STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

  

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS

ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Disusun oleh: Brigitta Erlita Tri Anggadewi

  029114088

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  “Anak Belajar dari Kehidupannya” Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar mempercaya Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan… Dorothy Law Nolte Terima kasih Tuhan atas semua cinta yang menguatkan, anugerah yang indah, serta rintangan dan cobaan yang mendewasakan Terimakasih atas kelebihan serta kelemahan yang melengkapi di setiap sisi tumbuh kembang pribadiku, semua itu tidak kusesali pun kuingkari... Aku hanya terus bersyukur dan berusaha membuat semuanya lebih baik sesuai dengan kemampuanku, sebab aku percaya... Engkau telah mempertimbangkan segalanya ketika menciptakan aku Kupersembahkan karya ini dengan segenap Ketulusan Hati, Kasih dan Cinta untuk : Yesus dan Bunda Maria

  Alm. Bapakku Mc. Sutarto Widodo dan Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti Kedua kakakku tersayang Evitta dan Erikka beserta Suami Yu Ginem

  ABSTRAK STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kasus kekerasan terhadap anak bagaikan fenomena gunung es. Tampak

sedikit di permukaan namun sebenarnya sangat meluas. Kasus kekerasan terutama

kekerasan fisik seringkali diwarnai dengan kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak

hanya dapat membuat kondisi fisik korban terganggu, namun juga dampak

psikologis yang dapat pula mempengaruhi aspek lain seperti kognitif, relasi sosial

dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka penelitian ini

dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap dampak psikologis anak korban

kekerasan dalam keluarga.

  Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang

menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara sebagai data utama

terhadap subjek dan significant others. Sebagai data sekunder, peneliti

menggunakan tes psikologi meliputi tes proyektif (Grafis dan CAT) dan tes

inteligensi (CPM). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak korban

kekerasan dalam keluarga berusia 6 tahun.

  Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara umum dampak psikologis

subjek terganggu. Dampak psikologis yang dialaminya antara lain : mengalami

peristiwa traumatis (dengan melihat dan menjadi korban dari peristiwa traumatik);

munculnya respon-respon kekhawatiran, ketakutan dan ketidakberdayaan akibat

kekerasan fisik; munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan

(dalam ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan

beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran perasaan percakapan, tempat

aktivitas, orang, partisipasi atau aktivitas, perasan terpisah dan terasing); muncul

simptom-simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih),

durasi simptom lebih dari 1 bulan, serta ketidakberdayaan sosial dan

ketidakmampuan melakukan tugas penting akibat dari munculnya gangguan- gangguan akibat kekerasan.

  Dampak lain yang muncul sebagai temuan tambahan antara lain fobia,

agresif, sulit dikendalikan/sulit diatur, fantasi, egoisme, pandangan yang negatif,

kebutuhan akan afeksi yang kurang serta banyak melakukan mekanisme pertahanan

diri. Namun di sisi lain subjek memiliki impian atau harapan mengenai keluarga dan

cita-cita. Kemauan akan mencapai cita-cita didukung dengan hasil CPM yang

berada pada grade II dimana subjek memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

  Kata kunci : kondisi psikologis; kekerasan

  ABSTRACT CASE STUDY ABOUT CHILD’S PSYCHOLOGICAL EFFECTS OF FAMILY VIOLENCE Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088 Psychology Faculties Sanata Dharma University Yogyakarta Violence case like ice mountain phenomenon. Middle in the front but very

big. Violence case expect physical violence is allways with phsycological violence.

This violence not just made physical condition was disturb, but can disturb

phsychological condition, cognition, social relation, etc was disurb. The purpose of

this research is to know phsychological condition family violence of a child.

  This research is case study with qualitative approach and this method is

conversation face to face is first data to subject and significant others. The second

datas, the researcher research tests is psychological tests are tes projective (Grafis

and CAT) and intelligence test (CPM). The research subjects is a child family

violence of age 6 year.

  The result of this research shows that child abuse has psychological effects

to the subject. Phsychological effects is : experienced (witnessed and threat to this

traumatics event); response’s involved intense fear, helplessness, or horror; the

traumatic event is persistently reexperienced (recurrent distressing recolections,

acting, intense phsychological distress, and psychological reactivity); persistent

avoidance of stimuli associated with the trauma (thoughts feelings and conversation,

places activities and peoples, diminished participation or activities, feeling of

detachment); persistent symptoms of increased arousal (outbursts of anger,

hypervigilance), and distress or impairment social, occupational, or other important

areas functioning.

  The other condition is fobia, agressive, fantation, egoism, negative

perception, need of afect and defense mechanism. Subject have a dream about

family and success. That dream is support with CPM result in grade II, where is

definitely above the average in intelectual capacity. key words : psychological effects; violence

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul STUDI KASUS TENTANG KONDISI PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA.

  Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu untuk menetapkan ilmu yang telah diterima penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

  Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk bimbingan, pemberian data- data, doa serta dorongan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh kerena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

  1. Yesus dan Bunda Maria yang telah mencintai, mengampuni, mendampingi, melindungi dan menjadi perisai di setiap langkah hidup penulis. Karya ini dipersembahkan seutuhnya atas kasih-Nya.

  2. Dekan bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si atas kesempatan untuk menimba ilmu di fakultas tercinta ini.

  3. Pembimbing skripsi bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi atas bimbingan serta kesabaran dalam menghadapi peneliti yang sering cemas dan tidak sabar.

  4. Penguji ibu ML. Anantasari, S.Psi.,M.Si. atas senyuman yang melegakan di tengah ketegangan dalam ruang ujian.

  5. Penguji sekaligus interater CAT ibu Agnes Indar Erikawati, S.Psi.,Psi.,M.Si atas tambahan wawasan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

  6. Pembimbing akademik ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, M.Si atas bimbingan akademis setahun ini.

  7. Bapak Y. Agung Santosa, S.Psi yang telah ikhlas membantu peneliti dan telah menjadi dosen pembimbing akademik yang sangat sabar selama 3 tahun.

  8. Bapak. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Si dan Ibu Y. Titik, S.Psi atas motivasi, perhatian serta persahabatan sehingga peneliti percaya diri dan mampu menghargai diri sendiri.

  9. Bapak Drs. Singgih Santoso Wibowo, SU yang telah membimbing sdan membantu peneliti untuk belajar menjadi interater serta telah menjadi interater tes Grafis.

  10. Pramusosial dan Pembina Panti atas bantuan dan dukungan selama penelitian, terutama untuk subjek peneliti, terimakasih atas kejujuran kamu. Mbak tetep ingat beliin sandal dek…

  11. Alm Bapakku MC. Sutarto Widodo, I know you shining down on me from heaven…I miss u, pak. Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti yang selalu menyayangi dan memaafkan di setiap pembantahanku. Doa ibu adalah nyawa dari penulisan skripsi ini. Dan sampai seumur hidupku tidak akan cukup untuk membalas apa yang telah ibu berikan. Lita sangat menyayangi ibu.

  12. Kedua kakakku Evitta & Erikka beserta suami (Mas Koko dan Bang Aci) yang selalu ada menjaga peneliti juga Frans dan Freddie kecil (teriakan-teriakan kecil kalian mebuat tante ‘ga ngantuk ngerjain karya ini sayang…)

  13. Yu Ginem yang setia menyediakan makanan kecil dan teh hangat setiap malam serta tak pernah telat bangun pagi hanya untuk membangunkan peneliti. Makasih ya thok !

  14. Te Yanti, Te Watik, dan semua tante-tanteku yang lain juga oom dan sepupu terutama Ius yang rela diajak bolak-balik oleh peneliti. Hidupku ceria banget karena keluarga ini.

  15. Mba’ Adjenk, Thea, Iantswiti dan Winta. Peneliti tidaklah lengkap tanpa kehadiran kalian dalam hidup ini. Terimakasih atas tawa, airmata serta doa yang saling kita lantunkan bersama. We’re the soulmates are we!

  16. Para sahabatku yang tak pernah lupa untuk menyemangatiku : Mitha Arsanti (tetap saling tidurnya ya!), Wiwin, Astrid, Dhewi, Era, dan banyak gadis-gadis yang tidak tersebut. I

  love you all, girls!!

  17. Kelompok penelitian: mba Bertha, mba Lianawati, mba Tyo, mba Etik, mba Merlin, mas Oho, mas Kris. Kalian adalah semangat pertama yang membuat peneliti sadar untuk menerima diri sendiri apa adanya dan bahwa penulis juga layak untuk disayangi.

  18. Aan dan Tisa (yang selalu ada menjadi sharring yang menyenangkan, terimakasih atas dukungan kalian), Panji (atas asisten dadakannya), Bona (teman sependeritaan kala AKSI), Jaya, mbakku Cynthia (2001), teman-teman F-16 (Wawan, Danang, Neri, Yanuar, Suko dan lainnya) serta adikku Asteria dan Agus, tetap semangat ya dek !

  19. Teman-teman pengurus Mukiji angkatan 2003-2006 (Vindoel, Emsa, Riris, Goeng, mas Lalang, mas Hendra, Ajeng, Randi, Tyas Pujo, Ditya, Lana, dll), atas semua pengalaman serta pelajaran berharga akan arti sebuah kerja sama, maaf peneliti sering mengecewakan kalian.

  20. Semua teman-teman Psikologi Sanata Dharma angkatan 2002. Thank’s for being a wonderful moment… 21. semua kawan dan sahabat yang tidak tersebut disini. Kalian semua sangat berharga di hati peneliti. Maaf, karena halamannya tidak cukup untuk menulis nama kalian semua…terima kasih banyak..

  22. Untuk setiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidup peneliti. Terimakasih atas semua pengalaman berharga yang dilalui bersama-sama.

  

DAFTAR ISI

  i .............................................................................................

  HALAMAN JUDUL

  ii ................................................................................

  LEMBAR PENGESAHAN

  iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... ................................................................................................................

  ABSTRAK vi .............................................................................................................

  ABSTRACT vii

  viii .........................................................................................

  KATA PENGANTAR .

  

DAFTAR ISI.............................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................

  1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………...

  A.

  1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………….

  6 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………..

  6 Manfaat Penelitian…………………………………………………………… D.

  6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………

  8 Anak…………………………………………………………………………..

  A.

  8 Pengertian dan Batasan Usia Anak...............................................................

  1.

  8

2. Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak...................................................................

  9

  

3. Tugas Perkembangan Anak………………………………………………..

  Subjek Penelitian….………………………………………………………….

  Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data..................................................

  47 F.

  Metode Analisis Data………………………………………………………...

  42 E.

  b) Tes Proyektif………………………………………………………….

  41

  41 a) Tes Inteligensi………………………………………………………...

  Tes Psikologi………………………………………………………………

  37 2.

  Wawancara………………………………………………………………...

  36 1.

  Metode Pengumpulan Data…………………………………………………..

  36 D.

  34 C.

  14 B.

  33 B. Batasan Istilah….……………………………………………………………..

  33 A. Jenis Penelitian……………………………………………………………….

  27 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………

  Dinamika Kekerasan Keluarga dan Kondisi Psikologis Anak.........................

  24 C.

  Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis..............................

  20 5.

  18

4. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak................................................

  17

3. Lingkup Kekerasan Terhadap Anak……………………………………...

  Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak……………………………….

  16 2.

  Pengertian Kekerasan Terhadap Anak…………………………………….

  16 1.

  Kekerasan Terhadap Anak……………………………………………………

  52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………..

  56 A.

  Hasil Penelitian……………………………………………………………….

  56 B.

  Pembahasan…………………………………………………………………..

  84 BAB V PENUTUP…………………………………………………………………..

  96 A. Kesimpulan……………………………………………………………….......

  96 B. Saran………………………………………………………………………….

  97 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................

  99 Lampiran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena kekerasan dalam keluarga selama ini dianggap sebagai masalah

  intern yang kurang perlu diketahui oleh publik. Namun pemberitaan kasus kekerasan yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan menunjukkan bahwa kasus kekerasan mulai dibuka dan disorot oleh berbagai media massa bahkan dianggap perlu diketahui oleh khalayak umum. Ada banyak sekali kasus kekerasan di Negara Indonesia yang mulai mencuat ke permukaan. Dari seluruh kasus kekerasan tersebut, kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga adalah yang dominan dari seluruh kasus yang ada yakni 302 kasus (Kompas, 9 Januari 2002). Dalam berbagai penulisan, termasuk survei yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di berbagai Negara termasuk Indonesia, kekerasan dalam keluarga bisa menimpa siapa saja, perempuan atau laki-laki; mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga orang berusia lanjut (Kompas, 26 Mei 2003). Data-data dalam kompas, 20 Desember 2004 menunjukkan bahwa dari tahun 1992 - 2002 terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak dan kasus kekerasan ini terus bertambah setiap tahun (Kompas, 22 Juli 2006). Dari peningkatan tersebut, peneliti melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup tajam.

  Seto Mulyadi (Ketua umum Komisi Nasional Perlindungan Anak) menduga 50-60 persen orang tua melakukan kekerasan terhadap anak (Kompas,

  29 Juni 2003). Data ini menguatkan data sebelumnya dari Departemen Sosial pada tahun 2002, dimana tercatat bahwa diperkirakan sebanyak 43.708 anak mengalami kekerasan fisik yang tersebar di 27 propinsi (Pedoman Penanganan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, 2004). Sementara itu data lain yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 53,5 % (Ikawati dan Rusmiyati, 2003) tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga sendiri, suatu tempat dimana seharusnya anak mampu tumbuh kembang secara normal, aman dan nyaman.

  Terkait dengan kasus ini, Owen dan Strauss (1975) mendefinisikan kekerasan domestik/ keluarga sebagai segala tindakan penganiayaan fisik, seksual atau emosional oleh anggota keluarga. Pendapat lain mengemukakan kekerasan dalam keluarga adalah segala bentuk penganiayaan, perlakuan yang menyimpang, atau penolakan yang dialami oleh orang dewasa atau anak-anak dalam suatu hubungan keluarga, dalam suatu hubungan yang intim, atau dalam hubungan yang ditandai adanya ketergantungan (Department of Justice of Canada, 2003). Berbagai bentuk kekerasan dalam suatu keluarga merupakan suatu tindakan yang melanggar Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat dilihat pada penjelasan pasal 13 huruf d yang menjelaskan tentang perlakuan kejam seperti tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, benci atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak dan pelaku kekerasan dalam dijerat oleh UU PKDRT (Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga) pasal 44. Hukuman yang diberikan berupa hukuman pidana atau hukuman denda sesuai dengan tingkat kekerasan fisik yang dilakukan.

  Suharto (dalam Huraerah, 1998), mengelompokkan kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara psikologis (psychological abuse), kekerasan secara seksual (sexual abuse), dan kekerasan secara sosial (social abuse). Menurut Suharto (dalam Huraerah, 1998) pula, kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Sedangkan kekerasan psikis/psikologis merupakan hardikan atau penyampaian kata-kata kasar terhadap anak.

  Tidak banyak yang mengetahui bahwa kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan dampak-dampak tertentu pada perkembangan anak, baik secara fisik maupun secara psikologis. Secara fisik, kekerasan dapat menimbulkan luka- luka seperti memar-memar (bruiser), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar

  

(burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanent (permanent

disabilities ), dan kematian (death) (Gelles dalam Huraerah, 2006). Menurut

  Gelles pula , dampak secara psikologis dapat seumur hidup seperti rasa harga diri rendah (a lowered sense of selfworth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced

  

attention span ), dan gangguan belajar (learning disorder). Kasus kekerasan yang

  dialami pada masa tahap perkembangan anak dapat menjadi bahaya yang potensial karena peristiwa yang dialami oleh anak merupakan sebuah pengalaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap perubahan-perubahan dalam perkembangannya.

  Kasus-kasus kekerasan di atas telah banyak terjadi dan berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah yang salah satunya dengan mendirikan rumah perlindungan dan pusat trauma untuk anak, namun demikian hanya sedikit yang mampu tersentuh oleh lembaga-lembaga tersebut. Kasus-kasus ini seperti tenggelam dan dianggap sebagai masalah keluarga yang tidak layak dikonsumsi oleh publik terlebih apabila dibawa ke meja hukum. Akibatnya kasus kekerasan bagaikan fenomena gunung es, dimana hanya beberapa saja yang tampak di permukaan. Tanpa disadari kasus kekerasan terhadap anak telah merambah ke hampir seluruh lapisan masyarakat.

  Contoh secara nyata seperti yang dialami oleh Nn. Nn adalah seorang anak laki-laki berumur 6 tahun dan merupakan anak pertama dari 2 (dua) bersaudara.

  Nn dan adiknya lahir tanpa diketahui siapa ayah Nn dan tinggal di daerah kumuh dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata. Ibu Nn bekerja sebagai pengamen sekaligus wanita tuna susila sehingga seringkali tidak dapat bertemu dengan Nn maupun adik Nn. Nn dititipkan dan dirawat oleh kakeknya. Dari kakek ini Nn sering mendapat perlakuan kekerasan secara fisik dan psikis tanpa alasan yang jelas. Bahkan tindak kekerasan sering dialami oleh Nn meskipun Nn tidak melakukan suatu kesalahan. Kekerasan yang dialami oleh Nn antara lain dibentak, dimaki sambil dipukul dengan atau tanpa menggunakan kayu, ditendang, dibentur-benturkan ke dinding sampai diinjak-injak. Tindak kekerasan tersebut dijadwalkan. Perlakuan kekerasan tersebut dilakukan pula kepada adik Nn bahkan ibu Nn pun seringkali melakukan kekerasan fisik terhadap Nn dan adiknya.

  Perlakuan kekerasan yang dialami oleh Nn dan adiknya dilakukan agar mendapatkan uang serta simpati dari orang lain. Cara yang dilakukan adalah membawa Nn ke jalanan dalam kondisi penuh luka untuk meminta-minta atau mencari sumbangan dengan alasan memerlukan uang untuk membawa Nn berobat. Kakek maupun ibu Nn tidak memperdulikan kondisi fisik maupun psikologis yang dialami oleh Nn. Semakin Nn luka parah maka semakin banyak pula uang yang didapatkan sehingga ketika luka fisik Nn mulai mengering, perlakuan kekerasan kembali dialami oleh Nn. Beberapa waktu lalu adik Nn akhirnya meninggal karena menderita tulang punggung patah dan Nn ditemukan oleh pihak berwenang untuk kemudian diserahkan pada panti asuhan bagian trauma center. Sampai saat ini pihak panti masih belum memberi ijin pada ibu Nn untuk bertemu dengan Nn. Hal ini dilakukan untuk melindungi Nn dari perlakuan kekerasan yang mungkin dapat terulang setelah sebelumnya dibujuk pulang oleh ibunya.

  Dari berbagai fakta yang telah disebutkan, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan mendeskripsikan lebih dalam mengenai dampak psikologis Nn.

  Melalui penelitian ini diharapkan permasalahan Nn menjadi mudah untuk dipahami sehingga dalam perkembangan Nn selanjutnya dampak psikologis akibat dari kekerasan yang dialami oleh Nn dapat diminimalisir. Berdasarkan kasus yang dialami oleh Nn, maka peneliti secara khusus meneliti tentang dampak psikologis anak akibat dari kekerasan terutama kekerasan secara fisik dan psikis/psikologis.

  B. Rumusan Masalah Penelitian

  Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diungkap oleh peneliti adalah : “Bagaimana dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga ?”

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : “Mendeskripsikan secara mendalam dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga.”

  D. Manfaat Hasil Penelitian

  Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini :

  1. Manfaat Teoretis Manfaat dari penelitian ini secara teoretis dapat membantu menambah pengetahuan mengenai kondisi psikologis yang dapat dialami oleh anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi Subjek Subjek mendapatkan dukungan yang positif serta motivasi yang tepat sehingga subjek mampu menghadapi permasalahannya dan dapat b. Bagi Psikolog dan Pendamping Merupakan tambahan referensi mengenai dampak kekerasan terhadap trauma yang dialami subjek sehingga psikolog/pendamping mampu memberikan sikap, dukungan dan terapi yang tepat supaya subjek dapat bertumbuh kembang secara normal.

  c. Bagi Pembaca dan Orang Tua pada umumnya Memberikan tambahan informasi mengenai kondisi psikologis anak akibat dari kekerasan sehingga pembaca dan orang tua pada umumnya dapat mencegah serta menghindari tindak kekerasan terhadap anak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak

1. Pengertian dan Batasan Usia Anak

  Pengertian anak berkaitan dengan batas umur anak. Dalam berbagai peraturan perundangan terdapat perbedaan tentang batasan umur anak (Endang Sumiarni, 2006), diantaranya dalam KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 1 menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaannya telah dicapai lebih cepat. Undang-undang No. 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak memberikan batasan umur 21 (duapuluh satu) tahun dan atau belum menikah. Sedangkan KUHP Pasal 45 memberikan batasan umur maksimal 16 (enam belas) tahun, selain itu terdapat batasan umur di bawah 12 (dua belas) tahun, 15 (lima belas) tahun, 16 (enam belas) tahun, 21 (dua puluh satu) tahun (Andi Hamzah, 1990; R.Susilo, 1976). Sementara dalam Undang- undang No.23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 mengatakan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, temasuk anak yang masih dalam kandungan. Batasan umur anak pada undang-undang ini tidak ada pengecualian apapun seperti batasan “dan/atau sudah kawin”, sehingga bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun seandainya sudah kawin dan sudah mempunyai anak masih masuk dalam kategori anak.

  Menurut Hurlock (1998), secara luas diketahui bahwa masa kanak-kanak harus dibagi lagi menjadi dua periode yang berbeda-awal dan akhir masa kanak- kanak. Periode awal berlangsung dari umur 2 hingga 6 tahun dan periode akhir dari 6 tahun sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Hurlock juga mengatakan, bahwa pada awal dan akhirnya, masa akhir kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

2. Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak

  Subjek mengalami peristiwa kekerasan pada saat berumur di bawah 6 tahun, maka peneliti menggunakan teori pada awal masa anak-anak. Anak memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan remaja atau dewasa. Adapun beberapa ciri tersebut antara lain perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognitif, serta perkembangan sosial yang dapat membantu anak dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya secara bertahap.

  a. Perkembangan Fisik Pertumbuhan selama masa awal anak-anak berlangsung lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (Hurlock, 1998).

  Beberapa perkembangan fisik pada awal masa anak-anak menurut Hurlock (1998) antara lain dalam hal tinggi badan yang rata-rata bertambah tiga inci serta berat rata-rata tiga sampai lima pon setiap tahun. Hurlock menyebutkan perbandingan tubuh untuk masa awal anak-anak, dimana wajah tetap kecil tetapi bagian-bagian tubuh berangsur-angsur berkurang dan tubuh cenderung berbentuk kerucut, perut yang rata (tidak buncit), dada yang lebih bidang dan rata, serta bahu lebih luas dan lebih persegi. Untuk masa awal anak-anak ada 3 jenis postur tubuh, yaitu gemuk lembek atau endomorfik, kuat berotot atau

  

mesomorfik , dan ada yang relatif kurus atau ektomorfik. Hurlock (1998) juga

  menambahkan, bahwa tulang dan otot pada masa awal kanak-kanak menjadi lebih besar dan berat, banyaknya lemak tergantung jenis postur tubuh, serta gigi pada geraham belakang muncul.

  b. Perkembangan Emosi Semua emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak karena emosi memiliki pengaruh terhadap penyesuaian pribadi dan sosial

  (Hurlock, 1991). Menurut Hurlock (1998) pula, selama awal masa anak-anak emosi mereka sangat kuat. Saat ini (awal masa anak-anak) merupakan saat dimana terjadi ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar fokus”. Dalam arti bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional, sehingga sulit untuk dibimbing dan diarahkan.

  Hurlock (1998) menambahkan, bahwa emosi yang meninggi pada masa awal kanak-kanak ditandai oleh ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat, dan iri hati yang tidak masuk akal. Ada beberapa hal yang menunjang timbulnya emosionalitas yang meninggi (Hurlock, 1991), antara lain : 1) Kondisi fisik seperti kesehatan yang buruk, kondisi yang merangsang (eksim atau kaligata), setiap gangguan yang kronis, perubahan kelenjar.

  2) Kondisi psikologis seperti perlengkapan intelektual yang buruk, kegagalan mencapai tingkat aspirasi, serta kecemasan.

  3) Kondisi lingkungan seperti ketegangan, kekangan yang berlebihan, serta sikap orangtua yang terlalu mencemaskan atau melindungi.

  Emosi umum yang seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak (Hurlock, 1998) antara lain amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.

  c. Perkembangan Kognitif Dunia kognitif anak-anak pra sekolah ialah kreatif, bebas, dan penuh imajinasi (Santrock, 1995). Mengenai perkembangan kognitif pada masa awal kanak-kanak akan terbagi dalam beberapa konsep menurut Santrock (1995), antara lain : 1) Tahap pemikiran praoperasional Piaget (2 – 7 tahun)

  Tahap pemikiran praoperasional Piaget memiliki 2 subtahap (Hargenhahn, 2000) :

  a) Pemikiran Prekonseptual (2 – 4 tahun) Pada tahap ini anak membentuk konsep yang belum sempurna.

  Mereka mulai mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan kelompok tertentu karena suatu persamaan, tetapi mereka seringkali membuat kesalahan karena konsep tersebut; semua laki-laki adalah ayah, semua perempuan adalah ibu, dan semua mainan dilihat mereka sebagai miliknya. Logika mereka bersifat transductive. Contohnya, “sapi adalah binatang besar yang berkaki empat. Binatang itu besar dan mempunyai empat kaki jadi binatang itu adalah sapi”.

  b) Periode Intuitif (4 – 7 tahun) Pada tahap ini anak memecahkan masalah secara intuitif sebagai pengganti yang sesuai dengan beberapa aturan secara logis. Hal yang paling menyolok pada tahap ini adalah kegagalan mereka dalam mengembangkan konservasi. Konservasi didefinisikan sebagai kemampuan dalam mencapai angka, panjang, isi, atau area tetap yang konstan meskipun ditunjukkan pada anak dalam angka yang berbeda-beda.

  Contohnya, seorang anak ditunjukkan pada dua kotak yang diisi pada tingkatan tertentu dengan air. Kemudian salah satu kotak dibalik posisinya menjadi lebih tinggi daripada kotak yang satu. Maka ketika diminta untuk memilih, anak akan memilih kotak yang dibalik sebagai kotak yang memiliki berisi banyak air karena posisi air pada kotak yang dibalik tampak lebih tinggi dan banyak dibandingkan kotak yang satunya. Pada tahap ini anak belum mampu membedakan sesuatu secara kognitif, dimana pada contoh, anak melihat bahwa kotak yang lebih tinggi berisi lebih banyak air daripada yang pendek, padahal kotak tersebut memiliki bentuk serta banyaknya air yang sama.

  2) Pemrosesan informasi Dalam Santrock (1995), dua keterbatasan dalam pemikiran anak-anak prasekolah adalah perhatian dan ingatan, yakni dua hal penting yang lain yang juga penting dalam pemrosesan informasi adalah analisis tugas. Penganut pemrosesan informasi yakin suatu komponen tugas harus dianalisis. Dengan membuat tugas lebih menarik dan sederhana, peneliti menunjukkan bahwa beberapa aspek perkembangan kognitif anak terjadi lebih awal daripada yang diperkirakan (Santrock, 1995).

  Teori anak (Santrock, 1995) mengatakan bahwa anak-anak mengembangkan suatu kesadaran bahwa pikiran itu ada, berhubungan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, bisa berupa obyek secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami. 3) Perkembangan bahasa

  Perkembangan bahasa pada masa awal kanak-kanak dalam Santrock (1995) terbagi dalam perluasan tahap-tahap Brown dan sistem aturan. Lima tahap Brown meliputi panjang rata-rata ucapan, rentang usia, karakteristik bahasa, dan variasi kalimat. Sedangkan dalam system aturan, meliputi perubahan-perubahan dalam fonologi, morfologi, sintaks, semantik, dan pragmatik selama tahun-tahun awal masa anak-anak (Santrock, 1995). 4) Teori perkembangan Vygotsky

  Dalam teori perkembangan Vygotsky terdapat istilah ZPD (Zone of

  

Proximal Development ) dimana untuk tugas-tugas yang terlalu sulit dapat

  dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil (Santrock, 1995). d. Perkembangan Sosial Dalam Hurlock (1991), dari umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam kegiatan bermain. Pada masa kanak- kanak awal, pola perilaku dalam situasi sosial terbagi dalam pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial (Hurlock, 1991) yaitu : 1) Pola Perilaku Sosial, tampak dalam sikap kerja sama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan perilaku kelekatan (attachment behavior)

  2) Pola Perilaku Yang Tidak Sosial, tampak dalam sikap negativisme, agresi, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa, egosentrisme, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin.

3. Tugas Perkembangan Anak

  Dalam perkembangannya, anak juga mempunyai tugas-tugas tertentu yang harus dilakukan. Havighurst (dalam Hurlock, 1991) mendefinisikan bahwa tugas perkembangan merupakan tugas yang timbul pada periode kehidupan tertentu. Keberhasilan melakukan tugas perkembangan menimbulkan kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya. Di sisi lain kegagalan dapat menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan beberapa tugas perkembangan di masa awal kanak-kanak (lahir sampai usia 6 tahun), yaitu : a. Belajar berjalan

  b. Belajar makan makanan padat

  c. Belajar berbicara

  d. Belajar mengendalikan pembuangan sampah dalam tubuh

  e. Belajar membedakan jenis kelamin dan kesopanan seksual

  f. Mencapai stabilitas fisiologis

  g. Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik

  h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung, dan orang lain i. Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan nurani.

  Menurut Hurlock (1991), tugas perkembangan ini memiliki 3 tujuan. Yang

  

pertama , tugas ini bertindak sebagai pedoman untuk membantu orang tua dan

  guru guna mengetahui apa yang harus dipelajari anak pada usia tertentu. Kedua, tugas perkembangan menimbulkan kekuatan motivasi bagi anak untuk belajar mengenai hal-hal yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia tersebut.

  

Ketiga , tugas perkembangan menunjukkan pada para orang tua dan guru tentang

apa yang diharapkan dari mereka di masa mendatang.

B. Kekerasan Terhadap Anak

  Beberapa hal mengenai kekerasan fisikdan psikologis terhadap anak juga perlu dibahas dalam tinjauan pustaka ini untuk lebih mendalami serta untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan pembaca. Hal-hal yang perlu untuk dibahas dan disamakan persepsi antara lain pengertian serta bentuk-bentuk kekerasan kekerasan, lingkup kekerasan, penyebab kekerasan, serta dampak dari kekerasan fisik terhadap anak.

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

  Barker (dalam The Social Work Dictionary, 1987) mengatakan, bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Sementara itu Vander ( www.e-psikologi.com , 2002) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak diartikan sebagai bentuk penyerangan fisik atau melukai anak dan biasanya dilakukan justru oleh orang tua atau atau pengasuh pengaruh dari orang lain yang bukan keluarga. Gelles (dalam Huraerah, 2004) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional.

  Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap anak dimana perlakuan tersebut tidak hanya menimbulkan luka

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

  Ahimsa, dkk (Suyanto, dkk., 2000) telah mengadakan suatu studi dan menemukan 3 (tiga) bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak-anak, antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Sementara itu, Suharto (Huraerah, 2006), menambahkan kekerasan terhadap anak menjadi 4 (empat) antara lain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual, serta kekerasan secara sosial. Penjelasan keempat hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

  1). Kekerasan anak secara fisik merupakan suatu penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan alat tertentu sehingga dapat menimbulkan luka-luka fisik bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap anak. 2). Kekerasan anak secara psikis merupakan penyampaian kata-kata kasar dan kotor, menghardik, memaki, sampai meperlihatkan gambar atau film pornografi pada anak. 3). Kekerasan anak secara seksual merupakan perlakuan prakontak (sentuhan,

  exhibitionism ) maupun kontak seksual langsung (perkosaan) yang dilakukan oleh orang yang lebih besar pada anak.

  4). Kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran serta eksploitasi anak.

  Penelantaran anak merupakan sikap orang tua yang tidak memperhatikan proses tumbuh kembang anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2006).

  Pope (Nunally, dkk., 1988) menyebutkan bahwa kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut sebagai child maltreatment. fisik, Child Maltreatment juga mencakup bentuk kekerasan lain, yaitu kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis.

3. Lingkup Kekerasan Terhadap Anak

  Widjaja (1985) mengatakan bahwa sejak dilahirkan sampai dengan kematian, manusia tidak pernah hidup “sendiri” tetapi selalu berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut maka bukan hal yang tidak mungkin pula apabila tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam hubungan sosial itu sendiri termasuk dalam keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan fakta bahwa kekerasan merupakan masalah yang kompleks dimana banyak faktor-faktor yang berbeda (individu, hubungan yang terjalin, dan masyarakat) memainkan peran (Department of Justice Canada, 2003).

  Adianingsih (2003) merinci lingkup kekerasan yang dapat terjadi pada anak, antara lain : a. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga :

  1) Ayah, Ibu, Kakek, Nenek 2) Saudara kandung 3) Kerabat

  b. Orang-orang yang terikat atau pernah terikat dalam perkawinan ataupun sebagai partner :

  2) Isteri/mantan isteri 3) Pacar/pasangan

  c. Orang-orang yang memiliki hubungan kerja di lingkup domestik/keluarga 1) Pengasuh/perawat formal atau informal 2) Pembantu rumah tangga.

  Dari beberapa lingkup tersebut, keluarga sering disebut sebagai pelaku utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terbukti dalam suatu penulisan oleh media Jawa Pos, bahwa dari 103 kasus, sebanyak 39,8 % lingkungan keluarga melakukan tindak kekerasan (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

  Sementara dari media Memorandum menuliskan hal yang serupa dimana dari 230 kasus kekerasan yang dialami oleh anak, sebanyak 53,5 % dilakukan oleh keluarga sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam lingkup keluarga, kekerasan terhadap anak paling rentan terjadi. Hal ini menimbulkan suatu keprihatinan, dimana keluarga seharusnya mampu menjadi tempat yang nyaman agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar.

4. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak

  Dalam The National Clearinghouse on Family Violence (1994), faktor- faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam keluarga dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

  Bagan 1 Sistem yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Keluarga

  Faktor Individu Faktor Keluarga

  Faktor Komunitas

  Faktor Masyarakat/ Budaya

  Penjelasan mengenai faktor-faktor di atas dapat disimak di bawah ini :

  a. Faktor Individu, antara lain temperamen, kepribadian, perilaku yang dipelajari, sikap, dan pengetahuan mengenai kekerasan dalam keluarga.