Pengan Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga

1.1. Defenisi Keluarga

Defenisi keluarga banyak di uraikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Berikut ini akan dikemukakan pengertian keluarga. Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang di ikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain.

Keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam satu sebuah rumah tangga (Sayekti, 1994).

Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes, RI, 1998).

Keluarga adalah unti terkecil dari masyarkat yang terdiri atas kepala keluraga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu atap dalam keadaan salaing ketergantungan. (Effendy, 1998).

Sesuai dengan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah


(2)

1. Terdiri atas dua atau lebih individu yang di ikat oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi.

2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.

3. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing – masing mempunyai peran sosial sebagai suami, istri, anak, kakak, dan adik.

4. Mempunyai tujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.

1.2. Karakteristik Keluarga

Keluarga terdiri dari orang – orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi dimana anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran–peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara, saudara dan saudari. Selain itu, keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri ( Friedman, 1998 ).

1.3. Tipe keluarga

Di Indonesia dalam Undang-Undang Tahun 1998 disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri atas suami istri dan anak atau ayah/ibu dan anak. Dalam konteks pembangunan, di Indonesia bertujuan menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga sejahtera


(3)

dalam Undang-Undang No.10 disebut sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan maternal, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Es, memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antara dan dengan masyrakat.

Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial, maka tipe keluarga berkembang mengikutinya. Agar dapat mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan, maka perawat perlu memahami dan mengetahui berbagai macam keluarga.

1. Nuclear Family. Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja diluar rumah.

2. Extended Family. Adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya.

3. Reconstituted Nuclear. Pembentukan baru dari keluarga intimelalui perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun asal dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.

4. Middle Age/Aging Couple. Suami sbagai pencari uang,istri dirumah/kedua-duanya bekerja dirumah, anak -anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/perkawinan/meniti karir.


(4)

5. Dyadic Nuclear. Suami istri yang sidah berumur dan tidak mempunyai anak, keduanya/salah satu bekerja dirumah.

6. Single Parent. Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan anak – anaknya dapat tinggal diru mah/diluar rumah.

7. Dual carier. Suami istri atau keduanya berkarir dan tanpa anak.

8. Commuter Married. Suami istri/keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu tertentu.

9. Single Adult. Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah.

10. Three Generation. Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.

11. Institutional. Anak–anak atau orang–orang dewasa tinggal dalam suatu panti.

12. Comunal. Satu rumah terdiri atas dua /lebih pasangan yang monogami dengan anak – anaknya dan bersama – sama dalam penyediaan fasilitas. 13. Group Marriage. Satu perumahan terdiri atas orangtua dan keturunan

didalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang lain dan semua adalah orangtua dari anak – anak.

14. Unmarried Parent and Child. Ibu dan anak perkawinan yang tidak

dikehendaki, anaknya di adopsi.

15. Cohibing Couple. Dua orang /satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.

Dari sekian macam tipe keluarga, maka secara umum di Negara Indonesia dikenal dua tipe keluarga yaitu tipe keluarga tradisional dan tipe non tradisional.


(5)

Tipe keluarga tradisional

1. Keluarga inti : suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak (kandung/angkat)

2. Keluarga besar : keluarga inti ditambah keluarga lain yang mempunyai hubungan darah misalnya kakak, nenek, paman, bibi.

3. Single parent : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabakan oleh kematian atau perceraian.

4. Single adult : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa. 5. Keluarga lanjut usia terdiri dari suami istri lanjut usia.

Tipe keluarga non tradisional

1. Commune family : lebih satu keluarga tanpa pertalian darah hidup serumah. 2. Orang tua (ayah ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak hidup

bersama dalam satu rumah tangga.

3. Homoseksual : dua individu yang sejenis hidup bersama dalam satu rumah tangga.

1.4. Fungsi Keluarga

Harmoko, 2012, menyatakan dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan. Fungsi keluarga adalah sebagai berikut :

1. Fungsi Biologis, yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.


(6)

2. Fungsi Psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga. 3. Fungsi Sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingksh laku sesuai

dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya.

4. Fungsi Ekonomi, yaitu mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang.

5. Fungsi Pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keletrampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa, serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Friedman, 1988 menidentifikasi lima fungsi dasar keluarga diantaranya adalah

1. Fungsi Afektif (The Affective Function)

Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga yang, merupakan basisi kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikologis. Keberhasilan fungsi afektif tanpa melalui keluarga yang gembira dan bahagia. Anggota keluarga, mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan yang dimiliki, perasaan yang berarti, dan merupakan sumber kasih sayang. Dukungan (reinforcement) yang semuanya dipelajari dan dikembangkan melalui


(7)

interaksi dalam keluarga. Fungsi afektif merupakan sumber energi yang menetukan kebahagiaan keluarga. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau masalah lain yang sering timbul dalam keluarga dikarenakan fungsi afektif yang tidak terpenuhi. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga untuk fungsi afektif antara lain : memelihara saling asuh (mutual nurturance), keseimbangan saling menghargai, pertalian dan identifikasi, keterpisahan dan kepaduan.

2. Fungsi Sosialisasi (The socialzation function)

Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan akan diakhiri dengan kematian. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka alami.

Sosialisasi mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana manusia, berdasarkan sifat kelenturannya, melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama hidup, merka memperoleh karakteristik yang terpola secara sosial. Sosial merujuk pada proses perkembangan atau perubahan yang dialami seorang individu sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran peran-peran sosial. Anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan dimasyarakat.

3. Fungsi Reproduksi (The Reproductive Function)

Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia dengan adanya program keluarga berencana, fungsi ini sedikit terkontrol. Disisi lain banyak kelahiran yang tidak diharapkan


(8)

atau diluar ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua.

4. Fungsi Ekonomi (The Economic Function)

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti: makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi ini sulit dipenuhi keluarga yang berbeda dibawah garis kemiskinan, berat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber dimasyarakat yang dapat digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan.

5. Fungsi Perawatan Keluarga/pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function)

Bagi para profesional keluarga, fungsi perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian keluarga. Guna menempatkan dalam sebuah persektif, fungsi ini merupakan salah satu fungsi keluarga yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan kesehatan.

Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama merawat anggota keluarga yang sakit. Lebih jauh lagi keluarga mempunyai tanggung jawab utama untuk memulai dan mengkordinasikan pelayanan dan diberikan oleh para profesional perawat kesehatan. Keluarga melakukan praktik asuhan kesehatan untuk mencegah terjadinya gangguan atau merawat anggota yang sakit. Keluarga haruslah mampu menentukan kapan meminta pertolongan kepada tenaga profesional ketika salah satu anggotanya mengalami gangguan kesehatan.


(9)

Tingkat pengetahuan keluarga terkait konsep sehat sakit akan mempengaruhi perilaku keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan keluarga. Misalnya sering ditemukan keluarga yang menganggap diare sebagai tanda perkembangan, imunisasi penyakit (anak menjadi demam), mengkonsumsi ikan menyebabakan cacingan. Kesanggupan keluarga melaksanakan perawatan atau pemeliharaan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut :

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga

2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat 3. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit 4. Mempertahankan suasana rumah yang sehat

5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada dimasyarakat

Kelima tugas kesehatan keluarga tersebut saling terkait dan perlu dilakukan oleh keluarga, perawat perlu mengkaji sejauh mana keluarga mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik dan memberikan bantuan atau pembinaan terhadap keluarga untuk memenuhi tugas kesehatan keluarga.

1.5. Tugas kesehatan keluarga

Keluarga memiliki polanya tersendiri dalam membina hubungan dengan anggota keluarga, antara lain : pola komunikasi, mengambil keputusan, sikap dan nilai dalam keluarga serta kebudayaan, dan gaya hidup. Kemandirian anggota keluarga sangat tergantung pada pola-pola yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan dan budaya


(10)

komunikasi setempat. Pola-pola tersebut juga mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga (Sudiharto, 2007).

Setiap keluarga memiliki cara yang unik dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga khususnya dalam menyelesaikan masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga memiliki budaya yang unik yang diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kesehatan walaupun memiliki garis keturunan yang sama. Masih ada budaya yang di pertahankan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga, meskipun telah ratusan tahun berselang (Sudiharto, 2005).

Ada lima tugas kesehatan keluarga yaitu : mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit (yang tidak dapat membantu diri karena cacat atau usianya terlalu muda), memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Kelima hal diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya, bahwa peran dari keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-strategi hingga rehabilitasi (Friedman, 1998).

2. Prinsip – prinsip perawatan keluarga

Setiadi (2008) ada beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam memberikan Asuhan Keperawatan keluarga adalah :


(11)

b. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan Kesehatan keluarga sehat sebagai tujuan utama.

c. Asuhan keperawatan yang diberikan sebagai sarana dalam mencapai peningkatan kesehatan keluarga.

d. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan keluarga, perawat melibatkan peran aktif seluruh keluarga dalam merumuskan masalah dan kebutuhan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya.

e. Lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bersifat proinotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.

f. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga, keluarga memanfaatkan sumber daya keluarga semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan keluarga.

g. Sasaran Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah keluarga secara keseluruhan.

h. Pendekatan yang dipergunakan dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah pendekatan pemecahan masalah dengan menggunakan proses keperawatan.

i. Kegiatan utama dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah penyuluhan kesehatan dan Asuhan Keperawatan kesehatan dasar atau perawatan dirumah.


(12)

3. Konsep TB Paru 3.1. Defenisi TB Paru

Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberculosa Tipe Humanus (jarang oleh Tipe M.Bovinos). TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran napas bagian bawah setelah eradikasi penyakit malaria. TB paru merupakan penyakit infeksi menular, menyerang pada paru, disebabkan oleh Basil Micobakterium tuberkulose. (Depkes, 2007).

Penyakit Tubercolusis atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis.Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs.

3.2. Etiologi TB Paru

Penyakit tuberkulosis dahulu disingkat TBC,sekarang dipopulerkan sebagai TB saja untuk menghindari stigma di masyarakat terhadap pasien-pasien TB. Penyakit ini disebabkan oleh kuman jenis Mycrobacterium tuberculosis. Kuman ini pertama kali ditemukan oleh Dokter Robert Koch. Kuman ini sangat kecil, untuk melihat kuman ini perlu dilihat dengan mikroskop. Kuman ini dapat ditemukan dalam dahak atau sputum seseorang yang sedang sakit TB. Kuman ini bersifat tahan terhadap larutan asam sehingga mendapat julukan atau bahkan lebih terkenal dengan nama Basil Tahan Asam (BTA). Jadi untuk pemeriksaan dahak yang diminta ke laboratorium dinamakan „Pemeriksaan Sputum BTA.


(13)

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3x berturut-turut untuk menghindari faktor kebutulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2x positif, maka sudah dapat dipastikan orang tersebut sakit TB Paru.

3.3. Manifestasi Klinis

Penyakit tuberculosis atau TB paling sering menyerang organ paru, tetapi sebagian kecil dapat menyerang organ – organ lain, misalnya otak, tulang, kelenjar getah bening, kulit, usus, mata, telinga, dll. Gejala dan tanda yang muncul tergantung organ mana yang terkena. Seorang disangka menderita TB, terutma TB Paru dijumpai keluhan dan tanda – tanda sebagai berikut :

1. Nafsu makan berkurang 2. Berat badan turun 3. Keringat malam hari

4. Batuk – batuk (lebih 3 minggu) 5. Demam – demam (terutama sore hari) 6. Batuk darah

7. Dahak bercampur darah

8. Badan terasa lemah/mudah capek/rasa malas 9. Sesak napas (bila penyakit sudah lanjut)

10. Sakit dada (bila terjadi peradangan selaput paru/dinding paru) 11. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

12. Demam meriang lebih dari sebulan 3.4. Klasifikasi TB Paru


(14)

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC paru dibagi dalam :

1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif dan foto rotgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila digambarkan foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

3. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalkan pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

1. TBC ekstra paru ringan

Misalnya : TBC kelenjar lymfe, pleuritis, eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.


(15)

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.


(16)

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

3.5. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

3.6. Penatalaksanaan TB Paru 3.6.1 Pencegahan

Ada beberapa cara untuk pencegahan TB Paru yaitu:

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu-individu yang bergaul erat dengan sipenderita tubekulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes teberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.


(17)

Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.

2. Mass chest X-tray, yaitu pemeriksaanmassal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/ puskesmas/ balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.

3. Vaksinasi BCG

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bekteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:

Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes melitus.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang pneyakit tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantas Tuberkulosis Paru Indonesia – PPTI).


(18)

3.6.2 Pengobatan

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui.

Mekanisme kejrja Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Streptomisin. Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).

2. Aktivitas strerilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant). Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid. Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z). 3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS), dan sikloserine.

Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan bat tmbahan. Jenisobat yang digunakan sesuai dengan


(19)

rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes, RI, 2004)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bekeriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal Directly Observed

Treatment Short Course (DOTSC).

DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen yaitu:

1. Adanya komponen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB dengan OAT jangka pendek dibawah pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua bulan pertama dimna penderita harus minum obat setiap hari.

4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup. 5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

3.7. Efek samping OAT

Efek samping yang ditimbulkan oleh OAT bisa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut


(20)

1. Efek samping ringan

Nafsu makan menurun, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar dikaki, dan warna kemerahan pada air seni.

2. Efek samping berat

Gatal dan kemerahan kulit, tuli/gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, kulit menjadi kekuning-kuningan, bingung dan muntah-muntah, dan gangguan penglihatan.

4. Peran perawat Keluarga

Sebagai kekhususan perawat keluarga memiliki peran yang cukup banyak dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga diantaranya :

1. Peran perawat sebagai pendidik/educator

Perawat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga dalam rentang sehat sakit.

2. Peran perawat sebagai penghubung/koordinator/kolaborator

Dalam menjalankan peran ini, perawat mengkoordinasikan keluarga dengan pelayanan kesehatan

3. Peran perawat sebagai pelindung/advocate

Perawat memberikan perlindungan atas kesamaan keluarga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

4. Peran perawat sebagai pemberi pelayanan langsung.

Perawat memberikan pelayanan kesehatan langsung pada keluarga. 5. Peran perawat sebagai konselor


(21)

Perawat memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan masalah yang dihadapi keluarga tanpa harus ikut dalam pengambilan keputusan keluarga tersebut.

6. Peran perawat sebagai modifikator lingkungan 5. Peran keluarga dalam merawat penderita TB paru

Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses terapetik. Pada penderita TB, peran keluarga sangat dibutuhkan khususnya dalam memberikan perawatan, tidak hanya perawatan secara fisik namun juga perawatan secara psikososial (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Hal ini dikarenakan keluarga merupakan orang terdekat dari klien dan juga sesuai dengan salah satu fungsi keluarga yaitu memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).

Penderita TB sangat membutuhkan dukungan, kasih sayang, dan perhatian khususnya dari keluarga, hal ini dapat ditunjukkan dari keikutsertaan keluarga dalam membantu perawatan pada penderita TB, baik memberikan perawatan secara fisik maupun secara psikis karena banyaknya stigma buruk berkembang dimasyarakat terhadap penderita TB, sehingga dengan adanya dukungan, kasih sayang serta perawatan yang baik tersebut akan membantu mempercepat

kesembuhan pasien TB.

Hal-hal yang dapat lakukan keluarga dalam merawat penderita TB paru diantaranya mengawasi klien dalam meminum obat secara teratur hingga klien menelan obatnya, pasien harus meminum obatnya pada pagi hari karena obat


(22)

tersebut paling baik bekerja ketika pagi hari, keluarga juga harus dapat memotivasi pasien agar sabar dalam pengobatannya, menempatkan obat di tempat yang bersih dan kering, tidak terpapar langsung dengan sinar matahari dan aman dari jangkauan anak-anak, selain itu keluarga dapat membawa atau mengajak pasien ke fasilitas kesehatan setiap dua minggu sekali untuk melihat perkembangan penyakitnya atau jika pasien mengalami keluhan-keluhan yang harus segera di tangani.

Keluarga juga harus lebih terbuka dan memahami serta menghargai perasaan klien, mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan klien, menanyakan apa yang saat ini klien rasakan, ini merupakan salah satu bentuk dukungan dari keluarga secara psikis.

Untuk kebutuhan nutrisinya keluarga harus memberikan makan yang cukup gizi pada pasien untuk menguatkan dan meningkatkan daya dahan tubuh agar bisa menangkal kuman TB yang merusak paru-paru, kebersihan lingkungan rumah juga harus diperhatikan misalnya dengan pengaturan ventilasi yang cukup, ajarkan keluarga untuk tidak meludah sembarangan, menutup mulut ketika batuk atau bersin, keluarga juga dapat menjemur tempat tidur bekas pasien secara teratur, membuka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, karena kuman TB paru akan mati bila terkena sinar matahari (BPN, 2007).

6. Riset Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmund Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain


(23)

secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih cepat memahami. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Dempsey & Dempsey, 2002).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena, penampilan dari sesuatu yang khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata (Saryono & Anggraeni, 2010). Tujuan dari penelitian fenomenologi adalah mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Streybert & Carpenter, 2003).

Fokus pendekatan fenomenologi adalah memahami keunikan fenomenal dunia kehiduipan individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing individu itu berbeda, dalam hal ini adalah respon-respon yang unik dan spesifik yang dialami tiap individu termasuk interaksinya dengan orang lain, untuk selanjutnya mengeksplorasi makna atau arti dari fenomena tersebut.

Penelitian fenomenologi menggunakan penjelasan-penjelasan secara rinci sehingga menghasilkan deskripsi padat (thick description) dan anlisis yang rinci tentang berbagai pengalaman (seperti apa) yang dialami individu dalam dunia kehidupannya dari situasi atau peristiwa (bagaimana) yang dialami seorang individu sehingga dapat memperoleh intisari (essence) dari pengalaman tersebut dengan menambah berbagai persepsi (Sandelowski, 2004). Interpretasi dan analisis hasil-hasil temuannya memungkinkan peneliti mengungkapkan suatu deskripsi tentang intisari dari situasi atau fenomena yang dialami masing-masing


(24)

individu, sekaligus melalui perspektif mereka bersama sebagai pemahaman yang universal.

Khusus penelitian fenomenologi deskripsi, peneliti wajib melakukan

“braketing” yaitu usaha yang dilakukan peneliti untuk menyimpan dan mengurung asumsi, pengetahuan dan kepercayaannya tentang segala hal yang diketahuinya tentang fenomena yang sedang diteliti selama melakukan riset dengan tujuan agar memperdalam pemahaman peneliti tentang fenomena yang sedang dipelajari (Straubert & Carpenter, 2012). Peran peneliti adalah memberi penjelasan berupa deskripsi dan interpretasi fenomena tersebut berdasarkan sudut pandang para partisipannya.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Colaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena. Untuk pendekatan interpretif, tokoh yang terkenal adalah Diekelmann, Allen dan Tannes (1989). Van Mannen (1990) percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya, dalam percakapan yang mendalam, peneliti berusaha untuk masuk kedalam dunia informan untuk mendapatkan akses penuh tentang pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler, 2001).


(1)

rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes, RI, 2004)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bekeriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).

DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen yaitu:

1. Adanya komponen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB dengan OAT jangka pendek dibawah pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua bulan pertama dimna penderita harus minum obat setiap hari.

4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup. 5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

3.7. Efek samping OAT

Efek samping yang ditimbulkan oleh OAT bisa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut


(2)

1. Efek samping ringan

Nafsu makan menurun, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar dikaki, dan warna kemerahan pada air seni.

2. Efek samping berat

Gatal dan kemerahan kulit, tuli/gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, kulit menjadi kekuning-kuningan, bingung dan muntah-muntah, dan gangguan penglihatan.

4. Peran perawat Keluarga

Sebagai kekhususan perawat keluarga memiliki peran yang cukup banyak dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga diantaranya :

1. Peran perawat sebagai pendidik/educator

Perawat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga dalam rentang sehat sakit.

2. Peran perawat sebagai penghubung/koordinator/kolaborator

Dalam menjalankan peran ini, perawat mengkoordinasikan keluarga dengan pelayanan kesehatan

3. Peran perawat sebagai pelindung/advocate

Perawat memberikan perlindungan atas kesamaan keluarga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

4. Peran perawat sebagai pemberi pelayanan langsung.

Perawat memberikan pelayanan kesehatan langsung pada keluarga. 5. Peran perawat sebagai konselor


(3)

Perawat memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan masalah yang dihadapi keluarga tanpa harus ikut dalam pengambilan keputusan keluarga tersebut.

6. Peran perawat sebagai modifikator lingkungan

5. Peran keluarga dalam merawat penderita TB paru

Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses terapetik. Pada penderita TB, peran keluarga sangat dibutuhkan khususnya dalam memberikan perawatan, tidak hanya perawatan secara fisik namun juga perawatan secara psikososial (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Hal ini dikarenakan keluarga merupakan orang terdekat dari klien dan juga sesuai dengan salah satu fungsi keluarga yaitu memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).

Penderita TB sangat membutuhkan dukungan, kasih sayang, dan perhatian khususnya dari keluarga, hal ini dapat ditunjukkan dari keikutsertaan keluarga dalam membantu perawatan pada penderita TB, baik memberikan perawatan secara fisik maupun secara psikis karena banyaknya stigma buruk berkembang dimasyarakat terhadap penderita TB, sehingga dengan adanya dukungan, kasih sayang serta perawatan yang baik tersebut akan membantu mempercepat

kesembuhan pasien TB.

Hal-hal yang dapat lakukan keluarga dalam merawat penderita TB paru diantaranya mengawasi klien dalam meminum obat secara teratur hingga klien menelan obatnya, pasien harus meminum obatnya pada pagi hari karena obat


(4)

tersebut paling baik bekerja ketika pagi hari, keluarga juga harus dapat memotivasi pasien agar sabar dalam pengobatannya, menempatkan obat di tempat yang bersih dan kering, tidak terpapar langsung dengan sinar matahari dan aman dari jangkauan anak-anak, selain itu keluarga dapat membawa atau mengajak pasien ke fasilitas kesehatan setiap dua minggu sekali untuk melihat perkembangan penyakitnya atau jika pasien mengalami keluhan-keluhan yang harus segera di tangani.

Keluarga juga harus lebih terbuka dan memahami serta menghargai perasaan klien, mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan klien, menanyakan apa yang saat ini klien rasakan, ini merupakan salah satu bentuk dukungan dari keluarga secara psikis.

Untuk kebutuhan nutrisinya keluarga harus memberikan makan yang cukup gizi pada pasien untuk menguatkan dan meningkatkan daya dahan tubuh agar bisa menangkal kuman TB yang merusak paru-paru, kebersihan lingkungan rumah juga harus diperhatikan misalnya dengan pengaturan ventilasi yang cukup, ajarkan keluarga untuk tidak meludah sembarangan, menutup mulut ketika batuk atau bersin, keluarga juga dapat menjemur tempat tidur bekas pasien secara teratur, membuka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, karena kuman TB paru akan mati bila terkena sinar matahari (BPN, 2007).

6. Riset Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmund Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain


(5)

secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih cepat memahami. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Dempsey & Dempsey, 2002).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena, penampilan dari sesuatu yang khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata (Saryono & Anggraeni, 2010). Tujuan dari penelitian fenomenologi adalah mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Streybert & Carpenter, 2003).

Fokus pendekatan fenomenologi adalah memahami keunikan fenomenal dunia kehiduipan individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing individu itu berbeda, dalam hal ini adalah respon-respon yang unik dan spesifik yang dialami tiap individu termasuk interaksinya dengan orang lain, untuk selanjutnya mengeksplorasi makna atau arti dari fenomena tersebut.

Penelitian fenomenologi menggunakan penjelasan-penjelasan secara rinci sehingga menghasilkan deskripsi padat (thick description) dan anlisis yang rinci tentang berbagai pengalaman (seperti apa) yang dialami individu dalam dunia kehidupannya dari situasi atau peristiwa (bagaimana) yang dialami seorang individu sehingga dapat memperoleh intisari (essence) dari pengalaman tersebut dengan menambah berbagai persepsi (Sandelowski, 2004). Interpretasi dan analisis hasil-hasil temuannya memungkinkan peneliti mengungkapkan suatu deskripsi tentang intisari dari situasi atau fenomena yang dialami masing-masing


(6)

individu, sekaligus melalui perspektif mereka bersama sebagai pemahaman yang universal.

Khusus penelitian fenomenologi deskripsi, peneliti wajib melakukan

“braketing” yaitu usaha yang dilakukan peneliti untuk menyimpan dan

mengurung asumsi, pengetahuan dan kepercayaannya tentang segala hal yang diketahuinya tentang fenomena yang sedang diteliti selama melakukan riset dengan tujuan agar memperdalam pemahaman peneliti tentang fenomena yang sedang dipelajari (Straubert & Carpenter, 2012). Peran peneliti adalah memberi penjelasan berupa deskripsi dan interpretasi fenomena tersebut berdasarkan sudut pandang para partisipannya.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Colaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena. Untuk pendekatan interpretif, tokoh yang terkenal adalah Diekelmann, Allen dan Tannes (1989). Van Mannen (1990) percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya, dalam percakapan yang mendalam, peneliti berusaha untuk masuk kedalam dunia informan untuk mendapatkan akses penuh tentang pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler, 2001).