Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penerjemah: Munzir Busnia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia. Gaharu. SNI 7631:2011. Jakarta.

Brooks, G. F., J. S. Butel dan S. A. Morse. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta

Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A. (2010). Identifikasi Jenis-Jenis Fungi yang Potensial Terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp.

Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1, No.1. pp 1-5.

Gandjar, I., R. A Samson., K. T. Vermenten., A. Oetani dan I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Troik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pe-ngembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008.

Mucharromah. 2010. Pengembangan Gaharu di Bengkulu, Sumatera. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Maret 2010.

Novriyanti, E. 2008. Peranan Zat Ekstraktif dalam Pembentukan Gaharu pada Aquilaria crassna dan Aquilaria microcarpa. Thesis Pascasarjana IPB (Tidak diterbitkan).

Rukmana, R dan S. Saputra. 1997. Penyakit Tanaman Dan Teknik Pengendalian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Simanjuntak, B. 2009. Uji Infektifitas Fusarium sp. Pada Tiga Kelas Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Universitas Sumatera Utara. Medan

Simorangkir, B.D.A.S dan F.X.Dwisusanto. 2000. Riap Gaharu (Aquilaria malacencis Lamk) Pada Lebar Jalur Tanam yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Situmorang, J. 2000. Mikropropagasi Kayu Gaharu (Aquilaria spp) Asal Riau, Serta Identifikasi Sifat Genetiknya Berdasarkan Analisis Isozim (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(2)

Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta.

Suwadiwangsa, S dan Zulnely. 1999. Catatan Mengenai Gaharu Di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan Badan Penelitian Kehutanan dan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan

Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Yunasfi. 2002. Faktor – fakor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan Penyakit yang disebabkan oleh Jamur. Universitas Sumatera Utara. Medan


(3)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pertanaman gaharu milik Bapak Petro Sembiring di Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara dan di Laboratorium Biotekhnologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan pada Mei 2013 – Desember 2013.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon A. malaccensis Lamk yang berusia 4,5 tahun, inokulum Fusarium sp, aquades, media PDA, ekstrak kentang, alkohol 70%. Sedangkan alat – alat yang digunakan adalah botol, botol semprot, cawan petri, beaker glass, plastic warp, gelas ukur, bunsen, jarum ose, mikroskop, bor kayu dan mata bor ukuran 8 mm, genset, kabel panjang 12 m, spidol, kapas, jarum suntik, ranting kayu, pita ukur.

Metode Penelitian

Pembuatan Inokulum Cair

1. Diambil potongan gaharu dari batang tanaman A. malaccensis Lamk. yang sudah terinfeksi. Batang yang terinfeksi ditandai dengan adanya perubahan warna kayu menjadi merah hingga coklat – kehitaman. Dan jika dibakar mengeluarkan aroma yang harum.

2. Kemudian potongan gaharu di murnikan dengan media PDA selama tujuh hari. Diusahakan supaya tidak terjadi kontaminasi.


(4)

3. Setelah tujuh hari, fungi yang telah tumbuh pada media PDA tersebut di identifikasi dengan mikroskop. Jika sudah terdapat Fusarium sp dengan kondisi yang baik, maka fungi tersebut dapat dipindahkan ke inokulum cair. Inokulum cair terbuat dari ekstrak kentang.

4. Kemudian Fusarium sp ditumbuhkan kembali selama tujuh hari di dalam inokulum cair tersebut.

5. Setelah tujuh hari, kembali diamati dengan menggunakan mikroskop untuk memastikan fungi Fusarium sp tumbuh baik dalam inokulum cair.

6. Setelah di peroleh Fusarium sp yang tumbuh baik, isolat cair tersebut dapat

dibawa kelapangan untuk diinjeksikan terhadap tanaman A. mallaccensis Lamk.

Perlakuan dengan Perbedaan Frekuensi Injeksi dan Pembagian Batang

1. Dilakukan inventarisasi pohon, dengan mengukur tinggi dan diameter supaya di peroleh pohon yang sesuai kriteria dengan syarat pohon yang dapat di injeksi. Pohon yang dapat di injeksi adalah pohon yang memiliki diameter minimal 10 cm. Untuk penelitian ini, di pilih pohon yang diameternya 10 - 12 cm.

2. Pohon dibagi menjadi tiga bagian (bagian bawah, tengah dan atas). Pembagiannya dilakukan dengan cara mengukur tinggi bebas cabang pohon (TBC), lalu dibagi menjadi tiga bagian untuk bagian bawah, tengah dan atas. 3. Pohon kemudian diberi tanda di lapisan kulitnya dengan spidol untuk

menentukan bidang pengeboran. Titik pengeboran terbawah 20 cm dari permukaan tanah. Buat lagi titik pengeboran di atasnya dengan menggeser ke arah horizontal sejauh 10 cm dan ke vertikal 10 cm. Dengan cara sama dibuat


(5)

beberapa titik berikutnya hingga dihubungkan membentuk garis spiral (5 titik pohon bagian atas, 5 titik bagian tengah dan 5 titik bagian bawah).

4. Titik – titik yang sudah ditandai tadi kemudian di lubangi masing - masing sedalam 7.5 cm dengan menggunakan bor listrik.

5. Kemudian permukaan lubang dibersihkan dengan kapas yang dibasuh alkohol 70% untuk mencegah infeksi mikroba lain, tangan peneliti juga harus di bersihkan dengan air bersih dan alkohol supaya benar – benar steril.

6. Setelah tangan dan lubang sudah steril, inokulum kemudian dimasukkan ke dalam pohon dengan berbeda periode injeksi, satu perlakuan disuntik sekali saja, satu perlakuan disuntik sebanyak dua kali dan satu perlakuan lagi disuntik sebanyak tiga kali. Penyuntikan dilakukan dengan rentang waktu tiap satu minggu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan frekuensi injeksi inokulum terhadap efektifitas inokulasi.

7. Lubang – lubang yang sudah terisi penuh oleh inokulum kemudian ditutup dengan ranting agar tak ada kontaminasi.

8. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali selama empat belas minggu untuk melihat keberhasilan inokulasi.

9. Setelah empat belas minggu pengamatan, dilakukan kegiatan reisolasi untuk mengamati fungi pembentuk gubal gaharu tersebut.


(6)

Lubang injeksi Batang atas

Batang tengah

Batang bawah

20 cm

Permukaan tanah Gambar 1. Sketsa pelubangan pada batang pohon

Parameter Pengamatan a. Persentase Infeksi

Persentase infeksi berguna untuk menunjukkan berapa persen keberhasilan injeksi yang dilakukan dalam tiap perlakuan. Diamati setelah lubang terinfeksi. Tanda – tanda tanaman yang terinfeksi yaitu, pada lubang infeksi terlihat kecoklatan sampai menghitam dan sekitar lubang infeksi terlihat perubahan warna pada batang yaitu menjadi kecoklatan. Berikut adalah rumus menghitung jumlah lubang yang terinfeksi.

∑ Lubang injeksi yang terinfeksi

% infeksi (X) = x 100%

∑ Seluruh lubang Injeksi 10 cm


(7)

b. Masa Inkubasi

Masa inkubasi merupakan waktu antara permulaan infeksi dengan timbulnya gejala yang pertama. Parameter ini menunjukkan kapan tepatnya lubang – lubang injeksi mulai terinfeksi dan bagaimana gejala yang dihasilkan. Pengamatannya dilakukan tiap dua minggu sekali. Sehingga data yang didapat lebih akurat.

c. Perkembangan Infeksi

Perkembangan infeksi dihitung dengan cara mengukur perkembangan gejala pada titik – titik yang terinfeksi dengan menggunakan penggaris. Penyebaran infeksi dapat dilihat dari tanda – tanda sekitar lubang injeksi, akan terlihat perubahan warna mulai dari kecoklatan sampai kehitaman.

d.Kualitas infeksi

Kualitas diukur dengan melihat perubahan warna disekitar lubang injeksi dan keharumannya. Pengukuran warnanya di lihat dengan perubahan warna yang dihasilkan dari penginjeksian batang tanaman A. malaccensis Lamk. Sedangkan untuk penilaian tingkat keharumannya dilakukan dengan metode scoring. 1. Tidak harum, 2. Agak harum, 3. Sedang, 4. Kuat, 5. Sangat kuat. Penilaian di lakukan oleh 10 orang responden. Tingkat keharumannya dibandingkan dengan gaharu kualitas kemedangan dengan skor 3.

e. Reisolasi Fusarium sp

Reisolasi merupakan kegiatan yang mengamati kembali gubal gaharu yang dihasilkan, yang bertujuan untuk melihat fungi pembentuk gubal gaharu tersebut memang fungi yang digunakan pada isolat cair yang sudah di injeksikan ke pohon A. malaccensis Lamk. Kegiatan di awali dengan memurnikan gubal gaharu yang


(8)

dihasilkan pada media PDA selama tujuh hari. Lalu di lakukan proses identifikasi dengan mikroskop. Hasilnya kemudian di dokumentasikan, lalu di bandingkan dengan gambar fungi pada inokulum cair yang telah digunakan sebelumnya.

Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap faktorial. Model matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + єijk

Keterangan

µ : Rataan Umum

Faktor A : Jumlah frekuensi Injeksi Faktor B : bagian batang

i : 1, 2, 3.

j : 1, 2, 3

Ai : Pengaruh frekuensi injeksi pada taraf ke-i Bj : Pengaruh bagian batang pada taraf ke-j

Abij : Interaksi antara frekuensi injeksi dengan bagian batang

Єijk : Pengaruh galat frekuensi injeksi taraf ke-i, bagian batang taraf ke-j dan ulangan ke-k


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Infeksi

Parameter ini merupakan cara yang digunakan untuk melihat berapa banyak lubang injeksi yang mampu diinfeksi oleh Fusarium sp. Setiap perlakuan terdapat 75 lubang injeksi (15 lubang injeksi tiap pohon, dengan lima ulangan). Lubang yang terinfeksi dapat dilihat dari perubahan warna yang terjadi di sekitar lubang injeksi. Lubang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala seperti perubahan warna, batang menjadi kering dan mengeluarkan aroma.

Tabel 2. Persentase infeksi Minggu setelah

injeksi awal

Pembagian Batang

Persentase Infeksi (%)

1x Injeksi 2x Injeksi 3x Injeksi 3

Bawah 52 52 48

Tengah 88 80 92

Atas 56 64 64

5

Bawah 60 72 64

Tengah 96 100 100

Atas 96 96 92

7

Bawah 72 84 96

Tengah 100 100 100

Atas 96 96 100

9

Bawah 72 84 100

Tengah 100 100 100

Atas 96 96 100

11

Bawah 76 84 100

Tengah 100 100 100

Atas 96 96 100

13

Bawah 76 84 100

Tengah 100 100 100

Atas 96 96 100

15

Bawah 76 84 100

Tengah 100 100 100

Atas 96 96 100

Setelah di lakukan 15 minggu pengamatan, tampak perbedaan besarnya jumlah persentase infeksi dari tiap faktor perlakuan yang dilakukan. Untuk perlakuan dengan satu kali injeksi: batang bagian bawah 76%, batang bagian tengah 100% dan batang bagian atas 96%. Untuk perlakuan dengan dua kali


