Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PTIK, 2014

Anwar, Yesmil Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural

Kriminologi H u k u m ,Bandung:UNPAD Press, 2004

Atmasasmitha, Romli, Teori & Kapita Selekta Kriminolog,Bandung: PT. Eresco, 1992

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002

---,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Bandung:

Alumni, 2008

Douglas, Jack D & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: PT. Ghalia, 2002

Ekaputra, Mohammad Dasar–Dasar Hukum Pidana, Medan :USU Press, 2010 ---, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, Medan:USU-Press, 2010 Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta:Akademika Pressindo, 1983 Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia,Bandung: Refika Aditama, 2008

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002

---,Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Jakarta:Penerbit Sinar Grafika,

2005

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika, 2000

Herlina, Apong, dkk, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: UNICEF, 2003

Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, Bandung: Nuansa, 2006 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,Jakarta:Bina Aksara,


(2)

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,1997

Mahmud Marzuki,Peter, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada, Media Group, 2009

Makarao, Mohammad Taufik,

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005

Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia,Jakarta:PT.

RajaGrafindo Persada

Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta:Merkid Press, 2012

Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana ,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ,2003

Saraswati,Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Jakarta:Citra Aditya, 2009

Singgih, Gunarsa D, Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi

Perkembangan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004

Siregar, Bismar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta: CV. Rajawali, 1986 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990

Supeno, Adi, kriminalisasi Anak ( Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak

Tanpa Pemidanaan ),Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2010

Suharto, Edi, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997

Sunggono, Bambang Metode Penelitian Hukum,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007


(3)

BAB III

KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN PENELANTARAN ANAK

A. Penelantaran Anak Menurut KUHP

Dikaitkan dengan hukum nasional Indonesia, masalah penelantaran anak sudah diatu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun Pengaturan tentang penelantaran anak diatur dalam Pasal 304-309 adalah

sebagai berikut. 1. Pasal 304 KUHP

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkannya anaknya dalam keadaan sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaannya.56

2. Pasal 305 KUHP

“Barangsiapa menempatkan anak yang berumur di bawah tujuh tahun

untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.

56

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-


(4)

“menaruhkan anak” sama dengan membuang anak kecil artinya meninggalkan anak kecil yang belum berumur 7 tahun di suatu tempat, sehingga dapat ditemukan oleh orang lain dengan tidak mengetahui siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggungjawab atas anak itu, dan boleh dilakukan oleh siapa saja.57

3. Pasal 306 KUHP

(1) Bila salah satu perbuatan tersebut dalam pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah dianeam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan.

(2) Bila mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Luka berat atau luka parah ialah:58

1. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.

2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. 3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera.

4. Kudung (romping) dalam teks bahasa Belandanya “verminking” cacat sehingga jelek rupanya karena ada sesuatu anggota badan yang putus.

5. Lumpuh (verlamming).

6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

57

Ibid, Hal. 224

58


(5)

Selain dari 7 macam tersebut diatas menurut yurisprudensinya termasuk pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut “luka berat”

4. Pasal 307 KUHP

“Jika yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal 305 adalah bapak atau ibu dari anak itu, maka pidana yang ditentukan dalam pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiga.”

Adapun perbedaan Pasal 305 dengan Pasal 307 adalah Pasal 305 mengancam hukuman kepada siapa saja yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan Pasal 307 menghukum bapak atau ibu yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan anak dalam kesengsaraan, sedang mereka wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada anak tersebut.

5. Pasal 308 KUHP

“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.”

Yang dihukum di sini ialah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja membuat anaknya pada waktu melahirkan atau tidak beberapa lama sesudah melahirkan karena takut ketahuan, bahwa ia sudah melahirkan anak.59

59


(6)

Aturan-aturan dalam KUHP memiliki keterbatasan dalam memberantas penelantaran anak. Dengan keterbatasan yang terdapat dalam KUHP maka dilakukan pembaharuan pasal-pasal yang di dalamnya. Pengaturan tentang tindak pidana pelantaran anak dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) diatur pada buku kedua bab XVIII tentang tindak pidana menelantarkan orang yang terdiri atas 5 pasal yaitu:

a) Pasal 532 RUU KUHP Tahun 2012

(1) Setiap orang yang mengakibatkan atau membiarkan orang dalam keadaan terlantar, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian yang diadakannya wajib memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang dalam keadaan terlantar tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh seorang pejabat yang mempunyai kewajiban untuk merawat atau memelihara orang terlantar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III dan banyak Kategori IV.

(3) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan: a. Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang yang diterlantarkan; atau

b. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan.

(4) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan: a. Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang yang diterlantarkan; atau

b. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan.

Berdasarkan ketentuan ini, hakim perlu meneliti tiap-tiap kejadian, apakah hubungan antara tertuduh dan orang yang berada dalam keadaan terlantar memang


(7)

dikuasai oleh hukum atau perjanjian yang mewajibkan tertuduh memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang terlantar tersebut.60

Ketentuan ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seseorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan.

b) Pasal 533 RUU KUHP Tahun 2012

(1) Setiap orang yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun dengan maksud supaya ditemukan orang lain, sehingga dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan: a. Pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut

mengakibatkan luka berat pada anak yang ditinggalkan; atau

b. Pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya anak yang ditinggalkan.

Rumusan Pasal 533 ayat (1) dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: 1. setiap orang.

2. yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun. 3. dengan maksud supaya ditemukan orang lain.

4. dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut.

c) Pasal 534 RUU KUHP Tahun 2012

“Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 533 dikurangi 1/2 (satu per dua).”

61

60

Penjelasan Psal 532 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2013


(8)

b. Penelantaran Anak Menurut Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.62

Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut. Eksistensi sebuah hak asasi adalah mutlak dan tidak dapat ditanggalkan, memberikan sebuah benteng pertahanan terakhir melawan pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia.63

61

Penjelasan Pasal 534 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2013

62

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

63

Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PTIK, 2014), Hal. 11

Pengaturan di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut:

a) Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.


(9)

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.64

b) Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Sesungguhnya keseluruhan pasal yang ada di dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia merupakan bentuk perlindungan terhadap anak, oleh karena anak adalah manusia. Undang-Undang ini juga menyebutkan pasal-pasal yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak. Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

“Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.”

Orang tua65adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan / atau ibu angkat. Keluarga66

Masyarakat

adalah suatu ikatan laki-laki dengan perempuan berdasarkan hukum dan Undang-undang perkawinan yang sah.

67

64

Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

65

Lihat Pasal 1 ayat 4 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perindungan Anak

66

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 318

67

Lihat Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perindungan Anak

adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.


(10)

c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya.”

Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati.

d) Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

“Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Frasa “wali” artinya orang atau badan hukum yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orangtua.68

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dan seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi Undang-undang ini sesara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan pakasa atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarag dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam kepemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak kebebasan beragama,. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakkan hak asasi manusia.

68

Apong Herlina, dkk, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23


(11)

manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.69

c. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Potret situasi dan ragam permasalahan anak-anak di Indonesia makin memprihatinkan. Berbagai penderitaan yang dialami anak-anak Indonesia telah menunjukkan bahwa hak hidup anak sebagai bagian integral dari hak asasi manusia telah terbiarkan, terancam tanpa penanganan dan solusi. Derita dan berbagai persoalan anak-anak tereliminasi dari lingkungan sosial yang agamais yang senantiasa menempatkan anak dalam posisi sakral yakni sebagai titipan dan anugerah Tuhan. Dan seharusnya pula negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan konstitusi, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak terhadap masyarakat dan keluarga. Sementara negara masih enggan menempatkan posisi anak-anak dalam kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik juga ekonomi. Akibatnya, posisi anak-anak berada di persimpangan lost generation. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menjawab derita anak-anak, khususnya anak yang membutuhkan perlindungan khusus, seringkali menempatkan anak sebagai persoalan domestik.70

69

Pengaturan tentang penelantaran anak diatur dalam Undang-undang perlindungan anak adalah sebagai berikut:

September 2015 Pukul 18.09 Wib

70

Mohammad Taufik Makarao,


(12)

1. Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupu n sosial.”

Anak terlantar yaitu anak yang berusia 5-17 tahun yang tidak terpenuh kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.

b) Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan;

f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman.

Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.71

71

Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.”


(13)

Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.72

72

Pasal 1 angka 17 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

d) Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.”

Menurut penjelasan Pasal 55 Ayat (1) UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adalah melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem asuhan keluarga/perseorangan.

e) Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.”

f) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”


(14)

Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.

g) Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh

melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perlakuan salah terhadap anak bisa dipicu oleh beberapa tekanan dalam keluarga, diantaranya berasal dari anak, orangtua, dan situasi. Pelaku dari tindak perlakuan salah terhadap anak biasanya adalah orang-orang yang terdekat seperti orang tua atau anggota keluarga lainnya juga orang di luar anggota keluarga.73

73

Makalah Chid Abuse (Perlakuan Kasar Kepada Anak), 2010,

http://kesmasunsoed.com/2010/06/makalah-child-abuse-perlakuan-kasar-kepada-anak.html, diakses tanggal 09 September 2015, pukul 04.48 WIB.

h) Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

“Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal ini merupakan ketentuan pidana dari Undang-undang Perlindungan Anak yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku penelantaran anak.


(15)

D. Penelantaran Anak Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengacu pada definisi KDRT di atas, dapat dikemukakan, tindakan ayah yang tidak mau mengurus anaknya dan tidak peduli terhadap anaknya hingga mengakibatkan anak terlantar merupakan penelantaran rumah tangga.Oleh karena itu, tindakan tersebut termasuk kategori KDRT yang dapat diancam pidana.

Pengaturan di dalam Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut:

a) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Frasa penelantaran bermakna melalaikan kewajiban dalam lingkup rumah tangga, artinya melalaikan kewajiban suami, istri, anak dan terhadap orang yang ada di dalam rumah tangga. Menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, maka kewajiban tersebut harus melihat pada hak dan kewajiban suami, istri, anak dan orang yang ada di dalamnya.

Inti dari Pasal 9 Ayat (1) adalah jika seorang ayah dan ibu (orangtua) membiarkan seorang anak dalam keadaan tidak dirawat khususnya ketika mengalami sakit dan seorang suami atau sebaliknya membiarkan suatu keadaan


(16)

yang sedemikian rupa di mana salah satunya sangat memerlukan pertolongan, perawatan dan pemeliharaan.74

Tentang Pasal 9 Ayat (2) menyangkut Hak Asasi Manusia karena setiap orang berhak untuk mengaktualisasikan diri dalam pergaulan hidup masyarakat dan bebas untuk mencari pekerjaan dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sepanjang tidak melanggar norma hukum dan norma agama.

75

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

b) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. Menelantarkan orang lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal ini merupakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berisi tentang sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku penelantaran dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:

a. Suami, istri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

74

Bangun Siregar, Unsur Pidana Penelantaran Rumah Tangga, 2011,

penelantaranrumah-tangga/, diakses tanggal 09 September 2015, pukul 16.14 WIB.

75


(17)

BAB IV

PENERAPAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK (STUDI PUTUSAN NO: 2632

PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO: 498 PID.B/2014/PN-RAP) A. Kasus Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn

1. Kronologis Kasus

Terdakwa Drive Loni E Als. Andi Als. Andi Semaun, sekitar bulan Agustus 2013 bertempat di Jalan Senangin No. 44. Kecamatan Medan Area, tepatnya dirumah orang saksi Liriyanti melakukan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderita baik fisik, mental, maupun sosial, perbuatan mana yang dilakukan oleh terdakwa sebagai berikut: 1. Terdakwa bersama-sama dengan saksi Liriyanti telah melakukan pernikahan

yang sah dan memiliki akta Perkawinan Pencatatn Sipil dengan Nomor: 261/T/MDN/2010 yang dikeluarkan oleh kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan dan dari pernikahan terdakwa dengan saksi Liriyanti telah dikarunia 2 (dua) orang anak yanitu Cristabel Lydia Holly dan Christian Imanuel Louis.

2. Berawal sekitar bulan Mei 2012 saksi Liriyanti baru mengetahui kalau ternyata terdakwa telah menikah sebelum menikah dengan saksi Liriyanti. Saksi Liriyanti mengetahui kalau terdakwa sebelumnya sudah menikah dengan seseorang berdasarkan gambar-gambar yang saksi Liriyanti lihat di laptop milik terdakwa dimana kebetulan laptop milik terdakwa tinggal di rumah sehingga terbongkarlah rahasia terdakwa yang selama ini


(18)

sebelumnya sudah menikah dan punya istri tetapi tidak jujur kepada korban.

3. Mengetahuinya kalau ternyata saksi Liriyanti dibohongi dan ternyata terdakwa sudah menikah dan saksi Liriyanti telah dijadikan istri lalu saksi Liriyanti mencoba menelpon terdakwa meminta penjelasannya dan terdakwa membenarkan dan berkata jujur pada Liriyanti kalau terdakwa punya istri sebelumnya dan terdakwa menganggap kalau pernikahan yang dibangunnya bersama Liriyanti dan anak-anak adalah sial sehingga sekitar bulan Agustus 2013 terdakwa meninggalkan saksi Liriyanti dan anak-anak Christabel Lydia Holly dan Christian Imanuel Louis di rumah orang tua saksi Liriyanti yang terletak di Jalan Senangin No. 44 Kecamatan Medan Area.

