PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA STUDI KASUS DI POLRESTA PADANG

  

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

STUDI KASUS DI POLRESTA PADANG

ARTIKEL

HERMAN AMIR

NPM. 1310018412007

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS BUNG HATTA

2015

  

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

STUDI KASUS DI POLRESTA PADANG

  1

  2

  1 Herman, Yuliamirwati, Syafridatati

  1 Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bung Hatta

  2 Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas

  Email: amirherman 24@yahoo.co.id

  

ABSTRAK

  Perlindungan hukum terhadap korban KDRT sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia khususnya kaum perempuan, telah diatur dalam bentuk undang- undang yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan jaminan kepastian hukum bagi korban KDRT dalam melindungi hak-haknya atas perlakuan tindakan kekerasan dilingkungan rumah tangga. Rumusan masalah;1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban KDRT di Polresta Padang; 2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh penyidik dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT; 3. Bagaimana perspektif pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban KDRT sesuai undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis, data yang digunakan meliputi data primer, sekunder, data dikumpulkan melalui wawancara, studi dokumen dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, 1. perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga di Polresta Padang belum terlaksana sebagaimana mestinya, 2. perlindungan hukum korban KDRT terkendala karena, tidak adanya tenaga Polwan yang profesional, ruang yang sempit, belum adanya rumah aman/shelter,

  3. Perspektif kedepannya agar adanya tenaga yang profesional, unit PPA ditingkatkan setingkat Kasat, menjalin kerjasama dengan LSM yang peduli perempuan. Perlindungan hukum korban KDRT di Polresta Padang belum terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.

  Kata Kunci: Perspektif, perlindungan, korban

PERSPECTIVE ON THE LEGAL PROTECTION

  

VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE

CASE STUDY IN Police PADANG

  1

  2

  1 Herman, Yuliamirwati, Syafridatati

  1 Program Postgraduate Legal Studies University of Bung Hatta

  2 Postgraduate Legal Studies Program, University of Andalas

  Email: amirherman 24@yahoo.co.id

  

ABSTRACT

  Legal protection for victims of domestic violence as a form of protection of human rights, especially women, have been arranged in the form of legislation, namely Law No. 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence. With the enactment of Law No. 23 of 2004 to guarantee legal certainty for victims of domestic violence to protect their rights over the treatment environment of domestic violence. Formulation of the problem; 1. What are the forms of legal protection against domestic violence victims in Padang Police; 2. What constraints faced by investigators in providing legal protection for victims of domestic violence; 3. How is the perspective of the implementation of legal protection for victims of domestic violence according to the law. This study uses socio-juridical, the data used include primary data, secondary data were collected through interviews, document studies and analyzed qualitatively. From the results of this study concluded, 1. legal protection for victims of domestic violence in Padang Police has not been done properly, the legal protection of victims of domestic violence 2. constrained because of the absence Polwan professional personnel, narrow space, the lack of safe houses / shelters 3. Perspective of the future so that the professional staff, the unit enhanced level PPA visible, cooperating with NGOs concerned women. Legal protection of domestic violence victims in Padang Police has not been done properly in accordance with Law No. 23 of 2004.

  Keywords: perspective, protection, victim.

  PENDAHULUAN A. Latar Belakang.

  Persoalan KDRT merupakan masalah klasik telah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Keketasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan yang terjadai dalam rumah tangga yang pada mulanya dianggap sebagai persoalan privat, kini sudah menjadi persoalan publik yang terbuka untuk dibicarakan siapa saja dan pelaku KDRT dapat dibawa keranah hukum dengan ancaman hukuman pidana kurungan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga ialah,“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikologis dan/atau ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga”.

  Dalam Undang-undang PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah, suami, isteri, dan anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri dan anak tersebut karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga dimaksud dilarang melakukan kekerasan fisik sakit atau luka berat, kekerasan psikis yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, kekerasan seksual yang meruapakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, atau penelantaran rumah tangga dengan cara menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga yang wajib diberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan perjanjian atau persetujuan yang disepakati.

  Penanganan korban KDRT dibandingkan dengan korban tindak pidana lainnya di kepolisian tidak dapat disamakan, dimana korban KDRT diperiksa di Ruangan Pelayanan Khusus (RPK) yang aman dan nyaman, terpisah dengan pemeriksaan korban kejahatan polwan profesional yang simpatik dan peduli terhadap korban KDRT, sehingga korban dapat memberikan keterangan yang dialaminya dengan bebas tanpa tekanan. Bagi korban KDRT sesuai amanat undang-undang juga harus disediakan rumah aman tempat korban bisa tinggal baik untuk sementara ataupun berdasarkan penetapan pengadilan, untuk menghindari terjadinya pengulangan kekerasan yang dialami oleh korban KDRT.

