HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN TINGKAT STRES PADA REMAJA SKRIPSI

  HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN TINGKAT STRES PADA REMAJA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh: Meliana NIM : 029114044 F A K U L T A S P S I K O L O G I UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Kupersembahkan kepada:

  1. Bapa di Surga

  2. Papa dan Mama terkasih

  3. Adik beserta teman-temanku 4. Kekasihku tersayang Z. Arifin T. S.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul: Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres Pada Remaja

  Yang saya kerjakan untuk melengkapi persyaratan menjadi Sarjana Psikologi pada pendidikan sarjana Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Sanata Dharma, bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari skripsi kesarjanaan di lingkungan Universitas Sanata Dharma maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.

  Yogyakarta, Maret 2007 Meliana

  029114044

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres Pada Remaja dengan baik dan tepat waktu.

  Dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, dan masukan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

  1. Ibu A. Tanti Arini S.Psi.,M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar mendorong serta membimbing sampai penulisan skripsi ini selesai.

  2. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. Dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga bagi skripsi ini.

  3. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  4. Papa, Mama, serta Adik tercinta yang telah mendukung dalam doa dan memberi perhatian yang besar.

  5. Kekasihku tersayang, Z. Arifin T. S. yang setia memberi semangat dan dukungan baik secara moral maupun spiritual selama pengerjaan skripsi ini.

  6. Saudara-saudaraku di KTB The Coolest Girls of God selalu bersedia

  7. Teman-teman di PMK Teknik UKDW dan anak-anak di KTB Carlene yang senantiasa memberi keceriaan, penghiburan, serta doa.

  8. Teman-teman di kontrakan Eagles yang bersedia memberikan tempat, waktu, dan komputernya selama pengerjaan skripsi ini dari awal hingga akhir.

  9. Teman-teman di Kost Putri Biroe, terkhusus Yuni, yang terus memberikan dorongan semangat dan bantuannya dalam mengerjakan skripsi.

  10. Teman-teman angkatan 2002 fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta, terkhusus teman-teman satu bimbingan, yang telah saling mendukung dan bertukar ilmu serta informasi selama pengerjaan skripsi.

  Akhir kata penulis dengan kerendahan hati mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, Tuhan memberkati. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

  Yogyakarta, Maret 2007 Meliana

  

DAFTAR ISI

  Halaman Judul ……………………………………………………………… i Halaman Persetujuan ……………………………………………………...... ii Halaman Pengesahan ………………………………………………………. iii Halaman Persembahan ……………………………………………………... iv Pernyataan Keaslian Karya ………………………………………………… v Kata Pengantar ……………………………………………………………... vi Intisari ……………………………………………………………………… viii Abstract ……………………………………………………………….……. ix Daftar Isi ………………………………………………………………….... x Daftar Tabel ……………………………………………………………...… xii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….....

  1 A. Latar Belakang ……………………………………………………..

  1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………….....

  6 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….... 6

  D. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 6 BAB II LANDASAN TEORI …..……………………………………….....

  8 A. Remaja ……………………………………………………………… 8

  B. Stres ………………………………………………………………… 14 C. Perilaku Asertif ……………………………………………………..

  23 D. Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres ……………..

  28 E. Kerangka Teoritik …………………………………………………..

  34 F. Hipotesis ……………………………………………………………. 35

  BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………… 36 A. Jenis Penelitian ……………………………………………………... 36 B. Identifikasi Variabel Penelitian …………………………………….. 36 C. Definisi Operasional ………………………………………………... 36

  E. Alat Pengumpul Data ……………………………………………….

  40 F. Validitas dan Reliabilitas …………….……………………………... 45 G. Prosedur Penelitian ……………………………………………...….

  46 H. Persiapan Penelitian ………………………………………………… 47

  I. Metode Analisis Data ……………………………………………….. 51

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………... 52 A. Deskripsi Subjek Penelitian ………….……………………………... 52 B. Deskripsi Data Statistik Penelitian ………………………………….. 52 C. Uji Asumsi …………………………………………………………... 53 D. Uji Hipotesis ………………………………………………………… 55 E. Kategorisasi ………………………………………………………….. 56 F. Pembahasan ………………………………………………………… 58 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………

  65 A. Kesimpulan ………………………………………………………… 65

  B. Saran ………………………………………………………………... 65 LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1: Kisi-Kisi Skala Tingkat Stres …………………….……………..... 40 Tabel 2: Nilai Alternatif Jawaban Skala Tingkat Stres .….………………… 41 Tabel 3: Kisi-Kisi Skala Perilaku Asertif ………………….……………..... 43 Tabel 4: Nilai Alternatif Jawaban Skala Perilaku Asertif ....…………….....