(10)

injeksi : batang bagian bawah 84%, bagian bagian tengah 100% dan batang bagian atas 96%. Sedangkan untuk perlakuan dengan tiga kali injeksi : batang bagian bawah 100%, batang bagian tengah 100% dan batang bagian atas 100%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa batang bagian tengah merupakan bagian batang yang paling baik. Ini di tunjukkan dari tiga perlakuan yang telah dilakukan, perlakuan dengan tiga kali injeksi menghasilkan persentase 100% untuk batang bagian bawah, tengah dan atas. Hal tersebut kemungkinan besar diduga karena batang bagian tengah merupakan batang yang cukup matang, sehingga Fusarium sp lebih dapat menginfeksi pada bagian tersebut. Sedangkan batang bawah merupakan batang yang tua dan batang atas merupakan batang muda tempat jaringan meristematik yang berfungsi untuk pertumbuhan pohon. Sehingga perlawanan terhadap patogen (Fusarium sp) lebih kuat dibagian tersebut.

(a) (b)

Gambar 2. Batang pohon A.malaccensis Lamk.

(a) Tidak terinfeksi (b) Terinfeksi

Terdapat sebagian lubang injeksi yang tidak terinfeksi oleh Fusarium sp. hal ini mungkin di sebabkan pada bagian tersebut, pohon A. malaccensis Lamk. melakukan perlawanan lebih kuat. Pohon akan memberikan perlawanan terhadap


(11)

mikroorganisme asing yang masuk ke dalam tubuhnya, terutama mikroorganisme yang bersifat patogen seperti Fusarium sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunasfi (2002) yang menyatakan ketahanan pohon terhadap patogen dapat terjadi karena kemampuan pohon untuk membentuk struktur-struktur tertentu yang tidak menguntungkan perkembangan patogen pada pohon tersebut, seperti kurangnya jumlah stomata per satuan luas daun, pembentukan lapisan kutikula yang tebal, pembentukan jaringan dengan sel-sel yang berdinding gabus tebal segera setelah patogen memasuki jaringan tanaman atau produksi bahan-bahan toksik di dalam jaringan yang cukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan tanaman, sehingga patogen mati sebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal menyebabkan penyakit pada pohon.

Semakin banyak frekuensi injeksi yang dilakukan terhadap pohon A. malaccensis Lamk. maka persentase terjadinya infeksi semakin baik. Hal ini di sebabkan kemampuan Fusarium sp untuk menginfeksi batang yang semakin baik apabila dilakukan injeksi yang berulang. Karena dengan di lakukannya injeksi lebih dari sekali, maka akan terjadi perbaikan infeksi. Yang kemungkinan awal hanya terinfeksi sedikit bila di injeksi satu kali, namun dengan adanya perlakuan injeksi yang berulang maka ada penigkatan aktifitas Fusarium sp yang semakin baik yang juga mengakibatkan infeksinya semakin besar.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keberadaan inokulum yang bersifat patogen ini (Fusarium sp) berpengaruh sangat penting dalam perkembangan penyakit (gaharu). Karena inokulum merupakan pembentuk penyakit pada tumbuhan atau tanaman. Rukmana dan Saputra (1997) menyatakan


(12)

tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman. Hanya inokulum patogen yang berfungsi untuk menginfeksi tumbuhan atau tanaman.

Dari total keseluruhan jumlah injeksi, terdapat juga lubang injeksi yang tidak menampilkan tanda - tanda terbentuknya gaharu. Terdapat 28% pada perlakuan satu kali injeksi, dan 20% pada perlakuan dua kali injeksi yang belum ataupun tidak menunjukkan gejala terbentuknya gaharu. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perubahan warna pada batang disekitar lubang – lubang injeksi pada batang pohon tersebut.

(a) (b) (c) Gambar 3. Perkembangan gejala

(a) Tidak terjadi gejala (b) gejala setelah 8 minggu pengamatan (c) gejala akhir pengamatan

Dari gambar 2a dapat dilihat bahwa perubahan warna hanya terjadi pada bekas lubang injeksi. tidak ada terdapat penyebaran perubahan warna disekitar lubang tersebut. Belum atau tidak terinfeksinya lubang injeksi ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, kurang responnya batang terhadap inokulum, maupun kesalahan dalam melakukan injeksi yang menyebabkan kondisi lubang injeksi menjadi terkontaminasi. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan


(13)

Mucharromah (2008) menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi resin gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan berubah menjadi berwarna kehitaman dan menghilang sebelum selnya hancur. Oleh karena itu dalam proses produksi gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip aseptik yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi.

Sedangkan untuk gambar 2b dan 2c menunjukkan bahwa terjadi perubahan gejala yang jelas. Batang sekitar lubang injeksi sudah mulai berubah warnanya menjadi merah kecoklatan. Selain itu dapat dlihat juga ada cendawan yang tumbuh pada lubang injeksi. perubahan – perubahan gejala yang tampak, menunjukkan bahwa lubang injeksi tersebut sudah diinfeksi oleh fugi yang diinjeksikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pojanagaroon & Kaewrak (2002) yang menyatakan Penggunaan cendawan dalam menginduksi pembentukan gubal gaharu menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada pohon gaharu. Perubahan fisiologis yang terjadi berupa klorosis daun, perubahan warna kayu di daerah terinfeksi, terbentuknya aroma wangi.

b. Masa Inkubasi

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama 15 minggu dilapangan, Fusarium sp. yang disuntikkan dengan frekuensi yang berbeda ternyata sudah menunjukkan gejala infeksinya setelah tiga minggu dari perlakuan awal. Gejala yang ditimbulkan ialah batang di sekitar lubang injeksi berubah menjadi agak kering dan munculnya perubahan warna di sekitar lubang injeksi menjadi ke-kuningan. Situmorang (2000) menyatakan bahwa produksi gubal gaharu akan dapat di amati mulai terbentuk setelah satu bulan perlakuan. Dan berdasaran penelitian yang dilakukan sebelumnya (Simanjuntak, 2009) gaharu


(14)

memang mulai terbentuk pada satu bulan setelah diberi perlakuan pada tanamannya. Hal ini jelas berdampak sangat baik. Karena berdasarkan hasil yang didapat, bahwa waktu terjadi infeksi gaharu lebih cepat dari rata – rata penelitian sebelumnya.

c. Besar Infeksi

Besar infeksi didapat perkembangan gejala pada batang, yaitu dari arah vertikal (panjang) dan arah horizontal (lebar). Pengukurannya dilakukan dengan menarik garis dari lubang injeksi ke titik gejala yang terjauh.

1. Panjang Infeksi

Hasil panjang infeksi diperoleh dari pengamatan yang dilakukan setiap dua minggu sekali. Data yang diambil adalah data pengamatan ke-tujuh (Data pengamatan ke-empat belas).

Tabel 3. Panjang infeksi Fusarium sp

Pembagian Batang Panjang Injeksi (cm)

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

Bawah 1.71 1.78 2.47

Tengah 3.47 3.57 3.71

Atas 2.52 2.87 3.03

Panjang infeksi yang di dapat menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata pada infeksi Fusarium sp. Tidak signifikannya pengaruh frekuensi maupun interaksi perlakuan dapat di akibatkan karena waktu pengamatan yang kurang lama, sehingga didapat data yang tidak signifikan. Selain itu efektifitas patogenesis Fusarium sp juga sangat mempengaruhi terjadinya gaharu. Fusarium sp memang sudah di ketahui dapat menghasilkan gaharu apabila di reaksikan ketanaman inangnya. Namun kualitasnya juga akan berbeda – beda karena kita belum mengetahui bagaimana


(15)

secara rinci proses Fusarium sp menginfeksi tanaman inangnya tersebut. Budi dkk (2010) menyatakan jamur yang secara umum telah diketahui dapat menginduksi pembentukan gubal gaharu adalah dari genus Fusarium. Jamur tersebut diperoleh dari hasil Isolasi pada gubal yang sudah terbentuk di alam, namum demikian efektivitasnya tersebut dalam menginduksi pembentukan gubal belum diketahui secara jelas. Panjang infeksi pada gambar 2. sebenarnya sudah menunjukkan perbedaan panjang infeksi yang semakin baik dengan semakin banyaknya frekuensi injeksi. namun perbedaannya belum signifikan.

2. Lebar Infeksi

Tabel 4. Lebar infeksi Fusarium sp

Pembagian Batang Lebar Infeksi

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

Bawah 0.26 0.32 0.46

Tengah 0.44 0.55 0.63

Atas 0.38 0.38 0.54

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi injeksi dan pembagian batang maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap lebar infeksi. Data ini sama dengan penelitian sebelumnya (Simanjuntak, 2009) yang mendapatkan hasil infeksi pada bagian lebar (arah horizontal yang tidak sebagus panjang infeksinya (arah vertikal).

Terdapat beda yang signifikan antara panjang dan lebar infeksi yang didapatkan dari penelitian ini. Kemungkinan besar disebabkan karena jaringan pengangkut air dan mineral ialah searah dengan panjang batang. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang juga mendapatkan hasil yang juga lebih besar dibagian panjang (arah vertikal) dibandingkan dibagian lebar (arah horizontal, Pernyataan Novriyanti (2008) juga memperkuat hasil ini yang menyatakan perkembangan arah vertikal lebih besar dari pada horizontal karena infeksi


(16)

vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang tersusun atas sel-sel vessel-sel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas invasi, sedangkan perkembangan horizontal cenderung melambat seiring waktu.

d. Kualitas Gubal

Kualitas gubal didapatkan dari aroma gaharu dan mengamati perubahan warna batang.

1. Aroma

Untuk mendapatkan kualitas gaharu, dapat juga dilakukan dengan membuat scoring rata – rata aroma gaharu kepada 10 orang responden. Potongan gaharu di sayat sedikit, lalu di bakar dan di cium aroma yang ditimbulkan.

Tabel 5. Kualitas aroma gubal gaharu

No Nama Kualitas

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

1 Responden 1 1 2 3

2 Responden 2 1 1 2

3 Responden 3 1 1 2

4 Responden 4 1 2 2

5 Responden 5 1 2 2

6 Responden 6 1 2 2

7 Responden 7 1 2 3

8 Responden 8 1 2 3

9 Responden 9 1 2 2

10 Responden 10 1 2 2

Keterangan tingkat aroma

1. Tidak aroma, 2. Kurang aroma, 3. Ber-aroma Sedang, 4. Cukup

ber-aroma, 5. Ber-roma kuat

Rata – rata kualitas gaharu yang di dapat, rata – rata masih di bawah kualitas contoh gaharu yang di ujikan. Dari tabel 5 dapat di lihat bahwa rata – rata aroma untuk perlakuan dengan sekali injeksi adalah tingkat keharuman 1 (tidak ber-aroma). Untuk dua kali dan tiga kali injeksi, rata – rata aromanya masih di


(17)

tingkat keharuman kedua (kurang er-aroma). Namun pada tiga kali injeksi, ada responden yang menyatakan bahwa tingkat keharumannya mencapat tingkat ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keharuman semakin baik, seiring bertambahnya frekuensi injeksi.