  Apabila dilihat Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, penghapusan KDRT tersebut secara substansi memperluas instirtusi dan lembaga pemberi lindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun perlindungan berdasarkan penetapan pengadilan. Orang yang menjadi korban KDRT maupun lembaga pemberi perlindungan itu seharusnya dapat memahami bagaimana cara memberikannya. Bagi korban KDRT kedudukan ekonomi atau status sosialnya yang tinggi ataupun pendidikannya yang lebih tinggi atau lembaga yang tugasnya memberikan perlindungan tidaklah begitu sulit untuk mendapatkannya, tapi bagi korban KDRT yang kedudukan sosial ekonominya rendah lembaga/institusi lainnya akan sulit untuk memahami bagiaman cara mendapatkan/memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT.

  Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai dengan tugasnya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 16 s/d

  Pasal 23 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu:

  1. Perlindungan oleh kepolisian berupa diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1x24 jam sejak memberikan perlindungan kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

  Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Perlindungan terhadap korban ini harus menggunakan ruangan khusus di kantor kepolisian dengan sisitem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses.

  2. Perlindungan oleh advokat dapat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi diantara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku, mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja sosial.

  3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

  Pengadilan dapat melakukan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditanda tanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.

  Pengadilan juga dapat memberikaimbangn perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.

  4. Pelayanan kesehatan penting sekali artinya, terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai dengan profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

  5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban,mengenai informasi hak-hak korban mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

  6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. Pelayanan oleh penguatan iman dan takwa kepada korban.

  Berdasarkan pada fakta yang ditemui terhadap perlindungan hukum terhadap korban KDRT di Polresta Padang, perlindungan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang- undang PKDRT tersebut belum terlaksana sebagaimana mestinya.

  Undang-undang PKDRT tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, pemerintah dan pemerintah daerah mengingat Undang- undang PKDRT tentang kewajiban- kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak tersebut.

  Persoalan lain yang ditemui terhadap perlindungan hukum terhadap korban KDRT di Polresta Padang, adalah para penyidik terlalu fokus terhadap korban kekerasan fisik saja dan agak mengabaikan kekerasan non fisik, padahal dalam Pasal 5 Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 rumah tangganya melakukan kekerasan dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik dapat mengakibatkan cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari- hari, luka berat pada tubuh korban atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indra, mendapat cacat, menderita lumpuh, terganggunya daya pikir selama lebih 4 minggu, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, sedangkan cedera ringan adalah; rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.

  Kekerasan psikis dapat berupa; perendahan, penghinaan, pemaksaan, tindakan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan. Kekerasan seksual dapat berupa; pelecehan seksual dengan kontak fisik, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta muak/jijik.Penelantaran rumah tangga, satuan (Kasat). Apabila setingkat Kasat dapat berupa melalaikan kewajiban maka penengananan kasus KDRT bisa memberikan kehidupan, perawatan atau dilayanai menjangkau tingkat Polsek pemeliharaan kepada orang dalam dengan membentuk unit Pelayanan lingkup rumah tangga. Perempuan dan Anak di Polsek tersebut.

  Keterbatasan sarana dan Keranka teoritis prasarana yang ada pada unit Dalam penelitian ini yang Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi kerangka teoritis adalah khususnya di Polresta Padang fenomena yang dapat menjelaskan mengakibatkan penanganan korban bahwa perlindungan hukum terhadap KDRT belum terlaksana sebagaimana korban KDRT sebagaimana yang telah semestinya sesuai dengan amanat dituangkan dalam UU PKDRT belum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004. terlaksana dalam penenganan kasus Disamping hal tersebut keterbatasan korban KDRT di Polresta Padang, ruang gerak dalam melakukan kebijakan sehingga teori yang dipakai adalah teori untuk menangani kasus KDRT di berikut ini. tingkat Polres juga disebabkan

  1. Teori Efektifitas Hukum, teori Pelayanan perampuan dan Anak berada yang mengkaji dan menganalisis pada tingkat unit dibawah Kasat tentang keberhasilan dan Reserse Kriminal. Mengingat begitu kegagalan dari faktor-faktor pentingnya untuk menangani kasus yang mempengaruhi dalam korban KDRT sebagai perlindungan hak pelaksanaan dan penerapan asasi manusia khususnya perempuan, hukum. Ada tiga fokus kajian unit Pelayanan Perempuan dan Anak teori efektifitas hukum, yaitu; a. Kegagalan dalam menggambarkan hubungan antara pelaksanaannya; konsep-konsep khusus, yang akan b. Faktor-faktor yang diteliti mempengaruhinya;

