Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Gaharu
Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu tertentu di hutan. Gaharu
adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu,
melainkan karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan
sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat
phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil
perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti
serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat
phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon keras dari
jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak keluar dari batang
gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada
tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang
menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian
gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih
rendah (Wulandari, 2000).
Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang
dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara
inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya
dipengaruhi


oleh

kondisi

lingkungan

serta

konstitusi

genetik

pohon

(Agrios, 1996). Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu
mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar
3–4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung
ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk


Universitas Sumatera Utara

bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat
telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007).
Simorangkir

dan

Dwisusanto

(2000)

menyatakan

bahwa

gaharu

merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang
terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang

lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan
campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari
genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae.
Botani Tanaman Gaharu
Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah :
Kingdom

: Plantae (tumbuhan)

Divisi

: Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub Divisi

: Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)

Kelas

: Dikotil (berbiji belah dua)


Sub Kelas

: Dialypetale (bebas daun bermahkota)

Ordo

: Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)

Famili

: Thymeleaceae (akar berserabut jala)

Genus

: Aquilaria

Species

: A. malaccensis Lamk.


(Tarigan, 2004).
Penyebaran Tanaman Penghasil Gaharu (A. malaccensis Lamk)
Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu
berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang
khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi

Universitas Sumatera Utara

dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat
sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan
secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan
oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China.
Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa
penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan,
ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan
tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446
ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).
Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan

bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi
tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Sedangkan mutu
terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya
harga

gaharu

dan

belum

tersedianya

petunjuk

objek

yang

mampu


mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang
banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi
jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX I
(Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).
Kayu gaharu juga berfungsi sebagai bahan baku dupa (makmul) dan hio
dan bisa dijadikan sebagai bahan untuk aroma terapi. Selain itu kayu gaharu juga
dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan minyak wangi/parfum,
bahan baku pembuatan minyak gaharu, Sabun, Shampo yang harum semerbak dan
berbagai produk kecantikan, bahan baku kerajinan dan ukiran.

Universitas Sumatera Utara

Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia
Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.
Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan
struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat
dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun
hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis
gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan.

Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon
berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), Produksi gubal gaharu mulai
terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak sakit,
dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna
coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip
kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian.
Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa.
Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan
ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada
daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan
curah hujan 1000–2000 mm/tahun.
Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan
menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk
membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis

Universitas Sumatera Utara

pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi

kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada
kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang
dalam (Sumarna, 2007).
Kelas Produk Gaharu
Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk
penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu:
a. Gubal
Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,
memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh
warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
b. Kemedangan
Merupakan kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,
memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh
warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan
kayunya yang lunak.
c. Abu (bubuk)
Abu merupakan serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau
penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.
Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh

Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu
tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada tabel 1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
No
A A1 A2 A3

B B1 B2 B3 B4
B5 B6 B7

C C1 C2 C3

Klasifikasi dan
kelas mutu
Gubal Mutu
utama (U)
setara dengan
mutu super

Mutu pertama
(I) setara
dengan mutu
AB Mutu kedua
(II) setara
dengan Sabah
Super (SBI)
Kemedangan
Mutu I, setara
TG-A
(Tanggung A)
Mutu II, setara
SBI Mutu II,
setara TAB
Mutu IV, setara
TG-C
(Tanggung C)
Mutu V, setara
mutu M1
(Kemedangan
1) Mutu VI,
setara mutu M2
(Kemedangan
2) Mutu VII,
setara mutu M3
(Kemedangan
3)
Abu Mutu
utama (U) Mutu
pertama (I)
Mutu kedua (II)

Warna

Kandungan
damar wangi
Tinggi Cukup
Sedang

Aroma

Coklat
kehitaman
Coklat bergaris
hitam Coklat
bergaris putih
Coklat bergaris
putih
Kecoklatan
bergaris putih
lebar Putih
keabuan garis
hitam tipis
Putih keabuan

Tinggi Cukup
Sedang Sedang
Sedang Kurang
Kurang

Agak kuat Agak
kuat Agak kuat
Agak kuat
Kurang kuat
Kurang kuat
Kurang kuat

Hitam Coklat
kehitaman Putih
kecoklatan atau
kekuningan

Tinggi Sedang
Kurang

Kuat Sedang
Kurang kuat

Hitam merata
Hitam coklat
Hitam
kecoklatan

Kuat Kuat Agak
kuat

(Sumber : Badan Standarisasi Nasional)

Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem
sekunder dan floem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah
terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi
pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal
kulit, merupakan bukti bahwa resin gaharu terdeposit pada jaringan floem.
Anatomi kulit bagian dalam tersusun dari jaringan floem, yang berfungsi sebagai

Universitas Sumatera Utara

transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini
merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009).
Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin
terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi.
Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum
patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996).
Inokulan Pembentuk Gaharu
Inokulan Pembentuk Gaharu merupakan jamur protista nonfotosintesis
yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan
sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat
ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara
utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling
berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabungtabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel.
Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi
empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes),
Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti)
(Brooks dkk, 2001).
Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel
tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual
dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri
karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya,
yaitu melalui absorpsi (Gandjar dkk, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan
spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium).
Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan
sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah
Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam
deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari
polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur
merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu
Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina
(basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001).
Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan
bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah
morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada
banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun
spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal
yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis
jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif,
identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara
menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk
menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan
spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut
ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu
wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk
meningkatkan kelembaban udara dalam gelas atau plastik tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa
macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni.
a. Inokulan padat
Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat berupa
serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain seperti
kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan pembuatan
inokulan padat tersebut sebagai berikut :
1. Pengumpulan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah.
2. Memasukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam
botol yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram.
3. Botol yang sudah steril tersebut dimasukkan di dalam ruang biakan yang
sudah dilengkapi dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet.
4. Mengambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan
pinset.
5. Spora atau miselium tersebut lalu dimasukkan ke dalam botol secara steril di
atas lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba
lain. Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset.
6. Lalu botol ditutup dengan kapas steril dan dilapisi dengan aluminium foil
7. Botol biakan pengembangan spora inokulan kemudian disimpan dalam ruang
bersuhu kamar.
8. Diamati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang
terbentuk.
9. Setelah di amati, botol disimpan kembali dalam inkubator atau freezer bila
miselium sudah memenuhi tepian botol (sekitar 1-2 bulan kemudian) agar

Universitas Sumatera Utara

spora diistirahatkan

(didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap

diinokulasikan ke tanaman gaharu.
b. Inokulan cair
Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti halnya
inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume
tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah
inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi
inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) :
1. Dilarutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan
vitamin dengan aquadest (air murni). Lalu disterilkan dalam autoclave.
2. Setelah steril, media cair tersebut dimasukkan ke dalam botol infus bekas.
3. Diberikan lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan
pemasukan spora inokulan ke dalam botol.
4. Lalu botol infus dimasukkan dalam ruang pembiakan inokulan yang
dilengkapi dengan lampu ultraviolet.
5. Kemudian diambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol
infus bekas. Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar
steril.
6. Setelah itu lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora
ditutup dengan menggunakan selotip. Kemudian di simpan botol tersebut
pada rak inkubasi dalam suhu kamar.
7. Dibiarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan.
8. Setelah sebulan, diamati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila
dijumpai koloni spora inokulan minimal 50 spora/cm bidang pengamatan

Universitas Sumatera Utara

maka botol infus dapat diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer.
Setelah itu, inokulan sudah bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu.
(Sumarna, 2007)
c. Biakan murni
Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di
dalam laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu
diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila
sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007).
Teknik Inokulasi
Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda
sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon
gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu
pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya
umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 810 cm (Sumarna, 2007).
a. Inokulasi dengan inokulan padat
Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut:
1. Dibuat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter
lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu
disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap
batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm.
2. Tangan pelaku inokulasi terlebih dahulu dibersihkan dengan air hingga bersih
dan dibilas dengan alkohol sebelum pelaksanaan inokulasi.

Universitas Sumatera Utara

3. Memasukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang
dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan,
pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar
pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu
yang ukurannya sesuai diameter lubang.
4. Setiap lubang yang sudah diberi inokulan ditutup untuk menghindari
masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak
kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”.
(Sumarna, 2007).
b. Inokulasi dengan inokulan cair
Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai
berikut:
1. Dilakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke
bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon,
biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan
berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut
biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan.
Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani.
2. Dimasukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang.
3. Besarnya aliran inokulan cair tersebut harus diatur dengan baik. Hentikan
aliran infus bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang.
4. Ditutup bagian tepi di sekitar selang infus dengan menggunakan “lilin
malam”.

Universitas Sumatera Utara

5. Pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang di ulangi setiap 1-2
hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan
bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.
6. Penginokulasian ini di lakukan hingga inokulan cair di dalam botol infus
tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru
bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis (Sumarna, 2007).
Luas infeksi dihitung berdasarkan sebaran browning secara vertikal dan
horisontal. Sebaran browning secara vertikal lebih besar dari pada horisontal hal
ini karena infeksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang
tersusun atas sel-sel vessel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi
air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut
untuk memperluas invasi. Perkembangan infeksi secara horizontal cenderung
melambat seiring waktu (Novriyanti, 2008).

Universitas Sumatera Utara