Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga

(1)

Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di

Rumah Wilayah Kota Sibolga

SKRIPSI

oleh

Putri Sari Bungsu S 111101128

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

(5)

Judul : Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga

Nama Mahasiswa : Putri Sari Bungsu S

NIM : 1111 0 1128

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun akademik : 2014 / 2015

ABSTRAK

Menurut data dari rumah Sakit Umum disibolga jumlah penderita TB Paru tiga tahun terakhir dari tahun 2011-2013 berjumlah 174 orang penderita. Penyakit TB Paru sangat rawan untuk terjadi penularan terhadap oarang-orang terdekat sipenderita seperti pada keluarga penderita TB Paru sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya penularan keanggota keluarga yang lain. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah wilayah kota Sibolga.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak delapan orang partisipan. Penelitian ini dilaksanakan di rumah penderita di kota Sibolga pada bulan Februari 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Analisa data pada penelitian ini menggunakan metode Collaizi. Penelitian ini menemukan ada 5 tema terkait dengan pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di Rumah wilayah kota Sibolga, yaitu melakukan pencegahan terhadap penularan TB Paru, memberikan respon negatif keluarga dalam merawat penderita TB paru, mengidentifikasi gejala TBC pada penderita, dampak selama perawatan penderita TB Paru, dan hambatan yang dialami keluarga dalam merawat penderita TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan keluarga untuk lebih memahami dan dapat memberi masukan terhadap keluarga penderita sehingga diharapkan mampu melakukan pencegahan penularan TB Paru dirumah dan memotivasi keluarga penderita untuk lebih memberikan perhatian kepada anggota keluarganya tentang perawatan yang baik dan dapat mempengaruhi sikap yang pada akhirnya dengan kesadaran diri akan merubah perilakunya kearah yang lebih baik.


(6)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga”.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, demikian juga kepada Ibu Erniyati S.Kp., MNS selaku Pembantu Dekan I serta seluruh staf dan dosen pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan studi jenjang Sarjana Keperawatan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph. D selaku dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktu untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini, memberikan pengetahuan, bimbingan yang update, masukan dan arahan yang sangat inspiratif sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Asrizal, S.Kep, Ns, WOC (ET) N dan bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS selaku dosen penguji yang juga banyak memberi saran dan masukan yang membangun dalam penulisan skripsi ini.Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih teristimewa kepada kedua orang tua, H. Nasaruddin Siregar dan ibunda Hj. Soviah Pasaribu yang telah memberikan dukungannya secara moril, material dan doa yang tiada henti mereka panjatkan demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2011 Fakultas Keperawata Universitas Sumatera Utara terkhusus untuk sahabat penulis ugi, irma, suci dan dini yang telah banyak membantu dan memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini serta teman satu dosen pembimbing Tabita, Rita dan Afina yang selalu berbagi informasi, tempat


(7)

bertukar pikiran dan semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Medan, Agustus 2015 Penulis

Putri Sari Bungsu S 111101128


(8)

Daftar Isi

Halaman judul ... i

Halaman pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Prakata… ... iv

Daftar isi ... vi

Daftar tabel ... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar belakang ... 1

2. Perumusan masalah ... 5

3. Tujuan penelitian ... 5

4. Manfaat penelitian ... 5

4.1 Pendidikan keperawatan... 6

4.2 Pelayanan keperawatan ... 6

4.3 Penelitian keperawatan... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1. Konsep keluarga ... 7

1.1 Definisi keluarga ... 7

1.2 Karakterisitik keluarga ... 8

1.3 Tipe keluarga ... 8

1.4 Fungsi keluarga ... 11

1.5 Tugas keluarga ... 15

2. Prinsip-prinsip perawatan keluarga ... 17

3. Konsep TB Paru ... 18

3.1 Defenisi TB Paru ... 18

3.2 Etiologi TB Paru... 18

3.3 Manifestasi TB Paru ... 19

3.4 Klasifikasi TB Paru ... 20

3.5 Cara penularan TB Paru ... 22

3.6 Penatalaksanaan TB Paru ... 23

3.6.1 Pencegahan TB Paru ... 23

3.6.2 Pengobatan TB Paru ... 24

3.7 Efek samping OAT ... 26

4. Peran perawat keluarga ... 26

5. Peran keluarga dalam merawat penderita TB Paru ... 27

6. Riset fenomenologi ... 29

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 32

1. Desain penelitian ... 32

2. Partisipan ... 32

3. Tempat dan waktu penelitian ... 33

3.1 Tempat penelitian ... 33


(9)

4. Pertimbangan etik ... 33

5. Instrumen penelitian ... 34

6. Pengumpulan data ... 35

7. Analisa data ... 37

8. Tingkat kepercayaan data ... 38

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

1. Hasil penelitian ... 40

2. Karakteristik partisipan ... 40

3. Pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah wilayah kota sibolga... 41

4. Pembahasan ... 58

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

1. Kesimpulan ... 70

2. Saran ... 70

Daftar Pustaka ... 72 Lampiran 1. Informed consent

Lampiran 2. Lembar persetujuan menjadi partisipan

Lampiran 3. Instrumen penelitian (Kuesioner Data Demografi) Lampiran 4. Panduan wawancara

Lampiran 5. Surat uji validasi pertanyaan wawancara Lampiran 6. Surat izin penelitian

Lampiran 7. Surat komite etik Lampiran 8. Jadwal penelitian Lampiran 9. Anggaran dana

Lampiran 10. Lembar bukti bimbingan Lampiran 11. Riwayat hidup


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik Partisipan ... 41 Tabel 4.1. Matriks Tema ... 56


(11)

(12)

Judul : Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga

Nama Mahasiswa : Putri Sari Bungsu S

NIM : 1111 0 1128

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun akademik : 2014 / 2015

ABSTRAK

Menurut data dari rumah Sakit Umum disibolga jumlah penderita TB Paru tiga tahun terakhir dari tahun 2011-2013 berjumlah 174 orang penderita. Penyakit TB Paru sangat rawan untuk terjadi penularan terhadap oarang-orang terdekat sipenderita seperti pada keluarga penderita TB Paru sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya penularan keanggota keluarga yang lain. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah wilayah kota Sibolga.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak delapan orang partisipan. Penelitian ini dilaksanakan di rumah penderita di kota Sibolga pada bulan Februari 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Analisa data pada penelitian ini menggunakan metode Collaizi. Penelitian ini menemukan ada 5 tema terkait dengan pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di Rumah wilayah kota Sibolga, yaitu melakukan pencegahan terhadap penularan TB Paru, memberikan respon negatif keluarga dalam merawat penderita TB paru, mengidentifikasi gejala TBC pada penderita, dampak selama perawatan penderita TB Paru, dan hambatan yang dialami keluarga dalam merawat penderita TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan keluarga untuk lebih memahami dan dapat memberi masukan terhadap keluarga penderita sehingga diharapkan mampu melakukan pencegahan penularan TB Paru dirumah dan memotivasi keluarga penderita untuk lebih memberikan perhatian kepada anggota keluarganya tentang perawatan yang baik dan dapat mempengaruhi sikap yang pada akhirnya dengan kesadaran diri akan merubah perilakunya kearah yang lebih baik.


(13)

BAB 1

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998).

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga,yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Ali, 2010).

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah,mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak. (Sudiharto, 2007). Keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah kesehatan dalam kelompoknya (Fallen & Dwi, 2011)., bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.

Tingkat pengetahuan keluarga dalam perawatan merupakan suatu gambaran suatu peran dan fungsi yang dapat dijalankan dalam keluarga, sifat kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu perawatan individu dalam perannya didasari oleh harapan dan pada perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peran yang terdapat dalam keluarga adalah asah, asih, asuh,


(14)

dan juga beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga yaitu fungsi biologis, fungsi psikologis, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan.