4. Terdakwa sejak bulan Agustus 2013 sama sekali tidak pernah nemui dan memberi nafkah kehidupan saksi Liriyanti dan anak-anak dimana terdakwa adalah merupakan kepala rumah tangga yang seharusnya member nafkah kepada keluarga dan selama pernikahan terdakwa saksi Liriyanti, saksi Liriyanti serta anak-anak tinggal dirumah orang tua saksi Liriyanti, karena terdakwa sebagai suami/kepala rumah tangga terdakwa tidak pernah memberi kesejahteraan dan tempat tinggal yang layak buat saksi Liriyanti serta anak-anak.

5. Akibat Perbuatan terdakwa saksi Liriyanti bersama dengan Christabel Lydia Holly dan Christian Imanuel Louis mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan saksi Liriyanti harus bekerja keras untuk


(19)

memenuhi kebutuhan keluarga sehingga tidak dapat member perhatian kepada anak-anak dalam masa pertumbuhan anak-anak.

2 . Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan kronologis peristiwa yang diuraikan sebelumnya, bahwa Terdakwa Drive Loni E Als. Andi Als. Andi Semaun, Tempat lahir: Jakarta, Umur/Tgl.Lahir: 35 Tahun/02 Desember 1977, Jenis Kelamin: Laki-Laki, Kebangsaan: Indonesia, Tempat tinggal Komp. Rivera Blok CL No. 67 Medan Tanjung Morawa/ Jl. Terusan No. 05 Kebon Jahe Tangerang/ Jl. Mayor Zeen No. 121-13 Palembang., Agama : Kristen Protestan, Pekerjaan: Wiraswasta , Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa ke depan sidang Pengadilan Negeri Medan dengan dakwaan sebagai berikut:

Kesatu:

Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 Undang-undang RI. No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kedua:

Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 77 Huruf b Undang-undang RI. No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan surat tuntutan pidana dari Penuntut Umum pada pokoknya Jaksa Penuntut Umum dalam requistornya berpendapat bahwa Menyatakan Terdakwa Drive Loni E Als. Andi Als. Andi Semaun telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terbukti secara sah dan


(20)

meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “Menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya”, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 huruf a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dalam Surat Dakwaan. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Drive Loni E Als. Andi Als. Andi Semaun dengan pidana penjara selama:1 (satu) Tahun.

4. Pertimbangan Hakim

Adapun pertimbangan hakim dalam kasus ini dari yang didakwakan kepadanya yaitu: Pertama, melanggar Pasal 49 huruf a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT atau, Kedua Pasal 77 (b) UU R I No. 2 3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum bersifat alternatif, maka kepada M a j e l i s Hakim diberi kewenangan untuk memilih salah satu dakwaan tersebut sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan apabila dakwaan tersebut telah terbukti dan terpenuhi maka untuk dakwaan yang selebihnya tidak perlu dipertimbang lagi.

Sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, majelis hakim akan mempertimbangkan Surat Dakwaan Pertama yaitu melanggar Pasal 49 huruf a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

- Barang siapa.

- Menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya.

Ad. 1. Unsur Barang Siapa

Unsur barang siapa adalah sebagai subjek hukum yang mampu bertanggungjawab menurut hukum, di persidangan telah dihadapkan seorang


(21)

terdakwa bernama Drive Loni E Als. Andi Semaun sebagaimana dalam surat dakwaan.

Semula terdakwa tidak mengaku atas identitasnya tersebut, terdakwa mengaku bernama Drive Lonie akan tetapi berdasarkan fakta dipersidangan terdakwa pada saat melakukan perbuatannya adalah bernama Drive Lonie Als Andi Als. Andi Semaun sebagaimana tertulis dalam Berita Acara Penyidik dan juga di dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Terdakwa adalah seorang yang sehat jasmani dan rohani dan dapat memberikan keterangan secara lancar adalah seorang yang mampu dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga unsur barang siapa telah terpenuhi.

Ad. 2. Menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya:

Berdasarkan dari hasil perkawinan saksi korban dan Terdakwa telah dikarunia 2 (dua) orang anak bernama Christabel Lydia Holly (umur 5 tahun) dan Christian Manuel Louis (umur 3 tahun) keduanya dalam asuhan saksi korban. Bahwa sejak bulan mei 2012 terdakwa telah tidak satu rumah lagi dengan saksi korban dan anak-anaknya dan Terdakwa tidak pernah lagi memberi nafkah istri dan anak-anaknya tersebut.

Terdakwa telah pergi meninggalkan keluarganya (saksi korban) karena pindah tugas bekerja di Palembang, disamping itu antara saksi korban dan terdakwa terjadi percekcokan disebabkan ketahuan atau terbongkarnya kedok terdakwa yang ternyata sebelumnya sudah punya istri dan anak yang selama ini disembunyikan oleh terdakwa.


(22)

Berdasarkan fakta hukum terdakwa telah nyata-nyata menelantarkan keluarganya tidak member nafkah kepada istri dan kedua orang anaknya, sehingga terdakwa sebagai suami tidak bertanggungjawab, bahkan terdakwa telah tidak jujur dan menutup-nutupi identitasnya kepada saksi korban termasuk menutupi keberadaan terdakwa yang ternyata sudah mempunyai istri selain saksi korban. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka unsur “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangga”telah terbukti secara sah menurut hukum.

5. Putusan Hakim

Atas pertimbangan-pertimbangan di atas karena unsur-unsur dari dakwaan pertama telah terbukti dan terpenuhi melakukan tindak pidana “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” yaitu melanggar Pasal 49 Huruf a UU RI No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT maka Majelis hakim memutuskan: menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Drive Lonie Als. Andi Als. Andi Semaun dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan menghukun terdakwa tersebut untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).

6. Analisis Kasus

Dapat dikemukakan bahwa dalam analisis ini di awali dari analisis dakwaan. Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, Jaksa Agung mengeluarkan Surat

Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat Edaran tersebut ditujukan agar dapat keseragaman para Penuntut


(23)

Umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam Surat Edaran ini, disebutkan tentang bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain:76

Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan

1. Dakwaan Tunggal

Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP).

2. Dakwaan Alternatif

Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Misalnya didakwakan: Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau Kedua : Penadahan (pasal 480 KUHP).

3. Dakwaan Subsidair

76

Surat Edaran Jaksa Agung RI No: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembatan Surat Dakwaan


(24)

yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.

misalnya didakwakan : Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP),

4. Dakwaan Kumulatif

Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Contoh dakwaan kumulatif: Kesatu:Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan

Kedua: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP ) dan

Ketiga: Perkosaan (Pasal 285 KUHP)

5. Dakwaan Kombinasi

Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair.


