GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP DI RSUD SOEDARSO TAHUN 2017

  GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP DI RSUD SOEDARSO TAHUN 2017 SKRIPSI

  Oleh : SITI FATIMAH NPM.121510244 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

  

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK

TAHUN 2017

GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN

TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP

DI RSUD SOEDARSO

TAHUN 2017

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Menjadi

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)

  

Oleh :

SITI FATIMAH

NPM.121510244

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul“GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAPDI RSUD SOEDARSOTAHUN 2017

  ”.Dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Jenjang Pendidikan Strata 1 bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari Skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dilingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.

  Jika dikemudian hari ditemukan kecurangan, maka saya bersedia untuk menerima sanksi berupa pencabutan hak terhadap ijazah dan gelar yang saya terima.

  Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

  Pontianak, 10 Januari 2018 Penulis

  SITI FATIMAH NPM.121510244

BIODATA PENULIS

  Nama : Siti Fatimah TempatTanggalLahir : Pontianak, 14 Februari 1974 JenisKelamin : Perempuan Agama : Islam Nama Orang Tua : Ayah H. Abdul Hamid Semongdan

  IbuHj. SitiSa’adah Nama Suami : H. Z.A. Marwan Fidia, SH, Msi Alamat : Jl. Tabrani Ahmad Komp. GrahaBumiKhatulistiwa

  2 No. A6

JENJANG PENDIDIKAN

  1. SD : SD 6 Pontianak Tahun1981 - 1986

  2. SMP : SMPN5 Pontianak Tahun1986 - 1989

  3. SMA : SMF Yarsi Pontianak Tahun1989 - 1993

  4. S1 : Program StudiKesehatanMasyarakatFakultasIlmuKesehatan, PeminatanKesehatanLingkungan Tahun 2012

  • – 2017

PENGALAMAN PEKERJAAN

  1. PNS Tahun 1995 s.dSekarang

  ABSTRAK FAKULTAS ILMU KESEHATAN SKRIPSI, JANUARI 2018 SITI FATIMAH

  FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI RUANG RAWAT INAP PARU RSUD SOEDARSO PONTIANAK

  VI Bab + 80 Hal + 1 Gambar + 17 Tabel + 18 Lampiran Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC menyerang paru.

Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak prevalensi kasus

TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun 2015 sebanyak 243 kasus

(71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal (19,23%). Pada tahun 2016 sebanyak

283 kasus (73,89%) dengan 61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan

Januari hingga Februari tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di

RSUD Soedarso.Keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru

RSUD Soedarso sebagian besar pasien rawat inap merupakan pasien ulangan dengan

komplikasi.

  Tujuan penelitian Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan analisa data penelitian cross sectional dengan total sampel 42. Hasil penelitian menunjukkan Penderita TB paru yang rawat inap di RSUD

Soedarso didominasi jenis kelamin laki-laki (80%), dengan pendidikan dan

pendapatan yang tergolong rendah rendah (54,8%; 83,3%). Dari sisi kualitas

lingkungan rumah diketahui kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan dan suhu

cenderung tidak memenuhi syarat (95,2%; 54,8%; 92,2%; 69%), sedangkan

merokok dan kelembaban udara cenderung rendah dan memenuhi syarat (31%;

59,5%) Saran bagi Puskesmas untuk berkoordinasi dengan pemda setempat mengatur

regulasi mengenai rumah sehat dengan menciptakan inovasi perilaku dan kebiasaan

hidup sehat serta kepatuhan konsumsi obat TB paru.

  Kata kunci : kebiasaan merokok, lingkungan,penderita TB paru yang rawat inap. Daftar Pustaka : 29 (1999-2017)

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillahirobil’alamin, segalapujisyukurkehadirat Allah SWT yang telahmemberikankekuatandanpetunjuksehinggaskripsidenganjudul “GambaranLingkunganRumahPadaPasienTuberkulosisParu

  Yang RawatInapDiRsudSoedarsoTahun 2017 ” bisaselesaidengansebagaimanamestinya.

  Skripsiinitidakakanterselesaikandengan optimal jikatidakmendapatkanbantuandanmotivasidariberbagaipihak yang ikhlasmemberikanmasukan, kritikdan saran gunakelancarandankemudahandalampenulisanini. Makauntukitu, dengansegalaketulusandankeikhlasanhatipenulisucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnyakepada :

  1. BapakHelmanFachri, SE, MM selakuRektorUniversitasMuhammadiyah Pontianak.

  2. IbuDr. Linda Suwarni, SKM, M.KesselakuDekanFakultasIlmuKesehatanUniversitasMuhammadiyah Pontianak.

  3. Bapak Ismael Saleh, SKM, M.Scselakupembimbingutama yang penuhkesabaranhatitelahbersediameluangkanwaktudalammemberikanbimb ingandanpengarahandalampenyusunanskripsiini.

  4. BapakDediAlamsyah, SKM, M.Kes (Epid) selakupembimbingkedua yang telahmemberikan saran-saran berkaitandenganpenyusunanskripsi.

  5. SeluruhstafdandosenFakultasIlmuKesehatan yang telahmembantukelancaranpenyelesaianpendidikan di FakultasIlmuKesehatan UMP.

  6. Direktur RSUD Soedarso yang telahbersediamemberikanijinuntukmelakukanpenelitiansertamemberikan data-data yang berhubungandenganpenulisanskripsiini.

7. Kedua orang tuaku, suamidananak-anakku yang dengantulusmemberikanmotivasisertado’a.

  8. Rekan-rekan yang namanyatidakmungkindisebutkansatupersatudisini yang telahbanyakmembantubaikmorilmaupun spiritual sehinggapenyusunanskripsiinidapatdiselesaikan. Penulisanskripsiini, penulissangatmenyadarimasihjauhdarisempurna, karenakesempurnaanituhanyamilik Allah SWT semata, sedangkankekurangandankesalahanitudatangnyadaripenulissendiri. Untukitumasukan, kritikdan saran dariberbagaipihaksangatdiperlukan.

  Akhir kata penulisberharapsemogaskripsiini, dapatmemberikanmanfaatbagikitasemua, Amin.

  Pontianak, Januari 2018 Peneliti

  SITI FATIMAH NPM.121510244

  DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. ii

  HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………….. iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……………………….. iv

  BIODATA ……………………………………………………………... v KATA PENGANTAR ………………………………………………… vi DAFTAR ISI …………………………………………………………... viii DAFTAR TABEL ................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii

  BAB I PENDAHULUAN I.1 LatarBelakang…………………………………………

  1 I.2 RumusanMasalah ……………………………………...

  7 I.3 TujuanPenelitian ……………………………………….

  7 I.4 ManfaatPenelitian ……………………………………...

  8 I.5 KeaslianPenelitian ……………………………………..

  9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  II.1 Tuberculosis (TB) …………….………………………… 13

  II.2 SanitasiLingkunganRumah …………………………… 17

  II.3 Faktor-Faktoryang MempengaruhiRawatInapPasien TB Paru

  ………………………………………………… 21

  II.4 KerangkaTeori ………………………………………… 37

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL III.1 KerangkaKonsep ……………………………………… 38 III.2 VariabelPenelitian …………………………………….. 38 III.3 DefinisiOperasional …………………………………… 39 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1 DesainPenelitian ……………………………………… 41

  41 IV.2 WaktudanTempatPenelitian …………………………

  IV.3 PopulasidanSampel ………………………………….. 42

  44 IV.4 TeknikdanInstrumenPengumpulan Data …………….

  IV.5 TeknikPengolahandanPenyampaian Data …………… 46

  IV.6 TeknikAnalisa Data …………………………………… 47

  BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Lokasi dan Gambaran Peneliti

  ………………………… 49

  V.2 Hasil Penelitian …………………………………………50

  V.3 Pembahasan ……………………………………………. 58

  V.4 Keterbatasan Peneliti …………………………………... 79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan

  …………………………………………… 81

  VI.2 Saran ………………………………………………… 86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  DAFTAR TABEL

  Halaman

I.1 KeaslianPenelitian ……………………………………………….. 10

  DAFTAR GAMBAR

  Halaman

II.1 KerangkaTeori ….…………………………………………….

  37 III.1 KerangkaKonsep ……………………………………………...

  38

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1 : PermohonanIjinPenelitian Lampiran 2 : LembarPersetujuanResponden Lampiran 3 : IdentitasResponden Lampiran 4 : Output SPSS Lampiran 5 : Master Rekap Lampiran 6 : Dokumentasi Lampiran 7 : JadwalKegiatanPenelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

  kuman mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2012). Penularan terjadi ketika pasien TB batuk atau bersin, kuman tersebar ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak infeksius tersebut (Kemenkes, 2014).

  Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat secara global. TB paru menduduki peringkat ke 2 sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular setelah Human

  (HIV). Pada tahun 2014 TB membunuh 1,5 juta

  Immuno deficiency Virus

  orang (1,1 juta HIV negatif dan sisanya HIV positif) terdiri dari laki-laki 890.000 jiwa, perempuan 480.000 jiwa dan 140.000 jiwa pada anak-anak. Di Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka insidensi TB sebesar 183 per 100.000 penduduk dengan angka kematian TB sebesar 25 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2014 angka insidensi meningkat menjadi 399 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yang juga meningkat menjadi 41 per 100.000 penduduk (World Health Organization, 2014).

  Diperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan

mycobacterium tuberculosis , bakteri udara yang menyebabkan tuberculosis.

  Sementara prevalensi mycobacterium tuberculosis terendah adalah Amerika Serikat, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan: pada tahun 2006, prevalensi di AS diperkirakan 3,2 orang per 100.000 populasi. Meskipun upaya pengobatan TB sudah dilakukan terutama pada pasien rawat jalan, memeriksa rawat inap untuk pasien TB, namun hal ini masih menjai masalah kesehatan public (Holmquist, dkk., 2008).

  Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama (> 7 hari) justru akan menimbulkan masalah baru. Pada beberapa penelitian diperoleh fakta bahwa pasien yang menjalani rawat inap yang lama meningkatkan risiko reinfeksi TB paru oleh bakteri yang resisten atau akan menjadi TB paru yang MDR (Multi Drug Resistance), meningkatkan resiko depresi dan kecemasan baik pada pasien maupun orang tua pasien, serta kerugian ekonomis (Mulluzi, A.S., 2010).

  Menurut penelitian Nodieva A et al (2008), Rawat inap dalam jangka panjang untuk mengobati orang dengan tuberkulosis (TB), baik TB yang rentan terhadap obat atau yang resistan terhadap obat menempatkan mereka lebih berisiko terhadap infeksi ulang dengan jenis TB yang resistan terhadap berbagai jenis obat (TB-MDR) dan TB yang resistan terhadap berbagai jenis obat secara luas (TB-XDR). Hal ini berdasarkan sebuah penelitian di Latvia yang dipresentasikan dalam World Lung Health Conference di Paris, Prancis.

  Pencegahan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis serupa dengan pencegahan dan pemberantasan pada penyakit menular lainnya yaitu selain menanggulangi penderitanya juga perlu memperhatikan faktor resikonya yaitu faktor lingkungan, karena kondisi lingkungan mempunyai peran cukup besar dalam mempengaruhi derajat kesehatan, di samping perilaku masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan kesehatan termasuk higiene dan sanitasi sangat dipengaruhi oleh kebiasan, status gizi dan cara hidup masyarakat. Sebagian besar penderita TB adalah golongan miskin dan penduduk yang tinggal di pemukiman padat. Hal ini serupa dengan data WHO yang menyatakan bahwa 95% dari angka kematian akibat TB setiap tahun berada di Negara berkembang yang relatif miskin. 75% penderita TB adalah mereka yang berusia produktif secara ekonomi (15-50 tahun) (Supriyo, dkk., 2013).

  Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Hingga tahun 2010 situasi TB di Indonesia tidak mengalami perbaikan sesuai target. Keadaan klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat komplikasi maka pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap (Setiawan, 2010). Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan hampir 85% terjadi pada usia produktif (Sitorus, 2014).

  Karakteristik demografi pasien dirawat di rumah sakit terutama untuk TB dan orang-orang dengan sekunder diagnosis bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Usia rata-rata pasien rawat inap terutama untuk TB adalah 47,9 tahun-lebih dari 10 tahun lebih muda dari usia rata-rata untuk rawat inap rata-rata (58,1 tahun). Itu Rata-rata usia pasien dengan diagnosis sekunder, bagaimanapun, adalah 62,8 tahun, atau empat tahun lebih tua dari rata-rata rawat inap. Pria lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk dirawat di rumah sakit dengan TB. Sebagai kepala sekolah diagnosis, 64,6 persen pasien adalah laki-laki; sebagai diagnosis sekunder, lebih dari setengah (52,3 persen) dari pasien dengan TB adalah laki-laki. Sebaliknya, laki-laki terdiri 46,4 persen tetap untuk rawat inap untuk semua kondisi (Holmquist, dkk., 2008).

  Menurut penelitian Setiawan (2010), distribusi determinan internal pasien rawat inap di RS paru Jember adalah usia >44 tahun, pendidikan rendah, jenis kelamin pria, pekerjaan petani/ buruh, penghasilan rendah, seorang perokok, status gizi underweight, status bakteriologis BTA (-), riwayat terimunisasi BCG. Sedangkan untuk distribusi determinan eksternal didominasi oleh kondisi tempat tinggal yang buruk.

  Pendidikan akan berpengaruh pada pengetahuan dan informasi yang dimiliki responden. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penderita untuk menerima informasi tentang penyakit, terutama TB paru. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya sehingga menyebabkan berkurangnya kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau berhenti berobat bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Yolanda, 2009).

  Selain itu, tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya. Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja, dan sifat sosial-ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu. Pekerjaan juga mempunyai hubungan yang erat dengan status sosial ekonomi, sedangkan berbagai jenis penyakit yang timbul dalam keluarga sering berkaitan dengan jenis pekerjaan yang mempengaruhi pendapatan keluarga (Nur Nasry, 2008).

  Menurut John Gordon, setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda berdasarkan agen, pejamu, atau lingkungannya. Agen pada penyakit TB paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pejamu penyakit ini adalah manusia dimana perilaku hidup seperti kebiasaan merokok dan kepatuhan meminum obat TB, sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain kepadatan penduduk, pencahayaan dan kelembaban (Tosepu R., 2016).

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafri, dkk (2015) menyebutkan bahwa rumah yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang berisiko 8,125 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan rumah responden yang memiliki pencahayaan yang baik . Selain itu kepadatan penduduk, luas ventilasi, kelembapan dan suhu juga menjadi salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi TB. Dimana kepandatan penduduk yang tidak baik memiliki resiko sebesar 13,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai kepadatan hunian yang baik, luas ventilasi yang kurang baik memiliki resiko sebesar 30,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai luas ventilasi yang baik, suhu ruangan yang tidak baik memiliki resiko sebesar 27,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai suhu ruangan yang baik dan kelembapan yang kurang baik memiliki resiko 84,3 kali dibandingkan rumah yang mempunyai kelembapan yang baik (Siregar dkk, 2012).

  Data Riskesdas tahun 2013 diketahui prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 tidak berbeda dengan 2007, yakni berjumlah 0.4%. Prevalensi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9% dan batuk darah 2,8%. Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas.

  Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak diketahui prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun 2015 sebanyak 243 kasus (71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal

  (19,23%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan 61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru RSUD Soedarso mengatakan bahwa sebagian besar pasien rawat inap dengan penyakit TB Paru merupakan pasien ulangan yang memiliki masalah komplikasi kesehatan akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik paru- paru, ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi, perilaku lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan merokok.

  Berdasarkan data tersebut diketahui adanya peningkatan pasien TB paru tahun 2016, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai Gambaran Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap paru RSUD Soedarso Pontianak.

  I.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Lingkungan Rumah Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak?”.

  I.3 Tujuan Penelitian

  I.3.1 Tujuan Umum

  Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.

  I.3.2 Tujuan Khusus

  a. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  b. Untuk mengetahui kebiasaan merokok pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  c. Untuk mengetahui kepadatan hunian pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  d. Untuk mengetahui luas ventilasi pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  e. Untuk mengetahui kondisi pencahayaan pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  f. Untuk mengetahui kelembaban pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

  g. Untuk mengetahui suhu pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

I.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

  Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pengaruh lingkungan terhadap kejadian TB paru.

  1.4.2 Bagi Institusi Terkait

  Bermanfaat bagi RSUD dr. Soedarso Pontianak dalam mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program pencegahan TB Paru.

  1.4.3 Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan

  Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan bisa sebagai data untuk peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi akademik dalam menerapkan ilmu yang digunakan sesuai dengan penerapan yang ada di lapanan selama proses belajar mengajar.

  1.4.4 Bagi Peneliti

  Bermanfaat menambah pengetahuan dan kemampuan penulis dalam penelitian ilmiah di bidang kesehatan, khususnya mengenai kajian tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi TB Paru.

I.5 Keaslian Penelitian

  Tabel I.I Keaslian Penelitian

  No Judul/ Desain Variabel yang Hasil Nama Peneliti/ Penelitian diteliti Penelitian Tahun

  1 Karateristik Case

  V. Independen: Proporsi berdasarkan

  Penderita Control Umur, jenis sosiodemografi dengan Komplikasi Pendidikan, kelompok umur yang Rawat Inap Di pekerjaan, status produktif 15-55 RSUD perawatan, tahun (81,3%), Laki- Rantauprapat

  V. Dependen: laki (90,7%), SD/

  Tahun 2012/ Surya TB Paru Sederajat (52,3%), Honesty Sitorus/ Petani (41,1%), Luar 2012 wilayah Rantauprapat (52,3%), proporsi komplikasi TB paru terbesar Efusi pleura (57,9%). Proporsi berdasarkan status rawatan tertinggi adalah keluhan utama batuk 40,2%, tipe penderita kambuh 71,0%, kategori pengobatan kategori 2 88,8%, lama rawatan rata- rata 5 hari, keadaan sewaktu pulang pulang berobat jalan 49,5%, sumber biaya bukan biaya sendiri 86,0%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan komplikasi, Lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.

  2 Determinan Lama Cross-

  V. Independen: Berdasarkan uji

  Pasien TB Paru Sectional Jenis kelamin, statistik bivariat Menjalani Rawat kebiasaan didapatkan bahwa Inap Di Rumah merokok jenis kelamin dan Sakit Paru Jember/

  V. Dependen: kebiasaan merokok

  Ali Sibra Mulluzi/ Lama rawat inap mempengaruhi lama 2010 pasien TB Paru rawat inap secara signifikan (p<0,05). Sedangkan setelah dilakukan analisis multivariat tidak ada variabel yang mempengaruhi lama rawat inap pasien TB Paru secara signifikan(p>0,05)

  3 Determinan Indikasi Rawat Inap Pada Pasien TB Paru Di Rs Paru Jember/ Bambang Eko Setiawan/ 2010

  Cross- Sectional

  V. Independen:

  determinan internal yaitu : usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kebiasaan merokok, status gizi, status bakteriologis, dan riwayat imunisasi BCG; serta determinan eksternal yaitu: PMO dan kondisi tempat tinggal

  V. Dependen:

  indikasi rawat inap pada pasien TB paru

  Berdasarkan hasil penelitian menggunakan analisis bivariat, determinan internal yang berpotensi berpengaruh adalah usia, pendidikan dan status gizi; sedangkan determinan eksternal yang berpotensi berpengaruh adalah kondisi tempat tinggal. Selanjutnya dari analisis multivariat menggunakan regresi Cox didapatkan hasil bahwa variabel yang dominan berpengaruh adalah usia dan status gizi.

  4 Tuberculosis Stays

  in U.S. Hospitals, 2006/ Laurel

  Holmquist, M.A.,

  C. Allison Russo, M.P.H., and Anne Elixhauser, Ph.D./ 2008

  Kohort

  V. Independen: the characteristics of stays principally for tuberculosis and hospitalizations with a secondary diagnosis

  V. Dependen: Demographic characteristics of patients hospitalized principally for TB and those with a secondary diagnosis varied by age and gender. The mean age of patients hospitalized

  Tuberculosis principally for TB Stays in U.S. was 47.9 Hospitals years —more than 10 years younger than the mean age for the average hospitalization (58.1 years). The average age of patients with a secondary diagnosis, however, was 62.8 years, or four years older than the average hospitalization. Men were more likely than women to be hospitalized with TB. As a principal diagnosis, 64.6 percent of patients were male; as a secondary diagnosis, just over half (52.3 percent) of patients with TB were male. Conversely, men comprised 46.4 percent of stays for hospitalizations for all conditions.

  5 Faktor-Faktor Case-

  V. Independen: Hasil menunjukkan

  Terjadinya Control Kepadatan tidak ada hubungan Tuberkulosis/ hunian rumah, kepadatan hunian Ardhitya Sejati Dan kebiasaan rumah (p Liena Sofiana/ merokok dan value 0,422, OR 2015 status ekonomi 2,250), kebiasaan

  V. Dependen: merokok (p value

  TB 1,000, OR 1,000) dan status ekonomi (p value 1,000, OR

  1,123) dengan tuberculosis Berdasarkan orisinalitas penelitian, persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penilitian terdahulu dapat dilihat dari subjek penelitian, variabel penelitian, metodelogi penelitian, serta tempat dan waktu penelitian.

  1. Variabel penelitian, memiliki persamaan yakni mengenai karakteristik pasien, kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu.

  2. Metode penelitian, memiliki perbedaan, yakni observasional deskriptif dengan pendekan cross sectional.

  3. Subjek penelitian, memiliki perbedaan karena meneliti pada pasien TB paru yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak.

  4. Tempat dan waktu : memiliki perbedaan karena penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Pontianak tahun 2017.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tuberculosis (TB) II.1.1 Etiologi Tuberculosis (TB) Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini

  • – sudah ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000 20.000 tahun yang lalu. Diketahui penyebab penyakit tuberkulosis disebabkan oleh suatu bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat diupayakan berbagai tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang terkait dengan penyakit ini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebar dari seseorang penderita ke orang laian melalui udara. Pada umumnya menginfeksi paru-paru, namun dapat juga menginfeksi bagian lain seperti otak, tulang, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat diobati, namun dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (WHO, 2009).

  Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak (droplet nuclei), dimana sekali batuk/bersih dapat menghasilkan 3000 percikan dahak, percikan ini dapat bertahan lama, namun dengan sinar matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Makin tinggi derajat keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula kuman yang dapat dikeluarkan (Depkes RI, 2006).

  Pada tahun 1944, antibiotik pertama diberikan pada pasien TB kritis dengan menggunakan Streptomysin, dan memberikan efek yang sangat mengesankan dan menunjukan pemulihan yang cepat dari penderita, namun memiliki efek samping pada pendengarannya (terdapat gangguan pada telinga bagian dalam). Ternyata dalam perkembangannya, penggunaan satu macam obat antibiotik memunculkan mutan resistensi obat dalam beberapa bulan.

  Maka pengobatan TB pada saat ini mengunakan 2 -4 paduan regimen antibiotik untuk menghindari timbulnya resistensi. Saat ini pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

  1. Tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi seara langsung mencegah terjadinya resistensi obat, jika diberikan secara tepat maka dalam 2 minggu pasien menjadi tidak menular. Dan sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA - (konversi) dalam 2 bulan.

  2. Tahap lanjutan, pasien akan mendapatkan jenis obat lebih sedikit namun dengan jangka waktu yang lebih lama, hal ini dilakukan untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah kekambuhan.

  Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di indonesia menggunakan 2 kategori/kriteria ditambah dengan paduan obat sisipan (HRZE) (Depkes RI, 2006).

  Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada Penderita baru TBC paru BTA positif dan Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

  Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada Penderita kambuh, Penderita gagal terapi atau Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

  Kategori 3: 2HRZ/4H3R3 DiberikankepadaPenderita BTA (-) dan rontgen paru mendukung aktif. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu :

  1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,

  Pirazinamid . Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan

  toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

  2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, dan Kanamisin.

  Amikasin, Kapreomisin

II.1.2 Tuberkulosis paru

  Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam:

  1. Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis paru aktif.

  2. Tuberkulosis patu BTA negatif. Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis paru aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat atau ringan.

  Tipe penderita di tentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Tjoktonegoro dan Utama dalam retno (2007), tipe penderita di bagi dalam:

  1. Kasus baru adalah penderita yang tidak mendapat obat anti tuberkulosis paru (OAT) lebih dari satu bulan.

  2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah di nyatakan sembuh dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru aktifnya.

  3. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

  4. Kasus kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang di superfisi dengan baik.

  Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi kedalam beberapa tipe, yaitu kasus baru, kambuh (relaps), pindahan (transfer in), setelah lalai (drop-out), gagal dan kasus kronik.

II.2 Sanitasi Lingkungan Rumah Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.

  Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial. Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu. Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

  Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut Winslow dan APHA, rumah yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain (Suyono,2010):

  1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

  a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60

  • – 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 % - 20 % dari luas lantai.
b. Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur ruangan sebesar 18

  ᵒ – 30ᵒ C dengan kelembaban udara sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas lantai.

  c. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dari dalam rumah (termasuk radiasi).

  d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.

  2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis a. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya.

  b. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.

  c. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada perbedaan tingkat yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.

  d. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.

  e. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Orang tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.

  f. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.

  g. Ukuran ruang tidur anak yang berumur  5 tahun sebesar 4,5 m3, dan umurnya 5 tahun adalah 9 m3. Artinya dalam satu ruangan anak yang berumur 5 tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5 x 1 x 3 m3, dan  5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m3.

  h. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan. i. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/ bising hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan.

  3. Pencegahan Penularan Penyakit a. Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.

  b. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat), tikus dan binatang lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.

  c. Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.

  d. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.

  e. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m2 perorang dan tinggi langit-langit maksimal 2,75 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman secara psikologis, sedangkan apabila terlalu sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu dekat kontak.

  f. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari pencemaran atau gangguan serangga, tikus dan debu.

  4. Pencegahan terjadinya Kecelakaan

  a. Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan dan menggantinya dengan udara segar. b. Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah bersarangnya serangga atau tikus,mencegah terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.

  c. Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus memenuhi syarat bangunan sipil, terdiri dari bahan yang baik dan kuat.

  d. Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m, lebar halaman antara atap tersebut minimal sama dengan tinggi atap tersebut.

  Hal ini tidak berlaku bagi perumahan yang bergandengan (couple).

  e. Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar yang rapuh/ mudah patah.

  f. Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan atau racun serangga sembarangan apabila didalam rumah terdapat anak kecil.

  g. Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak, fitting dll) harus memenuhi standar PLN.

  h. Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga minimal 25cm, tinggi anak tangga maksimal 18 cm, kemiringan tangga antara 30 -36.

  Tangga harus diberi pegangan yang kuat dan aman.

II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rawat Inap Pasien TB Paru

  Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Keadaan klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat komplikasi maka pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap. Menurut John Gordon, setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda berdasarkan agen, pejamu, atau lingkungannya.

  Berdasarkan penelitian Setiawan tahun 2010, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rawat inap pasien TB Paru, antara lain:

II.3.1 Karakteristik

  II.3.1. Umur Menurut Notoatmodjo (2011), umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka- angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai berikut :

  1. Menurut tingkat kedewasaan, yaitu :  0-14 tahun : bayi dan anak-anak  15-49 tahun : orang muda dan dewasa  50 tahun keatas : orang tua

  2. Interval 5 tahun :  kurang dari 1 tahun,  1-4 tahun,  5-9 tahun,  10-14, dan seterusnya

  3. Untuk mempelajari penyakit anak  0-4 bulan

   5-10 bulan  11-23 bulan  2-4 tahun  5-9 tahun  9-14 tahun

  Hasil penelitian Sitorus (2014) menyebutkan, proporsi berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun (81,3%). Umur mempengaruhi perjalanan penyakit TB paru dikarenakan semakin bertambahnya usia semakin menurunnya sistem imun tubuh seseorang begitu juga status gizi seseorang. Status gizi yang buruk menyebabkan tubuh menjadi lemah dan memperburuk keadaan klinis pasien tersebut. Determinan pasien dirawat inap berumur diatas 44 tahun (Setiawan, 2010).

  II.3.2. Jenis Kelamin Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan (Sitorus, 2014). Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi pada pria pada semua golongan umur. Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin, atau perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena berperannya faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria merokok, minum-minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan berbahaya, dan seterusnya (Notoatmodjo, 2011).

  II.3.3. Pendidikan Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan. Semakin rendah pendidikan mengakibatkan pengetahuan di bidang kesehatan rendah, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB sehingga pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada (Muaz, 2014).

  Menurut Sadiman tahun 2007 dalam Syafri (2015), tingkat pendidikan responden pada penderita TB Paru BTA + 21,1% tidak sekolah, 52,6% memiliki pendidikan yang rendah (SD-SMP). sedangkan pada kontrol 15,8% tidak sekolah dan 57,9% pendidikan rendah (SD- SMP). Pendidikan yang rendah akan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, karena biasanya mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan.