penegak hukum. Kedua, hak korban untuk mengetahui sejauhmana proses peradilan pidana terhadap kasus yang menimpa dirinya. Ketiga, hak korban untuk memperoleh pendampingan dalam mengurangi penderitaan yang dialaminya, baik secara moral, psikologis dan sosial. Keempat, hak korban untuk mendapat jaminan keamanan dari tekanan maupun teror pelaku.

33

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum


(1)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari yang telah diuraikan dan yang telah dibahas pada Bab-bab diatas mengenai “Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur”, maka penulis dapat menarik kesimpulan, antara lain :

1. Bahwa visum et repertum di dalam KUHAP merupakan salah satu alat bukti yang sah dan pada dasarnya visum et repertum merupakan laporan tertulis dari seorang dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan sehingga dengan demikian visum et repertum dapat membantu penyidikan guna mengungkapkan suatu perkara pidana khususnya tindak pidana pemerkosaan, dimana tindak pidana pemerkosaan ini diatur dalam Pasal 285, 286, dan Pasal 287 ayat (1) dan (2) KUHP. Dan jika dilihat dalam Pasal 287 ayat (1) dan (2) KUHP seseorang tidak akan dituntut, kecuali jika ada pengaduan. Jika tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum mencapai usia 15 tahun tetapi telah berusia diatas 12 tahun, dan tidak mengakibatkan luka parah atau meninggal, maka peristiwa ini adalah delik aduan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang berusia dibawah 12 tahun maka peristiwa itu adalah delik biasa.

2. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kesusilaan termasuk korban kejahatan perkosaan diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Selain di KUHAP perlindungan terhadap Korban juga diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 yaitu Undang-undang Perlindungan saksi dan Korban. Dan diantara


(2)

kedua undang-undang ini juga terdapat perlindungan terhadap korban perkosaan khususnya anak yang diatur pada Undang-undang No. 23 tahun 2002 yaitu Undang-undang perlindungan anak. Sedangkan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan jika dilihat dari KUHP terdapat pada Pasal 285, Pasal 286, dan Pasal 287 ayat (1) dan (2) KUHP, dimana didalam KUHP mengenal sistem ancaman hukuman maksimal dan tidak mengenal sistem ancaman hukuman minimal. Dan pada UU No. 23 tahun 2002 penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) dimana dalam Undang-undang ini mengenal sistem ancaman hukuman minimal dan ancaman hukuman maksimal.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut, antara lain :

1. Diharapkan kepada pembuat Undang-undang dan aparat penegak hukum agar memperhatikan kepentingan korban sebagai bentuk perlindungan hukum, sehingga perannya untuk membantu mengungkap kejahatan perkosaan dapat berjalan dengan maksimal, mengingat di dalam KUHP hanya mengenal ancaman hukuman maksimal yang membuka peluang rendahnya hukuman yang diterima oleh terdakwa.

2. Penerapan pidana penjara dan denda pada perkara No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn tidak sesuai dan terlalu ringan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Terdakwa kepada Korban, sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 81


(3)

kepada terdakwa seharusnya bisa diperberat lagi karena terdakwa telah melakukan suatu perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat. Jika hukuman yang dijatuhkan lebih berat maka, terdakwa maupun orang lain akan menjadi jera melakukan perbuatan itu dan tidak berkeinginan untuk mengulangi perbuatan yang serupa mengingat ancaman hukuman yang berat.

3. Diharapkan kepada masyarakat lebih meningkatkan kontrol sosial dan perlunya pengawasan orangtua atas lingkungan dan pergaulan anak-anaknya agar dapat terhindar dari berbagai tindak pidana kejahatan, khususnya tindak pidana perkosaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Amir, Amri., 2005, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi ke Dua, Ramadhan, Medan.

Arief, Barda Nawawi., 1998, Beberapa Aspek Kebijakan penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______________., 2001, Masalah Penegakan Hukuman dan Kebijakan

penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gosita Arief., 1987, Relevansi Victimologi dengan Terhadap Para Korban

Perkosaan, Jakarta.

Hamdani, Njowito., 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi ke Dua, Surabaya.

Hamzah, Andi.,1984, Pengantar Hukum Acara Indonesia, Ghalia, Jakarta.

Idries, Abdul Mun’im., 1989, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi ke Dua, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1990, Delik-delik Khusus, CV Mandar Maju, Bandung.

Marjuki Suparman., 1997, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta.

Marpaung Leden., 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah


(5)

Poernomo, Bambang., 1990, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta.

Ranoemiharja, R. Atang., 1980, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Tarsito, Bandung.

Soeparmono.,2002, Keterangn Ahli dan Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum

Acara Pidana, Mandar maju, Bandung.

Soesilo, R., 1948, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik

Khusus, Bandung.

Wahab, Abdul dan M. Irfan., 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual ( Advokasi atas Hak Asasi Perempuan ), Refika Aditama, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Situs Internet :

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak

pidana Perkosaan menurut KUHAP, dikutip dari Tesis Tri Wahyu Widiastuti

Univeristas Diponegoro Semarang yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana

dalam Perlindungan terhadap korban Perkosaan”, diakses tanggal 21 Maret


(6)

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum terhadap korban dalam tindak

pidana Perkosaan menurut KUHP, dikutip dari Tesis Ira Dwiati Univeristas

Diponegoro Semarang yang Berjudul“Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana”, diakses tanggal 21 Maret

2012.

Http/www/Google.Com/Perlindungan Hukum Terhadap Korban dalam Tindak

Pidana Perkosaan, dikutip dari makalah yang berjudul “Tinjauan Yuridis

terhadap penerapan Pidana Penjara dan Denda dalam kasus Perkosaan Anak”,

di Akses tanggal 21 Maret 2012.

Http://isjd.pdii.lipi.co.id./admin/jurnal/131087381_1410_5349.Fdf.,diakses pada tanggal 17 April 2012.

Makalah :

dr Rita mawarni, Dikutip dari Makalah yang berjudul “Kejahatan Seksual

Pemerkosaan, Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran USU,