  Metode Penelitian

  c. Keberhasilan dalam Dalam penulisan ini adalah pelaksanaan hukum adalah menggunakanpendekatan yuridis bahwa hukum yang dibuat sosiologis, yaitu dengan melihat telah tercapai maksudnya. permasalahan yang ada dalam

  2. Teori Penegakkan hukum, masyarakat dengan peraturan Soerjono Soekanto perundang-undangan yang berlaku serta mengemukakan 5 faktor yang dengan melihat kenyataan pelaksanaan harus dipehatikan dalam yang terjadi terhadap peraturan- penegakkan hukum, kelima peraturan yang menjadi permasalahan. faktor itu adalah ; faktor hukum Menurut Soejono atau undang-undang, faktor Soekanto,penelitian merupakan suatau penegak hukum, faktor kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan masyarakat, faktor kebudayaan, analisa dan konstruksi yang dilakukan faktor sarana atau fasilitas. secara metodologis, sistematis dan

  

Kerangka Konseptual konsisten berarti sesuai dengan metode

  Kerangka konseptual adalah atau cara tertentu, sisitimatis adalah definisi-definisi tertentu, yang dapat berdasarkan sisitim, sedangkan dijadikan pedoman dalam proses konsisten berartti tidak ada hal-hal yang pengumpulan, pengolahan dan analisis bertentangan dalam suatu kerangka bahan hukum. Kerangka konseptual tertentu.

HASIL PEMBAHASAN

A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT di Polresta Padang.

  Perlindungan hukum yang diberikan oleh Polresta Padang melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) terhadap korban KDRT, betrdasarkan penelitian penulis belum terlaksana sebagaimana mestinya sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang.

  Ruang pemeriksaan laporan yang ada belum memenuhi syarat ideal sebagaimana yang diharapkan, ruang pelayanan berukuran 3 x 7 meter persegi yang hanya diawaki oleh 7 orang penyidik termasuk kepala unit PPA, yang terdiri dari 2 orang penyidik perempuan dan 5 orang penyidik pria, belum dapat dikatakan sebagai ruangan yang nyaman bagi korban KDRT untuk dapat menyampaikan permasalahan kekerasan yang dialaminya.

  Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis dengan penyidik pada unit PPA Polresta Padang, laporan KDRT selama ini dominan adalah masalah kekerasan fisik saja, padahal KDRT sebagaiaman yang dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

  Menurut Kanit PPA Polresta Padang Ipda Fitri Ermita, dominannya laporan masalah PPA karena sebagain besar masyarakat baru memahami yang dimaksud dengan kekerasan adalah kekerasan fisik saja.

  Berdasarkan data pada Unit PPA Polresta Padang selama periode tahun 2011 s/d tahun 2014, jumlah laporan KDRT yang masuk ada sebanyak 169 (seratus enam puluh sembilan) kasus, dengan rincian pada tahun 2011 kasus yang masuk sebanyak 41, yang dicabut sebanyak 18 kasus, sehingga yang sampai diproses ke pengadilan sebanyak 23 kasus, pada tahun 2012 kasus yang masuk sebanyak 25, yang dicabut sebanyak 11 kasus, sehingga yang sampai diproses pengadilan sebanyak 14 kasus, pada tahun 2013 kasus yang masuk sebanyak 44, yang dicabut sebanyak 19 kasus, sehingga yang sampai diproses pengadilan sebanyak 25 kasus, pada tahun 2014 kasus yang masuk

  23, sehingga yang sampai ke pengadilan sebanyak 36 kasus.

  Dari kasus yang dicabut tersebut pada umunya disebabkan karena alasan telah terjadinya perdamaian antara korban dengan pelaku. Berdasarkan hasil wawanvara penulis dengan responden yang mencabut laporannya tersebut disebabkan masukan dari peihak keluarga, yang menganggap melaporkan suami pada polisi adalah perbuatan yang tidak baik dan akan berdampak kebencian anak-anak kepada ibunya yang memenjarakan bapaknya.