(25)

Contoh dakwaan kombinasi:

Kesatu: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);

Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); dan

Kedua: Primair: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); Subsidair: Pencurian (Pasal 362 KUHP)

Berbeda halnya dengan dan, atau dan subsidair, untuk kata juncto, kata ini digunakan untuk menjelaskan pasal yang memiliki hubungan satu dengan lainnya. Pasal-pasal ini tidak dibatasi hanya untuk satu undang-undang, pula tidak dibatasi hanya untuk penerapan pasal pada tindak pidana. Contoh penggunaan kata juncto misalnya: A membantu B dalam melakukan tindak pidana pembunuhan, maka A akan didakwa dengan Pasal 338 KUHP (tentang pembunuhan) jo. Pasal 55 KUHP (tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana), sedangkan B akan didakwa dengan Pasal 338 KUHP. Dakwaan di antara keduanya berbeda agar menjelaskan bahwa A bukan merupakan pelaku utama seperti yang diatur dalam Pasal 340 KUHP melainkan merupakan pembantu tindak pidana tersebut sebagaimana dijelaskan keadaannya dalam Pasal 55 KUHP.

Mengingat hal-hal yang telah dijabarkan di atas, maka penggunaan kata

dan, atau, juncto, atau primair-subsidair disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana

yang dilakukan oleh Terdakwa. Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam undang-undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif (menggunakan kata atau) atau dakwaan subsidair. Sedangkan, dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak


(26)

Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri-sendiri dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif (menggunakan kata dan).77

- Kesatu:

Dapat dikemukakan dari hasil analisis modus yang dilakukan Terdakwa Drive Lonie Als. Andi Als. Andi Semaun yaitu “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Huruf a UU RI No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sehingga Jaksa Penuntut umum dalam perkara ini mendakwakan si Terdakwa dalam bentuk dakwaan alternatif yaitu:

Perbuatan terdakwa tersebut di atas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga.

- Kedua:

perbuatan terdakwa tersebut di atas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 77 huruf b Undang-undang R I No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jika dikaitkan kedalam kronologis kasus seharusnya dalam kasus ini jaksa penuntut umum mendakwakan dalam bentuk dakwaan gabungan sebagaimana dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, karena dalam kasus ini ada beberapa perbuatan terdakwa yang melanggar hukum (pidana) yaitu:

77


(27)

1. Terdakwa telah memberikan keterangan berupa nama dan identitas yang tidak sebenarnya kepada petugas aparatur negara, yaitu Kantor Catatan sipil sebagaimana diatur dalam pasal 266 ayat (1) KUHPidana. 2. Terdakwa telah melakukan perkawinan yang kedua secara resmi

tanpa ada persetujuan dari istri pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.

3. Terdakwa tidak bertangganggungjawab kepada isteri yang sah beserta kedua orang anaknya, sehingga perbuatan terdakwa telah melanggar beberapa ketentuan hukum yang berbeda satu sama lain.

Dalam Pasal 141 bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dengan satu surat dakwaan, tetapi kemungkinan penggabungan itu dibatasi dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:78

Dalam ajaran “penyertaan” yang dipelajari adalah pertanggungjawaban masing-masing pelaku yang terlibat di dalam suatu tindak pidana, maka ajaran “gabungan” adalah mempelajari seseorang yang melakukan lebih dari satu tindak 1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan

kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.

2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain.

3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi satu dengan yang lain itu ada hubungannya.

78


(28)

pidana. Masalah “gabungan”ini diatur dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP yang terdiri dari:79

Dalam hal pembuktian yang dilakukan oleh hakim, pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di persidangan dengan tujuan untuk mencari kebenaran materil. Pembuktian adalah ketentuan-ketetuan yang berisi penggarisan dan pedoman tetang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 1. Gabungan dalam satu perbuatan (eendaadse samenloop atau concursus idealis)

diatur dalam Pasal 63 KUHP.

2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop atau concursus

realis) diatur dalam Pasal 65 KUHP.

3. Perbuatan berlanjut (Voortgezette samenloop atau delictum continuantum) diatur dalam Pasal 64 KUHP.

80

Pembuktian juga merupakan suatu usaha untuk membuktikan sesuatu (objek yang dibuktikan) memalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai terbukti ataukah tidak menurut Undang-undang. Oleh sebab itu dalam persidangan di pengadilan hakim tidak boleh membuktikan kesalahan terdakwa dengan

79

Modul mata kuliah Hukum Pidana Lanjutan dengan judul “Gabungan Beberapa Tindak

Pidana (Concursus), FH-USU, 2010, Hal. 1 80

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, (Jakarta Sinar


(29)

mena, karena pembuktian hanya boleh dilakukan dengan alat-alat bukti yang diatur dan dibenarkan oleh undang-undang. 81

Dalam sistem pembuktian dikenal beberapa macam pembuktian. Menurut Andi Hamzah terdapat 4 (empat) dimensi teori pembuktian yaitu:

82

a. Teori Pembuktian berdasarkan Undang Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie).

Pembuktian dalam sistem ini didasarkan pada alat-alat bukti yang sudah ditentukan secara limitatife dalam undang-undang, sistem ini merupakan kebalikan dari sistem conviction in time karena dalam sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti dengan adanya alat-alat bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi.

b. Teori Pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (conviction in time).

Teori ini menyatakan bahwa hakim mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya, walaupun tidak ada alat bukti hakim dapat menjatuhkan pidana dan hakim tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan putusan, Subyektifitas dari hakim sangat menonjol dalam sistem ini.

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan Yang Logis (Laconviction Raissonnee)

Teori ini muncul sebagai teori jalan tengah dengan pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang terbatas dengan alasan logis. Alat bukti dalam system ini tidak diatur secara limitative oleh undangundang. Sistem ini juga disebut sebagai

81

Adami, Chazawi Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Bandung: Alumni),2008, Hal. 101

82

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta:Penerbit Sinar Grafika, 2005), Hal. 245-253


(30)

pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasannya dalam menjatuhkan putusan.

d. Teori Pembuktian berdasarkan Undang Undang Secara Negative (Negative Wettelijke).

Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat paling tidak dua alat bukti yang sah. Alat bukti dalam system ini diatur secara limitatif dalam undang-undang. Dalam system ini terdapat dua komponen yang saling mendukung satu sama lain yakni alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim.

KUHAP menganut sistem ke empat ini, hal ini bisa terlihat dari isi ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat paling tidak dua alat bukti yang sah. Alat bukti dalam sistem ini diatur secara terbatas dalam undang-undang, yaitu dalam pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian negatif ini terdapat dua komponen yang saling mendukung satu sama lain yakni alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim.


(31)

Pembuktian menurut M.Yahya Haharap dibagi menjadi:83

2. Conviction–Raisonee

1. Conviction – in Time

Sistem pembuktian ini semata-mata hanya berdasarkan “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim ini boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam siding pengadilan tetapi bisa juga alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Intinya bahwa sistem pembuktian ini semata-mata berdasarkan keyakinan hakim belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang paling dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.

Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting, tetapi keyakinan hakim ini bersifat dibatasi dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan alasan-alasan tersebut haruslah dapat diterima akal (reasonable).

3. Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif

Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undangundang yang tidak memiliki hati nurani. Sistem ini menuntut hakim wajib mencari dan

83

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, (Jakarta:Sinar


(32)

menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. 4. Pembuktian Menurut Undang Undang secara Negative (Negative Wettelijk

Stelsel)

Sistem ini merupakan keseimbangan antara sistem pembuktian conviction-

in time dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif yang mana

kedua sistem ini bersifat saling bertolak belakang. Keseimbangan ini berupa penggabungan secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dari uraian ini maka dapatlah terlihat adanya 2 (dua) komponen penting dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu:

a. Pembuktian haruslah dilakukan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dapat dikemukan dalam putusan hakim pada kasus penelantaran anak yang dilakukan oleh terdakwa Drive Lonie Als. Andi Als. Andi Semaun hakim menerapkan sistem pembuktian negatif yang mana Pembuktian dilakukan dengan cara melihat alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang ditambah Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.


(33)

B. Kasus Putusan No: 498/Pid.B/2014/PN-Rap 1. Kronologis Kasus

Tanggal 26 Januari 2010 telah diputus perceraian antara terdakwa (Kriston Sianturi) dengan Rosmaida br. Saragih dan dari keputusan itu juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Rantauprapat bahwa yang membiayai nafkah atas 4 anak terdakwa yang sebesar Rp. 1.000.000,- setiap bulannya. Hanya saja terdakwa pernah membayarakan kewajiban nafkah anak terdakwa tersebut setelah adanya putusan selama 10 bulan setelah Rosmaida br. Saragih membuat laporan di Polres Labuhanbatu dan seingat terdakwa sebelum Rosmaida Br. Saragih melaporkan pun terdakwa sudah pernah menyuruh perwakilan terdakwa untuk mengantarkan biaya atas anak terdakwa tersebut, namun setelah dari bulan maret 2011 sampai sekarang terdakwa tidak pernah lagi memberikan biaya nafkah atas anak-anak terdakwa sehingga Rosmaida Br. Saragih kembali melaporkan terdakwa ke Polres Labuhanbatu guna proses selanjutnya.

Terdakwa melakukan penelantaran terhadap 4 (empat) anak saksi sejak dari bulan maret 2011 sampai sekarang karena anak-anak terdakwa tidak mau diajak bersama terdakwa sedangkan terdakwa juga mengetahui bahwa mantan istri terdakwa Rosmaida Br. Saragih sudah menikah lagi dengan laki-laki lain.

2 . Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan kronologis peristiwa yang diuraikan sebelumnya, bahwa Terdakwa Kriston Sianturi, Tempat lahir: Tanah Jawa, Umur/Tgl.Lahir: 49 Tahun/18 Februari 1965, Jenis Kelamin: Laki-Laki, Kebangsaan: Indonesia, Tempat tinggal: Jalan Urip Sumodiharjo Rantauperapat Kecamatan Rantau Utara


(34)

Kabupaten LabuhanBatu. Agama : Kristen Protestan, Pekerjaan: Mocok-mocok , Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa ke depan sidang Pengadilan Negeri Medan dengan dakwaan sebagai berikut:

- Kesatu:

Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 77 huruf b Undang-Undang R I No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

- Kedua:

Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 Undang-undang R I No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan surat tuntutan pidana dari penunut umum pada pokoknya jaksa penunutut umum dalam requisitornya (Tuntutan) berpendapat bahwa menyatakan terdakwa Kriston Sianturi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 huruf a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dalam Surat Dakwaan. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kriston Sianturi


(35)

4. Pertimbangan Hakim

Adapun pertimbangan hakim dalam kasus ini yang didakwakan kepadanya yaitu: melanggar Pasal 77 huruf b UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak atau kedua melanggar Pasal 49 Huruf a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.

Karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum bersifat alternatif, maka M a j e l i s Hakim diberi kewenangan untuk memilih salah satu dakwaan tersebut sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan apabila dakwaan tersebut telah terbukti dan terpenuhi maka untuk dakwaan yang selebihnya tidak perlu dipertimbang lagi. Dalam hal ini majelis hakim memilih langsung dakwaan yang kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 49 h u r u f a UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa.

2. Telah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

Ad. 1 Barang siapa;

Yang dimaksud dengan “barang Siapa” dalam pandangan kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah subjek hukum yang dapat berupa orang-perorangan maupun badan hukum yang diwakili oleh person yang menampakkan daya berpikir sebagai persyaratan mendasar kemampuan bertanggungjawab, yang


(36)

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dapat diketahui bahwa orang yang dipandang mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya adalah orang yang sehat akal fikirannya. Oleh karena terdakwa Kriston sianturi adalah orang yang sehat jasmani dan rohani serta dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang dilakukannya, dengan demikian unsur “Barang Siapa” telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.

Ad.2 Telah Menelantarkan Orang Dalam Lingkup Rumah Tangganya Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)

Sesuai dengan pasal 9 ayat (1): setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Bahwa benar terdakwa pernah menikah dengan saksi Rosmaida Br. Saragaih dan hasil pernikahan tersebut dikarunia 4 (empat) orang anak yaitu bernama Lusiana Sianturi, Tiurmaulina Sianturi, Rowilson Sianturi, dan Yansen Sianturi, tetapi sudah bercerai sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Rantauperapat Nomor: 26/Pdt.G/2009/PN-Rap tanggal 26 Januari 2010.

Sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Rantauperapat Nomor: 26/Pdt.G/2009/PN-Rap tanggal 26 Januari 2010 terdakwa mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan/memberikan nafkah terhadap 4 (empat) orang anaknya sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulannya dan terdakwa memenuhi kewajibannya tersebut hanya selama 10 (sepuluh) bulan saja, tetapi sejak bulan Maret 2014 sampai dengan sekarang terdakwa tidak pernah lagi memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepada 4 (empat) orang anaknya


(37)

tersebut, dengan demikian unsur “telah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)” telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.

5. Putusan Hakim

Atas pertimbangan-pertimbangan di atas karena unsur-unsur dari dakwaan pertama telah terbukti dan terpenuhi melakukan tindak pidana “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” yaitu melanggar Pasal 49 Huruf a UU RI No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT maka Majelis hakim memutuskan: menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Kriston Sianturi dengan pidana penjara selama 6 bulan dan menghukun terdakwa tersebut untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah) dan memerintahkan terdakwa untuk ditahan.

6. Analisis Kasus

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang membuat surat dakwaan sesuai Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993

tentang Pembuatan Surat Dakwaan, mengutip dari buku Waluyadi bentuk-bentuk

surat dakwaan tidak diatur dalam undang-undang, akan tetapi ketidak tepatan membuat surat dakwaan akan mengakibatkan sebuah konsekuensi bagi sebuah undang-undang, artinya bentuk surat dakwaan itu akan menentukan apakah sebuah tindak pidana secara keseluruhan tercakup di


(38)

dalam surat dakwaan, atau sebaliknya sehingga surat dakwaan menajdi kabur.84

Bergantung pada fakta perbuatan di dalam praktek dikenal beberapa bentuk surat dakwaan, sebagai berikut:85

a. Dakwaan Tunggal

Dalam penyusunan dakwaan secara tunggal ini hanya didakwakan satu perbuatan pidana dan hanya dicantumkan satu pasal yang di;anggar. Penyusunan dakwaan secara tunggal ini sangat mengandung resiko karena kalau dkawaan satu-satunya ini gagal dibuktikan dalam persidangan maka tidak ada alternatif lain kecuali terdakwa dibebaskan. Tetapi dalam praktek kadang-kadang ditemui suatu keadaan perkara yang berdasarkan bukti-bukti yang ada sulit dicari alasan untuk mendakwakan perbuatan pidana yang lain yang dengan demikian terpaksa disusun secara tunggal.

b. Dakwaan komulatif

Dalam hal ini ada beberapa atau lebih dari satu perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan masing-masing perbuatan yang didakwakan harus dibuktikan sendiri-sendiri. Sebagai contoh, seorang pelaku perbuatan pidana disamping telah membunuh korban yang dalam hal ini didakwa melanggar Pasal 340 atau 338 KUHP masih didakwa juga dengan dakwaan menguasai senjata api tanpa izin, melanggar Pasal 1 ayat 1 UU No 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, karena pelaku pembunuhan

84

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum acara Pidana, (Bandung:Mandar Maju, 1999), Hal. 86-86

85

A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarat: Pradnya Paramita, 1990), Hal. 20-22


(39)

menggunakan sebagai alat adalah senjata api yang kebetulan juga tanpa izin yang berwenang.

c. Dakwaan Alternatif

Dalam penyusunan dakwaan secara alternatif ini diberikan suatu alternatif yang bergantung bagaimana perkembangan di persidangan mengenai dakwaan mana yang terbukti. Umumnya dakwaan satu sama lain dalam arti apabila unsur tertentu telah terbukti unsur yang lain pasti tidak terbukti, demikian juga sebaliknya.

Sebagai contoh, penyusunan dakwaan berdasar Pasal 378 KUHP, dengan alternatif Pasal 372 KUHP. Dalam hal ini unsur yang paling mengahpuskan satu sama lain ialah mengenai beradanya barang pada penguasaan terdakwa. Kalau beradanya barang tersebut adanya di dalam pengauasaan terdakwa adalah sebagai akibat dari bujuk rayu atau serangkaian kata-kata bohong yang dilakukan oleh terdakwa maka dalam hal ini telah terjadi delik penipuan yang melanggar Pasal 378 KUHP. Sedang apabila beradanya barang tersebut di dalam penguasaan terdakwa bukanlah akibat dari bujuk rayu atau rangkaian kata-kata bohong yang dilakukan terdakwa, melainkan dengan izin atau persetujuan pemilik, selanjutnya terdakwa menjual atau menggadaikan atau dengan cara apapun terdakwa memperlakukan barangnya seperti seolah-olah miliknya tanpa izin pemilik, maka dalam hal ini telah terjadi delik penggelapan melanggar Pasal 372 KUHP. Dengan demikian, apabila terbukti melanggar Pasal 378


(40)

KUHP berarti tidak mungkin juga melanggar Pasal 372 KUHP, demikian juga sebaliknya, jadi tidak mungkin terbukti untuk dua-duanya.

d. Dakwaan Primer Subsider

Susunan dakwaan primer subsider ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang paralel atau satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringan ancaman pidananya.

Sebagai contoh: Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP),

Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP),

e. Dakwaan Kombinasi atau Gabungan

Di samping bentuk susunan surat dakwaan kumulatif, alternatif, dan primer subsider tersebut dapat pula disusun dakwaan kombinasi atau gabungan yaitu dengan dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan selanjutnya tersebut masih dapat dicantumkan dakwaan secara alternatif atau primer subsider. Sebagai contoh, perampokan yang disertai pembunuhan, pembakaran rumah dari yang dirampok yang maksudnya untuk menghilangkan jejak, lalu pembunuhan tersebut dilakukan dengan alat berupa senjata api tanpa memili izin dari yang berwenang, dalam hal ini susunan dakwaan disusun menjadi:

Kesatu:

Primer : Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana) Subsider : Pasal 338 (pembunuhan Biasa)

Lebih Subsider : Pasal 355 ayat 2 KUHP (penganiayaan yang direncanakan dan mengakibatkan orangnya mati)


(41)

Lebih-lebih subsider : Pasal 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan orangnya mati.

Kedua:

Primer : Pasal 187 KUHP (sengaja membakar)

Subsider : Pasal 188 KUHP (karena kesalahannya yang mengakibatkan kebakaran)

Ketiga:

Primer : Pasal 365 KUHp (Pencurian yang didahului dengan kekerasan

Subsider : 363 KUHP (Pencurian pada waktu malam dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih)

Keempat:

Primer : Pasal 1 ayat 1 UU No. 12/Dst/1951/ Jo. Pasal 55 KUHP.

Dapat dikemukakan dalam hal ini jaksa mendakwa dengan dakwaan alternatif yaitu pada dakwaan kesatu: Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 77 huruf b Undang-Undang R I No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dakwaan kedua: Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 Undang-undang R I No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dalam peraktek peradilan, dakwaan alternatif disebut dengan istilah dakwaan saling “mengecualikan” atau dakwaan “relative”, atau berupa istilah dakwaan “pilihan (keuze tenlastelegging)”. Pada dakwaan


(42)

alternatif maka hakim dapat langsung memilih untuk menetukan dakwaan mana yang sekiranya cocok serta sesuai dengan hasil pembuktian di persidangan.86

Menurut Van Bammelen dakwaan alternatif dibuat dalam dua hal yaitu:87

1. Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti dipersidangan.

2. Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut

Dikaitkan kedalam pembuktian dan alat-alat bukti, mengutip dari buku Riduan Syahrini dalam ilmu hukum acara pidana dikenal ada tiga macam sistem pembuktian:88

a. Sistem bebas (Vrije Stelsel)

Menurut sistem bebas hakim sama sekali tidak terikat pada ketentuan hukum mengenai bukti. Asalkan suatu tindak pidana, maka ia dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa itu. Jadi dalam sistem bebas titik beratnya terletak pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum akan tetapi didasarkan pada logika dan pengalaman.

86

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), Hal. 57

87

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002), Hal. 181

88

Riduan Syahrini, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung:Alumni, 1983), Hal. 129


(43)

b. Sistem positif (positief wttelijk stelsel)

Sistem positif (positief wttelijk stelsel) menitik beratkan kepada adanya bukti yang sah menurut hukum. Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut hukum, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

c. Sistem negatif ( negatief wettelijk stelsel)

Sistem negatif ( negatief wettelijk stelsel) merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif. Dalam sistem negatif hakim hanyalah boleh menghukum terdakwa, kalau berdasarkan bukti-bukti89

Sistem negatif yang merupakan kombinasi dari sistem bebas dan sistem positif inilah yang menurut kebanyakan ahli hukum paling tepat dipakai dalam pembuktian perkara pidana. Sistem pembuktian inilah yang dianut dalam hukum acara pidana yang berlaku di negara kita, baik yang berlaku sekarang (KUHAP) yang tertuang dalam Pasal 183 yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut hukum ia mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Sistem bebas terlalu memberikan kebebasan kepada hakim sehingga memungkinkan untuk berbuat sewenang-wenang. Sebaliknya sistem positif terlalu mengikat hakim dalam putusan-putusannya, sedangkan dalam sistem negatif, hakim diberikan kebebasan dan keyakina, namun ada pembatasan yaitu ketentuan hukum yang harus diperhatikan.

89

Alat-alat Bukti yang sah menurut KUHP Pasal 184 ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuki, dan keterangan terdakwa


(44)

yang sah ini memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”90

Dapat dikemukakan dalam kasus Putusan No: 498/Pid.B/2014/PN-Rap atas nama terdakwa Kriston Sianturi hakim memutuskan dengan sistem pembuktian negatif yaitu dengan melihat 2 alat bukti yang sah menurut UU dalam kasus ini yaitu alat bukti berupa keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan oleh karena dalam kasus ini dakwaan yang dibuat Jaksa Penunut Umum berupa dakwaan alternatif hakim dapat langsung memilih untuk memperhatikan fakta-fakta hukum dalam persidangan, dapat dikemukakan putusan hakim pada kasus Kriston Sianturi telah tepat dengan mempertimbangkan dakwaan yang kedua yaitu Pasal 49 UU Ri No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan mengadili terdakwa dengan hukuman 6 bulan penjara.

90


(45)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Pada bab ini maka dapat dikemukakan untuk menarik keseluruhan kesimpulan mulai dari bab awal sampai pada bab akhir penulisan skripsi ini yaitu: 1. Bentuk-bentuk penelantaran anak pada umumnya dapat dibagi dalam bentuk:

Penelantaran Fisik, Penelantaran pendidikan, Penelantaran secara emosi, dan penelantaran fasilitas medis, dan faktor-faktor penyebab terjadinya penelantaran anak pada umumnya dapat dilihat pada faktor: faktor orang tua, faktor situasi keluarga, dan faktor anak itu sendiri.

2. Ketentuan Undang-undang yang terkait dengan Penelantaran anak diatur pada Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), diatur pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur pada Undang-undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3. Penerapan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak pada putusan No. 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn Hakim menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Drive Lonie Als. Andi Als. Andi Semaun dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan terhadap kasus tindak penelantaran anak pada putusan No. 498 Pid.B/2014/PN-Rap hakim menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama 6 bulan. Atas kedua kasus


(46)

tersebut adapun pertimbangan hakim yaitu karena unsur-unsur dari dakwaan pertama telah terbukti dan terpenuhi melakukan tindak pidana “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” yaitu melanggar Pasal 49 Huruf a UU RI No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.

B. Saran

1. Perlu dilaksanakan dan diterapkan dengan baik terutama kepada aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa dan hakim untuk mencegah terjadinya tindak pidana penelantaran anak dalam menoptimalkan Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga kepada pihak-pihak yang terlibat seperti pelaku dan korban dapat secara adil dilakukan dalam proses hukumnya.

2. Perlu peran serta masyarakat dalam mencegah terjadinya tindak pidana Penelantaran Anak, misalnya dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila ada hal-hal yang mencurigakan misalnya adanya suatu keluarga yang menelantarkan anaknya sehingga anaknya bebas berkeliaran di jalan.


(47)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Anak bukan saja sebagai karunia terbesar bagi pasangan suami istri dalam membangun rumah tangga, tapi juga terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) UUD 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.2 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

1

AM. Mujahiddin, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Ruang Lingkup

Perlindungan Terhadap Anak dan Istri), dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV NO.

290 Januari 2010, Jakarta:Mahkamah Agung, Hal. 72

2

Bismar Siregar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), Hal. 23

3

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta:Akademika Pressindo, 1983), Hal. 222


(48)

Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupu n sosial.4

Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak peliharaannya. Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 1979 menentukan bahwa hak-hak anak berupa: kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya.5

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak, yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua. Dalam kenyataannya banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini, yang mempengaruhi perkembangan kehidupan anak. Dalam lingkup rumah tangga, rasa aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir dari rumah tangga yang utuh dan rukun. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hal.1 5


(49)

kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.6

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.7

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakar dari rumah tangga. Orang tua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Ada kecenderungan orang tua melempar tanggung jawab pendidikan anaknya hanya pada sekolah. Lalu, mereka menyerahkan waktu anaknya kepada kemajuan teknologi visual, TV dan internet. Tidak jarang, ibu muda menyuapi bayinya sembari matanya terpaku pada tayangan kekerasan. TV berperan membuat jarak sosial dalam relasi keluarga melebar. Ada juga anak yang mengunduh tayangan pornograpi melalui internet. Anak menonton tanpa kendali, dininabobokkan dan disuapi pengetahuan TV tanpa didampingi orang tua. Anak-anak sekolah berjudi, bermain game online di warnet.Tak jarang ada yang berhutang dan mencuri agar bisa mengikuti kemajuan IT.8

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah meliputi:9

6

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta:Merkid Press, 2012), Hal. 1

7

Ibid, Hal. 2

8

9

Erna Ratnaningsih dan Umi Lasmina, Hukum Keluarga, Masalah Perempuan, dan

Anak, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-2) Hal. 119 bisa juga dilihat dalam Varia


(50)

1. Suami, istri dan anak.

2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Adapun bentuk tindak kekerasan di dalam lingkup rumah tangga, yaitu meliputi:10

1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu:

4. Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan, yaitu:

a) Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum atau karena persetujuan atau perjanjian memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut.

b) Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

10


(51)

Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggungjawab orang tua terhadap pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah mengakibatkan anak selalu menjadi korban.11 Kemiskinan selalu dijadikan argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta sebagai gelandangan dan pengamen. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya. Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun penanganannya sangatlah kurang diperhatikan.12

Dapat dikemukakan dalam penelitian ini diangkat dua (2) kasus tentang penelantaran anak yang diputus dengan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Adapun kasus pertama yaitu penelantaran anak terjadi di Kota medan dengan terdakwa yaitu Drive Loni E yang terjadi pada bulan Agustus 2013 yang akibat dari perbuatannya anak mengakibatkab sakit baik fisik, mental maupun sosial yang telah diputus oleh pengadilan medan dengan putusan nomor 2.632/Pid.B/2013/PN-Mdn. Kasus kedua yaitu terjadi di Kota Rantau Perapat dengan terdakwa bernama Kriston Sianturi menelantarkan anaknya dengan cara tidak memberikan nafkah terhadap ke empat anaknya setelah bercerai dari Rosmaida br. Saragih, sehingga Rosmaida melaporkan kejadian tersebut kepada

11

pada tanggal 8 September 2015 Pukul 21.35 Wib

12

September 2015 Pukul 21.45 Wib.


(52)

polisi. Dalam kasus ini Kriston Sianturi diputus oleh Pengadilan Rantau Prapat dengan putusan nomor: 498/Pid.B/2014/PN-Rap.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “Penerapan

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor-faktor penelantaran anak?

2. Bagaimana ketentuan undang-undang yang terkait dengan penelantaran anak? 3. Bagaimana penerapan Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak (Studi Terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah diuraikan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor terhadap penelantaran anak


(53)

2. Untuk mengetahui peraturan Undang-undang yang terkait terhadap penelantaran anak

3. Untuk melihat bagaimana penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak terutama terhadap Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana.

b. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus penelantaran anak di Indonesia.

D.Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan


(54)

Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisan memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulisan dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E.Tinjauan kepustakaan

1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni

straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah

yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:13

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk

13

Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,( Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002), Hal 67 – 68


(1)

PENERAPAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENELANTARAN ANAK

(STUDI PUTUSAN NO: 2632 PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO: 498 PID.B/2014/PN-RAP)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 090200433 ADITYA GINTING

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, SH.M.Hum

NIP. 196209071988112001 NIP. 197407252002122002

Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah, kasih dan penyertaannya yang selalu Penulis dapatkan, termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diberi judul “Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B/2014/PN-Rap)”, yang

disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing I Penulis yang

memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum., selaku dosen pembimbing II Penulis yang

memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini

9. Khusus yang teristimewa yaitu Orang tua Penulis Bantu Ginting, SH dan Salmah Sinuraya, S.Pd, yang terus mendoakan dan memberi semangat bagi Penulis, memberikan dukungan materi maupun dukungan moril yang tak terhingga dan tak terbalaskan, satu langkah perjuangan kalian telah selesai dan tak akan kusia-siakan keberhasilan kalian ini.

10. Abang dan kakak-kakakku, terima kasih buat dukungannya dan semoga kita bersama–sama meraih cita–cita di masa depan.

11. Seluruh teman-teman sejurusan di Departemen Hukum Pidana.

Medan, Januari 2016

Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 8

2. Anak dan Penelantaran Anak ... 17

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 19

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II : BENTUK - BENTUK DAN FAKTOR - FAKTOR PENELANTARAN ANAK A. Bentuk-Bentuk Penelantaran Anak ... 26

B. Faktor-faktor Penyebab Penelantaran Anak. ... 30

BAB III : KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN PENELANTARAN ANAK A. Penelantaran Anak Menurut KUHP ... 35 B. Penelantaran Anak Menurut Undang-undang No. 39 Tahun


(5)

D. Penelantaran Anak Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga ... 47

BAB IV : PENERAPAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK (STUDI PUTUSAN NO: 2632 PID.B/2013/PN-MDN DAN PUTUSAN NO: 498 PID.B/2014/PN-RAP) A. Kasus Putusan No: 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn ... 49

1. Kronologis Kasus ... 49

2. Dakwaan Jaksa Penunut Umum ... 51

3. Tuntutan Jaksa Penunut Umum ... 51

4. Pertimbangan Hakim ... 52

5. Putusan Hakim ... 54

6. Analisis Kasus ... 54

B. Kasus Putusan No: 498 Pid.B/2013/PN-Rap ... 65

1. Kronologis Kasus ... 49

2. Dakwaan Jaksa Penunut Umum ... 65

3. Tuntutan Jaksa Penunut Umum ... 66

4. Pertimbangan Hakim ... 67

5. Putusan Hakim ... 69

6. Analisis Kasus ... 69

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78


(6)

ABSTRAKSI

Aditya Ginting* Nurmalawaty** Rafiqoh Lubis***

Anak bukan saja sebagai karunia terbesar bagi pasangan suami istri dalam membangun rumah tangga, tapi juga terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) UUD 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi..

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bentuk-bentuk dan faktor-faktor penelantaran anak, ketentuan undang-undang yang terkait dengan penelantaran anak, dan penerapan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak. Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

Bentuk-bentuk penelantaran anak pada umumnya dapat dibagi dalam bentuk: Penelantaran Fisik, Penelantaran pendidikan, Penelantaran secara emosi, dan penelantaran fasilitas medis, dan faktor-faktor penyebab terjadinya penelantaran anak pada umumnya dapat dilihat pada faktor: faktor orang tua, faktor situasi keluarga, dan faktor anak itu sendiri. Ketentuan Undang-undang yang terkait dengan Penelantaran anak diatur pada Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), diatur pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur pada Undang-undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas undang No. 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penerapan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap tindak pidana penelantaran anak pada putusan No. 2632 Pid.B/2013/PN-Mdn Hakim menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Drive Lonie Als. Andi Als. Andi Semaun dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan terhadap kasus tindak penelantaran anak pada putusan No. 498 Pid.B/2014/PN-Rap hakim menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama 6 bulan. Atas kedua kasus tersebut adapun pertimbangan hakim yaitu karena unsur-unsur dari dakwaan pertama telah terbukti dan terpenuhi melakukan tindak pidana “menelantarkan seseorang dalam lingkup rumah tangganya” yaitu melanggar Pasal 49 Huruf a UU RI No 23 Tahun 2004 tentang


Dokumen yang terkait

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)

1 44 93

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 7

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 1

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 25

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 34

Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Anak (Studi Putusan No: 2632 Pid.B 2013 PN-Mdn dan Putusan No: 498 Pid.B 2014 PN-Rap)

0 0 2