Keluarga sebagai unit pelayanan yang merawat adalah keluarga yang ada disekitarnya, kesehatan keluarga diarahkan kepada bagaimana tingkat pengetahuan keluarga dalam pengobatan untuk memelihara kesehatan keluarganya. Berdasarkan pemikiran diatas maka kesehatan diarahkan kepada bagaimana tingkat pengetahuan keluarga dalam pengobatan untuk memelihara kesehatan keluarga. Keluarga sebagai unit utama masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Penyakit TBC sudah dikenal sejak dahulu kala. Penyakit ini disebabkan oleh kuman atau bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru-paru dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak dan sebagainya (Hudoyo, 2008).

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh MycobacteriumTuberculosis. TB termasuk penyakit yang diperburuk dengan kemiskinan danumumnya menyerang penduduk yang termasuk dalam rentang usia produktif (15-59 tahun).Penyakit TBC paru merupakan masalah yang besar bagi negara berkembang termasuk indonesia,karena diperkirakan 95 % a penderita TBC paru berada di negara berkemban,dan 75 % dari penderita TB Paru tersebut adalah kelompok usia produktif (15 – 50 tahun). (Yoannes, 2008)

Laporan WHO tahun 2009 menunjukkan prevalensi TB dunia yang mencapai 9,4 juta orang dengan proporsi 85% di kawasan Asia dan Afrika. 55%


(15)

dari prevalensi ditemukan di Asia (35% ada di India dan Cina) dan 30 % di Afrika. (Jaji, 2010)

Masalah TB di Indonesia berada pada peringkat ke-3 di dunia selama bertahun tahun dan pada tahun 2009 dari laporan WHO global TB control 2010, Indonesia turun keperingkat 5 dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang dengan jumlah prevalensi tahunan dari semua kasus TB 224 per 100.000 dan diperkirakan insiden kasus baru 228 per 100.000 penduduk. (Jaji, 2010)

Total prevalensi TB di Indonesia tahun 2009 ditemukan sebanyak 294.371 kasus, dengan perincian kasus TB BTA positif 169.213 dan kasus TB BTA negatif 108.616 kasus. Penderita TB ekstra paru juga teridentifikasi sebanyak 11.215 kasus, kasus TB kambuh 3.709 dan pengobatan ulang diluar kasus kambuh berjumlah 1.978 penderita.

Prevalensi TB di Jawa Tengah pada tahun 2008 mencapai 101 per 100.000 penduduk dengan CDR 48% Kabupaten Pekalongan 2010 mencapai 81,9% dengan total prevalensi TB 1.226 kasus. Kasus yang ditemukan dapat dirinci menjadi BTA positif 857 orang, BTA negatif 322 orang, penderita ekstra paru 30 orang, TB anak 28 orang dan kasus kambuh 17 orang (Dinas Kabupaten Pekalongan, 2010).

Dari hasil penelitian pengalaman keluarga menunjukkan sikap keluarga sebagian terjadi karena adanya perilaku dan sikap keluarga yang kurang baik. Keluarga kurangnya perilaku keluarga tersebut ditunjukkan dengan tidak menggunakan masker debu (jika kontak dengan pasien), keterlambatan dalam


(16)

pemberian vaksin BCG (pada orang yang tidak terinfeksi), dan terapi pencegahan 6-9 bulan (Linda, 2011).

Upaya keluarga berarti masih ada 52% kasus TB di Jawa tengah yang belum tertangani. Sedang penemuan kasus TB di dalam mencegah TB paru adalah harus dilakukan ketika salah seorang dari kerabat kita ada yang tertular penyakit TBC paru. Karena penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang bisa ditularkan melalui dahak penderita TB Paru. Selain itu makanan yang mengandung kuman TB juga bisa menjadi penyebab menyebarkan penyakit TBC Paru. Pencegahan TB Paru terkadang menjadi langkah yang dilupakan oleh sebagian orang. Jika seseorang memiliki tes positif untuk infeksi laten TB, dokter mungkin menyarankan untuk mengkonsumsi obat untuk mengurangi resiko terkena TB aktif. Satu-satunya jenis TB yang menular adalah varietas aktif, saat itu mempengaruhi paru-paru. Jadi, jika dapat mencegah TBC dari menjadi aktif, penderita tersebut tidak akan mengirimkan TB ke orang lain.

Pencegahan TB dengan melindungi diri dan orang lain. Jika seseorang memiliki TB Aktif, hal pertama yang perlu dicatat adalah menjaga kuman dari diri sendiri. Hal ini biasanya memakan waktu beberapa minggu pengobatan dengan obat TBC sebelum tidak menular lagi. Dampak yang berpengaruh pada keluarga dalam merawat pasien TBC Paru adalah terjadinya penularan bagi keluarga yang merawat bahkan akan tertular anggota keluarga lainnya yang ada didalam rumah tersebut.

Keluarga yang merawat penderita TB Paru penting dilakukan untuk menambah penegtahuan keluarga dalam merawat penderita TB Paru dengan


(17)

harapan ada manfaatnya bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya, tidak terjadi penularan, demikian pula bagi bidang pendidikan untuk dapat meningkatkan asuhan keperawatan pada penderita TB Paru (Jaji, 2010).

Menurut data dari rumah sakit umum penderita TBC yang ada di sibolga pada tahun 2013 sebayak 174 orang, meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya 120 orang. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui seorang penderita TB Paru, bukanlah usaha secara individu melainkan usaha keluarga bersama. Namun, dukungan dari keluarga dan pengawasan terhadap pencegahan dan pengobatan terhadap penderita TB paru yang penderitanya semakin bertambah serta mengingat penyakit ini dapat dicegah. Berdasarkan uraian diatas peneliti mengambil judiul penelitian “Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga”.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru ?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah wilayah kota Sibolga

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: pendidikan keperawatan, pelayanan keperawatan, penelitian keperawatan, dan manfaat bagi keluarga.


(18)

4.1. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan kepada pendidikan keperawatan khususnya keperawatan keluarga.

4.2. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat keluarga tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB paru, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal pada pasien TB Paru dan keluarga.

4.3. Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan evidence based tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah. Hasil penelitian ini juga diharapakan untuk pengembangan penelitian keperawatan selanjutnya dalam menerapkan tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di rumah.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga

1.1. Defenisi Keluarga

Defenisi keluarga banyak di uraikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Berikut ini akan dikemukakan pengertian keluarga. Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang di ikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain.

Keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam satu sebuah rumah tangga (Sayekti, 1994).

Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes, RI, 1998).

Keluarga adalah unti terkecil dari masyarkat yang terdiri atas kepala keluraga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu atap dalam keadaan salaing ketergantungan. (Effendy, 1998).

Sesuai dengan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah


(20)

1. Terdiri atas dua atau lebih individu yang di ikat oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi.

2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.

3. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing – masing mempunyai peran sosial sebagai suami, istri, anak, kakak, dan adik.

4. Mempunyai tujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.

1.2. Karakteristik Keluarga

Keluarga terdiri dari orang – orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi dimana anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran–peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara, saudara dan saudari. Selain itu, keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri ( Friedman, 1998 ).

1.3. Tipe keluarga

Di Indonesia dalam Undang-Undang Tahun 1998 disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri atas suami istri dan anak atau ayah/ibu dan anak. Dalam konteks pembangunan, di Indonesia bertujuan menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga sejahtera


(21)

dalam Undang-Undang No.10 disebut sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan maternal, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Es, memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antara dan dengan masyrakat.

Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial, maka tipe keluarga berkembang mengikutinya. Agar dapat mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan, maka perawat perlu memahami dan mengetahui berbagai macam keluarga.

1. Nuclear Family. Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja diluar rumah.

2. Extended Family. Adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya.

3. Reconstituted Nuclear. Pembentukan baru dari keluarga intimelalui perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun asal dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.

4. Middle Age/Aging Couple. Suami sbagai pencari uang,istri dirumah/kedua-duanya bekerja dirumah, anak -anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/perkawinan/meniti karir.


(22)

5. Dyadic Nuclear. Suami istri yang sidah berumur dan tidak mempunyai anak, keduanya/salah satu bekerja dirumah.

6. Single Parent. Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan anak – anaknya dapat tinggal diru mah/diluar rumah.

7. Dual carier. Suami istri atau keduanya berkarir dan tanpa anak.

8. Commuter Married. Suami istri/keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu tertentu.

9. Single Adult. Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah.

10. Three Generation. Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.

11. Institutional. Anak–anak atau orang–orang dewasa tinggal dalam suatu panti.

12. Comunal. Satu rumah terdiri atas dua /lebih pasangan yang monogami dengan anak – anaknya dan bersama – sama dalam penyediaan fasilitas. 13. Group Marriage. Satu perumahan terdiri atas orangtua dan keturunan

didalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang lain dan semua adalah orangtua dari anak – anak.

14. Unmarried Parent and Child. Ibu dan anak perkawinan yang tidak dikehendaki, anaknya di adopsi.

15. Cohibing Couple. Dua orang /satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.

Dari sekian macam tipe keluarga, maka secara umum di Negara Indonesia dikenal dua tipe keluarga yaitu tipe keluarga tradisional dan tipe non tradisional.


(23)

Tipe keluarga tradisional

1. Keluarga inti : suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan anak (kandung/angkat)

2. Keluarga besar : keluarga inti ditambah keluarga lain yang mempunyai hubungan darah misalnya kakak, nenek, paman, bibi.

3. Single parent : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabakan oleh kematian atau perceraian.

4. Single adult : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa. 5. Keluarga lanjut usia terdiri dari suami istri lanjut usia.

Tipe keluarga non tradisional

1. Commune family : lebih satu keluarga tanpa pertalian darah hidup serumah. 2. Orang tua (ayah ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak hidup

bersama dalam satu rumah tangga.

3. Homoseksual : dua individu yang sejenis hidup bersama dalam satu rumah tangga.

1.4. Fungsi Keluarga

Harmoko, 2012, menyatakan dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan. Fungsi keluarga adalah sebagai berikut :

1. Fungsi Biologis, yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.


(24)

2. Fungsi Psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga. 3. Fungsi Sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingksh laku sesuai

dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya.

4. Fungsi Ekonomi, yaitu mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang.

5. Fungsi Pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keletrampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa, serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Friedman, 1988 menidentifikasi lima fungsi dasar keluarga diantaranya adalah

1. Fungsi Afektif (The Affective Function)

Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga yang, merupakan basisi kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikologis. Keberhasilan fungsi afektif tanpa melalui keluarga yang gembira dan bahagia. Anggota keluarga, mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan yang dimiliki, perasaan yang berarti, dan merupakan sumber kasih sayang. Dukungan (reinforcement) yang semuanya dipelajari dan dikembangkan melalui


(25)

interaksi dalam keluarga. Fungsi afektif merupakan sumber energi yang menetukan kebahagiaan keluarga. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau masalah lain yang sering timbul dalam keluarga dikarenakan fungsi afektif yang tidak terpenuhi. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga untuk fungsi afektif antara lain : memelihara saling asuh (mutual nurturance), keseimbangan saling menghargai, pertalian dan identifikasi, keterpisahan dan kepaduan.

2. Fungsi Sosialisasi (The socialzation function)

Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan akan diakhiri dengan kematian. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka alami.

Sosialisasi mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana manusia, berdasarkan sifat kelenturannya, melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama hidup, merka memperoleh karakteristik yang terpola secara sosial. Sosial merujuk pada proses perkembangan atau perubahan yang dialami seorang individu sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran peran-peran sosial. Anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan dimasyarakat.

3. Fungsi Reproduksi (The Reproductive Function)

Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia dengan adanya program keluarga berencana, fungsi ini sedikit terkontrol. Disisi lain banyak kelahiran yang tidak diharapkan


(26)

atau diluar ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua.

4. Fungsi Ekonomi (The Economic Function)

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti: makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi ini sulit dipenuhi keluarga yang berbeda dibawah garis kemiskinan, berat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber dimasyarakat yang dapat digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan.

5. Fungsi Perawatan Keluarga/pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function)

Bagi para profesional keluarga, fungsi perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian keluarga. Guna menempatkan dalam sebuah persektif, fungsi ini merupakan salah satu fungsi keluarga yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan kesehatan.

Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama merawat anggota keluarga yang sakit. Lebih jauh lagi keluarga mempunyai tanggung jawab utama untuk memulai dan mengkordinasikan pelayanan dan diberikan oleh para profesional perawat kesehatan. Keluarga melakukan praktik asuhan kesehatan untuk mencegah terjadinya gangguan atau merawat anggota yang sakit. Keluarga haruslah mampu menentukan kapan meminta pertolongan kepada tenaga profesional ketika salah satu anggotanya mengalami gangguan kesehatan.


(27)

Tingkat pengetahuan keluarga terkait konsep sehat sakit akan mempengaruhi perilaku keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan keluarga. Misalnya sering ditemukan keluarga yang menganggap diare sebagai tanda perkembangan, imunisasi penyakit (anak menjadi demam), mengkonsumsi ikan menyebabakan cacingan. Kesanggupan keluarga melaksanakan perawatan atau pemeliharaan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut :

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga

2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat 3. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit 4. Mempertahankan suasana rumah yang sehat

5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada dimasyarakat

Kelima tugas kesehatan keluarga tersebut saling terkait dan perlu dilakukan oleh keluarga, perawat perlu mengkaji sejauh mana keluarga mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik dan memberikan bantuan atau pembinaan terhadap keluarga untuk memenuhi tugas kesehatan keluarga.

1.5. Tugas kesehatan keluarga

Keluarga memiliki polanya tersendiri dalam membina hubungan dengan anggota keluarga, antara lain : pola komunikasi, mengambil keputusan, sikap dan nilai dalam keluarga serta kebudayaan, dan gaya hidup. Kemandirian anggota keluarga sangat tergantung pada pola-pola yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan dan budaya


(28)

komunikasi setempat. Pola-pola tersebut juga mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga (Sudiharto, 2007).

Setiap keluarga memiliki cara yang unik dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga khususnya dalam menyelesaikan masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga memiliki budaya yang unik yang diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kesehatan walaupun memiliki garis keturunan yang sama. Masih ada budaya yang di pertahankan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga, meskipun telah ratusan tahun berselang (Sudiharto, 2005).

Ada lima tugas kesehatan keluarga yaitu : mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit (yang tidak dapat membantu diri karena cacat atau usianya terlalu muda), memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Kelima hal diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya, bahwa peran dari keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi-strategi hingga rehabilitasi (Friedman, 1998).

2. Prinsip – prinsip perawatan keluarga

Setiadi (2008) ada beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam memberikan Asuhan Keperawatan keluarga adalah :


(29)

b. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan Kesehatan keluarga sehat sebagai tujuan utama.

c. Asuhan keperawatan yang diberikan sebagai sarana dalam mencapai peningkatan kesehatan keluarga.

d. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan keluarga, perawat melibatkan peran aktif seluruh keluarga dalam merumuskan masalah dan kebutuhan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya.

e. Lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bersifat proinotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.

f. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga, keluarga memanfaatkan sumber daya keluarga semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan keluarga.

g. Sasaran Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah keluarga secara keseluruhan.

h. Pendekatan yang dipergunakan dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah pendekatan pemecahan masalah dengan menggunakan proses keperawatan.

i. Kegiatan utama dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah penyuluhan kesehatan dan Asuhan Keperawatan kesehatan dasar atau perawatan dirumah.


(30)

3. Konsep TB Paru 3.1. Defenisi TB Paru

Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberculosa Tipe Humanus (jarang oleh Tipe M.Bovinos). TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran napas bagian bawah setelah eradikasi penyakit malaria. TB paru merupakan penyakit infeksi menular, menyerang pada paru, disebabkan oleh Basil Micobakterium tuberkulose. (Depkes, 2007).

Penyakit Tubercolusis atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis.Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs.

3.2. Etiologi TB Paru

Penyakit tuberkulosis dahulu disingkat TBC,sekarang dipopulerkan sebagai TB saja untuk menghindari stigma di masyarakat terhadap pasien-pasien TB. Penyakit ini disebabkan oleh kuman jenis Mycrobacterium tuberculosis. Kuman ini pertama kali ditemukan oleh Dokter Robert Koch. Kuman ini sangat kecil, untuk melihat kuman ini perlu dilihat dengan mikroskop. Kuman ini dapat ditemukan dalam dahak atau sputum seseorang yang sedang sakit TB. Kuman ini bersifat tahan terhadap larutan asam sehingga mendapat julukan atau bahkan lebih terkenal dengan nama Basil Tahan Asam (BTA). Jadi untuk pemeriksaan dahak yang diminta ke laboratorium dinamakan „Pemeriksaan Sputum BTA.


(31)

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3x berturut-turut untuk menghindari faktor kebutulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2x positif, maka sudah dapat dipastikan orang tersebut sakit TB Paru.

3.3. Manifestasi Klinis

Penyakit tuberculosis atau TB paling sering menyerang organ paru, tetapi sebagian kecil dapat menyerang organ – organ lain, misalnya otak, tulang, kelenjar getah bening, kulit, usus, mata, telinga, dll. Gejala dan tanda yang muncul tergantung organ mana yang terkena. Seorang disangka menderita TB, terutma TB Paru dijumpai keluhan dan tanda – tanda sebagai berikut :

1. Nafsu makan berkurang 2. Berat badan turun 3. Keringat malam hari

4. Batuk – batuk (lebih 3 minggu) 5. Demam – demam (terutama sore hari) 6. Batuk darah

7. Dahak bercampur darah

8. Badan terasa lemah/mudah capek/rasa malas 9. Sesak napas (bila penyakit sudah lanjut)

10. Sakit dada (bila terjadi peradangan selaput paru/dinding paru) 11. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

12. Demam meriang lebih dari sebulan 3.4. Klasifikasi TB Paru


(32)

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC paru dibagi dalam :

1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif dan foto rotgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila digambarkan foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

3. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalkan pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

1. TBC ekstra paru ringan

Misalnya : TBC kelenjar lymfe, pleuritis, eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.


(33)

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.


(34)

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

3.5. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut, bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

3.6. Penatalaksanaan TB Paru 3.6.1 Pencegahan

Ada beberapa cara untuk pencegahan TB Paru yaitu:

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu-individu yang bergaul erat dengan sipenderita tubekulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes teberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.


(35)

Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.

2. Mass chest X-tray, yaitu pemeriksaanmassal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/ puskesmas/ balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.

3. Vaksinasi BCG

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bekteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:

Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes melitus.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang pneyakit tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantas Tuberkulosis Paru Indonesia – PPTI).


(36)

3.6.2 Pengobatan

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui.

Mekanisme kejrja Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Streptomisin. Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).

2. Aktivitas strerilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant). Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid. Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z). 3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam para-amino salisilik (PAS), dan sikloserine.

Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan bat tmbahan. Jenisobat yang digunakan sesuai dengan


(37)

rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes, RI, 2004)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bekeriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).

DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen yaitu:

1. Adanya komponen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB dengan OAT jangka pendek dibawah pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua bulan pertama dimna penderita harus minum obat setiap hari.

4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup. 5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

3.7. Efek samping OAT

Efek samping yang ditimbulkan oleh OAT bisa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut


(38)

1. Efek samping ringan

Nafsu makan menurun, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar dikaki, dan warna kemerahan pada air seni.

2. Efek samping berat

Gatal dan kemerahan kulit, tuli/gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, kulit menjadi kekuning-kuningan, bingung dan muntah-muntah, dan gangguan penglihatan.

4. Peran perawat Keluarga

Sebagai kekhususan perawat keluarga memiliki peran yang cukup banyak dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga diantaranya :

1. Peran perawat sebagai pendidik/educator

Perawat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga dalam rentang sehat sakit.

2. Peran perawat sebagai penghubung/koordinator/kolaborator

Dalam menjalankan peran ini, perawat mengkoordinasikan keluarga dengan pelayanan kesehatan

3. Peran perawat sebagai pelindung/advocate

Perawat memberikan perlindungan atas kesamaan keluarga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

4. Peran perawat sebagai pemberi pelayanan langsung.

Perawat memberikan pelayanan kesehatan langsung pada keluarga. 5. Peran perawat sebagai konselor


(39)

Perawat memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan masalah yang dihadapi keluarga tanpa harus ikut dalam pengambilan keputusan keluarga tersebut.

6. Peran perawat sebagai modifikator lingkungan 5. Peran keluarga dalam merawat penderita TB paru

Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses terapetik. Pada penderita TB, peran keluarga sangat dibutuhkan khususnya dalam memberikan perawatan, tidak hanya perawatan secara fisik namun juga perawatan secara psikososial (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Hal ini dikarenakan keluarga merupakan orang terdekat dari klien dan juga sesuai dengan salah satu fungsi keluarga yaitu memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998).

Penderita TB sangat membutuhkan dukungan, kasih sayang, dan perhatian khususnya dari keluarga, hal ini dapat ditunjukkan dari keikutsertaan keluarga dalam membantu perawatan pada penderita TB, baik memberikan perawatan secara fisik maupun secara psikis karena banyaknya stigma buruk berkembang dimasyarakat terhadap penderita TB, sehingga dengan adanya dukungan, kasih sayang serta perawatan yang baik tersebut akan membantu mempercepat

kesembuhan pasien TB.

Hal-hal yang dapat lakukan keluarga dalam merawat penderita TB paru diantaranya mengawasi klien dalam meminum obat secara teratur hingga klien menelan obatnya, pasien harus meminum obatnya pada pagi hari karena obat


(40)

tersebut paling baik bekerja ketika pagi hari, keluarga juga harus dapat memotivasi pasien agar sabar dalam pengobatannya, menempatkan obat di tempat yang bersih dan kering, tidak terpapar langsung dengan sinar matahari dan aman dari jangkauan anak-anak, selain itu keluarga dapat membawa atau mengajak pasien ke fasilitas kesehatan setiap dua minggu sekali untuk melihat perkembangan penyakitnya atau jika pasien mengalami keluhan-keluhan yang harus segera di tangani.

Keluarga juga harus lebih terbuka dan memahami serta menghargai perasaan klien, mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan klien, menanyakan apa yang saat ini klien rasakan, ini merupakan salah satu bentuk dukungan dari keluarga secara psikis.

Untuk kebutuhan nutrisinya keluarga harus memberikan makan yang cukup gizi pada pasien untuk menguatkan dan meningkatkan daya dahan tubuh agar bisa menangkal kuman TB yang merusak paru-paru, kebersihan lingkungan rumah juga harus diperhatikan misalnya dengan pengaturan ventilasi yang cukup, ajarkan keluarga untuk tidak meludah sembarangan, menutup mulut ketika batuk atau bersin, keluarga juga dapat menjemur tempat tidur bekas pasien secara teratur, membuka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, karena kuman TB paru akan mati bila terkena sinar matahari (BPN, 2007).

6. Riset Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmund Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain


(41)

secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih cepat memahami. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Dempsey & Dempsey, 2002).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena, penampilan dari sesuatu yang khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata (Saryono & Anggraeni, 2010). Tujuan dari penelitian fenomenologi adalah mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Streybert & Carpenter, 2003).

Fokus pendekatan fenomenologi adalah memahami keunikan fenomenal dunia kehiduipan individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing individu itu berbeda, dalam hal ini adalah respon-respon yang unik dan spesifik yang dialami tiap individu termasuk interaksinya dengan orang lain, untuk selanjutnya mengeksplorasi makna atau arti dari fenomena tersebut.

Penelitian fenomenologi menggunakan penjelasan-penjelasan secara rinci sehingga menghasilkan deskripsi padat (thick description) dan anlisis yang rinci tentang berbagai pengalaman (seperti apa) yang dialami individu dalam dunia kehidupannya dari situasi atau peristiwa (bagaimana) yang dialami seorang individu sehingga dapat memperoleh intisari (essence) dari pengalaman tersebut dengan menambah berbagai persepsi (Sandelowski, 2004). Interpretasi dan analisis hasil-hasil temuannya memungkinkan peneliti mengungkapkan suatu deskripsi tentang intisari dari situasi atau fenomena yang dialami masing-masing


(42)

individu, sekaligus melalui perspektif mereka bersama sebagai pemahaman yang universal.

Khusus penelitian fenomenologi deskripsi, peneliti wajib melakukan

“braketing” yaitu usaha yang dilakukan peneliti untuk menyimpan dan

mengurung asumsi, pengetahuan dan kepercayaannya tentang segala hal yang diketahuinya tentang fenomena yang sedang diteliti selama melakukan riset dengan tujuan agar memperdalam pemahaman peneliti tentang fenomena yang sedang dipelajari (Straubert & Carpenter, 2012). Peran peneliti adalah memberi penjelasan berupa deskripsi dan interpretasi fenomena tersebut berdasarkan sudut pandang para partisipannya.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Colaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena. Untuk pendekatan interpretif, tokoh yang terkenal adalah Diekelmann, Allen dan Tannes (1989). Van Mannen (1990) percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya, dalam percakapan yang mendalam, peneliti berusaha untuk masuk kedalam dunia informan untuk mendapatkan akses penuh tentang pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler, 2001).


(43)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain fenomenologi. Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena penampilan dari sesuatu yang khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama dari studi fenomenologi adalah bagaimana orang mengalami suatu pengalaman hidup dan menginterpretasikan pengalamannya (Polit & Beck, 2012). Sehingga dari pendekatan fenomenologi ini diharapkan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB Paru di Rumah Wilayah Kota Sibolga.

2. Partisipan

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian (Polit & Beck, 2012). Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah (1) Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami TB Paru, (2) Bertempat tinggal di kota Sibolga, Sumatera Utara, (3) keluarga dalam kondisi yang sehat, tidak dalam kondisi yang sakit yang dapat menyulitkan proses wawancara, (4) Bersedia diwawancarai atau menjadi partisipan dengan menandatangani lembar persetujuan (informed concent), (5) Komunikatif.

Jumlah partisipan pada penelitian ini berjumlah 8 orang. Pengambilan sampel pada penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah tetapi berdasarkan pada asas kesesuaian dan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data


(44)

(Polit & Beck, 2012). Pada penelitian ini sudah terjadi saturasi data saat partisipan kedelapan.

3. Tempat dan waktu penelitian 3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah keluarga yang menderita TB Paru yaitu di kota Sibolga. Pemilihan lokasi ini adalah insidensi kelaurga dengan penderita TB paru pada daerah ini sering ditemukan. Selain itu, karakteristik keluarga didaerah ini sangat beragam sehingga penelitian ini dapat mewakili pengalaman keluarga yang merawat penderita TB Paru dengan latar budaya, agama, suku dan kehidupan sosial yang berbeda.

3.2 Waktu penelitian

Pengumpulan data dimulai dari Februari 2015 sampai Mei 2015, yaitu mulai pengumpulan data sampai dengan selesai pengumpulan data.

4. Pertimbangan etik

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengajukan surat ethical clearance oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (Lampiran 6). Setelah mendapatkan izin, selanjutnya peneliti mencari partisipan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah terbina hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan, peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon partisipan bersedia berpatisipasi dalam penelitian, maka partisipan dipersilahkan untuk menandatangani informed consent.


(45)

Peneliti tidak memaksa jika partisipan menolak untuk diwawancarai dan menghormati hak-haknya sebagai partisipan dalam penelitian ini. Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti tidak mencantumkan nama dari partisipan (anonymity). Nama partisipan dibuat dengan inisial. Selanjutnya identitas partisipan juga dirahasiakan (confidentiality) dimana hanya informasi yang diperlukan saja yang akan dituliskan dan dicantumkan dalam penelitian. 5. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian. Pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD) yang berisi pernyataan mengenai data umum partisipan meliputi inisial, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa dan program pendidikan yang sedang ditempuh oleh partisipan (Lampiran 3). Instrumen kedua merupakan panduan wawancara. Panduan wawancara ini berisi pertanyaan yang diajukan kepada partisipan, dimana pertanyaan tersebut dibuat sendiri oleh peneliti. Panduan wawancara ini berisi lima pertanyaan yang diajukan seputar pengalaman keluarga dalam merawat penderita TBParu di rumah wilayah kota Sibolga (Lampiran 4). Instrumen panduan wawancara ini telah divalidasi oleh salah satu dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang expert dalam bidangnya yaitu Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS. Hasil dari validasi pertanyaan tersebut didapatkan lima pertanyaan yang dibuat peneliti telah relevant dengan judul penelitian.

6. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat izin dari Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari


(46)

Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study dilakukan dengan cara mewawancarai seorang keluarga yang dengan anggota kelaurga yang mengalami TB Paru. Pilot study pada penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup baik dalam melakukan wawancara dan melakukan analisa data kualitatif. Setelah melakukan pilot study, hasil wawancara dari pilot study dibuat dalam bentuk transkrip. Selanjutnya dikonsultasikan dengan pembimbing. Setelah mendapat persetujuan pembimbing, kemudian peneliti melanjutkan wawancara kepada partisipan berikutnya.

Setelah pilot study dilakukan, peneliti melakukan wawancara kepada partisipan. Proses wawancara dimulai dengan melakukan prolonged engagement yaitu dengan cara mengadakan hanya 1 kali pertemuan dengan partisipan dikarenakan peneliti sudah membina hubungan yang baik dengan partisipan sebelumnya. Dengan demikian, antara peneliti dan partisipan tumbuh hubungan saling percaya dan memiliki keterkaitan yang lama sehingga akan semakin akrab, semakin terbuka dalam memberikan informasi dan informasi yang diperoleh akan lebih lengkap. Pada tahap ini, peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data yang dilakukan terhadap partisipan.

Langkah selanjutnya, setelah partisipan bersedia untuk diwawancarai maka partisipan diminta membaca dan mengisi lembar persetujuan dan data demografi untuk mendapatkan data dasar kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam atau in-dept interview. In depth interview adalah salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya jawab antara peneliti


(47)

dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu (Polit & Beck, 2012). Pada metode ini peneliti dan partisipan bertemu secara langsung untuk mendapatkan informasi secara jelas dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Dalam hal ini wawancara dilakukan di rumah keluarga yaitu di kota Sibolga.

Wawancara dilakukan sekitar 60 menit. Pada penelitiani ini, 8 partisipan dilakukan wawancara dengan 1 kali pertemuan. Peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah dibuat untuk memandu peneliti dalam mengumpulkan informasi. Kemudian peneliti melanjutkan mengajukan berbagai pertanyaan dengan menggunakan teknik probing. Peneliti menggunakan alat perekam untuk merekam wawancara..

Langkah selanjutnya adalah peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap kali selesai wawancara. Peneliti mengelompokan data dan menguraikan data kedalam bentuk narasi kedalam bentuk tema, sub tema dan kategori yang utama. Kemudian peneliti membahas ulang hasil penelitian sesuai dengan analisa data yang telah dilakukan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan kepada delapan partisipan.

7. Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan


(48)

yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Polit & Beck, 2012).

Proses analisa data dilakukan segera setelah selesai setiap satu proses wawancara, yaitu bersamaan dengan dibuatnya transkrip wawancara, kemudian transkrip tersebut dibaca berulang kali atau dilakukan seleksi data satu persatu (kata perkata). Peneliti menggunakan metode Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck, 2012) meliputi : (a) membaca semua transkip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka, (b) meninjau setiap transkip dan menarik pernyataan yang signifikan, (c) menguraikan arti dari setiap setiap pernyataan yang signifikan, (d) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, (e) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, (f) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, (g) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir. Dalam menganalisa data karena metode ini memberikan langkah-langkah yang jelas, sistematis, rinci dan sederhana. Ini adalah salah satu metode yang umum untuk analisa data yang direkomendasikan untuk studi fenomenologi.

8. Tingkat Kepercayaan Data

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data di validasi dengan beberapa kriteria, yaitu credibility, transferability, dependability, dan confirmability (Lincoln & Guba, 1985 dalam Polit & Beck, 2004). Kredibilitas (uji tingkat kepercayaan) merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Peneliti akan melakukan


(49)

teknik prolonged engagement dan member checking. Teknik prolonged engagement yaitu mengadakan pertemuan dengan beberapa kali kerumah partisipan untuk menjalin hubungan yang baik. Peneliti akan berkunjung kerumah partisipan untuk melihat kondisi penderita TB Paru dan berbincang-bincang dengan keluarga untuk semakin mendekatkan diri dengan partisipan, sehingga antara peneliti dan partisipan memiliki keterkaitan yang lama dan akan semakin akrab, semakin terbuka, dan saling mempercayai dalam memberikan informasi dan informasi yang diperoleh akan lebih lengkap.

Peneliti juga akan melakukan member checking yaitu melakukan pengecekan data yang peneliti peroleh kepada partisipan dan hasil dari pengecekan tersebut disebut tema. Pengecekan tersebut langsung dilakukan pada saat wawancara dengan cara peneliti mengkonfirmasi perkataan dari partisipan secara berulang sehingga antara peneliti dan partisipan memiliki pemahaman yang sama terhadap perkataan partisipan.

Transferabilitas menagcu pada sejauh mana hasil penelitian dapat diterapkan dalam situasi atau kelompok yang lain. Kriteria ini digunakan untuk melihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer kesubjek lain yang memilki karakteristik yang sama.

Dependabilitas merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang peneliti lakukan. Teknik utama untuk menilai kriteria dependabilitas ini adalah dengan cara mereview semua proses penelitian meliputi catatan mulai dari menentukan masalah, pengambilan data penelitian, analisa data, melakukan keabsahan data, sampai dengan pembuatan kesimpulan yang biasa


(50)

dsiebut audit trail sehingga penelitian ini terjamin kebenarannya. Dalam penelitian ini, bebrapa catatan yang dapat digunakan untuk memperoleh audit trail yang adekuat adalah data mentah yang diperoleh melalui pengumpulan transkip-transkip wawancara, catatan lapangan (field note), hasil analisa data, membuat koding-koding (pengkodean), dan draft hasil laporan penelitian untuk menunjukkan adanya kesimpulan yang ditarik pada akhir penelitian.

Konfirmabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan memeriksa seluruh wawancara, catatan lapangan (field note) dan tabel analisis tema kepada ahli kualitatif. Dalam hal ini dilakukan oleh pembimbing yang merupakan pakatr penelitian kualitatif. Kemudian peneliti menentukan tema dari penelitian dalam bentuk skema tema.


(51)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pengalaman keluarga dalam merawat penderita Tb Paru di rumah wilayah kota Sibolga. Hasil penelitian yang dibahas adalah karakteristik partisipan dan tema hasil analisa data penelitian.

2. Karakteristik Partisipan

Kedelapan partisipan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria dan bersedia untuk diwawancarai. Para partisipan adalah keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami TB Paru yang bertempat tinggal di kota Sibolga. Usia kedelapan partisipan berkisar antara 25-50 tahun. Satu orang partisipan menganut agama kristen protestan dan tujuh partisipan lainnya menganut agama islam. Dari delapan partisipan, tiga orang partisipan berasal dari suku batak toba, empat orang partisipan berasal dari suku batak mandailing, satu orang partisipan berasal dari suku jawa. Dan dari delapan partisipan, dua orang partisipan memiliki pendidikan terakhir SMA, satu orang partisipan memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi, dan dua orang lainnya partisipan memiliki pendidikan terakhir D3. Tiga orang partisipan bekerja sebagai PNS, satu orang partisipan bekerja dibidang wiraswasta, dua orang partisipan bekerja sebagai IRT dan dua orang paritisipan bekerja lain-lain. Dari delapan partisipan, 2 orang anak partisipan memiliki anggota keluarga yang menderita TB, 3 orang partisipan ayah nya yang menderita TB, dan 3 orang partisipan ibu nya yang menderita TB paru. Dari delapan partisipan 2 orang penderita berobat selama 6 bulan, dan 1 orang penderita


(52)

berobat kurang dari 6 bulan, dan 5 orang penderita berobat lebih dari 6 bulan. Dari delapan partisipan, tujuh orang pernah mengalami putus obat, dan satu orang tidak pernah mengalami putus obat. Dari delapan partisipan, delpan orang menagalami kekambuhan penyakit. Data demografi partisipan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

TABEL 4.1

KARAKTERISTIK PARTISIPAN

K P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8

IN Ny. R Ny. A Nn. I Ny. M Ny. H Nn. P Ny. K Ny. Y

U 42 30 27 35 38 25 45 48

AG Islam Islam Islam Islam KP Islam Islam Islam

SK J BT BM BM BT BT BM BM

PT SMP SMA S1 D3 SMP D3 SMP SMA

PJ WS IRT PNS PNS LL LL IRT PNS

Keterangan:

IN : Iisial Nama p : Partisipan

U : Usia KP : Kristen Protestan

AG : Agama J : Jawa

SK : Suku BT : Batak Toba

PT : Perguruan Tinggi BM : Batak Mandailing

PJ : Pekerjaan WS : Wiraswasta

IRT : Ibu Rumah Tangga PNS : Pegawai Negeri Sipil LL : Lain-lain

3. Pengalaman keluarga dalam merawat penderita TB paru di rumah wilayah kota Sibolga


(53)

Hasil penelitian ini mendapatkan 5 tema terkait pengalaman keluarga dalam merawat penderita Tb Paru di Rumah wilayah kota Sibolga meliputi (1) melakukan pencegahan terhadap penularan Tb paru pada keluarga, (2) Respon keluarga dalam merawat penderita TB Paru, (3) Mengidentifikasi gejala TBC pada penderita, (4) Dampak selama perawatan penderita TB Paru, (5) Hambatan yang dialami kelaurga dalam merawat penderita TB Paru. Matriks tema dapat dilihat pada Tabel 4.2.

3.1. Melakukan pencegahan terhadap penularan Tb Paru pada keluarga

Berdasarkan analisa data didapatkan ada 4 makna yang dilakukuan keluarga dalam pencegahan menurut partisipan yaitu (1) menggunakan alat pelindung diri (APD), (2) tindakan yang dilakukan dirumah, (3) memodifikasi lingkunagn rumah, (4) memotivasi penderita TB Paru selama proses penyembuhan.

1. Menggunakan alat pelindung diri (APD)

Partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa melakukan pencegahan terhadap penularan TB Paru dengan selalu memakai alat pelindung diri ketika berkomunikasi. Bentuk dari alat pelindung diri yaitu memakai masker ketika berkomunikasi.

a. Memakai masker ketika berkomunikasi

Beberapa partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa salah satu alat pelindung diri yang dilakukan keluarga terhadap penderita dengan menggunakan masker ketika berkomunikasi dan pada saat keluar rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :

“Suami saya harus memakai masker kalau mau ngomong dengan anak-anak saya dan kalau dia pergi keluar rumah juga saya


(54)

selalu menyuruh memakai masker karna kan penyakit ini sangat mudah menular pada orang lain”.

(Partisipan 1) “Kalau anak saya ingin ngobrol dengan kakak atau adiknya dia selalu saya ingatkan memakai masker, takut tertular juga dengan kakak atau adiknya. karena yang saya tahu penyakit ini sangat cepat menular”.

(Partisipan 4) 2. Tindakan yang dilakukan keluarga dirumah

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan telah melakukan pencegahan yang dilakukan di rumah terhadap penularan TB Paru pada keluarga dengan tindakan yang dilakukan dirumah yaitu mengingatkan penderita ketika batuk, membedakan alat makan, menjaga jarak ketika sipenderita batuk, memisahkan tempat tidur sipenderita dengan keluarga, menjemur kasur, dan membuka jendela rumah setiap hari.

a. Mengingatkan sipenderita ketika batuk

Dua partisipan dalam penelitian ini mengatakan mengingatkan sipenderita untuk menutup mulut agar saat batuk kuman TBC tidak menyebar ke udara dan dapat menyebabkan penularan Tb paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kami selalu mengingatkan anak saya ketika anak saya lupa menutup mulut saat batuk didepan kami. ini pun saya tahu karena dokter pernah mengatakannya dengan saya, makanya saya lakukan itu pada anak saya, itu kjuga saya lakukan untuk kepentingan keluarga juga”.

(Partisipan 7) “Terkadang saya selalu mengingatkan suami saya kalau batuk itu agar mulutnya di tutup, biar yang lain tidak terkenak batuknya”.


(55)

b. Membedakan alat makan dengan sipenderita

Tiga partisipan mengatakan membedakan alat makan yang dipakai sipenderita seperti sendok, piring dan gelas perlu dipisahkan untuk mencegah penularan TB Paru keanggota keluarga lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“di rumah saya sudah membedakan piring, gelas dan sendok suami saya, agar anak-anak tidak memakainya ”.

(Paritisipan 1) “Saya dirumah memisahkan makanan suami saya dengan makanan kami, dan alat makannya juga sudah saya bedain dengan yang lain seperti piring, sendok, gelas. Takutnya anak-anak saya memakai alat makan bapaknya ”.

(Partisipan 2) “saya juga sudah membedakan mana tempat makan dan minumnya, agar anggota keluarga saya yang lainnya tidak memakainya ”.

(Partisipan 4) c. Menjaga jarak ketika sipenderita batuk

Dua partisipan mengatakan sipenderita menjaga jarak ketika batuk, ini lakukan agar kuman yang keluar saat penderita batuk tidak terhisap oleh anggota keluarga yang sehat sehingga penularan dapat dicegah. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kalau batuk suami saya jauh dari anak-anak, dan saya juga mengingatkan suami saya agar jangan buang dahak atau meludah sembarangan ”.

(Partisipan 1) “Anak saya selalu menjauh kalau lagi batuk dari kakak dan adiknya, karena itu sudah saya ingatkan terlebih dahulu, ya..untung saja dia ingat dengan kata-kata saya itu ”.


(56)

d. Memisahkan tempat tidur sipenderita dengan keluarga

Satu partisipan dalam penelitian ini mengatakan memisahkan tempat tidur sipenderita dengan keluarga adalah salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit TB Paru ke anggota keluarga lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Untuk sementara ini ibu saya tidur sendiri, untuk mengurangi gejala -gejala yang bisa menular dengan anggota keluarga yang lain, seperti bapak, adik, dan lainnya ”.

(Partisipan 2) e. Menjemur kasur

Tiga partisipan dalam penelitian ini mengatakan menjemur kasur penderita TB Paru perlu dilakukan untuk membunuh kuman TBC yang mungkin tertinggal pada kasur. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Saya selalu menjemur kasur dan bantalnya diluar, dua atau tiga hari sekali, agar suami saya cepat sembuh ”.

(Partisipan 1) “Saya juga menjemur kasurnya, biasanya dua hari sekali, biar kumannya mati dan tidak menyebar kemana-mana ”.

(Partisipan 2) “Tempat tidurnya harus ibu jemur seminggu seklai, kalau bisa tiap hari, agar kumannya mati”.

(Partisipan 4) f. Membuka jendela rumah setiap hari

Dua partisipan dalam penelitian ini mengatakan membuka jendela rumah perlu dilakukan untuk membunuh kuman TBC. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“ Saya juga membuka jendela rumah saya tiap hari, terutama pagi kalau lagi bersih-bersih rumah dibuka biar sehat ”.


(57)

“ Saya selalu melakukan membuka jendela rumah setiap hari, biar udara masuk dan tidak pengap”.

(Partisipan 2) 3. Memodifikasi lingkungan rumah

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan melakukan memodifikasi lingkungan rumah. Memodifikasi lingkungan rumah yang dilakukan yaitu menyiapkan tempat khususatau tempat membuang dahak, dan membersihkan rumah seminggu sekali.

a. Menyiapkan tempat khusus atau tempat membuang dahak

Dua partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa telah menyiapkan tempat khusus untuk dahak penderita TB Paru perlu disediakan agar kuman TBC yang terkandung dalam dahak tidak tersebar dan mengaitkan penularan keanggota keluarga yang sehat. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“ Saya siapin tempatnya, pake toples dilapisin plastik. Agar bapak gak sembarangan membuang dahak atau ludahnya”.

( Partisipan 1) “ Kalau ibu sih sudah nyiapin palstik, dimasukin plastik aja. Dan ibu letakkan disampingnya”.

(Partisipan 2) b. Membersihkan rumah seminggu sekali

Satu partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa membersihkan rumah seminggu sekali. ini dilakukan agar rumah dalam keadaan bersih dan kuman tidak menyebar. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Saya melakukan ini setiap seminggu sekali membersihkan rumah,agar rumah saya bersih, dan debu juga tidak ada karna debu bisa membuat kita batuk dan hidup kita juga tidak sehat”.


(58)

(Partisipan 2) 4. Memotivasi penderita TB Paru selama proses penyembuhan

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan memberikan motivasi kepada penderita TB Paru selama proses penyembuhan, seperti memberikan kebutuhan pada sipenderita, memberikan semanagat pada sipenderita untuk selalu minum obat, dan memberikan perhatian.

a. Memberikan kebutuhan pada sipenderita

Dua partisipan dalam penelitian ini mengatakan memberikan kebutuhan pada sipenderita, seperti membutuhkan sesuatu yang diperlukannya. Misalnya dalam memberikan makanan sehat dan bergizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kami sekeluarga merawat anak saya, kalau saya dan suami saya pergi bekerja, ada tantenya yang menjaga dan merawatnya, seperti menolong ketika membutuhkan sesuatu diluar kemampuannya, kayak mengambilkan obatnya, makan, dan minumnya. Dan kami juga memberikan kebutuhan makanannya dengan menambahkan vitamin-vitan tambahan, seperti vitamin C, sayur-sayuran dan buah-buahan ”.

(Partisipan 1) “Saya selalu menjaga ibu saya, merawat, dan memberikan obat kayak mengawasi menelan minum obat, karna ibu saya gak tahu obat mana saja yg diminumnya, dan ibu saya juga agak susah berjalan karna ada sakit dikakinya. Jadi saya yang selalu memberikan kebutuhan ibu saya. makanannya juga saya jaga dan memebrikan makanan yang sehat dan bergizi ”.

(Partisipan 3) b. Memberikan semangat pada sipenderita untuk selalu minum obat

Empat partisipan dalam penelitian ini mengatakan memberikan semangat pada penderita untuk selalu minum obat. sikap keluarga dlam memberikan


(59)

semangat untuk minum obat bertujuan agar penderita tidak merasa bosan dalam minum obat. hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :

“Saya dsini sebagai istirnya tetap merawat bapak, dan saya selalu memberikan semangat pada bapak setiap kali bapak mau minum obat, hanya dukungan dari keluarga saya dan motivasi dari keluarga nya makanya bapak gak bosan-bosan minum obat, untuk kesembuhannya juga”.

(Partisipan 1) “Kalau saya selalu memberikan dukungan dan semangat pada ibu saya, terutama semangat dari ayah saya dan anaknya yang lain, karena dengan adanya dukungan ibu saya sellau sabar menjalani pengobatanya ”.

(Partisipan 3) “Keluarga saya selalu memberikan semangat pada anak saya terutama saya dan ayahnya “.

(Partisipan 4) “Untungnya suami saya mengerti dan maklum dengan apa yang saya katakan padanya, yang intinya saling memotivasi agar sabar menjalankan pengobatan ”.

(Partisipan 5) c. Memberikan perhatian pada sipenderita

Satu partisipan dalam penelitian ini mengatakan memberikan perhatian pada penderita agar sipenderita tidak mengalami putus asa selama proses penyembuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Terutama kami sekeluarga memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap ibu saya, seperti saya selalu mennayakan keadannya, udah mkan atau belom. Takutnya ibu saya jadi menyerah atau putus asa dengan penyakit yang dideritanya, karena tidak ada yang mmeprhaikannya lagi ”.

(Partisipan 3) 3.2 Respon keluarga dalam merawat penderita TB Paru

Berdasarkan analisa data didapatkan ada 3 makna yang dilihat dalam memberi respon negatif keluarga dalam merawat penderita TB Paru menurut


(60)

partisipan yaitu (1) keluarga merasa takut, (2) keluarga merasa kaget, (3) keluarga merasa bingung.

1. Keluarga merasa takut

Beberapa partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa respon keluarga dalam merawat penderita TB Paru yaitu takut tertular penyakit TBC, dan penyakit TBC susah disembuhkan.

a. Takut tertular penyakit TBC

Tiga partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa merasa takut tertular dengan penyakit ini, karena penyakit ini mudah menular. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Awalnya saya merasa sedikit kesulitan dalam merawatnya, karena setahu saya penyakit ini sangat mudah tertular dan saya merasa takut akan tertular dengan penyakit ini ”.

(Partisipan 1) “Pertama itu saya takut karena penyakitnya mudah tertular, tapi saya berusaha untuk merawat anak saya yang lagi sakit, dan saya takut juga tertular penyakit ini, karena penyakit ini sangat suliut untuk disembuhkan ”.

(Partisipan 2) “Ibu takut saja tertular dengan teman-temannya, karena kan dia masih sekolah dan punya teman, itu saja yang khawatirkan ”.

(Partisipan 4) b. Penyakit TBC susah disembuhkan

Dua partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa penyakit TBC susah untuk disembuhkan, karena penyakit ini membutuhkan waktu yang lama dalam proses pengobatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“...Ya penyakit ini susah dsembuhin, udah lama suami saya berobat tapi gak sembuh-sembuh butuh waktu lama juga mengobati penyakit ini ”.


(61)

“Saya sudah lama membawak ibu saya berobat kerumah sakit, dan rutin dua minggu sekali membawa ibu saya berobat, tapi gak sembuh-sembuh juga ”.

(Partisipan 3) 2. Keluarga merasa kaget

Beberapa partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa responnegatif yang diberikan keluarga dalam merawat penderita TB Paru yaitu kaget mendengar anggota keluarga menderita TB Paru, dan kaget mendengar pernyataan dari dokter keanggota keluarga menderita TB Paru.

a. Kaget mendengar anggota keluarga menderita TB Paru

Satu partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa merasa kaget ketika mendengar bahwa ada salah satu anggtota keluarga nya terkenak TB Paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Saya kaget juga mendengarnya dan gak nyangka kalau suami saya terkenak penyakit ini ”.

(Partisipan 5) b. Merasa kaget ketika mendengar pernyataan dokter ke anggota keluarga

penderita TB Paru

Tiga partisipan dalam penelitian ini mengatakan merasa kaget ketika mendengar pernyataan dari dokter karena salah satu anggota keluarga menderita TB Paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Waktu itu saya cemas melihat bapak karena batuk yang dideritanya gak sembuh-sembuh, kemudian saya bawak lah bapak kerumah sakits, lalu kata dokternya bapak menderita TB Paru. Terus saya kaget ketika dokter bilang

kalau bapak menderita TB Paru ”.

(Partisipan 1) “Saya waktu itu membawak anak saya kerumah sakit untuk diperiksa, setelah itu dokter menyuruh saya datang lagi kerumah sakit untuk


(62)

mengambil hasil pemeriksaan anak saya, kemudian dokter mengatakan kalau anak saya menderita TB Paru. Saya kaget juga mendengar pernyataan dari dokter ”.

(Partisipan 2) “Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan penyakit yang di derita ibu saya, bahwa ibu saya menderita penyakit TB Paru. Dan saya kaget mendengar itu, kok bisa ibu saya terkenak penyakit itu ”.

(Partisipan 6) 3. Keluarga merasa bingung

Beberapa partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa sikap yang ditunjukkan keluarga ketika penderita mengalami TB Paru, keluarga merasa bingung seperti merasa bingung anggota keluarganya bisa terkenak TBC

a. Bingung anggota keluarganya bisa terkenak TBC

Tiga partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa mereka merasa bingung ketika penderita terkenak penyakit TBC, karena dalam keluarga mereka tidak ada yang menderita TBC. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“ saya pun merasa bingung kenapa bisa terjadi pada ibu saya, padahal saya sudah menjaga kebersihan baik berupa menjaga kesehatan, makanan dan lingkungan, dan keluarga saya juga tidak ada yang terkenak penyakit ini ”.

(Partisipan 3) “ setahu saya, ibu saya tidak pernah mengalami penyakit seperti ini. Dan saya bingung kenapa ibu saya menderita penyakit ini ”.

(Partisipan 6)

“Kami merasa kebingungan dan takut ketika melihat anak saya batuk dan

mengeluarkan dahak berdarah, setelah diperiksa ternyata terkenak TBC”. (Partisipan 7) 3.3.Mengidentifikasi gejala TBC pada penderita

Berdasarkan analisa data didapatkan ada 2 makna mengidentifikasi gejala TBC pada penderita yaitu menagalami batuk dan mengalami sesak nafas.


(63)

1. Mengalami batuk

Beberapa partisipan dalam penelitian mengatakan bahwa penderita mengalami batuk. Batuk merupakan gejala TBC seperti yang dialami anggota keluarga partisipan yang mengalami TBC yaitu mengalami batuk lebih dari 3 minggu dan batuk berdarah.

a. Batuk lebih dari 3 minggu

Empat partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa penderita mengalami batuk-batuk. Batuk yang lebih dari 3 minggu salah satu gejala yang dapat dialami seorang penderita TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“ Yang saya lihat dari suami saya, sering batuk-batuk, kalau gak salah leih dari sebulan batuknya, kemudian berdahak, gak seperti batuk biasa dan batuknya pun lama sembuhnya”.

(Partisipan 1) “Saya lihat anak saya batuk-batuk, terus berdahak, dan batuk nya saya lihat makin parah dan sembuhnya lama ”.

(Partisipan 2) “Batuknya lebih dari 3 minggu yang tidak sembuh-sembuh dan berkeringat pada malam hari saya lihat ”.

(Partisipan 3) “Awalnya gejala yang saya lihat dari penderita, batuknya lebih dari 3 minggu kemudian saya bawak lah kerumah sakit untuk lebih memastikan penyakit yang dideritanya ”.

(Partisipan 4) b. Batuk berdarah

Dua partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa melihat pada penderita mengalami batuk berdarah. Batuk berdarah juga termasuk salah satu gejala yang dapat dialami oleh seseorang penderita TBParu. Darah keluar saat


(1)

Lampiran 9

TAKSASI DANA

No Kegiatan Biaya

1. Menyiapkan proposal sampai sidang proposal

 Biaya internet dan pulsa modem

 Kertas A4 80gr 2 rim

 Fotocopy sumber-sumber daftar pustaka

 Fotocopy memperbanyak proposal

 Sidang proposal

Rp. 70.000,00 Rp. 70.000,00 Rp. 40.000,00 Rp. 50.000,00 Rp. 150.000,00

2. Pengumpulan data dan analisa data

 Izin Penelitian dan ethical clereance dari FK

USU

 Tranportasi

 Fotocopy KDD dan informed consent

 Cenderamata

Rp. 150.000,00 Rp. 400.000,00 Rp. 10.000,00 Rp. 200.000,00

3. Pengumpulan laporan skripsi

 Kertas A4 2 rim

 Penjilidan

 Fotocopy laporan penelitian

 Sidang Skripsi

Rp. 70.000,00 Rp. 100.000,00 Rp. 100.000,00 Rp. 150.000,00

4. Biaya tak terduga Rp. 100.000,00


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

51

Lampiran 11 Daftar Riwayat Hidup

Nama : Putri Sari Bungsu S

Tempat,tanggal lahir : Sibolga, 08 Oktober 1992

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat rumah : Jl. Gambolo No.69 Sibolga

Alamat kos : Jl. Bunga Cempaka no. 8a pasar 3 Padang Bulan

Riwayat pendidikan :

1. 1997– 1998 : TK Raudathul Atfal Sibolga

2. 1998 – 2004 : SDN 081231 Sibolga

3. 2004 – 2007 : SMP Negeri 1 Sibolga

4. 2007 – 2010 : MA Negeri Sibolga