  44 Tabel 5: Kisi-Kisi Skala Tingkat Stres Setelah Uji Coba ………………….

  49 Tabel 6: Kisi-Kisi Skala Perilaku Asertif Setalah Uji Coba ……………….

  50 Tabel 7: Data Usia Subjek ..……………………………….…….…………. 52 Tabel 8: Rangkuman Hasil Statistik Deskriptif …………....……………..... 53 Tabel 9: Rangkuman Hasil Uji Normalitas ………………………………… 54 Tabel 10: Interpreatsi Terhadap Nilai r Hasil Analisis Korelasi ..…………… 55 Tabel 11: Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Product Moment Pearson …...….. 56 Tabel 12: Kategori Skor Kumulatif Skala Perilaku Asertif …………………. 57 Tabel 13: Kategori Skor Kumulatif Skala Tingkat Stres ……………………. 58

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan yang dilalui oleh

  seorang individu. Pada masa ini terjadi peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses ini remaja akan mempersiapkan diri memasuki masa dewasa dan meninggalkan masa kanak-kanak. Oleh karena itu terjadi perubahan-perubahan dalam diri remaja baik perubahan fisiologis, sosial, maupun psikologis.

  Remaja mengalami pematangan fisik dan tidak jarang perubahan fisik tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja. Oleh karena itu, remaja harus menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Pada saat yang hampir bersamaan remaja juga mendapat tuntutan-tuntutan peranan sosial yang baru dari lingkungannya. Remaja harus belajar menyelaraskan dirinya kepada kehidupan orang dewasa sehingga pada masa ini minat dan perilaku remaja mengalami perubahan.

  Banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja sehingga terkadang remaja mendapat masalah dan kesulitan dalam menghadapinya. Meskipun sering kali remaja tampak begitu yakin dalam menghadapi tantangan- tantangan kehidupan, namun tidak jarang sebenarnya di dalam hatinya mereka merasa memerlukan pendamping yang dapat membimbingnya untuk menghadapi kenyataan sebenarnya (Soekanto, 1989).

  Semua masalah dan konflik yang dialami oleh remaja bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan stres. Hal tersebut terjadi karena remaja yang merasa gagal dalam mengatasi permasalahannya memiliki kecenderungan untuk menilai bahwa kemampuan yang dimilikinya tidak dapat memenuhi tuntutan dari lingkungan. Penilaian tersebut dapat membuat remaja merasa tertekan. Chaplin (2001) mendefinisikan keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikis tersebut sebagai stres.

  Stres pada remaja dapat mendorong mereka pada perilaku-perilaku negatif yang cenderung merusak dan merugikan dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah tindakan atau percobaan untuk bunuh diri yang jumlahnya cukup besar pada masa remaja. Diperkirakan 12% dari kematian pada kelompok anak dan remaja disebabkan karena bunuh diri. Bunuh diri pada remaja itu menunjukkan adanya suatu ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi dan kurangnya mekanisme coping yang dimiliki dalam mengatasi stres (Pikiran Rakyat, 2004). Oleh karena itu, perlu diupayakan usaha untuk mencegah atau mengurangi stres pada remaja.

  Santrock (2005) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan salah satu cara untuk mengatasi stres. Perilaku asertif adalah kemampuan untuk mengungkapkan ide, pendapat, dan perasaan secara jujur tanpa menyinggung diharapkan mampu mengemukakan ide dan perasaannya secara jujur tanpa menyakiti orang lain. Hal ini dapat sangat menolong remaja karena pada masa ini pola berpikir abstrak mereka berkembang pesat sehingga remaja sering memiliki banyak ide dan pendapat yang terkadang masih sangat kaku.

  Terkadang remaja mempertahankan ide tersebut secara agresif, sedangkan sebagian lainnya memilih untuk bersikap pasif dan menutup diri sehingga pada akhirnya mereka mengalami konflik baik dengan orang lain maupun diri sendiri.

  Dengan berperilaku asertif, tekanan yang dirasakan remaja dapat berkurang karena mereka mampu mengungkapkan ide dan perasaannya dengan baik kepada orang lain sehingga biasanya mereka juga mendapatkan respon yang baik dari orang lain. Berkurangnya rasa tertekan pada remaja dapat mengurangi atau memperkecil kesempatan remaja untuk mengalami stres.

  Meskipun perilaku asertif tampaknya dapat menjadi salah satu alternatif cara untuk mengatasi stres, namun Er (1989) menyatakan bahwa keberhasilan perilaku asertif sebagai sebuah strategi coping tidak terlalu besar. Keberhasilan perilaku asertif ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah latar belakang budaya. Hal ini disebabkan karena latar belakang budaya dapat menyebabkan reaksi yang berbeda-beda terhadap perilaku asertif.

  Penelitian Farley, dkk (2005) yang membandingkan stres, coping, dan putih non–hispanic menunjukkan bahwa strategi coping ketiga kelompok subjeknya bervariasi. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa subjek dari sebuah kelompok budaya tertentu dapat memiliki strategi coping stres yang berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dengan demikian efektivitas suatu strategi coping tidaklah sama untuk setiap budaya.

  Penggunaan perilaku asertif sebagai strategi coping yang dikemukakan Santrock memiliki latar belakang kebudayaan Barat sehingga belum tentu pendapat tersebut sesuai untuk diterapkan di Indonesia yang berlatar belakang kebudayaan Timur. Teoh, dkk (1999) melakukan penelitian tentang persepsi mengenai etika pada budaya individualisme dan kolektivisme dengan menggunakan subjek penelitian dari dua negara yang berbeda, yaitu mahasiswa Australia dan mahasiswa Indonesia. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa mahasiswa Australia lebih cenderung menjadi lebih individualistis dan mahasiswa Indonesia lebih bersifat kolektif. Dari penemuan ini, dapat diketahui bahwa kebudayaan Indonesia yang cenderung kolektif berbeda dengan kebudayaan Barat yang cenderung lebih individualistis.

  Kebudayaan Barat memiliki kecenderungan untuk lebih individualistis karena salah satu tuntutan keadilan dalam etika Barat adalah tuntutan untuk menghormati hak-hak setiap orang secara mutlak (Suseno & Reksosusilo, 1983). Oleh karena itu masyarakat pada kebudayaan Barat lebih menyadari pentingnya mempertahankan hak-hak pribadinya dengan tetap menghormati hak individu lainnya. Kesadaran ini mempermudah mereka untuk menerima perilaku asertif dalam kebudayaannya.

  Berbeda dengan kebudayaan Barat, masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki kebudayaan kolektif akan menomorsatukan masyarakat dan mengesampingkan individu. Suseno & Reksosusilo (1983) menyatakan bahwa pada taraf yang ekstreem kolektivisme berpendapat bahwa individu sama sekali tidak bernilai dan yang bernilai hanyalah masyarakat. Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadinya dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap perilaku asertif sebagai strategi coping. Perbedaan kebudayaan ini dapat mempengaruhi keefektifan perilaku asertif sebagai strategi coping pada remaja di Indonesia.

  Keberhasilan perilaku asertif sangat bergantung pada banyak faktor. Selain faktor budaya, faktor kontekstual dan faktor situasional seorang individu juga akan mempengaruhi efektivitas perilaku asertif sebagai coping stres (Er, 1989). Oleh sebab itu keefektifan cara perilaku asertif untuk mengatasi stres pada masa remaja masih dipertanyakan karena pada masa ini remaja membutuhkan rasa aman. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok merupakan salah satu kebutuhan psikologis yang akan mengarahkan tercapainya rasa aman (Rifai, 1984). Oleh karena itu remaja memiliki kecenderungan untuk berupaya masuk dan diterima pada kelompok- kelompok pergaulan mereka. Ketakutan akan kesendirian dan penolakan remaja cenderung bertindak tidak berdasarkan keinginannya sendiri tetapi lebih pada keinginan kelompoknya.

  Perilaku konformitas dapat menghambat perilaku asertif karena tidak jarang remaja mengorbankan nilai individualitasnya sendiri demi menyesuaikan diri dengan standar/ norma kelompoknya. Namun usaha remaja untuk mencari peranan sosial melalui kelompok-kelompok pergaulannya ini dipandang umum terjadi dan konformitas di kalangan remaja tersebut juga sering dinilai sebagai sesuatu yang wajar dialami pada masa ini. Oleh karena itu kemampuan untuk berperilaku asertif pada masa remaja terkadang justru dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan bagi remaja karena dapat mengganggu hubungan dengan kelompok pergaulannya. Ketakutan akan ketertolakan dan dikucilkan dari pergaulan ini pada akhirnya dapat menimbulkan stres pada remaja.

  Berdasarkan asumsi mengenai perbedaan kebudayaan serta kecenderungan remaja untuk berperilaku konform, maka peneliti ingin mengetahui apakah pada remaja di Indonesia perilaku asertif menurunkan tingkat stres seperti pendapat Santrock, atau justru sebaliknya. Inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap hubungan antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

  “Apakah ada hubungan positif atau negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja?”

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji secara ilmiah apakah ada hubungan yang positif atau negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan referensi atau sumber informasi bagi penelitian yang relevan di masa yang datang.

  2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu remaja untuk memahami pentingnya perilaku asertif dalam usaha mengelola dan mengatasi stres.

  Dengan adanya pemahaman yang jelas mengenai manfaat perilaku asertif tersebut, diharapkan remaja dapat menerapkan perilaku asertif dalam menghadapi permasalahan dan tekanan yang muncul sehingga remaja mampu mengatasi stres dengan lebih efektif.

BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja

  1. Definisi dan Batasan Remaja Masa remaja merupakan masa pancaroba atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke arah kedewasaan (Rifai, 1984). Pada masa peralihan ini remaja mengalami proses pendewasaan, yaitu proses untuk belajar dan menyelaraskan diri kepada kehidupan orang dewasa.

  Santrock (2003) juga mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

  Remaja pada masa ini akan mengalami perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial (Crider, 1983). Perubahan fisik yang cepat dan menonjol akan tampak pada masa pubertas/ awal masa remaja. Perubahan fisik ini meliputi peningkatan tinggi badan dan perubahan bentuk tubuh pada remaja. Selain itu juga terjadi pematangan dan perkembangan fungsi seksual yang ditandai dengan menarche/ menstruasi pertama pada perempuan dan produksi sperma pada laki-laki, serta munculnya ciri kelamin sekunder seperti tumbuhnya pubic hair, perubahan suara pada laki-laki, payudara membesar dan pinggul melebar

  Kemampuan kognitif dan pemahaman moral remaja juga mengalami perubahan. Pada masa ini remaja mampu berpikir secara abstrak dan memiliki kemampuan penalaran serta logika sebab-akibat. Oleh karena itu remaja mampu menciptakan pemecahan masalah untuk mengatasi masalah-masalah yang rumit. Selain itu remaja juga mampu menilai masalah moral dan etika dengan lebih kritis. Akan tetapi remaja masih memiliki dorongan egosentris, yaitu kecenderungan remaja untuk berfokus pada pendapat pribadi dibandingkan pendapat orang lain. Kecenderungan remaja untuk menempatkan diri sebagai pusat dari segala pertanyaan dan masalah hidup inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman dalam diri remaja.

  Remaja menghadapi tugas yang penting dalam kehidupan sosial dan perkembangan pribadinya. Remaja perlu membangun kesadaran diri yang kuat untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja. Dalam istilah psikologis, hal ini disebut sebagai membentuk sebuah identitas. Namun selain membentuk identitasnya, remaja juga harus menjalin hubungan dengan orang tua/ keluarga dan teman sebayanya (Crider, 1983). Pada masa ini remaja belajar untuk lebih mandiri dan mulai melepaskan ketergantungannya pada orang tua dan mulai memperluas hubungan antar pribadi serta berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita.

  Batasan usia masa remaja ini cukup sulit untuk ditentukan karena

  (2005) menetapkan usia sebelas sampai dua puluh empat tahun dan belum menikah sebagai batasan usia untuk remja di Indonesia. Batasan usia ini diambil dengan pertimbangan bahwa pada usia sebelas tahun pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Usia dua puluh empat tahun dipilih sebagai batas maksimal untuk remaja di Indonesia untuk memberikan peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum memiliki hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat dan tradisi), belum dapat memberikan pendapatan sendiri, dan sebagainya. Selain itu status pernikahan masih sangat penting di masyarakat Indonesia. Individu yang sudah menikah pada usia berapapun akan dianggap dan di perlakukan sebagai orang dewasa, baik secara hukum maupun kehidupan masyarakat sehingga definisi remaja dibatasi untuk yang belum menikah.

  Monks (2002) menyatakan bahwa masa remaja berlangsung antara umur dua belas tahun sampai dengan dua puluh satu tahun. Masa remaja tersebut terbagi menjadi beberapa masa perkembangan, yaitu masa remaja awal yang dimulai sekitar usia dua belas dan berlangsung sampai usia lima belas tahun, masa remaja pertengahan yang terjadi pada usia lima belas sampai dengan delapan belas tahun, dan masa remaja akhir yang berlangsung pada usia delapan belas tahun sampai dua puluh satu tahun.

  Dari definisi dan batasan usia remaja yang telah dinyatakan oleh beberapa ahli perkembangan, maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa dan pada masa tersebut terjadi perubahan fisiologis, kognitif, dan sosial.

  Rentang usia remaja pada penelitian ini akan dimulai dari usia dua belas dan berakhir pada usia dua puluh satu tahun. Batasan usia ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa pada usia dua belas tahun mulai terjadi perkembangan fisik yang cepat dan kemunculan tanda-tanda seksual sekunder.

  Usia dua puluh satu tahun ditetapkan menjadi batas maksimal masa remaja karena pada umumnya individu telah mampu membentuk identitas dirinya dan mulai melakukan peran dan tugas perkembangan selanjutnya.oleh karena itu individu yang berusia di atas dua puluh satu tahun tidak lagi dapat dimasukkan dalam kategori masa remaja melainkan telah memasuki masa dewasa awal. Masa remaja ini dibagi menjadi tiga, yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari usia dua belas tahun hingga usia lima belas tahun, masa remaja pertengahan yang terjadi pada usia lima belas sampai delapan belas tahun, dan remaja akhir yang berlangsung antara usia delapan belas sampai dua puluh satu tahun.

  Selain itu pada penelitian ini remaja juga dibatasi oleh status pernikahan.

  Status pernikahan di Indonesia sangat penting karena individu yang sudah menikah pada usia berapa pun akan dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Oleh karena itu pada penelitian ini remaja dibatasi untuk individu yang belum menikah.

  2. Tugas Perkembangan Remaja Setiap individu akan melewati berbagai tahap perkembangan dalam hidup mereka. Dalam tiap tahap perkembangan hidup tersebut individu akan berhadapan dengan tugas perkembangan yang berbeda- beda. Sama seperti tahap perkembangan yang lain, masa remaja juga memiliki tugas – tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh individu.

  Erik Erikson (Santrock, 2003) dalam teori psikososialnya mengenai tahap perkembangan manusia menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja adalah pembentukan identitas. Pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada pada dirinya, dan arah mereka dalam menjalani hidup.

  Remaja yang tidak berhasil membentuk identitasnya akan mengalami kebimbangan akan identitasnya (identity confusion).

  Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal, yaitu penarikan diri individu atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya.

  R. J. Havighurst (Hurlock, 1996) juga sependapat dengan pembentukan identitas. Remaja perlu untuk mencapai peranan sosialnya serta membentuk sistem nilai – nilai moral dan falsafah hidup. Selain itu Havighurst juga mengumpulkan beberapa tugas perkembangan pada masa remaja yang lain, yaitu memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, serta mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

  Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja adalah pembentukan identitas yang meliputi pencapaian peranan sosial dan pembentukan sistem moral serta falsafah hidup, memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, mampu menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, serta mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

  Setiap remaja perlu untuk menyelesaikan tiap tugas perkembangannya dengan baik agar dapat berkembang secara baik dan sehat serta mencapai kepuasan dalam melalui masa hidupnya. Bila remaja merasa gagal dalam menjalankan tugas perkembangannya, maka dapat menimbulkan dampak yang negatif pada perkembangan hidup selanjutnya.

B. Stres

  1. Definisi Stres Menurut Crider, Dkk (1983), stres adalah suatu pola khusus dari reaksi psikologis dan fisiologis yang muncul saat suatu peristiwa mengancam tujuan yang penting bagi individu yang bersangkutan dan menuntut kemampuan individu tersebut untuk mengatasinya. Sedangkan Gerrig (2002) mendefinisikan stres sebagai pola respon yang dibuat oleh organisme terhadap peristiwa-peristiwa yang mengganggu keseimbangannya serta mengganggu atau melampaui kemampuan organisme tersebut untuk mengatasinya. Serupa dengan pendapat Gerrig, Santrock (2003) menyatakan bahwa stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (Coping).

  Berdasarkan definisi yang dinyatakan oleh beberapa ahli tersebut, maka pada penelitian ini stres didefinisikan sebagai suatu respon individu terhadap situasi atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kemampuan individu tersebut untuk mengatasinya.

  2. Reaksi Terhadap Stres Stres akan mempengaruhi individu dan memunculkan berbagai reaksi. Tanner (1976) menyatakan bahwa ada tiga tipe respon terhadap stres, yaitu respon emosional, respon perilaku, dan respon fisiologis. Hampir serupa dengan pendapat Tanner, Taylor (!999) juga menyebutkan bahwa stres menimbulkan beberapa reaksi, antara lain: a. Reaksi kognitif, meliputi ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan mengalami gangguan perhatian, gangguan kinerja dalam tugas kognitf, pemikiran yang ceroboh, berulang-ulang, atau tidak sehat.

  b. Reaksi emosional, meliputi kecemasan, depresi, rasa takut, marah, kebingungan, dan sebagainya.

  c. Reaksi Perilaku, yaitu meningkatnya perilaku konfrontatif atau sebaliknya, perilaku menarik diri dari sumber stres.

  d. Reaksi fisiologis, seperti meningkatnya tekanan darah, meningkatnya detak jantung, berkeringat, dan menyempitnya pembuluh darah periperal. Taylor juga menyatakan bahwa stres dapat mempengaruhi kesehatan karena stres akan mengubah perilaku sehat dan kebiasaan sehat individu yang bersangkutan. Perilaku sehat yang berubah akibat stres misalnya adalah penundaan dalam mencari perawatan meningkat dan berkurangnya kepatuhan, sedangkan kebiasaan sehat antara lain berkurangnya asupan nutrisi, berkurangnya tidur, meningkatnya

  Menurut Crider, Dkk (1983) stres menimbulkan tiga macam reaksi. Ketiga reaksi terhadap stres tersebut antara lain: a. Reaksi Emosional.

  Reaksi emosional yaitu meliputi perasaan cemas, mudah marah, tertekan/ depresi, dan rasa bersalah. Reaksi emosional yang paling sering muncul adalah kecemasan dan depresi. Individu yang mengalami kecemasan akan cenderung merasa khawatir, tegang, gugup, merasa ketakutan tanpa alasan yang jelas, menyalahkan diri sendiri, gemetar, dan sebagainya. Sedangkan individu yang depersi akan merasa sangat sedih dan mudah menangis, merasa tidak berharga, letih/ merasa tidak bertenaga, dan pesimis.

  b. Reaksi Kognitif.

  Reaksi ini tampak dalam berbagai fungsi kognitif seperti berpikir, gambaran mental, konsentrasi, dan ingatan. Stres dapat mengacaukan kemampuan individu yang bersangkutan untuk mengatur pemikirannya secara logis, menimbulkan kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi sering lupa dan bingung, serta menimbulkan mimpi buruk sebagai akibat munculnya gambaran mental yang tidak menyenangkan dan tidak diinginkan saat tidur. Selain itu reaksi kognitif lainnya adalah munculnya pemikiran obsesif, yaitu pemikiran berulang-ulang yang muncul secara tidak tidak disengaja kedalam alam kesadaran individu yang c. Reaksi Fisiologis.

  Reaksi fisiologis akibat stres antara lain detak jantung meningkat, sakit kepala, sembelit/ sulit buang air besar, pening/ pusing, mulut kering, rahang mengencang/ tegang, nyeri otot, gemetar, nyeri pada dada, lemas/ merasa tidak bertenaga pada bagian tubuh tertentu, letih, mual dan gangguan pencernaan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, sering buang air kecil, sulit bernapas.

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres memunculkan beberapa macam reaksi, yaitu: a. Reaksi Emosional.

  Reaksi emosional antara lain meliputi kecemasan, mudah khawatir, merasa tegang dan gugup, merasa ketakutan tanpa alasan yang jelas, mudah marah, tertekan/ depresi, merasa sangat sedih dan mudah menangis, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga, dan pesimis.

  b. Reaksi Fisiologis.

  Reaksi fisiologis akibat stres yaitu detak jantung meningkat, sakit kepala, sembelit/ sulit buang air besar, pening/ pusing, mulut terasa kering, rahang mengencang/ tegang, nyeri otot, gemetar, nyeri pada dada, lemas/ merasa tidak bertenaga pada bagian tubuh tertentu, letih, mual dan gangguan pencernaan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, sering buang air kecil, sulit bernapas.

  c. Reaksi Kognitif.

  Reaksi kognitif meliputi ketidakmampuan atau kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengalami gangguan perhatian, daya ingat menurun, pikiran menjadi kacau dan mudah bingung, munculnya pemikiran obsesif (pemikiran yang berulang – ulang), mimpi buruk, dan munculnya pemikiran yang negatif.

  d. Reaksi Perilaku.

  Reaksi perilaku antara lain berupa tidur tidak teratur atau insomnia (susah tidur), nafsu makan berubah, serta meningkatnya perilaku konfrontatif atau sebaliknya, perilaku menarik diri dari sumber stres.

  3. Penyebab Stres Banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang individu mengalami stres. Davis (1995) menyebutkan ada tiga sumber stres, yaitu:

  a. Lingkungan, meliputi kondisi alam sekitar seperti cuaca, kepadatan, dan sebagainya maupun hubungan sosial seperti tuntutan interpersonal, standar penampilan serta berbagai macam ancaman rasa aman dan harga diri.

  b. Tubuh. Sumber stres yang kedua adalah aspek fisiologis. Perubahan tersebut misalnya pertumbuhan yang cepat pada remaja, manepause pada wanita, proses menua, penyakit, kecelakaan, kurangnya latihan (gerak badan), nutrisi yang buruk, dan gangguan tidur. Reaksi kita pada ancaman dan perubahan lingkungan juga menyebabkan perubahan dalam tubuh yang menyebabkan keadaan stres.

  c. Pikiran. Stres dimulai dari penilaian individu yang bersangkutan terhadap situasi. Dengan kata lain, cara seorang individu menafsirkan, mempersepsikan, dan memberi label pada pengalamannya serta prediksi mengenai masa depan akan menentukan stres individu yang bersangkutan tersebut.

  Morris (1990) menyatakan bahwa stres dapat berasal dari beberapa sumber, antara lain: a. Perubahan. Setiap orang secara umum menginginkan kontinuitas, keteraturan, dan kehidupan yang dapat diprediksi/ diperkirakan. Oleh karena itu, setiap perubahan dan diskontinuitas dalam kehidupan seseorang akan menimbulkan stres.

  b. Gangguan Sehari-hari. Stres juga dapat muncul karena kekacauan- kekacauan kecil serta gangguan sehari-hari seperti terjebak kemacetan lalu lintas, lupa meletakkan kunci, terlibat dalam pertengkaran sepele, dan sebagainya.

  c. Tekanan. Tekanan muncul saat individu merasa dipaksa untuk mempercepat, meningkatkan, atau mengganti tujuan dari perilakunya. Tekanan juga muncul saat individu menghadapi standar kinerja yang lebih tinggi. Ada dua macam tekanan, antara lain: 1) Tekanan Internal, yaitu tekanan yang muncul dari dalam diri individu sendiri, dari idealsime dan tujuan-tujuan pribadi individu sendiri. 2) Tekanan Eksternal, yaitu tekanan yang muncul karena tuntutan dari lingkungan atau dari orang lain. Tekanan eksternal juga muncul saat seseorang berusaha menyenangkan atau memuaskan harapan orang-orang yang penting dalam hidupnya.

  d. Frustrasi. Stres muncul saat seorang individu terhalang dalam usahanya untuk meraih tujuannya. Ada beberapa sumber frustrasi, antara lain:

  1) Penundaan dan Keterlambatan, misalnya saat mengantri, saat menunggu orang lain yang terlambat datang, dan sebagainya.

  2) Kekurangan. Seseorang dapat menjadi frustasi saat tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi keinginannya, saat kemampuan yang dimilikinya tidak cukup untuk menghadapi tugas atau tantangan yang ada, dan sebagainya.

  3) Kehilangan. Saat seseorang kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya, hal tersebut akan menimbulkan frustasi.

  Misalnya kehilangan uang, rusaknya relasi yang penting dengan orang lain, perpisahan atau kematian orang terdekat, dan sebagainya.

  4) Kesalahan. Seseorang akan merasa frustasi saat mengalami kesalahan, karena kesalahan dapat menimbulkan perasaan bersalah. 5) Diskriminasi. Saat seseorang tidak mampu menyelesaikan tujuannya karena faktor jenis kelamin, ras, agama, atau usia; maka mereka akan mengalami frustasi.

  e. Konflik. Konflik muncul saat seseorang mengalami tuntutan atau keinginan yang tidak sesuai dalam banyak hal. Ada tiga jenis konflik, yaitu:

  1) Approach – Approach Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih pilihan yang diinginkan. 2) Avoidance – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih kemungkinan/ pilihan yang tidak diinginkan. 3) Approach – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul karena secara serentak individu tertarik pada sesuatu tetapi disaat yang sesuatu yang disukai individu tersebut memiliki aspek yang tidak disukai atau tidak diinginkan oleh individu tersebut.

  Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa sumber stres, yaitu antara lain: a. Perubahan, baik perubahan yang disebabkan oleh faktor diluar diri individu seperti kondisi lingkungan dan hubungan interpersonal dengan orang lain maupun perubahan yang terjadi pada fisik individu yang bersangkutan.

  b. Gangguan Sehari-hari, yaitu kekacauan-kekacauan kecil serta gangguan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, seperti terjebak kemacetan lalu lintas, lupa meletakkan kunci, terlibat dalam pertengkaran sepele, dan sebagainya.

  c. Frustrasi, yaitu perasaan yang muncul saat seorang individu terhalang dalam usahanya untuk meraih tujuannya. Ada beberapa sumber frustrasi, antara lain penundaan dan keterlambatan, kekurangan, kehilangan, kesalahan, dan diskriminasi.

  d. Konflik, yaitu kondisi yang muncul saat seseorang mengalami tuntutan atau keinginan yang tidak sesuai dalam banyak hal. Ada tiga jenis konflik, yaitu:

  1) Approach – Approach Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih pilihan yang diinginkan. 2) Avoidance – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih

  3) Approach – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul karena secara serentak individu tertarik pada sesuatu tetapi disaat yang sesuatu yang disukai individu tersebut memiliki aspek yang tidak disukai atau tidak diinginkan oleh individu tersebut.

  e. Pikiran, yaitu cara seorang individu menafsirkan, mempersepsikan, dan memberi label pada pengalamannya serta prediksi mengenai masa depan. Selain itu pikiran juga mencakup tekanan yang berasal dari idealsime dan tujuan-tujuan pribadi individu yang bersangkutan.

  Perilaku Asertif C.

  1. Definisi Perilaku Asertif Perilaku asertif berarti mampu menyatakan ide dan perasaan secara terbuka dalam hubungan interpersonal yang efektif (Verderberg,

  1984). Perilaku asertif ini meliputi kemampuan untuk menyatakan pendapat serta keberanian untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perasaan yang dimiliki, namun tidak dengan menyerang orang lain secara pribadi.

  Adams (1995) menyatakan bahwa perilaku asertif berarti mengerti apa yang diperlukan dan diinginkan, menjelaskannya kepada orang lain, bekerja dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan diri

  Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah kemampuan untuk menyatakan ide, pemikiran, perasaan, dan kebutuhan diri sendiri secara jujur dan terbuka serta kemampuan untuk mengambil inisiatif dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi dengan tetap menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain sehingga tidak menyerang atau melukai perasaan lawan bicaranya.

  2. Ciri-ciri Perilaku Asertif Perilaku asertif memiliki beberapa ciri khusus, Zeuschner (1992) menyebutkan ciri-ciri perilaku asertif sebagai berikut: a. Memiliki kemauan untuk berkomunikasi. Artinya berkemauan untuk menyatakan ide, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.

  b. Bertanggung jawab. Artinya bersikap mandiri dengan bertanggung jawab terhadap segala ide dan perasaan yang muncul serta mau mengakui secara jujur ide dan perasaan yang dimilikinya tersebut.

  c. Kemampuan untuk berkomunikasi sesuai dengan norma dan budaya. Artinya cara menyampaikan ide dan perasaannya tidak bertentangan dengan aturan dan budaya sekitarnya.

  d. Terkendali dan terkontrol. Artinya mampu menyampaikan ide, pemikiran, dan perasaan tanpa menyerang atau melukai perasaan lawan bicaranya.

  Adams (1995) meyatakan bahwa perilaku asertif memiliki beberapa ciri sebagai berikut: a. Adanya kemampuan untuk bergaul dengan jujur dan langsung.

  Individu yang berperilaku asertif menyatakan perasaan, kebutuhan- kebutuhan, ide, dan mempertahankan hak mereka tetapi dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan orang lain.

  b. Adanya perilaku yang otentik, apa adanya, terbuka dan langsung.

  c. Kemampuan untuk bertindak demi kepentingan sendiri. Individu yang berperilaku asertif mampu mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya.

  d. Kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan dari orang lain apabila membutuhkannya.

  e. Bila berkonflik dengan orang lain, individu yang berperilaku asertif bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.

  Alberti & Emmons (1987) mengemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam perilaku asertif, yaitu: a. Mengembangkan kesetaraan dalam hubungan antar manusia.

  Individu yang berperilaku asertif menjunjung tinggi persamaan derajat manusia dalam segala bentuk interaksinya dengan individu lain. Individu-individu asertif dapat memahami kelebihan- kelebihan individu lain secara wajar. Mereka tidak merasa rendah diri (minder) karena kekurangannya dan tidak meremehkan b. Bertindak sesuai dengan minat. Individu-individu yang asertif selalu bertindak sesuai dengan yang paling diminati dan berdasarkan motivasi yang muncul dari dalam dirinya. Mereka bertindak tanpa banyak dipengaruhi oleh individu lain. Mereka bertindak sesuai dengan suara hati, dengan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dirasakan. Mereka dapat menentukan sendiri arah hidupnya tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya.

  c. Mempertahankan hak-hak pribadi. Individu yang asertif mampu mempertahankan hak-hak pribadinya tanpa merasa cemas. Mereka mampu untuk berkata ‘tidak’, menetapkan batasan-batasan waktu dan tenaga, menyatakan kekecewaan atau kekesalan, mengekspresikan dukungan atau bantahan terhadap suatu pendapat. Mereka menggunakan hak-hak pribadinya tanpa memungkiri bahwa individu lain juga memiliki hak-hak yang sama. Jadi mereka menyadari akan hak-hak pribadinya dan mempertahankan hak-hak mereka tersebut tanpa melanggar hak-hak individu lain.

  d. Mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman. Yaitu menunjukkan ketidaksetujuan, amarah, rasa persahabatan, perasaan cemas, mengekspresikan kesetujuan atau dukungan, menjadi spontan tanpa merasa cemas. Perilaku asertif ditandai dengan adanya ekspresi yang jelas dan langsung. Individu-individu asertif dapat mengungkapkan seluruh isi pikiran, perasaan, dan kebutuhannya kepada individu lain tanpa ia sendiri merasa cemas, ragu-ragu, atau takut.

  e. Menghormati individu lain, tidak melanggar hak-hak individu lain.

  Individu-individu asertif beranggapan bahwa individu lain adalah pribadi yang memiliki hak-hak yang sama dengan dirinya. Untuk itu individu asertif selalu berusaha menghargai hak individu lain dalam interaksinya dengan individu lain. Individu asertif terbiasa mengembangkan perilaku yang tidak menyerang individu lain, tidak melukai, mengancam, dan tidak menguasai individu lain.

  Individu-individu asertif dapat menghargai pribadi individu lain dengan segala haknya.

  Berdasarkan penjelasan beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

  a. Memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan yang dimiliki seefektif mungkin. Kemampuan berkomunikasi ini meliputi: 1) Bergaul dengan jujur dan langsung. Bersikap otentik, terbuka, dan apa adanya.

  2) Berani mengutarakan pendapat, ide atau pemikirannya. 3) Mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman tanpa merasa cemas, ragu-ragu, atau takut.

  4) Mampu meminta informasi dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkannya.

  b. Mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas.

  c. Dapat berinisiatif dan mandiri. Mampu menentukan sendiri arah hidupnya tanpa dipengaruhi oleh lingkungan atau individu lain.

  Mampu bertindak sesuai dengan suara hati, dengan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dirasakan.

  d. Menghormati hak orang lain. Termasuk didalamnya: 1) Mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melanggar melanggar hak-hak individu lain.

  2) Mampu berkomunikasi secara sopan sesuai dengan norma yang ada sehingga tidak melukai atau menyerang lawan bicara.