Gambaran Perilaku Pencarian Penanganan terhadap Jerawat pada Remaja di SMA di Kecamatan Medan Denai

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kult

2.1.1. Defenisi kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luas 1,50-1,75 m² (Widjaja, 2013).

2.1.2. Struktur kulit

Secara garis besar kulit tersusun atas 3 lapisan (Junqueira, 2007) : a. Lapisan epidermis

Lapisan epidermis yaitu lapisan epitel yang berasal dari ektoderm. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk dan memiliki tiga jenis sel yaitu melanosit, sel langerhans, dan sel merkel. Berdasarkan ketebalan, epidermis dapat dibedakan menjadi kulit tebal (licin dan tidak berambut) dan kulit tipis (berambut).

Gambar 2.1 Epidermis menunjukkan struktur kulit tipis dan kulit tebal (Digital Histologi : An Interactive CD Atlas with Review Text)


(2)

Turunan epidermis meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Lapisan epidermis terdiri dari lapisan stratum korneum, stratu lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.

b. Lapisan dermis

Lapisan dermis yaitu suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari mesoderm, terletak di bawah lapisan epidermis dan jauh lebih tebal dari epidermis. Lapisan ini terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar, lapisan dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu pars papilare dan pars retikulare. Pada lapisan ini terdapat sel-sel saraf dan pembuluh darah.

c. Lapisan subkutis

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit di bagian atas bergeser. Lapisan ini mengandung sel-sel lemak. Lapisan ini juga disebut sebagai fasia superfisial dan jika cukup tebal, disebut panikulus adiposus.

2.1.3. Pelengkap kulit

Organ-organ yang melengkapi kulit adalah rambut, kuku, kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Namun yang akan dibicarakan adalah kelenjar minyak atau kelenjar sebasea.

Kelenjar sebasea terbenam dalam dermis pada sebagian besar permukaan tubuh. Terdapat sekitar 100 kelenjar per sentimeter persegi pada sebagian besar tubuh, namun jumlah ini bertambah mencapai 400-900/cm² pada bagian muka, dahi, dan kulit kepala. Kelenjar sebasea merupakan kelenjar asinar yang biasanya memiliki beberapa asini yang bermuara ke dalam saluran pendek. Saluran ini biasanya berakhir di bagian atas folikel rambut. Kelenjar ini merupakan contoh suatu kelenjar


(3)

Kelenjar ini mulai berfungsi pada saat pubertas yang diatur oleh testosteron pada pria, pada wanita diatur oleh androgen ovarium dan androgen adrenal. Aliran sebum bersifat kontinu, dan gangguan dalam aliran sebum yang normal adalah salah satu penyebab timbulnya jerawat.

Gambar 2.2 Histologi Kelenjar keringat (Basic Histology Text and Atlas Junquera ed. 11)

2.2. Akne vulgaris 2.2.1. Defenisi

Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, dan kista pada daerah-daerah predileksi, seperti muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung (Widjaja, 2013).

2.2.2. Epidemiologi

Akne vulgaris menjadi masalah pada semua remaja. Akne minor adalah suatu bentuk akne ringan, dan dialami oleh 85% para remaja. Gangguan ini masih dapat dianggap sebagai proses fisiologik. Sedangkan 15% remaja lainnya menderita akne major sehingga mendorong mereka untuk berobat ke dokter (Widjaja, 2013).

Biasanya akne mulai timbul pada masa pubertas. Pada wanita insidensi terbanyak pada usia 14-17 tahun, sedangkan pada laki-laki yaitu usia 16-19


(4)

tahun (Widjaja, 2013). Yiwei et.al (2012) menyatakan 10,4% (820 orang) remaja pria dan 6,1% (579 orang) remaja wanita menderita akne vulgaris dengan tingkat keparahan 68,4% derajat ringan (63% pria, 76% wanita), 26% derajat sedang (29,9% pria, 20,6% wanita), dan 5,6% derajat berat (7,1% pria, 3,4% wanita). Walaupun penyakit ini umum terjadi di usia sekitar 15-19 tahun (38%) namun, dari 74,3% yang pernah mengalami akne saat remaja, 25,7% menderita akne saat dewasa dan 81,7% mengalami persistent acne (jerawat yang menetap).

2.2.3. Etiologi

Penyebab pasti akne masih belum diketahui, namun banyak faktor yang berpengaruh sebagai berikut:

1. Sebum

Sebum yang dihasilkan kelenjar palit merupakan faktor penting terjadinya akne (Siregar, 2005).

2. Bakteri

Mikroba yang diketahui terlibat pada terbentuknya akne adalah

Corynebacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan Ptyrosporum ovale (Widjaja, 2013).

3. Herediter

Faktor herediter sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit. Apabila kedua orangtua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan besar anaknya akan menderita akne (Widjaja, 2013).

4. Hormon

• Hormon androgen : androgen telah diketahui sebagai perangsang sekresi sebum, dan estrogen mengurangi produksi sebum (Stawiski, 2012). Hormon ini memegang peran yang penting karena kelenjar palit sangat sensitif terhadap hormon ini dan menyebabkan kelenjar palit bertambah besar sehingga produksi sebum meningkat (Widjaja, 2013). o Hormon estrogen : pada keadaan fisiologis, estrogen tidak berpengaruh


(5)

gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis dimana gonadotropin memiliki efek menurunkan produksi sebum (Widjaja, 2013).

o Hormon progesteron : progesteron dalam jumlah fisiologik tak mempunyai efek terhadap aktivitas kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan tetapi kadang-kadang progesteron dapat menyebabkan akne premenstrual (Widjaja, 2013).

o Hormon kelenjar hipofisis : penelitian yang dilakukan pada tikus menunjukkanbahwa hormon tirotropin, gonadotropin, dan kortikotropin dari kelenjar hipofisis diperlukan untuk aktivitas kelenjar palit. Pada kegagalan kelenjar hipofisis, sekresi sebum lebih rendah dibandingkan orang normal (Widjaja, 2013).

5. Diet

Siregar (2005) menyatakan bahwa makanan yang banyak mengandung lemak seperti es krim, kacang-kacangam, coklat, dan gorengan mempermudah timbulnya akne. Namun Widjaja (2013) mengatakan bahwa diet sedikit atau tidak berpengaruh terhadap akne.

6. Iklim

Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne akan bertambah hebat pada musim dingin dan membaik pada musim panas. Hal ini dikarenakan sinar ultraviolet mempunyai efek membunuh bakteri pada permukaan kulit. Selain itu sinar ini juga dapat menembus epidermis hingga bagian bawah dan dermis bagian atas sehingga berpengaruh pada bakteri yang berada di bagian dalam kelenjar palit. Sinar ultraviolet juga dapat mengadakan pengelupasan kulit sehingga menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea (Widjaja, 2013).

7. Psikis

Pada beberapa penderita, stres dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi akne. Mekanisme yang pasti masih belum diketahui (Widjaja, 2013). Sedangkan Siregar (2005) menyebutkan, jika seseorang susah tidur dan menghadapi pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi, maka akne akan kambuh.


(6)

8. Kosmetik

Pemakaian bahan-bahan kosmetik tertentu, secara terus menerus dalam waktu yang lama, dapt menyebabkan terbentuknya akne. Akne yang terbentuk umumnya ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup dengan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu. Bahan yang sering menyebabkan akne ini terdapat pada berbagai krem muka yang mengandung bahan-bahan seperti lanolin, petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan dan bahan-bahan kimia murni (butil asetat, lauril alkohol, bahan pewarna merah D & C dan asam oleik) (Widjaja, 2013). Akne pada perempuan usia 20-an, 30-an, dan 40-an sering dikarenakan pemakaian kosmetik dan pelembab yang berbahan dasar minyak (Stawiski, 2012). 9. Bahan-bahan kimia

Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan erupsi yang mirip dengan akne. Bahan-bahan tersebut ialah yodida, kortikosteroid, isoniazid, fenobarbital, tetrasiklin, dan vitamin B12 (Widjaja, 2013). Pemakaian kortikosteroid oral kronik dapat menimbulkan pustula di permukaan kulit wajah, dada, dan punggung (Stawiski, 2012).

10. Reaktivitas

Selain faktor-faktor diatas masih ada faktor “X” pada kulit yang merupakan faktor penting dalam timbulnya akne (Widjaja, 2013)..

2.2.4. Patogenesis

Widjaja (2013) menyebutkan ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne yaitu:

a. Kenaikan ekskresi sebum

Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar palit membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak. Pertumbuhan kelenjar palit dan produksi sebum ada di bawah pengaruh hormon androgen. Pada penderita akne terdapat peningkatan konversi hormon androgen normal yang beredar dalam darah (testosteron) ke bentuk metabolit yang lebih aktif (5-alfa


(7)

dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum.

Meningkatnya produksi sebum pada penderita akne disebabkan oleh respon organ akhir yang berlebih pada kelenjar palit terhadap kadar normal androgen dalam darah. Terbukti bahwa pada kebanyakan penderita, lesi akne hanya ditemukan di beberapa tempat yang kaya akan kelenjar palit.

Akne juga mungkin berhubungan dengan perubahan komposisi lemak. Sebum yang bersifat komedogenik tersusun dari campuran skualen, wax, ester dari sterol, kolestrol, lipid polar, dan trigliserida. Pada penderita akne, cendrung mempunyai kadar skualen dan wax yang tinggi, sedangkan kadar asam lemak rendah.

b. Adanya keratinisasi folikel

Keratinisasi pada saluran polisebasea disebabkan oleh adanya penumpukan korneosit dalam saluran polisebasea. Hal ini dapat disebabkan oleh:

• Bertambahnya produksi keratinosit pada saluran polisebasea. • Pelepasan korneosit yang tidak adekuat.

• Kombinasi kedua faktor diatas.

Bertambahnya produksi korneosit dari sel keratinosit merupakan salah satu sifat komedo. Terdapat hubungan terbalik antara sekresi sebum dan konsentrasi asam linoleik dalam sebum. Menurut Downing dalam Widjaja (2013), akibat dari meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi penurunan konsentrasi asam linoleik. Hal ini dapat menyebabkan defisiensi asam linoleik setempat pada asam epitel folikel yang akan menimbulkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi barier dari epitel. Dinding komedo lebih mudah ditembus bahan-bahan yang dapat menimbulkan peradangan. Walaupun asam linoleik merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin juga berpengaruh pada patogenesis akne. Kadar sterol bebas juga menurun pada komedo sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kolestrol bebas dengan kolestrol sulfat, sehingga


(8)

adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi retensi hiperkeratosis folikel.

c. Bakteri

Tiga macam mikroba yang terlibat pada patogenesis akne adalah

Corynebacterium acnes (Proprionibacterium acnes), Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale (Malassezia furfur). Adanya sebore pada

pubertas biasanya disertai dengan kenaikan jumlah Corynebacterium acnes, tetapi tidak ada hubungan antara jumlah bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran-saluran pilosebasea dengan derajat akne. Tampaknya ketiga macam bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis akne. Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang hidup, sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada lamanya lesi. Lingkungan mikro dalam folikel berpengaruh pada apakah bakteri yang berdiam di dalam folikel (resident bacteria) akan mengadakan eksaserbasi. Menurut hipotesis Saint-Leger, skualen yang dihasilkan oleh kelenjar palit dioksidasi di dalam folikel dan hasil oksidasi ini menjadi penyebab terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam folikel berkurang dan akhirnya terjadi kolonisasi Corynebacterium

acnes. Bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan dalam folikel

akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen, sehingga oksigen dalam folikel tambah berkurang lagi. Penurunan tekanan oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa akne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel, sedangkan folikel yang lain tetap normal.

d. Inflamasi

Faktor yang menimbulkan peradangan pada akne belumlah diketahui dengan pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan oleh Corynebacterium acnes, seperti lipase, hialuronidase,


(9)

protease, lesitinase, dan neuramidase, memegang peranan penting pada proses peradangan.

Faktor kemotaktik yang berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen untuk bekerja aktif), bila keluar dari folikel, dapat menarik lekosit nukleus polimorfi dan limfosit. Bila masuk ke dalam folikel, nukleus polimorfi dapat mencerna Corynebacterium acnes dan mengeluarkan enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel pilosebasea. Limfosit dapat merupakan pencetus terbentuknya sitokin.

Bahan keratin yang sukar larut, yang terdapat di dalam sel tanduk, serta lemak dari kelenjar palit dapat menyebabkan reaksi non spesifik, yang disertai oleh makrofag dan sel-sel raksasa.

Pada fase permulaan peradangan yang ditimbulkan Corynebacterium

acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif (classical and alternative complement pathways). Respon pejamu terhadap mediator

juga amat penting. Selain itu antibodi terhadap Corynebacterium acnes juga meningkat pada penderita akne hebat.

2.2.5. Gejala klinik

Bentuk lesi akne vulgaris adalah polimorf. Lesi yang khas adalah komedo. Apabila terjadi peradangan akan terbentuk papula, pustula, nodul, dan kista. Saat sembuh lesi meninggalkan eritem, hiperpigmentasi, dan sikatrik (Widjaja, 2013).


(10)

Tabel 2.1 Pengertian atau karakteristik gejala-gejala pada akne (Siregar, 2005)

No Pengertian

1 Komedo = black head, merupakan ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang timbul akibat proses oksidasi udara terhasap sekresi kelenjar sebasea di permukaan kulit.

2 Papula Penonjolan padat di atas permukaan kulit, berbatas tegas, berukuran kurang dari 1 cm.

3 Pustula Vesikel (gelembung berisi cairan serosa berdiameter kurang dari 1 cm) yang berisi nanah . 4 Nodul Sama seperti papula tetapi berdiameter lebih dari 1

cm.

5 Kista Penonjolan diatas permukaan kulit berupa kantong yang berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat.

6 Eritema Makula(perubahan warna kulit tanpa perubahan bentuk) yang berwarna merah.

7 Hiperpigmentasi Penimbunan pigmen berlebih sehingga kulit tampak lebi hitam dai sekitarnya

8 Sikatrik = parut, merupakan jaringan kulit yang menggantikan epidermis yang sudah hilang. Jaringan ikat ini dapat lebih cekung dari kulit sekitarnya, dapat lebih menonjol, dan dapat normal. Sikatrik tampak licin, garis kulit dan kelenjar hilang.

2.2.6. Klasifikasi akne

Sampai saat ini belum ada keseragaman klasifikasi akne yang memuaskan. Klasifikasi secara klinik dapat berdasarkan :metode Pillsbury, Shelly,


(11)

Kligman, Witkowski, Simons, Cook, dan berdasarkan American of

Dermatology Concensus Conference on Acne Clasification (Widjaja, 2013).

Gradasi akne ada pula yang berdasarkan klasifikasi Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai berikut :

Tabel 2.2 Gradasi akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2002)

Derajat Keterangan Catatan

Ringan a. Terdapat 5-10 lesi tidak beradang pada satu predileksi.

b. Terdapat < 5 lesi tidak beradang di beberapa tempat.

c. Terdapat < 5 lesi beradang pada satu predileksi.

Lesi tidak beradang : -komedo -papul.

Lesi beradang :

-pustul -nodul -kista. Sedang a. Terdapat > 10 lesi tidak beradang pada satu

predileksi.

b. Terdapat 5-10 lesi tidak beradang di beberapa tempat.

c. Terdapat 5-10 lesi beradang pada satu predileksi.

d. Terdapat < 5 lesi beradang pada lebih dari satu predileksi.

Berat a. Terdapat > 10 lesi tidak beradang pada lebih dari satu predileksi.

b. Terdapat > 10 lesi beradang pada satu atau lebih predileksi.

2.2.7. Diagnosis

Walaupun satu macam lesi lebih dominan dari lesi yang lain, umumnya diagnosis akne didasarkan pada campuran lesi berbentuk komedo, papul, nodul, dan kista (Widjaja, 2013). Distribusi akne sejalan dengan daerah yang


(12)

mengandung kelenjar palit dan timbul pada muka, leher, bahu, punggung, dan dada (Stawiski, 2012).

2.2.8. Diagnosis banding

a. Erupsi yang menyerupai akne, dikarenakan pemakaian kortikosteroid, halogen, isoniazid, vitamin B1, vitamin B6, vitaminB12, fenobarbital, dan lain-lain (Widjaja, 2013).

b. Folikulitis (peradagan folikel rambut), biasanya nyeri, dan tidak ada komedo (Siregar, 2005).

c. Rosasea, lebih merah dan khas di daerah hidung dan pipi (Siregar, 2005).

2.2.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada akne memerlukan anamnesis yang cermat. Hal ini untuk menemukan faktor-faktor aknegenik sehingga dapat dihindari atau yang lebih serius menemukan kelainan endokrin (Stawiski, 2012). Sedangkan Widjaja (2013)menuliskan penatalaksanaan akne sebagai berikut :

A. Nasehat umum dan dorongan mental a. Penjelasan

Penderita harus diterangkan bahwa :

- Akne disebabkan oleh tipe kulit dan perubahan hormon pada masa pubertas, yang menyebabkan timbulnya sebore dan bertambahnya produksi bahan tanduk di dalam saluran kelenjar palit karena reaksi kelenjar palit yang berlebihan terhadap kadar hormon seks yang normal. - Sifat akne adalah kumat-kumatan, artinya kita hanya dapat mengurangi danmengontrol aknenya bukan menyembuhkannya.

- Pengobatan akne didasarkan pada tipe, derajat, dan lokalisasi. Pengobatan membutuhkan waktu lama dan kemungkinan disertai dengan efek samping.

- Pada umumnya penderita akne berespon terhadap pengobatan yang diberikanyaitu sebesar 92%.


(13)

b. Perawatan

- Perawatan kulit muka: pemakaian sabun bakteriostatik tidak dianjurkan, bahkan pemakaian sabun berlebihan bersifat aknegenik dan dapat menyebabkan akne bertambah berat. Menurut Plewig dan Kligman bahwa kurangnya mencuci muka tidak terbukti akan memperberat akne atau sebaliknya. Mencuci muka hanya akan menghilangkan lemak di permukaan kulit tetapi, tidak berpengaruh terhadap lemak yang ada di dalam folikel.

- Perawatan kulit kepala dan rambut: walaupun menurut beberapa pengarang bahwa ketombe dan dermatitis seboroik lebih banyak dijumpai pada penderita akne, penyelidikan Plewig dan Kligman gagal membuktikan hal tersebut. Pemakaian shampoo yang mengandung obat untuk penderita akne dengan ketombe, sebaiknya dilarang sebab dapt memperberat akne.

- Kosmetika dan bahan lain: bahan-bahan yang bersifat aknegenik akan membentuk komedo lebih cepat dan lebih banyak pada penderita akne, sehingga sangat dianjurkan kepada pasien untuk menghentikan pemakaian kosmetik tebal dan hanya memakai kosmetik ringan, yang tidak mengandung minyak dan obat.

- Diet: efek makanan terhadap akne masih diragukan oleh banyak penyelidik, diet khusus pun tak dianjurkan.

- Emosi dan faktor psikosomatis: pada orang-orang yang memiliki predisposisi akne, stres dan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi akne. Memegang, memijit dan menggosok akne tidak dianjurkan sebab dapat menyebabkan keadaan yang disebut “akne mekanika”.

B. Obat-obatan

Ada tiga hal penting pada pengobatan akne yaitu untuk:

a. Mencegah timbulnya komedo: dipakai bahan-bahan pengelupas kulit.Untuk mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan lesi peradangan dapat diberikan antibiotik.


(14)

b. Mempercepat lesi beradang: dapat diberikan iritan fisik seperti CO2 padat, sinar ultra violet atau iritan kimiawi seperti sulfur, resorsinol, asam salisilat dan lain-lain. Hal ini dikarenakan iritan baik fisik maupun kimiawi dapat menambah aliran darah sehingga mempercepat regresi lesi yang beradang, karena dapat mempercepat hilangnya mediator radang dan bahan toksik.

c. Penanganan akne membutuhkan waktu yang lama. Pada penderita akne ringan cukup dengan obat topikal, namun penderita akne sedang-berat membutuhkan obat topikal dan oral. Penderita juga mungkin membutuhkan antibiotik oral secara berkala selama 6 bulan, sedangkan terapi topikal diperlukan selama perjalanan penyakit.

I. Pengobatan topikal a. Retinoid topikal

Retinoid adalah turunan vitamin A yang terutama digunakan pada penanganan akne.Asam vitamin A lain adalah tretinoin, airol, dan lain-lain. Senyawa ini bekerja menipiskan dan melonggarkan lapisan tanduk sehingga mengikis ringan sel-sel permukaan dan menghambat produksi keratin. Karena keratolisis ini dan kerja mitosis kulit, maka komedo yang terbukaakan didorong keluar dan komedo tertutup jadi terbuka. Obat ini digunakan secara topikal dalam sediaan dengan konsentrasi 0,02-0,1%. Efek samping obat ini berupa tanda-tanda radang (Mutschler, 2010).

b. Benzoil Peroksida

Benzoil peroksida bekerja sebagai anti bakteri, yang terutama mengenai bakteri anaerob termasuk P.acnes. Disamping itu ia juga menimbulkan reaksi radang pada kutis sehingga terjadi perluasan lapisan spinosum diikuti pembentukan sisik, dengan ini peroksida bekerja sebagai komedolitik. Sama halnya dengan retinoid, obat ini menimbulkan iritasi lokal berupa rasa terbakar dan rasa gatal pada kulit(Mutschler, 2010).


(15)

c. Antibiotik Topikal

Klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin adalah antibiotik yang sering dipakai dalam mengatasi akne dengan lesi papul dan pustul. Biasa digunakan pada pagi hari, atau malam hari dikombinasikan dengan retinoid atau peroksida (Stawiski, 2012).

d. Asam azeleik

Obat ini memiliki efek yang sama dengan benzoil peroksida, eritromisin topikal, asam-asam vitamin A, dan tetrasiklin oral. Memiliki sifat iritasi yang lebih kecil dan dapat ditolerir dengan baik (Widjaja, 2013).

II. Pengobatan oral a. Antibiotik oral

Antibiotik sistemik tetap merupakan terapi utama untuk akne papular dan pustular. Pasien biasanya diberi tetrasiklin, eritromisin, dan minosiklin. Antibiotik bekerja langsung pada P.acnes. Penggunaan tetrasiklin jangka panjang telah dibuktikan cukup aman. Tetrasiklin tidak diberikan pada wanita hamil karena menimbulkan warna kuning yang permanen pada gigi bayi baru lahir. Obat ini juga tidak diberikan pada wanita dengan kontrasepei oral karena akan mengurangi keefektifan obat kontraspsi. Minosiklin merupakan antibiotik paling efektif untuk akne namun, lebih mahal dibanding tetrasiklin dan pada dosis yang lebih tinggi menimbulkan pusing dan menimbulkan perubahan warna kulit menjadi kebiruan. Sedangkan eritromisin kurang efektif dalam mengobati akne (Stawiski, 2012).

b. Hormon

Hormon utama penyebab meningkatnya produksi sebum adalah dihidrotestosteron, yang dikonversikan menjadi testosteron di dalam kelenjar minyak oleh enzim 5-alphareduktase, sehingga pengobatan akne


(16)

dapat pula difokuskan dengan menggunakan antiandrogen, estrogen dan pil kontrasepsi (Widjaja, 2013).

c. Isotretinoin

Isotretinoin merupakan metabolit dari vitamin A, obat ini diindikasikan pada akne yang berat. Walaupun obat ini efektif dalam pengobatan akne namun penggunaannya harus dibatasi karena dapat memberikan efek samping berupa radang bibir yang hampir selalu ada, pengeringan kulit dan mukosa, gatal-gatal, danbersifat teratogenik sehingga tidak baik digunakan pada ibu hamil (Mutschler, 2010). Isotretinoin juga dapat menyebabkan depresi dan yang lebih jarang berupa keinginan untuk bunuh diri. Obat ini harus segera dihentikan bila dijumpai adanya depresi (Stawiski, 2012).

C. Tindakan khusus

a. Ekstraksi komedo

b. Suntikan kortikosteroid intralesi c. Terapi cahaya

2.3.Perilaku 2.3.1. Defenisi perilaku

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku adalah respon seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses :

Stimulus Organisme Respons, sehingga teori ini disebut teori “S-O-R”. Berdasarkan S-O-R tersebut maka perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. perilaku tertutup, apabila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas, respon seseorang masih terbatas dalam


(17)

b. perilaku terbuka, apabila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik.

2.3.2.Perilaku kesehatan

Sejalan dengan perilaku menurut Skiner tersebut maka perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit. Dengan kata lain perilaku kesehatan dapat diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas baik yang dapat diamati ataupun tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010) membedakannya perilaku kesehatan menjadi tiga yakni:

a. perilaku sehat : yaitu perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kesehatan.

b. perilaku sakit : berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit untuk mencari penyembuhan. Ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul yaitu: didiamkan saja, mengobati sendiri, atau mencari penyembuhan.

c. perilaku peran sakit : perilaku ini mencakup hak-hak (contoh: hak untuk memperoleh kesembuhan) dan kewajiban sebagai orang sakit (contoh: kewajiban mematuhi nasihat-nasihat dari dokter).

2.3.3. Perilaku pencarian penanganan/penyembuhan

Notoatmodjo (2010) menyebutkan, perilaku pencarian penyembuhan adalah perilaku orang atau masyarakat yang sedang mengalami sakit atau masalah kesehatan, untuk memperoleh pengobatan sehingga sembuh atau teratasi masalah kesehatannya.

Apabila seseorang sakit atau mengalami gangguan kesehatan, biasanya keputusan yang diambil adalah :


(18)

a. tidak melakukan tindakan apa-apa b. melakukan pengobatan sendiri

c. mencari pengobatan baik tradisional maupun modern.

Penelitian mengenai perilaku atau tindakan masyarakat pada waktu sakit secara komprehensif, baik tidak berbuat apa-apa, mengobatai sendiri, atau mencari pertolongan baik tradisional ataupun modern, belum ada.

Dalam profil kesehatan Indonesia tahun 2007 dalam (Notoatmodjo,2010), disajikan pola perilaku pengobatan sendiri dan perilaku pencarian penyembuhan baik ke fasilitas pengobatan tradisional maupun modern sebagai berikut :

Tabel 2.3. Persentase pola perilaku masyarakat pada waktu sakit, 2006 Perilaku

penyembuhan

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan

pedesaan Mengobati

sendiri

63,58 66,03 65,01

Mencari pengobatan

45,93 43,08 44,14

Tabel 2.4.Persentase perilaku penduduk yang mengobati sendiri, pedesaan dan perkotaan, tahun 2006

Jenis obat yang digunakan

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan

pedesaan

Modern 87,87 87,72 88,59

Tradisional 22,82 31,73 28,12


(19)

Tabel 2.5. Persentase perilaku pencarian pengobatan perkotaan dan pedesaan, 2007

2.3.4. Sumber informasi

Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan berpengaruh pada pola perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dae et.al (2008) kebanyakan penderita akne memperoleh informasi dari dokter dan rumah sakit (39.5%), kemudian dari internet (35.9%), televisi/radio (11.8%), majalah (7%), dan dari koran (5.1%).

2.3.5. Prioritas

Kebanyakan pasien menyatakan bahwa efikasi penanganan sebagai faktor dalam pemilihan tindakan penanganan (74%), faktor lain yang ikut berperan adalah harga (8%), kekambuhan penyakit (6%), durasi pengobatan yang lama (4%), lama waktu yang di habiskan (4%), dan efek samping (4%). Ada atau tidak adanya sarana pelayanan kesehatan kulit menjadi penebab utama penderita memutuskan untuk berobat atau tidak berobat ke rumah sakit (40%), diikuti dengan faktor harga (23%), akreditasi rumah sakit (21%), dan televisi/radio (16%) (Dae et.al, 2008).

Tempat pelayanan yang dipilih

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan

pedesaan

Rumah sakit 13,39 6,54 9,83

Praktik dokter 33,71 19,08 25,38

Puskesmas 30,81 36,19 33,50

Petugas kesehatan lainnya

15,23 31,82 23,55


(20)

2.3.6. Derajat keparahan

Seperti yang sudah disebutkan dalam teori kepercayaan kesehatan, bahwa keseriusan penyakit yang dirasakan pasien akan mempengaruhi tindakan individu untuk mencari pengobatan penyakitnya (Notoatmodjo, 2010).

2.3.7. Kepuasan

Menurut Notoatmodjo (2010), kepuasan adalah tanggapan seseorang terhadap kebutuhan. Kebutuhan itu sendiri mencerminkan dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak (motivasi). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dae et.al(2008), 77% pasien yang diteliti tidak puas dengan hasil penanganan akne yang dilakukan. Alasan utama adalah karena penanganan tersebut dirasa tidak banyak membantu atau tidak efektif (84%), alasan lain adalah harga (7%), dan efek samping yang didapat (4%).

2.3.8. Pengukuran perilaku

Pengukuran perilaku pada penelitian kuantitatif dapat menggunakan metode wawancara atau angket. Apabila ingin meneliti tindakan dapat secara langsung atau tidak langsung dengan mewawancarai atau memberi angket pada responden atau orang yang dekat dengan responden, atau melalui indikator hasil perilaku (Notoatmodjo, 2010).


(1)

c. Antibiotik Topikal

Klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin adalah antibiotik yang sering dipakai dalam mengatasi akne dengan lesi papul dan pustul. Biasa digunakan pada pagi hari, atau malam hari dikombinasikan dengan retinoid atau peroksida (Stawiski, 2012).

d. Asam azeleik

Obat ini memiliki efek yang sama dengan benzoil peroksida, eritromisin topikal, asam-asam vitamin A, dan tetrasiklin oral. Memiliki sifat iritasi yang lebih kecil dan dapat ditolerir dengan baik (Widjaja, 2013).

II. Pengobatan oral a. Antibiotik oral

Antibiotik sistemik tetap merupakan terapi utama untuk akne papular dan pustular. Pasien biasanya diberi tetrasiklin, eritromisin, dan minosiklin. Antibiotik bekerja langsung pada P.acnes. Penggunaan tetrasiklin jangka panjang telah dibuktikan cukup aman. Tetrasiklin tidak diberikan pada wanita hamil karena menimbulkan warna kuning yang permanen pada gigi bayi baru lahir. Obat ini juga tidak diberikan pada wanita dengan kontrasepei oral karena akan mengurangi keefektifan obat kontraspsi. Minosiklin merupakan antibiotik paling efektif untuk akne namun, lebih mahal dibanding tetrasiklin dan pada dosis yang lebih tinggi menimbulkan pusing dan menimbulkan perubahan warna kulit menjadi kebiruan. Sedangkan eritromisin kurang efektif dalam mengobati akne (Stawiski, 2012).

b. Hormon

Hormon utama penyebab meningkatnya produksi sebum adalah dihidrotestosteron, yang dikonversikan menjadi testosteron di dalam kelenjar minyak oleh enzim 5-alphareduktase, sehingga pengobatan akne


(2)

dapat pula difokuskan dengan menggunakan antiandrogen, estrogen dan pil kontrasepsi (Widjaja, 2013).

c. Isotretinoin

Isotretinoin merupakan metabolit dari vitamin A, obat ini diindikasikan pada akne yang berat. Walaupun obat ini efektif dalam pengobatan akne namun penggunaannya harus dibatasi karena dapat memberikan efek samping berupa radang bibir yang hampir selalu ada, pengeringan kulit dan mukosa, gatal-gatal, danbersifat teratogenik sehingga tidak baik digunakan pada ibu hamil (Mutschler, 2010). Isotretinoin juga dapat menyebabkan depresi dan yang lebih jarang berupa keinginan untuk bunuh diri. Obat ini harus segera dihentikan bila dijumpai adanya depresi (Stawiski, 2012).

C. Tindakan khusus

a. Ekstraksi komedo

b. Suntikan kortikosteroid intralesi c. Terapi cahaya

2.3.Perilaku 2.3.1. Defenisi perilaku

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku adalah respon seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses :

Stimulus Organisme Respons, sehingga teori ini disebut teori “S-O-R”. Berdasarkan S-O-R tersebut maka perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. perilaku tertutup, apabila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas, respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, sikap.


(3)

b. perilaku terbuka, apabila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik.

2.3.2.Perilaku kesehatan

Sejalan dengan perilaku menurut Skiner tersebut maka perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit. Dengan kata lain perilaku kesehatan dapat diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas baik yang dapat diamati ataupun tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010) membedakannya perilaku kesehatan menjadi tiga yakni:

a. perilaku sehat : yaitu perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kesehatan.

b. perilaku sakit : berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit untuk mencari penyembuhan. Ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul yaitu: didiamkan saja, mengobati sendiri, atau mencari penyembuhan.

c. perilaku peran sakit : perilaku ini mencakup hak-hak (contoh: hak untuk memperoleh kesembuhan) dan kewajiban sebagai orang sakit (contoh: kewajiban mematuhi nasihat-nasihat dari dokter).

2.3.3. Perilaku pencarian penanganan/penyembuhan

Notoatmodjo (2010) menyebutkan, perilaku pencarian penyembuhan adalah perilaku orang atau masyarakat yang sedang mengalami sakit atau masalah kesehatan, untuk memperoleh pengobatan sehingga sembuh atau teratasi masalah kesehatannya.

Apabila seseorang sakit atau mengalami gangguan kesehatan, biasanya keputusan yang diambil adalah :


(4)

a. tidak melakukan tindakan apa-apa b. melakukan pengobatan sendiri

c. mencari pengobatan baik tradisional maupun modern.

Penelitian mengenai perilaku atau tindakan masyarakat pada waktu sakit secara komprehensif, baik tidak berbuat apa-apa, mengobatai sendiri, atau mencari pertolongan baik tradisional ataupun modern, belum ada.

Dalam profil kesehatan Indonesia tahun 2007 dalam (Notoatmodjo,2010), disajikan pola perilaku pengobatan sendiri dan perilaku pencarian penyembuhan baik ke fasilitas pengobatan tradisional maupun modern sebagai berikut :

Tabel 2.3. Persentase pola perilaku masyarakat pada waktu sakit, 2006 Perilaku

penyembuhan

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan

pedesaan Mengobati

sendiri

63,58 66,03 65,01

Mencari pengobatan

45,93 43,08 44,14

Tabel 2.4.Persentase perilaku penduduk yang mengobati sendiri, pedesaan dan perkotaan, tahun 2006

Jenis obat yang digunakan

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan

pedesaan

Modern 87,87 87,72 88,59

Tradisional 22,82 31,73 28,12


(5)

Tabel 2.5. Persentase perilaku pencarian pengobatan perkotaan dan pedesaan, 2007

2.3.4. Sumber informasi

Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan berpengaruh pada pola perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dae et.al (2008) kebanyakan penderita akne memperoleh informasi dari dokter dan rumah sakit (39.5%), kemudian dari internet (35.9%), televisi/radio (11.8%), majalah (7%), dan dari koran (5.1%).

2.3.5. Prioritas

Kebanyakan pasien menyatakan bahwa efikasi penanganan sebagai faktor dalam pemilihan tindakan penanganan (74%), faktor lain yang ikut berperan adalah harga (8%), kekambuhan penyakit (6%), durasi pengobatan yang lama (4%), lama waktu yang di habiskan (4%), dan efek samping (4%). Ada atau tidak adanya sarana pelayanan kesehatan kulit menjadi penebab utama penderita memutuskan untuk berobat atau tidak berobat ke rumah sakit (40%), diikuti dengan faktor harga (23%), akreditasi rumah sakit (21%), dan televisi/radio (16%) (Dae et.al, 2008).

Tempat pelayanan yang dipilih

Perkotaan Pedesaan Perkotaan dan pedesaan

Rumah sakit 13,39 6,54 9,83

Praktik dokter 33,71 19,08 25,38

Puskesmas 30,81 36,19 33,50

Petugas kesehatan lainnya

15,23 31,82 23,55


(6)

2.3.6. Derajat keparahan

Seperti yang sudah disebutkan dalam teori kepercayaan kesehatan, bahwa keseriusan penyakit yang dirasakan pasien akan mempengaruhi tindakan individu untuk mencari pengobatan penyakitnya (Notoatmodjo, 2010).

2.3.7. Kepuasan

Menurut Notoatmodjo (2010), kepuasan adalah tanggapan seseorang terhadap kebutuhan. Kebutuhan itu sendiri mencerminkan dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak (motivasi). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dae et.al(2008), 77% pasien yang diteliti tidak puas dengan hasil penanganan akne yang dilakukan. Alasan utama adalah karena penanganan tersebut dirasa tidak banyak membantu atau tidak efektif (84%), alasan lain adalah harga (7%), dan efek samping yang didapat (4%).

2.3.8. Pengukuran perilaku

Pengukuran perilaku pada penelitian kuantitatif dapat menggunakan metode wawancara atau angket. Apabila ingin meneliti tindakan dapat secara langsung atau tidak langsung dengan mewawancarai atau memberi angket pada responden atau orang yang dekat dengan responden, atau melalui indikator hasil perilaku (Notoatmodjo, 2010).