Perubahan tingkat aroma yang di dapat juga tidak cenderung semakin baik berdasarkan perlakuan pembagian batangnya. Yunasfi (2002) menyatakan bahwa susunan variasi gen dapat berubah dalam berbagai proses. Begitu pula dengan aktifitas patogen dapat berubah – ubah dalam suatu periode waktu. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh proses hibridisasi, heterokariosis dan paraseksualisme. Itulah mengapa suatu patogen yang sama, bahkan yang memiliki cara perkembangbiakan yang sama dapat memiliki hasil infeksi yang berbeda karena perbedaan daerah dan perbedaan pohon.

2. Perubahan Warna Batang

Perubahan warna batang dilihat disekitar lubang injeksi. apabila terinfeksi, maka akan terjadi perubahan warna yang signifikan antara batang yang sehat dengan yang terinfeksi. Biasanya batang yang terinfeksi berubah warna menjadi coklat hingga hitam.Selama 15 minggu pengamatan, kualitas gaharu yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda – beda. Untuk sekali injeksi di dapat perubahan warna menjadi putih kecoklatan. Untuk dua kali injeksi, peubahan warnanya menjadi coklat bergaris putih. Sedangkan untuk tiga kali injeksi, perubahan warna rata – ratanya menjadi coklat muda. Pada gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang di inokulasi dan kualitasnya tergantung lama waktu sejak inokulasi hingga panen. Semakin lama maka semakin banyak resin wangi yang


(18)

terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan (Mucharromah, 2010).

(a) (b) (c)

Gambar 4. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 1x injeksi pada minggu ke-15 (a)batang tengah (b) batang atas (c) batang bawah

(a) (b) (c)

Gambar 5. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 2x injeksi pada minggu ke-15 (a) batang bawah (b) batang tengah (c) batang atas.


(19)

(a) (b) (c) Gambar 6. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 3x injeksi pada minggu ke-15

(a) batang bawah (b) batang tengah (c) batang atas.

Perubahan warna yang di dapat menunjukkan bahwa pada perlakuan 1 kali injeksi perubahan warnanya dirata-ratakan menjadi warna kecoklatan dengan garis – garis putih. Sedangkan untuk perlakuan dengan 2 kali injeksi perubahan warnanya coklat bergaris – garis putih. Sedangkan untuk perlakuan dengan 3 kali injeksi, warnanya berubah menjadi coklat bergaris hitam. Perubahan warna rata – rata yang didapat cenderung semakin baik dengan semakin banyaknya frekuensi injeksi yang dilakukan. Dan kemungkinan besar akan juga semakin baik lagi jika diuji lebih lama, hal ini disebabkan karena infeksinya juga masih menunjukkan panambahan panjang. Jadi besar kemungkinan perubahan warnanya juga semakin baik apabila diuji dengan waktu yang lebih lama.


(20)

e. Reisolasi Gubal Gaharu

Reisolasi merupakan kegiatan mengisolasi ulang gaharu yang telah dihasilkan. Isolasinya mengunakan tekhik postulat Koch.

(a)

Gambar 7. Hifa Fusarium sp.

(a) sebelum injeksi (b) sesudah injeksi

Hasil reisolasi pada gambar 7 menunjukkan kesamaan antara hifa awal dan akhir penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa yang menginfeksi batang pohon A. malaccensis Lamk. adalah Fusarium sp yang telah diinjeksikan. Fusarium yang diinjeksikan memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, berkembang biak bahkan menginfeksi batang pohon yang diinjeksi tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budi dkk (2010) yang menyatakan cendawan yang secara umum telah diketahui dapat menginduksi pembentukan gubal gaharu adalah dari genus Fusarium.


(21)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan inokulasi cukup tinggi, yaitu berkisar 76-100%.

2. Waktu munculnya gejala sudah mulai terjadi pada minggu ke tiga pengamatan.

3. Tidak terdapat interaksi antara bgian batang dengan frekuensi injeksi terhadap perkembangan gubal (panjang dan lebar infeksi)

4. Fusarium sp lebih banyak menyerang bagian batang tengah, hal ini di tunjukkan dengan besar infeksi pada bagian tengah adalah yang paling besar.

5. Kualitas aroma dan perubahan warna yang di dapat masih di bawah kualitas gaharu kemedangan yang di gunakan sebagai standard uji.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki hasil penelitian. Karena waktu 15 minggu masih kurang untuk memperoleh data yang baik. Hal ini ditunjukkan dari data panjang dan lebar infeksi serta perubahan warna yang masih bertambah seiring jalannya waktu.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Gaharu

Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu tertentu di hutan. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon keras dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000).

Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta konstitusi genetik pohon (Agrios, 1996). Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar 3–4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk


(23)

bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007).

Simorangkir dan Dwisusanto (2000) menyatakan bahwa gaharu merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae.

Botani Tanaman Gaharu

Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah : Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub Divisi : Angiospermae (tumbuhan biji tertutup) Kelas : Dikotil (berbiji belah dua)

Sub Kelas : Dialypetale (bebas daun bermahkota) Ordo : Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang) Famili : Thymeleaceae (akar berserabut jala)

Genus : Aquilaria

Species : A. malaccensis Lamk. (Tarigan, 2004).

Penyebaran Tanaman Penghasil Gaharu (A. malaccensis Lamk)

Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi


(24)

dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).

Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX I (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).

Kayu gaharu juga berfungsi sebagai bahan baku dupa (makmul) dan hio dan bisa dijadikan sebagai bahan untuk aroma terapi. Selain itu kayu gaharu juga dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan minyak wangi/parfum, bahan baku pembuatan minyak gaharu, Sabun, Shampo yang harum semerbak dan berbagai produk kecantikan, bahan baku kerajinan dan ukiran.


(25)

Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia

Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus. Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan.

Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5-700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai. Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak sakit, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian.

Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan curah hujan 1000–2000 mm/tahun.

Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis


(26)

pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).

Kelas Produk Gaharu

Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a. Gubal

Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.

b. Kemedangan

Merupakan kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak.

c. Abu (bubuk)

Abu merupakan serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada tabel 1.


(27)

Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No Klasifikasi dan

kelas mutu

Warna Kandungan damar wangi

Aroma A A1 A2 A3 Gubal Mutu

utama (U) setara dengan mutu super Mutu pertama (I) setara dengan mutu AB Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI) Hitam merata Hitam coklat Hitam kecoklatan Tinggi Cukup Sedang

Kuat Kuat Agak kuat

B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7

Kemedangan Mutu I, setara TG-A (Tanggung A) Mutu II, setara SBI Mutu II, setara TAB Mutu IV, setara TG-C

(Tanggung C) Mutu V, setara mutu M1 (Kemedangan 1) Mutu VI, setara mutu M2 (Kemedangan 2) Mutu VII, setara mutu M3 (Kemedangan 3) Coklat kehitaman Coklat bergaris hitam Coklat bergaris putih Coklat bergaris putih Kecoklatan bergaris putih lebar Putih keabuan garis hitam tipis Putih keabuan Tinggi Cukup Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang

Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Kurang kuat Kurang kuat Kurang kuat

C C1 C2 C3 Abu Mutu utama (U) Mutu pertama (I) Mutu kedua (II)

Hitam Coklat kehitaman Putih kecoklatan atau kekuningan Tinggi Sedang Kurang Kuat Sedang Kurang kuat

(Sumber : Badan Standarisasi Nasional)

Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem sekunder dan floem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal kulit, merupakan bukti bahwa resin gaharu terdeposit pada jaringan floem. Anatomi kulit bagian dalam tersusun dari jaringan floem, yang berfungsi sebagai


(28)

transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009).

Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi. Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996).

Inokulan Pembentuk Gaharu

Inokulan Pembentuk Gaharu merupakan jamur protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001).

Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya, yaitu melalui absorpsi (Gandjar dkk, 1999).


(29)

Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001).

Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif, identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk meningkatkan kelembaban udara dalam gelas atau plastik tersebut.


(30)

Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni.

a. Inokulan padat

Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat berupa serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain seperti kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan pembuatan inokulan padat tersebut sebagai berikut :

1. Pengumpulan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah.

2. Memasukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam botol yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram. 3. Botol yang sudah steril tersebut dimasukkan di dalam ruang biakan yang

sudah dilengkapi dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet.

4. Mengambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan pinset.

5. Spora atau miselium tersebut lalu dimasukkan ke dalam botol secara steril di atas lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba lain. Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset.

6. Lalu botol ditutup dengan kapas steril dan dilapisi dengan aluminium foil 7. Botol biakan pengembangan spora inokulan kemudian disimpan dalam ruang

bersuhu kamar.

8. Diamati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang terbentuk.

9. Setelah di amati, botol disimpan kembali dalam inkubator atau freezer bila miselium sudah memenuhi tepian botol (sekitar 1-2 bulan kemudian) agar


(31)

spora diistirahatkan (didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap diinokulasikan ke tanaman gaharu.

b. Inokulan cair

Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti halnya inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) :

1. Dilarutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan vitamin dengan aquadest (air murni). Lalu disterilkan dalam autoclave. 2. Setelah steril, media cair tersebut dimasukkan ke dalam botol infus bekas. 3. Diberikan lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan

pemasukan spora inokulan ke dalam botol.

4. Lalu botol infus dimasukkan dalam ruang pembiakan inokulan yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet.

5. Kemudian diambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol infus bekas. Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar steril.

6. Setelah itu lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora ditutup dengan menggunakan selotip. Kemudian di simpan botol tersebut pada rak inkubasi dalam suhu kamar.

7. Dibiarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan.

8. Setelah sebulan, diamati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila dijumpai koloni spora inokulan minimal 50 spora/cm bidang pengamatan


(32)

maka botol infus dapat diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer. Setelah itu, inokulan sudah bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu. (Sumarna, 2007)

c. Biakan murni

Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di dalam laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007).

Teknik Inokulasi

Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 8-10 cm (Sumarna, 2007).

a. Inokulasi dengan inokulan padat

Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

1. Dibuat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm. 2. Tangan pelaku inokulasi terlebih dahulu dibersihkan dengan air hingga bersih


(33)

3. Memasukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan, pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu yang ukurannya sesuai diameter lubang.

4. Setiap lubang yang sudah diberi inokulan ditutup untuk menghindari masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”. (Sumarna, 2007).

b. Inokulasi dengan inokulan cair

Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

1. Dilakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan. Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani.

2. Dimasukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang.

3. Besarnya aliran inokulan cair tersebut harus diatur dengan baik. Hentikan aliran infus bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang.

4. Ditutup bagian tepi di sekitar selang infus dengan menggunakan “lilin malam”.


(34)

5. Pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang di ulangi setiap 1-2 hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.

6. Penginokulasian ini di lakukan hingga inokulan cair di dalam botol infus tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis (Sumarna, 2007).

Luas infeksi dihitung berdasarkan sebaran browning secara vertikal dan horisontal. Sebaran browning secara vertikal lebih besar dari pada horisontal hal ini karena infeksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang tersusun atas sel-sel vessel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas invasi. Perkembangan infeksi secara horizontal cenderung melambat seiring waktu (Novriyanti, 2008).


(35)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual tinggi dan banyak dicari masyarakat luas. Aroma gaharu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang. Gaharu dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum,obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis aksesoris. Serta untuk keperluan kegiatan keagamaan, gaharu sudah lama digunakan oleh pemeluk agama Budha dan Hindu.

Banyaknya manfaat dan nilai jual yang tinggi membuat kayu gaharu ini menjadi primadona bagi para petani. Bahkan tak hanya gubal gaharu saja yang memiliki nilai ekonomis, untuk ukuran daun pun dapat diolah menjadi teh yang sangat berkhasiat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Guna menghindari tumbuhan penghasil gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu upaya konservasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai budidaya dan tekhnik inokulasi yang berguna untuk pengembangan gaharu dan meningkatkan produktifitas gubal gaharu.

Selain tumbuhan penghasil gaharu di alam sudah semakin sedikit, proses pembentukan gubal gaharu juga terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Prosesnya dapat mencapai puluhan tahun. Sedangkan gaharu yang dihasilkan dengan tekhnologi budidaya, walaupun dihasilkan dalam jangka waktu yang lebih cepat. Namun kualitasnya masih jauh di bawah kualitas gaharu dari alam. Untuk


(36)

itulah dilakukan penelitian ini supaya gaharu di hasilkan lebih cepat dan menghasilkan kualitas yang cukup baik

Selama ini proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara melukai bagian batang pohon, menyuntikkan mikroorganisme jamur, menyuntikkan oli dan gula merah dan dengan memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Untuk penelitian ini dilakukan cara yang kedua yaitu dengan menyuntikkan jamur ke dalam batang pohon A. mallaccensis Lamk. Kelebihan dari tekhnik ini ialah tingkat keberhasilan infeksinya paling besar dan cukup mudah dilakukan. Sedangkan kelemahannya ialah memerlukan biaya lebih besar dibandingkan ketiga tekhnik yang lain.

Tujuan Penelitian

1. Mengukur perbedaan pembentukan gubal gaharu akibat perlakuan frekuensi injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah dan atas.

2. Menguji kualitas gubal gaharu setelah 15 minggu perlakuan frekuensi injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah dan atas.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terjadi perbedaan pembentukan gubal gaharu dari perlakuan frekuensi injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah dan atas.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terbaru tentang induksi pembentukan gubal gaharu. Dan menjadi acuan untuk pengelolaan gaharu yang lestari.


(37)

ABSTRAK

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak khasiat dan bernilai jual tinggi. Pembentukan gubal gaharu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian ini berisi tentang bagaimana cara mempercepat pembentukan gaharu dan menghasilkan gaharu yang berkualitas cukup baik. Metode yang digunakan ialah dengan cara menginjeksi batang pohon A. malacceensis Lamk. dengan frekuensi injeksi yang berbeda pada batang bagian bawah, tengah dan atas selama empat belas minggu pengamatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gubal gaharu sudah terbentuk tiga minggu setelah injeksi awal.

Persentase infeksi mencapai 100% pada frekuensi tiga kali injeksi. Kualitas gubal semakin baik dengan bertambahnya frekuensi injeksi terhadap batang. Batang tengah merupakan bagian yang kualitas gubal gaharunya paling baik.

Kata kunci : Gaharu, A.malaccensis Lamk., frekuensi Injeksi, pembagian batang, kualitas gubal gaharu.


(38)

ABSTRACT

Agarwood is one of non-timber forest products that have many properties and high value. Require a long time to form agarwood. This study describes how to accelerate the formation of agarwood and agarwood produce fairly good quality. The method used is by injecting trees A. malacceensis Lamk. with different injection frequencies on the trunk bottom, middle and top for fourteen weeks of observation.

The results of this study demonstrate the sapwood has been formed three weeks after the initial injection. The percentage of infection reached 100% at a frequency of three times injection. The quality is getting better aloes sapwood with increasing frequency against stem injection. The quality is getting better sapwood with increasing frequency of injection to the rod. Central stem is the part that quality sapwood best gaharu.

Keywords: Agarwood, A.malaccensis Lamk., Injection frequency, bucking, quality sapwood.


(39)

INDUKSI PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU DENGAN

PERLAKUAN FREKUENSI INJEKSI INOKULUM PADA

TIGA BAGIAN BATANG

SKRIPSI

Oleh :

DONNY I E SIREGAR 091201145 / BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(40)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang Nama : Donny I E Siregar

NIM : 091201145

Program Studi /Minat : Kehutanan/ Budidaya Hutan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Edy Batara M. S, MS) (Nelly Anna, S.Hut, M.Si) Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah, S.Hut, M.Si., Ph.D


(41)

ABSTRAK

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak khasiat dan bernilai jual tinggi. Pembentukan gubal gaharu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian ini berisi tentang bagaimana cara mempercepat pembentukan gaharu dan menghasilkan gaharu yang berkualitas cukup baik. Metode yang digunakan ialah dengan cara menginjeksi batang pohon A. malacceensis Lamk. dengan frekuensi injeksi yang berbeda pada batang bagian bawah, tengah dan atas selama empat belas minggu pengamatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gubal gaharu sudah terbentuk tiga minggu setelah injeksi awal.

Persentase infeksi mencapai 100% pada frekuensi tiga kali injeksi. Kualitas gubal semakin baik dengan bertambahnya frekuensi injeksi terhadap batang. Batang tengah merupakan bagian yang kualitas gubal gaharunya paling baik.

Kata kunci : Gaharu, A.malaccensis Lamk., frekuensi Injeksi, pembagian batang, kualitas gubal gaharu.


(42)

ABSTRACT

Agarwood is one of non-timber forest products that have many properties and high value. Require a long time to form agarwood. This study describes how to accelerate the formation of agarwood and agarwood produce fairly good quality. The method used is by injecting trees A. malacceensis Lamk. with different injection frequencies on the trunk bottom, middle and top for fourteen weeks of observation.

The results of this study demonstrate the sapwood has been formed three weeks after the initial injection. The percentage of infection reached 100% at a frequency of three times injection. The quality is getting better aloes sapwood with increasing frequency against stem injection. The quality is getting better sapwood with increasing frequency of injection to the rod. Central stem is the part that quality sapwood best gaharu.

Keywords: Agarwood, A.malaccensis Lamk., Injection frequency, bucking, quality sapwood.


(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Langkat pada tanggal 21 April 1991 dari ayah Efendi Siregar dan ibu Ride Sidabutar. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Penulis mengawali Pendidikan pada Taman Kanak-Kanak (TK) Mutiara Nusantara Kabupaten Langkat pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan Formal ke Sekolah Dasar (SD) Negeri no 054903 Kabupaten Langkat pa, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis malanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan Anak Karyawan (Yaspendak) Tenera Kabupaten Langkat, dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) St Thomas 4, Binjai dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujan tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi. Penulis memilih program studi Kehutanan, minat Budidaya Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU, KPU Fakultas Pertanian USU, sebagai asisten Praktikum Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dan praktikum Hidrologi Hutan. Selain itu penulis juga aktif dalam oranisasi ektrauniversitas yaitu Sylva Indonesia.

Penulis melakukan prektek kerja lapangan (PKL) di Taman Nasional Bali Barat dari tanggal 11 Februari sampai 11 Maret 2013.


(44)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang ’’

Pada kesempatan ini penulis menghanturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Edy Batara M.S, MS dan Ibu Nelly Anna S.Hut, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak Petro Sembiring, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya memberikan tempat penelitian selama penulis mengumpulkan data.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Minat Budidaya Hutan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.


(45)

DAFTAR TABEL

No

Hal

1. Klasifikasi mutu produk gaharu ………... 8

2. Persentase Infeksi ……… 22

3. Panjang Infeksi Fusarium sp ... 27

4. Lebar Infeksi Fusarium sp ……….. 28


(46)

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Sketsa pelubangan pada batang pohon ... 19

2. Batang pohon A.malaccensis Lamk. ……….. 23

3. Perkembangan gejala ……… 25

4. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 1x injeksi pada minggu ke-15 … 31

5. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 2x injeksi pada minggu ke-15 … 31

6. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 3x injeksi pada minggu ke-15 … 32


(1)

ABSTRAK

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak khasiat dan bernilai jual tinggi. Pembentukan gubal gaharu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian ini berisi tentang bagaimana cara mempercepat pembentukan gaharu dan menghasilkan gaharu yang berkualitas cukup baik. Metode yang digunakan ialah dengan cara menginjeksi batang pohon A. malacceensis Lamk. dengan frekuensi injeksi yang berbeda pada batang bagian bawah, tengah dan atas selama empat belas minggu pengamatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gubal gaharu sudah terbentuk tiga minggu setelah injeksi awal.

Persentase infeksi mencapai 100% pada frekuensi tiga kali injeksi. Kualitas gubal semakin baik dengan bertambahnya frekuensi injeksi terhadap batang. Batang tengah merupakan bagian yang kualitas gubal gaharunya paling baik.

Kata kunci : Gaharu, A.malaccensis Lamk., frekuensi Injeksi, pembagian batang, kualitas gubal gaharu.


(2)

ABSTRACT

Agarwood is one of non-timber forest products that have many properties and high value. Require a long time to form agarwood. This study describes how to accelerate the formation of agarwood and agarwood produce fairly good quality. The method used is by injecting trees A. malacceensis Lamk. with different injection frequencies on the trunk bottom, middle and top for fourteen weeks of observation.

The results of this study demonstrate the sapwood has been formed three weeks after the initial injection. The percentage of infection reached 100% at a frequency of three times injection. The quality is getting better aloes sapwood with increasing frequency against stem injection. The quality is getting better sapwood with increasing frequency of injection to the rod. Central stem is the part that quality sapwood best gaharu.

Keywords: Agarwood, A.malaccensis Lamk., Injection frequency, bucking, quality sapwood.


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Langkat pada tanggal 21 April 1991 dari ayah Efendi Siregar dan ibu Ride Sidabutar. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Penulis mengawali Pendidikan pada Taman Kanak-Kanak (TK) Mutiara Nusantara Kabupaten Langkat pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan Formal ke Sekolah Dasar (SD) Negeri no 054903 Kabupaten Langkat pa, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis malanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan Anak Karyawan (Yaspendak) Tenera Kabupaten Langkat, dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) St Thomas 4, Binjai dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujan tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi. Penulis memilih program studi Kehutanan, minat Budidaya Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU, KPU Fakultas Pertanian USU, sebagai asisten Praktikum Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dan praktikum Hidrologi Hutan. Selain itu penulis juga aktif dalam oranisasi ektrauniversitas yaitu Sylva Indonesia.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang ’’

Pada kesempatan ini penulis menghanturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Edy Batara M.S, MS dan Ibu Nelly Anna S.Hut, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak Petro Sembiring, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya memberikan tempat penelitian selama penulis mengumpulkan data.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Minat Budidaya Hutan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.


(5)

DAFTAR TABEL

No

Hal

1. Klasifikasi mutu produk gaharu ………... 8

2. Persentase Infeksi ……… 22

3. Panjang Infeksi Fusarium sp ... 27

4. Lebar Infeksi Fusarium sp ……….. 28


(6)

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Sketsa pelubangan pada batang pohon ... 19

2. Batang pohon A.malaccensis Lamk. ……….. 23

3. Perkembangan gejala ……… 25

4. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 1x injeksi pada minggu ke-15 … 31 5. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 2x injeksi pada minggu ke-15 … 31 6. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 3x injeksi pada minggu ke-15 … 32 7. Hifa Fusarium sp ……… 33