BAB II AMIR Revisi

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Manajemen Luka Luka bukan hanya masalah ‘lubang pada kulit’ tapi lebih dari itu ada

  

banyak aspek yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai tujuan tertutupnya

‘lubang’ tersebut. Untuk itu perlu sebuah pendekatan sistematis dalam mendesain

kerangka kerja agar tujuan penyembuhan luka dapat tercapai.

  Falanga (2004) mengembangkan kerangka kerja yang dikenal sebagai

TIME untuk mendukung pendekatan yang lebih komprehensif dalam perawatan

luka kronik. Istilah ini kemudian dimodifikasi eleh European Wound Management

Association WBP Advosory Board untuk memaksimalkan penggunaannya agar

lebih universal. Adapun kerangka kerja TIME adalah sebagai berikut: T : Tissue Management.

  

I : Inflammation and infection control.

M : Moisture balance. E : Epithelial (edge) advancement.

a. TIME MANAGEMENT

  Time management atau manajemen jaringan luka ditujukan untuk menyiapkan bantalan luka. Oleh karena itu dipandang perlu untuk segera melakukan debridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dan slough. Debridement dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, yaitu:

1. Autolytic debridement.

  Debridement autolitik didasarkan pada kemampuan macrofag untuk memfagositosis debris dan jarngan nekrotik. Penggunaan Hydrocoloids dan hydrogels digunakan secara luas untuk mendukung lingkungan yang lembab yang akan meningkatkan aktifitas makrofag. Alginat juga dapat

  2. Biological debridement.

  Maggots atau belatung berasal dari larva lalat lucilia sericata yang mensekresikan enzim yang dapat memecah jaringan nekrotik menjadi semi-liquid form (lunak) sehingga dapat dicerna oleh belatung dan hanya meninggalkan jaringan yang sehat (Thomas, 2001).

  3. Enzymatic debridement.

  Debridemen enzimatik juga dapat mendukung autolysis sontohnya penggunaan enzym seperti elastase, collagenase, dan fibrinolysin. Enzim- enzim tersebut dapat melepaskan ikatan jaringan nekrotik terhadap bantalan luka (Douglass, 2003).

  4. Mechanical debridement.

  Metode mechanical debridement antara lain; wet-to-dry dressing dengan menggunakan kasa yang dilembabkan dengan NaCL kemudian ditempelkan pada luka dan dibiarkan mengering, setelah itu diangkat. Cara ini dapat mengangkat slough dan eschar ketika balutan luka diganti namun efek negatifnya menimbulkan nyeri pada pasien dan dapat merusak jaringan yang baru. Irigasi dengan tekanan tinggi juga dapat digunakan dan efektif untuk jumlah bakteri pada luka dibanding dengan mencuci luka dengan cara biasa.

  5. Sharp atau Surgical debridement.

  Merupakan metode debridement yang paling cepat namun tidak cocok untuk semua jenis luka (utamanya luka dengan perfusi jelek) selain itu sharp/surgical debridement dapat menimbulkan resiko perdarahan, oleh karena itu harus dilaksanakan oleh petugas yang telah kompeten, terlatih dan profesional (Faibairn, et el., 2002).

  b.

INFLAMMATION AND INFECTION CONTROL

  Luka kronik selalu dianggap terkontaminasi sehingga terjadi kolonisasi

bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan infeksi. Sibbald (2002)

menggambarkan pentingnya mempertahankan keseimbangan bakteri ketika

luka terkontaminasi atau terkolonisasi oleh bakteri tapi tidak mengganggu

  

proses penyembuhan. Jika luka tidak sembuh dengan penggunaan topical

therapy, penggunaan antibiotic sistemik dapat dipertimbangkan, utamanya jika

terjadi infeksi jaringan dalam.

  Schultz et al. (2003) menekankan pentingnya debridement sebab dapat

mengurangi jumlah bakteri dengan mengangkat jaringan yang mati.

Penggunaan belatung untuk debridement juga sangat berguna bahkan dapat

mencerna dan menghancurkan bakteri, termasuk MRSA (Thomas, 2001).

  Untuk pengunaan antiseptic topical seperti slow-release silver dan iodine

hanya menunjukkan efektifitas dalam dua minggu (Edmonds et al.,

2004;Moffat et al., 2004). Topical antibiotic sangat tidak direkomendasikan

karena resiko resistensi.

  c. . MOISTURE BALANCE Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang,

hingga banyak. Luka dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan

maserasi pada kulit sekitar luka dilain pihak luka dengan eksudat sedikit atau

tidak ada dapat menjadi kering. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan

kelembaban pada luka. Untuk menjaga keseimbangan kelembaban (moisture

balance) pada luka maka dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

  

1. Untuk luka dengan eksudat yang sangat banyak, gunakan balutan yang

memiliki daya serap yang tinggi. Contohnya alginate, foams, dan hydrofiber dressing. Bila tidak ada dapat dimodifikasi misalnya penggunaan pampers dan pembalut.

  

2. Untuk luka dengan eksudat yang produktif seperti sinus dan fistula, dapat digunakan ‘system kantong’ untuk menampung eksudat. ‘system kantong’ dapat mencegah resiko kontaminasi kulit sekitar luka (yang mungkin masih sehat) dari eksudat, volume dan warna eksudat dapat dipantau, dan bau eksudat dapat dikontrol. Untuk aplikasi ‘system kantong’ dapat digunakan stoma bag, urostomy bag, fistula bag, atau bila tidak ada dapat digunakan ‘parcel dressing’. Apapun metode yang digunakan untuk menciptakan moisture balance,

yang paling penting adalah perawatan kulit sekitar luka. Eksudat yang berlebihan dapat menimbulkan maserasi atau dermatitis irritant (Cutting & White, 2002).

d. EPHITELIAL (EDGE) ADVANCEMENT

  Penyembuhan luka bukan hanya menyiapkan bantalan luka, tapi yang juga tak kalah penting adalah menyiapkan tepi luka (wound edge). Selama ini dalam perawatan luka kita hanya berfokus pada lukanya dan mengabaikan perawata kulit sekitar luka. Tepi luka yang berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.

  Untuk perawatan tepi luka dapat dilakukan dengan mengontrol eksudat

agar tidak mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka

B. Tipe Penyembuhan Luka

  X Menurut Carville K (2007), luka dapat juga diklasifikasikan berdasarkan dari proses penyembuhan lukanya. Tipe penyembuhan luka dapat

  : dibedakan menjadi tiga, yaitu

  1. Penyembuhan Primer Penyembuhan luka dengan alat bantu seperti jaritan, klip atau tape. Pada penyembuhan primer ini, kehilangan jaringan minimal dan pinggiran luka ditutup dengan alat bantu. Menghasilkan skar yang minimal. Misalnya; luka operasi, laserasi dan lainnya.

  2. Penyembuhan Sekunder Penyembuhan luka pada tepi kulit yang tidak dapat menyatu dengan cara pengisian jaringan granulasi dan kontraksi. Pada penyembuhan ini, terdapat kehilangan jaringan yang cukup luas, menghasilkan scar lebih luas, dan memiliki resiko terjadi infeksi. Misalnya pada leg ulcers, multiple trauma, ulkus diabetik, dan lainnya

  3. Penyembuhan Tersier Ketika luka terinfeksi atau terdapat benda asing dan memerlukan perawatan luka/ pembersihan luka secara intensif maka luka tersebut termasuk diprioritaskan menutup dalam 3-5 hari berikutnya. Misalnya luka terinfeksi, luka infeksi pada abdomen dibiarkan terbuka untuk mengeluarkan drainase sebelum ditutup kembali, dan lainnya.

C. Proses Penyembuhan Luka

  Proses penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis (Hutchinson J, 2010). Proses ini tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endegon seperti; umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik . Fase-fase penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase (Hutchinson J, 2010), yaitu;

  1. Fase Inflamasi Fase yang terjadi ketika awal terjadinya luka atau cedera (0-3 hari).

  Pembuluh kapiler yang cedera mengalami kontraksi dan trombosis memfasilitasi hemostasis. Iskemik pada luka melepaskan histamin dan agen kimia vasoaktif lainnya yang menyebabakan vasodilatasi disekitar jaringan. Aliran darah akan lebih banyak ke daerah sekitar jaringan dan menghasilkan eritema, pembengkakan, panas dan rasa tidak nyaman seperti rasa sensasi berdenyut. Respon pertahanan melawan patogen dilakukan oleh PMN (Polimononuklear) atau leukosit dan makrofag ke daerah luka. PMN akan melindungi luka dari invasi bakteri ketika makrofag membersihkan debris pada luka.

  2. Fase Rekontruksi Fase ini akan dimulai dari hari ke-2 sampai 24 hari (6 minggu).

  Fase ini dibagi menjadi fase destruktif dan fase proliferasi atau fibroblastik fase. Ini merupakan fase dengan aktivitas yang tinggi yaitu suatu metode pembersihan dan penggantian jaringan sementara. PMN akan membunuh bakteri patogen dan makrofag memfagosit bakteri yang mati dan debris dalam usaha membersihkan luka. Selain itu, makrofag juga sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena dapat menstimulasi fibriblastik sel untuk membuat kolagen

  Angiogenesis akan terjadi untuk membangun jaringan pembuluh darah baru. Kapiler baru yang terbentuk akan terlihat pada kemerahan (ruddy), jaringan granulasi tidak rata atau bergelombang (bumpy). Migrasi sel epitel terjadi diatas dasar luka yang bergranulasi. Sel epitel bergranulasi dari tepi sekitar luka atau dari folikel rambut, kelenjar keringat atau kelejar sebasea dalam luka. Mereka nampak tipis, mengkilap (translucent film) melewati luka. Sel tersebut sangat rapuh dan mudah dihilangkan dengan sesuatu yang lain daripada pembersihan dengan hati- hati. Migrasi berhenti ketika luka menutup dan mitosis epetilium menebal ke lapisan ke 4-5 yang diperlukan untuk membentuk epidermis

  Fase kontraksi terjadi selama proses rekonstruksi yang menggambarkan tepi luka secara bersamaan dalam usaha mengurangi daerah permukaan luka, sehingga pengurangan jumlah jaringan pengganti diperlukan. Kontraksi luka terlihat baik diikuti dengan pelepasan selang drainase luka. Pada umumnya, 24-48 jam diikuti dengan pelepasan selang drain, tepi dari sinus dalam keadaan tertutup

  3. Fase Maturasi Merupakan fase remodeling, dimana fungsi utamanya adalah meningkatkan kekuatan regangan pada luka. Kolagen asli akan diproduksi selama fase rekonstruksi yang diorganisir dengan kekuatan regangan yang minimal. Selama masa maturasi, kolagen akan perlahan-lahan digantikan dengan bentuk yang lebih terorganisasi, menghasilkan peningkatan kekuatan regangan. Ini bertepatan dengan penurunan dalam vaskularisasi dan ukuran skar. Fase ini biasanya membutuhkan waktu antara 24 hari sampai 1 tahun.

  Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan semua cedera jaringan lunak, baik luka ulseratif kronik (dekubitus dan ulkus tungkai), luka traumatis (laserasi, abrasi, luka bakar atau luka akibat pembedahan. Pada gambar 3 dapat fase maturasi dan pada bagan 1 dapat dilihat bagaimana fisiologi penyembuhan luka.

D. Manajemen Penyembuhan Luka

  Manajemen luka sebelumnya tidak mengenal adanya lingkungan luka yang lembab. Manajemen perawatan luka yang lama atau disebut metode konvensional hanya membersihkan luka dengan normal salin atau ditambahkan dengan iodin povidine, kemudian di tutup dengan kasa kering. Tujuan manajemen luka ini adalah untuk melindungi luka dari infeksi (Carville, 2010). Ketika akan merawat luka di hari berikutnya, kasa tersebut menempel pada luka dan menyebabkan rasa sakit pada klien, disamping itu juga sel-sel yang baru tumbuh pada luka juga rusak.

  Menurut Carville K (2007) manajemen luka yang dilakukan tidak hanya melakukan aplikasi sebuah balutan atau dressing tetapi bagaimana melakukan perawatan total pada klien dengan luka. Manajemen luka ditentukan dari pengkajian klien, luka klien dan lingkungannya serta bagaimana kolaborasi klien dengan tim kesehatan. Tujuan dari manajemen luka, yaitu:

  1. Mencapai hemostasis

  2. Mendukung pengendalian infeksi

  3. Membersihkan (debride) devaskularisasi atau material infeksi

  4. Membuang benda asing 5. Mempersiapkan dasar luka untuk graft atau konstruksi flap.

  6. Mempertahankan sinus terbuka untuk memfasilitasi drainase

  7. Mempertahankan keseimbangan kelembaban

  8. Melindungi kulit sekitar luka

  9. Mendorong kesembuhan luka dengan penyembuhan primer dan penyembuhan sekunder Beberapa dekade ini, metode konvensional sudah tidak digunakan lagi, walaupun masih ada rumah sakit tertentu terutama di daerah yang jauh dari kota masih menerapkannya. Manajemen luka yang lama diganti dengan menciptakan lingkungan luka yang lembab untuk mempercepat proses penyembuhan luka (moist wound healing).

  Perkembangan moist wound healing diawali pada tahun 1962 oleh Winter, yang melakukan penelitian eksperimen menggunakan luka superfisial pada babi (Rainey J, 2002). Setengah dari luka ini dilakukan teknik perawatan luka kering dan sebagian ditutupi polythene sehingga lingkungan luka lembab. Hasilnya menunjukkan bahwa perawatan luka dengan polythene terjadi epitelisasi dua kali lebih cepat dari pada perawatan luka kering. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan luka yang kering menghalangi sel epitel yang migrasi di permukaan luka, sedangkan dengan lingkungan lembab sel-sel epitel lebih cepat migrasinya untuk membentuk proses epitelisasi (Carville K, 2007).

  Moist wound healing merupakan suatu metode yang mempertahankan lingkungan luka tetap lembab untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka (Carville K, 2007). Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan

  

occlusive dressing/ semi-occlusive dressing. Dengan perawatan luka tertutup

  (occlusive dressing) maka keadaan yang lembab dapat tercapai dan hal tersebut telah diterima secara universal sebagai standar baku untuk berbagai tipe luka. Alasan yang rasional teori perawatan luka dengan lingkungan luka yang lembab adalah:

  1. Fibrinolisis; Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dengan cepat dihilangkan (fibrinolitik) oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.

  2. Angiogenesis; Keadaan hipoksi pada perawatan tertutup akan lebih merangsang lebih cepat angiogenesis dan mutu pembuluh kapiler.

  Angiogenesis akan bertambah dengan terbentuknya heparin dan tumor nekrosis faktor – alpha (TNF-alpha)

  3. Kejadian infeksi lebih rendah dibandingkan dengan perawatan kering (2,6% vs 7,1%)

  4. Pembentukan growth factors yang berperan pada proses penyembuhan

  Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Interleukin 1/Inter-1 adalah

  substansi yang dikeluarkan oleh magrofag yang berperan pada angiogenesis dan pembentukan stratum korneum. Platelet Derived Growth

  Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor- beta (TGF-beta) yang

  dibentuk oleh platelet berfungsi pada proliferasi fibroblast

  5. Percepatan pembentukan sel aktif; Invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit, dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.

  Keuntungan lainnya menggunakan moist wound healing juga akan mengurangi biaya perawatan pada klien dan mengefektifkan jam perawatan perawat di rumah sakit (Rainey J, 2002). Untuk menciptakan kelembaban lingkungan luka maka diperlukan pemilihan balutan luka atau dressing yang tepat. Dressing yang ideal digunakan untuk menciptakan lingkungan lembab, . yaitu occlusive dressing/ semi-occlusive dressing

  Occlusive dressing adalah penutupan luka dengan menggunakan

  balutan tertentu seperti transparan film atau hidrokoloid untuk menciptakan lingkungan luka yang lembab. Occlusive dressing memberikan pengaruh pada luka dengan menjaga kelembaban di dasar luka. Kelembaban tersebut akan melindungi permukaan luka dengan mencegah kekeringan (desiccation) dan cedera tambahan . Selain itu, balutan tertutup juga dapat mengurangi risiko infeksi. Menurut penelitian Holm (1998) pada luka pembedahan abdominal ditemukan perbedaan signifikan angka kejadian infeksi pada perawatan luka dengan occlusive dressing (3%) dan perawatan luka konvensional (14%) (Burrows E, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al pada tahun 1996, menunjukkan bahwa balutan hidrokoloid dengan occlusive dressing lebih efektif, efisiensi waktu dan cost efektif daripada kasa basah dan kering.

  Tujuan manajemen luka selain mempertahankan keseimbangan kelembaban (moist wound healing) dengan occlusive dressing adalah mempersiapkan dasar luka sebelum dilakukan pemasangan graft atau flap konstruksi. Menurut Scnultz et al (2003), mempersiapkan dasar luka atau disebut wound bed preparation adalah manajemen luka untuk mempercepat terapeutik lainnya (Carville K, 2007). Sedangkan Falanga (2004) menyatakan bahwa manajemen luka dengan wound bed preparation memiliki tahapan- tahapan yang disingkat dengan TIME, yaitu; tissue management (manajemen jaringan), infection or inflammation control (pengendalian infeksi), moisture

  

balance (keseimbangan kelembaban), dan edge of wound (pinggiran luka)

  (Carville K, 2007). Pelaksanaan wound bed preparation dengan TIME, yaitu;

  1. Manajemen Jaringan X Cara melakukan manajemen jaringan adalah dengan debridemen surgikal (sharp debridement), conservative sharp wound debridement

  (CSWD), enzimatik debridemen, autolitik debridemen, mekanik debridemen, kimiawi debridemen dan biologikal atau parasit debridemen

  2. Mengendalikan Infeksi dan Inflamasi Dapat mengenal dan mengatasi tanda inflamasi (tumor, rubor, calor,

  

dolor) dan tanda infeksi (eksudat purulen). Balutan yang dapat digunakan

  untuk mengembalikan keseimbangan bakteri yaitu; cadexomer iodine powder/ paste/sheet dressing, povidine iodine impregnated tulle gras, chlorhexidine impregnated tulle gras, madu luka, silver impregnated dressing.

  3. Mempertahankan Keseimbangan Kelembaban Berdasarkan penelitian Winter tahun 1962, menyatakan kelembaban pada lingkungan luka akan mempercepat proses penyembuhan luka. Dengan demikian, untuk menciptakan lingkungan luka yang lembab maka diperlukan pemilihan balutan atau dressing yang tepat. Pemilihan balutan akan dipengaruhi oleh hasil pengkajian luka yang dilakukan, seperti; apakah luka kering, eksudat minimal, sedang atau berat, oedem yang tidak terkontrol.

  Berikut balutan yang dapat mengoptimalkan keseimbangan kelembaban yang dapat digunakan secara occlusive/ tertutup atau compression/ kompresi; a. Luka kering; hidrogel, hidrokoloid, interaktif balutan basah

  b. Minimal eksudat; hidrogel, hidrokoloid, semipermeabel film, kalsium alginate c. Eksudat sedang; kalsium alginat, hidrofiber, hidrokoloid pasta, powder d. Eksudat berat; balutan hidrofiber, foam sheet/cavity, ektra balutan absorben kering, kantung luka/ostomi.

  4. Kemajuan Tepi Luka Epitelisasi pada tepi luka memerlukan perhatian khusus terhadap adanya pertumbuhan kuman dan hipergranulasi yang dapat menghambat epitelisasi dan penutupan luka. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengontrol hipergranulasi sehingga tepi luka dapat menyatu, antara lain; a. Pemberian topikal antimikroba untuk mengtasi keseimbangan bakteri

  b. Hipertonik impregnated dressing untuk mengendalikan edema dan keseimbangan bakteri c. Tekanan lokal menggunakan foam dressing dan perban kompresi atau tape fiksasi d. Konservatif debridemen luka tajam (CSWD)

  e. Kimiawi debridemen dengan silver nitrat atau cooper sulfate (dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan nekrosis jika tidak digunakan hati- hati)

  f. Topikal kortikosteroid