  Bentuk perlindungan hukum yang baru dapat diberikan oleh Polresta Padang terhadap korban KDRT yang melaporkan kasus yang dialaminya adalah, baru sebatas menerima laporan dan membuata Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pelapor, mintakan visum et penyidikkan pada rumah sakit perlindungan hukum terhadap pemerintah, memeriksa saksi-saksi korban KDRT, sebagaimana yang yang diperlukan, mengumpulkan diamanatkan oleh Undang-undang barang bukti lain yang ada Nomor 23 Tahun 2004. Dimana hubungannya dengan perkara sesuai dengan ketentuan Pasal 10 tersebut, memanggil dan memeriksa Undang-undang Nomor 23 Tahun pelaku korban KDRT, kalau perlu 2004 korban KDRT berhak untuk melakukan penahanan, membuat mendapatkan : resume perkara dan selanjutnya

  a. Perlindungan dari pihak melimpahkannya ke Kejaksaan keluarga, kepolisian, Negeri Padang, yang selanjutnya kejaksaan, pengadilan, oleh Penuntut Umum dilimpahkan advokat, lembaga sosial, ke Pengadilan Negeri Padang untuk atau pihak lainnya baik disidangkan. sementara maupun

  B. Kendala-kendala Yang berdasarkan penetapan Dihadapi Oleh Penhyidik perintah pengadilan’ Dalam Memeberikan

  b. Pelayanan kesehatan sesuai

  

Perlindungan Hukum dengan kebutuhan medik;

Terhadap Korban KDRT di

  c. Penagnanan secara khusus

  Polresta Padang berkaitan dengan

  Penyidik di lingkungan Unit kerahasiaan korban; Pelayanan perempuan dan Anak

  d. Pendampingan oleh pekarja (PPA) Polresta Padang mengalami sosial dan bantuan hukum banyak kendala dan belum pada setiap tingkat proses ketentuan perundang- undangan yang berlaku; e. Pelayanan bimbingan sosial. Dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT penyidik Polresta Padang mengalalami kendala-kendala, yaitu;

  1. Belum adanya Rumah Aman/Shelter tempat perlindungan sementara bagi korban KDRT, korban KDRT memerlukan perlindungan yang memadai karena apabila korban kembali ke rumahnya akan dikuatirkan kekerasan akan terulang kembali.

  2. Belum adanya Ruang Palayanan Khusus (RPK) tempat menerima dan memeriksa laporan pengaduan bagi korban KDRT yang representatif dengan Petugas Polwan yang dapat dengan bebas dan merasa nyaman, serta merasa tidak tertekan dalam menyampaikan keluhan yang dialaminya.

  3. Bedanya pemahaman antar penegak hukum/penyidik dalam menangani kasus korban KDRT yang masuk ke PolresPadang

  4. Ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk mengangani perempuan yang menjadi korban KDRT.

  5. Lamanya rentang waktu kejadian dengan laporan, sehingga hasil visum et repertum kurang mendukung terhadap proses hukum.

  6. Masalah anggaran yang memadai tidak tersedia untuk sosialisasi ke daerah- daerah yang sulit dijangkau.

  7. Unit PPA Polresta Padang Satuan Reserse, sehingga

  1. Rumah Aman/Shelter, sulit untuk melakukan Rumah aman adalah tempat Perlindungan Hukum bagi yang sangat diperlukan bagi korban KDRT secara perempuan korban KDRT maksimal sesuai dengan sebagai tempat bernaung ketentuan uu yang berlaku. sementara..

  Perspektif Perflindungan Hukum

  2. Ruang Pelayanan Khusus

  Terhadap Korban KDRT di Polresta (RPK), Ruang pelayanan Padang.

  khusus yang representatif Dalam memberikan seharusnya ada di Unit PPA perlindungan hukum terhadap korban Polresta Padang, karena

  KDRT di Polresta Padang sebaiknya RPK berfungsi untuk kedepan harus melibatkan lembaga atau menerima dan membuatkan instansi terkait serta menjalin kerjasama berita acara korban KDRT. dengan Lemabaga Swadaya

  3. Kedepannya agar pemberian Masayarakat (LSM) yang peduli perlindungan hukum terhadap korban perempuan. terhadap korban KDRT juga Berdasarkan hasil penelitian yang harus ada apa yang penulis lakukan di Polresta Padang dinamakan dengan Woman terutama pada Unit Perlindungan Crisis Centre, yaitu tempat Perempuan dan Anak (Unit PPA) sarana bagi korban KDRT untuk yang diperlukan belum memadai, untuk diberi penguatan dirinya, itu kedepannya Polresta Padang harus sehingga korban bisa untuk mempunyai/memiliki : membela dirinya sendiri orang lain terutama suami berjalan sebagaimana mestinya. korban yang sekaligus Banyak hal-hal yang belum bisa sebagai pelaku. dipenuhi oleh Unit PPA Polresta

  4. Harus adanya kerjasama dalam memberikan perlindungan dengan instansi terkait, baik terhadap korban KDRT, pemerintah/swasta atau LSM diantaranya antara lain; belum yang peduli terhadap adanya RPK yang memadai, perempuan. belum adanya Rumah

  5. Untuk meningkatkan kinerja Aman/Shelter, personil yang Unit PPA sebaiknay kedepan belum profesional. ditingkatkan setingkat

  2. Hambatan-hambatan yang Satuan, tidak seperti dihadapi oleh penyidik Unit sekarang berda dibawah Pelayanan Perempuan dan Anak Kasat Reserse. Polresta Padang dalam memberikan perlindungan

  Simpulan. hukum terhadap klorban KDRT

  Dari hasil penelitian tesis ini adalah :

  • dapat disimpulkan beberapa hal Jumlah personil Polwan sebagaimana yang telah diangkat dan perempuan yang profesional diuraikan pada BAB III, yaitu; masih kurang.

  1. Perlindungan hukum terhadap Kesadaran saksi untuk - korban KDRT sebagaiman yang datang memenuhi panggilan diamanatkan oleh Undang- sebagai saksi sangat kurang undang Nomor 23 Tahun 2004 sekali dengan berbagai

  • Korban KDRT masih menganggap KDRT bukanlah persoalan pidana tetapi adalah masalah keluarga/pribadi korban dalam rumah tangga.
  • Tidak adanya dana yang memadai, terutama sekali dalam rangka sosialisasi Undang-undang PKDRT.
  • Tidak adanya tenaga

  Psikolog, tenaga Kesehatan/relawan pendamping yang bisa memberikan pendampingan/konseling dengan korban.

  Saran.

  Dengan begitu baanyaknya hambatan yang dihadapi oleh penyidik di Unit PPA Polresta Padang, untuk lebih lancar dan tepatnya memberikan perlindungan hukum terhadap korban

  KDRT, maka penulis memberi saran sebagai berikut:

  1. Pihak Polresta Padang harus lebih meningkatkan kerjasama denga instansi terkait bisa melengakpi sarana dan prasarana yang diperlukan dalam memaksimalkan pemberian Perlindungan hukum terhadap korban KDRT.

  2. Mengingat banyak kasus korban KDRT yang terjadi di wilayah hukum Polresta Padang, sudah seharusnya Unit PPA Polresta Padang ditingkatkan menjadi setingkat Satuan tersendiri.

  3. Untuk meningkatkan tenaga Polwan yang handal dan profesional dalam menagani kasus KDRT, sebaiknya tidak terlau sering melakukan roling pada unit lain, Polwan yang ada pada unit PPA akan di rolling sebaiknya disiapkan

  4. penggantinya yang baik dan profesional pula.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

  Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama. Bandung. Bambang Waluyo,

  Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. 2012. PT Sinar Grafika. Jakarta.

  Derap-Warapsari.2003.

  Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan. Bharat Kerta Inkopol.

  Jakarta. Didiek. M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom,

  2007. Urgensi Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

  Aroma Elmira Martha, 2012, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia, FH UII Press, Yokyakarta

  Kekerasan Terhadap Perempuan. TinjauanPsikologis Feministik dalam Pemahaman Bentuk- bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Alumni Bandung.

  Ermansyah Djaya, 2010.

  Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

  Harkristuti Harkrisnowo, 2000. Hukum Pidana dan Kekarasan Terhadap Perempuan (Pemahaman Bentuk Tindak-tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya), PT.

  Alumni. Bandung. Israel Drapkin, 1990. Crime and Pinishment in The

  Aicent World). Lexington books) .

  Abdul Wahid dan Muhammad Irfan 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual.

  E.Kristiti Poerwandari,2000. Muladi, 2005. HAM Dalam Perspektif Peradilan Pidana, Rafika Aditama, Bandung.

  Muladi dan Barda Nawawi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung

  Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Tentang Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, Tentang Kitab Undang-undangHukum Pidana ( KUHP ) Indonesia.

  B. Peraturan Perundang- undangan. B.Undang-Undang

  Sinar Grafika. Jakarta. Zainuddin Ali, 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika. Jakarta

  Siswantoro Sunarso, 2012.Viktimologi Dalam Sisitim Peradilan Pidana, PT.

  Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, 2010. Faktor-faktor

  Moerti Hadiati Soeroso, 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis- Viktimologi, Sinar Grafika, Jakarta.

  Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan

  Salim HS, Elis Septiani Nurbani.2013.

  2006. Usaha Perlindungan dan Promosi Hak Anak Dalam Perspektif Negara Hukum.Jakarta.

  Nursyahbani Katjasungkana.

  Statistic Ceria. Blog Spot, 24 April 2015, jam 21.00 Wib.

  Nasrul Setiawan, Analisis Diskriptif, www.

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang :Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 74 Tahun1984, Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita