PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI SKRIPSI
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI- – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi
Program Studi Ilmu Teologi
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI- – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
SKRIPSI PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI Oleh: HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
Telah disetujui oleh: Pembimbing I tanggal, .................................
Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr
Pembimbing II tanggal, .................................
Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil.
SKRIPSI PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI Oleh: HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal ........................................... dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji Nama lengkap Tanda tangan Ketua : Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr ............................
Sekretaris : Dr. YB. Prasetyantha, MSF ............................ Anggota : Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil. ............................
Yogyakarta, .............................
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul:
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Juni 2013 Penulis,
Hieronymus Rony Suryo Nugroho NIM: 096114044
Karya tulis ini saya persembahkan kepada:
Gereja Keuskupan Agung Semarang dan para pembaca
Quaerite Deum per musicam “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mzm 23:6).
ABSTRAK
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Kekayaan budaya Jawa ini dipandang oleh Gereja sebagai peluang untuk pewartaan Injil dan ungkapan iman umat kepada Allah. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat, serta “memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi pelbagai suku dan bangsa
” (SC 37) tersebut. Keterbukaan dari Gereja dan budaya Jawa ini, mendorong adanya inkulturasi demi pewartaan Injil kepada umat Jawa. Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Fakta menunjukkan bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi mulai dari gending-gending perintis ciptaan C. Hardjasoebrata pada tahun 1926 sampai sekarang. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi? Bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus? Bagaimana tangga nada pelog dapat menjadi dasar untuk nyanyian proprium maupun ordinarium, bahkan aklamasi dan lagu prefasi?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog terutama yang terdapat dalam buku Kidung Adi, apakah cocok dengan teori-teori teologi inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu umat untuk berkonsentrasi dalam menanggapi pewahyuan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain.
Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi (bdk. SC 14). Umat dapat mengetahui dan mengerti apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa Jawa. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam liturgi.
Gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dikarang dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana.
ABSTRACT
Java has a rich cultural wealth in the form of Javanese gamelan music, with all its musical instruments and gendings. The Church has a look at this cultural wealth as an opportunity for evangelization and expression of faith for the people of God. The Church looks at the local culture positively,
“to respect and foster the genius and talents of the various races and peoples” (SC 37). The openness of both sides, the Church and Javanese culture, encourages inculturation for the evangelization to the Javanese peoples.
The concern to be addressed in this essay is the role and meaning of pelog scales in the liturgy. The evidences suggest that the pelog scales get more proportion in the Kidung Adi and in sacred gendings created by C. Hardjasoebrata. Basically the question is why pelog scales are used in the liturgy? How do the songs based on pelog scales can help the faithful in living the Paschal Mystery: the passion, death and resurrection of Christ? The method used by the author is the study of literature and interviews. The author uses books dealing with Javanese gamelan music, Javanese culture, liturgy in general, inculturation theology, liturgical inculturation music, and church documents regarding liturgical music. People who will be interviewed are the composers of sacred gendings. Analysis of the role and meaning of pelog scales in the liturgy will be pursued through analysis of the sacred gendings based on pelog scales which were matched with the theories of inculturation theology and church documents.
Pelog scales need special attention in intonation. It takes concentration when singing this scales. Concentration, searching, and longing of man to God, are similar to the process in singing pelog scales. Concentration in singing the pelog scales helps the singers to concentrate on responding to God’s revelation through liturgy. Finding God in unity with others.
The sacred gendings encourage the faithful to participate fully, consciously and actively in liturgy (cf. SC 14). People can know and understand what they express through the songs, for the songs are in accordance with the Javanese culture. Javanese people can know and understand what is revealed and expressed through the sacred gendings. Team working in singing the gendings and playing the gamelan also reflects togetherness and participation of the faithful in the liturgy.
The sacred gendings clarify Christ’s Mistery. The texts of the sacred gendings clarify the mistery, because they are composed based on the Scipture and liturgical sources. The melodies based on pelog scales, require contrentration in singing, the pelog scales can generate various moods.
KATA PENGANTAR
Tidak jarang muncul komentar, bahwa Misa bahasa Jawa dengan iringan gending Gereja itu lama dan membosankan. Lagunya lambat, bahasanya kurang dimengerti, membuat ngantuk, dan hanya dihadiri oleh orang-orang tua. Anak- anak muda yang gaul bisa jadi lebih memilih untuk Misa di tempat-tempat yang iringannya bersemangat, bahasanya dimengerti, dan memungkinkan mereka untuk bertemu dengan orang-orang seusia mereka. Kata gaul menjadi acuan bagaimana mereka harus bersikap dan menciptakan relasi dengan yang lain.
Musik gamelan Jawa yang terkesan berat dan sulit untuk dipahami ini mencerminkan kedalaman maknanya. Musik gamelan Jawa mengandung nilai filosofis dan religius yang tinggi, sehingga tidak begitu saja bisa dicerna sambil sepintas lalu. Dibutuhkan refleksi yang mendalam dan konsentrasi yang penuh. Ketika musik gamelan Jawa mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja, makna dan nilainya diperbarui sesuai dengan semangat liturgi Gereja. Gending Gereja pun menjadi bagian integral dari liturgi, yang dapat membantu umat dalam merayakan Misteri Paskah dan mengungkapkan imannya. Konsentrasi dan refleksi semakin dibutuhkan dalam menyanyikan dan memainkan gending Gereja.
Gending Gereja memang menggunakan kedua tangga nada: slendro dan pelog. Namun, tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih di dalam gending Gereja. Tangga nada ini memang berbeda dengan tangga nada diatonis yang sudah biasa dikenali melalui musik Barat dan musik-musik popular. Ada suatu suasana tertentu yang dibawa dan muncul dari geding-gending Gereja yang dibuat dengan tangga nada ini. Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk secara lebih jauh membahas mengenai “Peran dan Makna Tangga Nada Pelog di dalam Liturgi”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kesulitan dan tantangan. Kendati demikian, banyak pihak telah membantu penulis untuk tetap bertahan dalam proses yang panjang ini. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan rasa syukur kepada Allah atas kehadiran pribadi-pribadi yang membantu dan memberikan semangat kepada penulis:
1. Rm. Karl-Edmund Prier, SJ., selaku pembimbing pertama yang dengan penuh kesabaran, kerendahan hati, ketelitian, ketekunan dan kasih, menuntun penulis, memberikan masukan dan komentar-komentar yang membangun.
2. Rm. J. Kristanto, Pr., selaku Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang dalam masa pendidikan di seminari tercinta ini. Terima kasih juga atas dukungan dan fasilitas yang disediakan.
3. Rm. Rubiyatmoko, Pr., selaku pembimbing rohani penulis, yang selalu memberikan peneguhan dan bersedia mendengarkan keluh kesah penulis.
4. Keluarga tercinta: Bapak Suparjana (Pak John) dan Ibu Muryanti, yang tidak henti-hentinya mendukung dan mengingatkan penulis untuk secara serius menjalani panggilan dan mengerjakan skripsi. Mas Raymond, Mbak Emtha, Arvin dan Mbak Ita (Sr. Rita, AK), yang dengan cara mereka masing-masing mendukung penulis.
5. Teman-teman angkatan: Ontong, Bang Jack, Yusti, Pras, Graha, Bang Tom, Ipung, Adi, Nanung, Andri, Ari, dan Ivan, yang telah memberikan semangat dan inspirasi bagi penulis dalam hidup keseharian.
6. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, yang telah menciptakan suasana kondusif dan mendorong penulis untuk mengerjakan dan menyelesakan skripsi ini.
7. Untuk semua orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan berbagai macam dukungan: doa, sapaan, ejekan, canda, peringatan, paket, buku-buku, mengajari metode penelitian, dll. Penulis sungguh merasa diteguhkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan di sana-sini yang perlu diperbaiki. Maka, sumbangan kritik dan saran demi semakin baiknya skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi kecil ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Yogyakarta, 13 April 2013 Hieronymus Rony Suryo Nugroho
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii ABSTRACT ....................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Metode Penulisan ............................................................................... 6
1.4 Tujuan Penulisan ................................................................................ 6
1.5 Sistematika Penulisan ......................................................................... 7
BAB II. TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK GAMELAN JAWA .......................................................................... 9
2.1 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa ............................. 10
2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa ................................................ 20
2.1.1 Tangga Nada Slendro ....................................................................... 23
2.1.2 Tangga Nada Pelog .......................................................................... 26
2.3 Bentuk Gending pada Umumnya ..................................................... 29
2.3.1 Jenis-jenis Tembang ......................................................................... 29
2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit ............................................................. 29
3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition) ............................... 62
3.2.6 Dimensi Kristologis.......................................................................... 78
3.2.5 Dimensi Ekklesiologis...................................................................... 75
3.2.4 Dimensi Liturgis ............................................................................... 73
3.2 Inkulturasi Musik Liturgi ................................................................. 73
3.1.5.3 Metode Pengembangan Organis (Organic Progression) ................. 71
3.1.5.2 Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation)........................... 70
3.1.5.1 Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence) ....................... 69
3.1.5 Metode-metode Inkulturasi .............................................................. 69
3.1.4.4 Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam ....................... 66
3.1.4.3 Tahap Ketiga: Penyesuaian .............................................................. 65
3.1.4.2 Tahap Kedua: Penerjemahan ............................................................ 63
3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi ....................................................... 61
2.3.1.2 Tembang Tengahan atau Madya ...................................................... 31
3.1.3 Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi ...................................... 54
3.1.2 Teologi Inkulturasi ........................................................................... 50
3.1.1 Istilah Inkulturasi.............................................................................. 45
3.1 Inkulturasi Liturgi ............................................................................ 45
BAB III. DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA .......................................................................................... 45
2.6 Rangkuman....................................................................................... 43
2.5 C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa ...... 39
2.4 Perbandingan Musik Barat dan Timur ............................................. 37
2.3.2 Jenis-jenis Gending .......................................................................... 34
2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain ......................................................... 33
2.3.1.4 Tembang Dolanan ............................................................................ 32
2.3.1.3 Tembang Gedhe atau Ageng ............................................................ 31
3.3 Rangkuman....................................................................................... 81
BAB IV. SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI ............................................. 83
4.1.2.1 Syair Lebih Diutamakan................................................................... 99
5.2 Saran .............................................................................................. 123
5.1 Kesimpulan..................................................................................... 118
BAB V. PENUTUP ..................................................................................... 118
4.2.4 Kesimpulan..................................................................................... 116
4.2.3 Dimensi Kristologis........................................................................ 113
4.2.2 Dimensi Ekklesiologis.................................................................... 111
4.2.1 Dimensi Liturgis ............................................................................. 109
4.2 Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ..................................... 108
4.1.2.3 Kesimpulan Segi Komposisi .......................................................... 108
4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan .................................................... 101
4.1.2 Segi Komposisi ................................................................................ 99
4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ........................... 84
4.1.1.6 Kesimpulan Perkembangan Historis ................................................ 99
c) Anamnesis ........................................................................................ 98
b) Prefasi ............................................................................................... 97
a) Aklamasi........................................................................................... 95
4.1.1.5 Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese .................................. 95
4.1.1.4 Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara .......................... 93
4.1.1.3 Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa....................................... 90
4.1.1.2 Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin ...................................... 88
4.1.1.1 Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa .............................. 85
4.1.1 Segi Historis ..................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 126
LAMPIRAN 1 .................................................................................................. 133
LAMPIRAN 2 .................................................................................................. 142
LAMPIRAN 3 .................................................................................................. 150
LAMPIRAN 4 .................................................................................................. 163
LAMPIRAN 5 ................................................................................................. 182
DAFTAR SINGKATAN A.
Kitab Suci
Kej : Kejadian Mzm : Mazmur Yoh : Yohanes Kis : Kisah Para Rasul B.
Dokumen-dokumen Gereja
LRI : De Liturgia Romana et Inculturatione, Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40 secara Benar
LU : Liber Usualis MS : Musicam Sacram, Instruksi tentang Musik Liturgi PUMR : Pedoman Umum Misale Romawi, Terjemahan resmi Institutio
Generalis Missalis Romani , 2000
RM : Redemptoris Missio, Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Tugas Perutusan Gereja
SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci
UL : Universa Laus, Dokumen Lembaga Internasional untuk Musik Gereja, 1980 C.
Lain-lain
Art. : artikel Bdk. : bandingkan KA : Kidung Adi, Buku Sembahyangan saha Kekidungan (Buku Doa dan Nyanyian) KSG : Kula Sowan Gusti, Kumpulan Gending-gending Gereja Ciptaan
C. Hardjasoebrata KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Lih. : lihat M : Masehi PML : Pusat Musik Liturgi PS : Puji Syukur TPE : Tata Perayaan Ekaristi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Tangga nada slendro ................................................................. 24Gambar 2.2 : Interval pertama tangga nada slendro ........................................ 24Gambar 2.3 : Interval kedua tangga nada slendro ........................................... 24Gambar 2.4 : Pelog pathet nem ........................................................................ 26Gambar 2.5 : Pelog pathet barang ................................................................... 27Gambar 2.6 : Pelog pathet lima ...................................................................... 28Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431) .......................................... 35Gambar 2.8 : Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434) ........................................ 35Gambar 2.9 : Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378) ............................ 35Gambar 2.10: Skema ketuk kerep .................................................................... 36 Gambar 2.11: Skema ketuk awis ...................................................................... 36
Gambar 4.1 : Minggah Ing Pirdus (KA 93) ................................................... 86Gambar 4.2 : Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384) ...... 87Gambar 4.3 : Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957) ....................... 88Gambar 4.4 : Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A) 89Gambar 4.5 : Memujia Pangeran (KA 156) ................................................... 91Gambar 4.6 : Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1) ......................... 94Gambar 4.7 : Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67) ........................ 96Gambar 4.8 : Pola lagu 9 (TPE 2005) ............................................................. 97Gambar 4.9 : Anamnese III (KA 127) ............................................................ 98Gambar 4.10 : Refren dan bait pertama lagu Pindha Sangsam (KA 241)...... 115BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu bangsa dikenal lewat kebudayaannya. Kebudayaan tersebut dapat terwujud melalui berbagai macam hal, seperti bahasa, nyanyian, lukisan, tarian, sifat-perangai, ibadat, dll. Kebudayaan, dengan segala kompleksitasnya tersebut, ada dan berkembang beriringan dengan perkembangan bangsa. Kebudayaan tidak pernah bisa terlepas dari bangsa. Kebudayaan terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Di dalamnya diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia,
1 asal-usulnya dan tujuannya .
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Cara memainkannya yang komunal dan komposisinya yang unik membuat gamelan Jawa diminati oleh banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, musik gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, yang intervalnya 1 berbeda dengan tangga nada diatonis yang biasa dikenal.
Hans Bernhard Meyer SJ, seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi,
Gamelan Jawa tidak dapat dimainkan sebagaimana mestinya, jika tidak dilakukan secara bersama-sama. Dibutuhkan suatu kerjasama dan gotong-royong antar pemain sehingga keindahan lagu dapat diproduksi. Suara bonang barung akan menjadi semakin indah, jika didampingi oleh bonang penerus. Demikian pula, suara gong akan menjadi indah dan bermakna, jika diletakan dalam kesatuan permainan seluruh instrumen gamelan. Lebih jauh dari itu, keindahan lagu tidak semata muncul dari ketepatan cara memainkannya, tetapi juga karena kesatuan rasa antar pemain dan antara pemain dengan musik yang dimainkannya.
Tembang-tembang, sebagai musik vokal, diciptakan dengan bentuk dan aturan yang ketat dan jelas, menggunakan permainan kata, serta memiliki syair yang bernas. Untuk tembangnya, orang harus memperhitungkan bunyi akhir, jumlah suku kata, banyaknya baris di dalam bait, dan bentuk lagunya. Sebagai contoh, tembang Maskumambang, yang termasuk dalam kelompok tembang macapat, memiliki aturan 12i, 6a, 8i, 8a. Ini berarti bahwa tembang Maskumambang terdiri dari 4 gatra (baris dalam satu bait), masing-masing gatra memiliki jumlah suku kata tertentu (gatra pertama sebanyak, 12 suku kata; gatra kedua sebanyak 6 suku kata; gatra ketiga dan keempat sebanyak 8 suku kata), dengan bunyi akhir masing-masing gatra adalah i, a, i, a. Berikut ini adalah contoh syair Maskumambang:
Ing sabanjure Ingsun wus ora bati Ngunjuk anggur uga Nganti tekan tembe mburi Ngunjuk anggur wohing Swarga
Berbeda dengan musik Barat yang membagi dua bagian jenis musik ke dalam musik sakral dan musik profan, musik Timur tidak memisahkan antara
2
sakral-profan. Musik dan peribadatan menjadi satu kesatuan yang utuh . Manusia tidak mungkin hidup tanpa Tuhan, dan keyakinan ini terungkap dalam musik dan nyanyian, yang dalam arti sempit sebagai lagu ibadat; dalam arti luas sebagai lagu rohani; dan dalam arti lebih luas lagi, sebagai lagu pergaulan yang tetap berlatar
3
belakang kosmis . Dimensi horisontal musik pun tetap dikaitkan dengan dimensi vertikalnya. Melalui musik gamelan, masyarakat Jawa mengungkapkan refleksi kehidupannya dalam berhubungan dengan Tuhan dan sesama.
Kekhasan musik gamelan Jawa tersebut menjadi peluang bagi Gereja untuk suatu bentuk inkulturasi. Berkat Konsili Vatikan II, Gereja menjadi semakin terbuka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian demi semakin luasnya pewartaan Kabar Sukacita, terutama dalam konteks kebudayaan pribumi. SC 37 menjadi dasar inkulturasi:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Kebudayaan setempat dipandang sebagai kekayaan yang menghiasi pelbagai suku bangsa, yang dapat menjadi bagian dari liturgi, sejauh tidak secara mutlak 2 terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Tanpa memperhitungkan budaya setempat, 3 Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 15.
Gereja tidak akan tumbuh, semakin diperkaya dan memperkaya. Inkulturasi merupakan keharusan teologis yang muncul dari misteri inkarnasi. Sabda Allah telah mejadi manusia Yahudi, maka Gereja pun harus menjadi Gereja pribumi dimana pun ia berada. Menolak inkulturasi berarti mengingkari universalitas
4 keselamatan .
Inkulturasi Gereja dengan budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, menghasilkan gending Gereja, suatu bentuk musik gamelan yang khusus disajikan untuk keperluan peribadatan Gereja. Sesuai dengan fungsinya, penyajiannya bersifat sakral karena ada dalam konteks perayaan liturgi. Budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, pun dapat menjadi sarana pertemuan antara manusia dengan Allah.
Perkembangan inkulturasi gending Gereja di Keuskupan Agung Semarang tidak bisa dipisahkan dari peran C. Hardjasoebrata. Sebagai seorang seniman, ia melihat peluang pengembangan liturgi melalui musik gamelan Jawa. Pada tahun 1925, ia menciptakan lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O
Kawula Punika. Syairnya diambil dari buku Rerepen Suci dan lagunya dibuat
dengan tangga nada pelog. Percobaan-percobaan lain pun ia buat, dengan menciptakan gending berlagu Jawa dengan syair Latin. Awalnya gending-gending ini hanya boleh digunakan di dalam ibadat-ibadat. Usaha inkulturasi gending Jawa ini terus berlanjut, hingga pada tahun 1956 akhirnya Roma mengizinkan gending-
5 4 gending Gereja ini digunakan di dalam perayaan Ekaristi . 5 Lih. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Kanisius, Yogyakarta 1987, 107.
Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik
Gending Gereja memang menggunakan tangga nada pelog dan slendro di dalam liturgi. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Faktanya, seluruh gending Gereja yang dibuat oleh C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Selain itu, dari 547 gending Gereja yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu dengan tangga nada pelog. Lagu bertangga nada pelog itu sebesar 46,1%, dengan sisanya adalah lagu bertangga nada diatonis (38,8%), slendro (11,4%), dan Gregorian (3,7%). Ada kekhususan sehingga tangga nada pelog mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada tangga nada lainnya, di dalam liturgi Gereja.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Titik tolak permasalahan adalah fakta, bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi dan gending-gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi?
Inti dari teologi liturgi adalah Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Jika tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi, bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah ini?
1.3 Metode Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog ditatapkan pada teori-teori Teologi Inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
1.4 Tujuan Penulisan
Skripsi ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, skripsi ini dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai musik liturgi, khususnya gending Gereja. Dengan mengetahui secara lebih mendalam mengenai gending Gereja, penulis terbantu untuk menghayati liturgi, terutama Misteri Paskah yang menjadi inti dari perayaan liturgi. Kedua, lewat skripsi ini penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi umat beriman dalam menghayati liturgi melalui gending Gereja. Ketiga, skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.
1.5 Sistematika Penulisan
Secara garis besar, tema skripsi ini akan dijabarkan dalam lima bab. Bab I akan membahas mengenai latar belakang tulisan ini dibuat, rumusan masalah, metode penulisan, tujuan dan sistematika penulisannya. Bagian ini menjadi garis besar alur dan cara penulisan skripsi ini.
Bab II akan membahas musik gamelan Jawa dari sisi sejarah, sistem tangga nada gamelan Jawa (slendro dan pelog), bentuk tembang dan gending pada umumnya, dan C. Hardjasoebrata sebagai pelopor inkulturasi gending Gereja. Gamelan Jawa merupakan produk kebudayaan Jawa melalui interaksinya dengan kebudayaan Hindu-Jawa, dan Islam-Jawa. Tangganada yang digunakan adalah tangganada slendro dan pelog, masing-masing dengan tiga pathet. Tangganada pelog lah paling mendekati tangganada diatonis.
Bab III akan membahas istilah inkulturasi, teologi inkulturasi, tahap-tahap dan metode inkulturasi, serta dimensi-dimensi musik liturgi. Konsili Vatikan II membuka pintu dan jendela bagi perkembangan jaman. Tanpa terbuka pada adanya penyesuaian, Gereja hanya akan menjadi seonggok museum yang sekadar menyimpan dan meneruskan tradisi tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di dalamnya. Perayaan liturgi pun menjadi kurang menyentuh karena hanya merupakan urusan hierarki saja, dan partisipasi umat kurang diperhitungkan. Konsili Vatikan II, di antaranya, memberikan pembaharuan liturgi dalam hal partisipasi aktif umat dan penghargaan terhadap kekayaan budaya sebagai upaya pengembangan Gereja lokal. SC 37 menunjukkan bahwa Gereja memelihara dan memajukan kekayaan budaya setempat serta mempertimbangkannya untuk dapat dipelihara dengan semangat liturgi yang asli dan sejati.
Setelah membahas mengenai tangganada pelog dan dasar inkulturasi musik liturgi di dalam dokumen Gereja, bab IV akan membahas peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Gending-gending Jawa memuat nilai kerohanian yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa tidak memisahkan antara musik sakral dan musik profan. Dalam hidup sehari-hari, mereka pun menghubungkan tindakan-tindakan dan kebersamaan hidup dengan Yang Transenden. Musik gamelan yang memuat nilai kerohanian yang tinggi ini, pun disesuaikan dengan semangat liturgi Gereja. Dengan begitu kebudayaan Jawa dan liturgi Gereja dapat saling memperkaya.
Bab V adalah kesimpulan dan saran atas topik yang dibahas dalam skripsi ini. Bab ini diharapkan dapat menutup dan menyimpulkan rangkaian penjelasan dan analisis dari bab-bab sebelumnya.
BAB II TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK GAMELAN JAWA Bentuk gending dan instrumen gamelan Jawa yang dijumpai sekarang sudah
mengalami perkembangan. Pada beberapa dekade terakhir, muncul jenis musik campursari, yang menggabungkan antara gamelan dengan alat musik elektronik, seperti gitar, bass, keyboard dan drum. Syairnya kebanyakan menggunakan
1
bahasa Jawa Ngoko, yang adalah bahasa pergaulan sehari-hari . Lagu pentatonis pun diaransemen dengan akor-akor.
Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Jawa, khususnya musik gamelan, terbuka terhadap perkembangan dan pembaruan yang diperlukan. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Manusia membentuk kebudayaan dan kebudayaan membentuk manusia. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan akan dapat terus berlanjut jika kebudayaan tersebut dapat terus ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan dan 1 aktualitas zaman.
Fajar Sungkono, “Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari (Analisis
Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem Wedoan, Tragedi Tali Kutang oleh Cak Diqin) ”, 2009, Diakses dari http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/858/532. (12 Desember2.1 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa
Gamelan Jawa tidak serta merta muncul sebagai satu kelompok alat musik lengkap. Dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai jumlah dan komposisi alat musik gamelan seperti yang ada pada zaman ini.
Kebudayaan Jawa memiliki kekhasan dan kekayaan. Dalam pertemuannya dengan kebudayaan lain, kebudayaan Jawa berkembang menjadi semakin kompleks dan kaya. Kebudayaan Hindu dan Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, memberikan pengaruh yang kuat dan memberikan perubahan yang signifikan dalam kebudayaan Jawa, tapi ada pula yang kurang begitu berpengaruh. Dari dirinya sendiri, orang Jawa memiliki keterbukaan kepada kebudayaan dan gagasan-gagasan dari luar. Kebudayaan asing merangsang perkembangan
2 kebudayaan Jawa .
Ada dua kebudayaan asing yang memiliki andil besar dalam perkembangan budaya Jawa, yaitu Hindu dan Islam. Dua kebudayaan ini relatif mudah beradaptasi dan mengalami penyesuaian karena keduanya menjadikan agama sebagai landasan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan persepsi orang Jawa yang juga memiliki pandangan yang serupa. Hal ini pula yang menjadi penjelasan, mengapa lebih banyak digunakan istilah Hinduisasi daripada Indianisasi.
Hadirnya pengaruh Hindu tidak semerta-merta menggeser sistem 2 kepercayaan Jawa. Proses penyesuaian berlangsung melalui proses yang disebut
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Pustaka Pelajar, sebagai lokalisasi. Lokalisasi adalah proses materi-materi India yang cenderung diretak-retak dan diwujudkan kembali dalam konteksnya yang baru. Makna aslinya dikuras dan disesuaikan dengan sistem agama, sosial dan politik konteksnya yang baru. Fragmen-fragmen ini akan memiliki arti dalam suasana
3 yang baru jika proses tersebut sudah tercapai .
Kerajaan Hindu-Buddha pada periode setelah abad ke-5, menjadi tempat berkembangnya kehidupan sosial, agama, politik, kesusastraan dan kesenian.
Sistem tulisan dan puisi Hindu diadaptasi oleh budaya Jawa. Kawya, karya sastra dan nyanyian India, mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan Jawa, hingga muncul puisi kekawin Jawa. Isinya sesuai dengan kebudayaan Jawa,
4
namun aturan metrisnya berciri India . Pada periode selanjutnya, lagu-lagu baru sejenis dinamakan sekar ageng (nyanyian luhur). Kekawin Jawa ini ditampilkan di
5 kalangan bangsawan kerajaan .
Pengaruh Hindu dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Hindu Jawa Tengah pada abad ke-9, dan Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15. Pada periode antara abad ke-11 sampai abad ke-14, pendidikan musik pertunjukan merupakan suatu keharusan bagi seluruh warga istana dan keluarga bangsawan.
Seluruh warga istana dari berbagai macam strata sosial diharuskan untuk belajar 3 kesenian tersebut. Seorang pangeran yang ideal tidak hanya dinilai dari
O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan
4 Musikal di Jawa , 7.
Dengan sedikit perkecualian, aturan metris pada kakawin sama dengan aturan pada kawya.
Aturan-aturan tersebut dirumuskan sebagai berikut: satu bait (stanza) terdiri dari empat baris, dan
setiap baris memiliki jumlah suku kata yang sama, serta dibentuk pada pola metris yang sama.
Pada pola ini, jumlah setiap suku kata diatur berdasarkan kebutuhan di dalam baris; dan sebuah
suku kata dihitung panjang pendeknya, jika suku kata tersebut diikuti oleh lebih dari satu
konsonan. Suku kata terakhir pada sebuah baris dapat panjang maupun pendek. P. J. Zoetmulder, 5 Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague 1974, 102. ketampanannya saja, tetapi juga bagaimana ia memiliki keterampilan dalam hal
6
seni . Kemampuannya dalam seni dan musik dipertunjukkan dalam suatu acara hiburan bersama, dengan juga adanya penampilan dari para penyair kerajaan dan dayang-dayang. Musik menjadi sarana keakraban untuk para anggota dan abdi
7 istana dari berbagai kedudukannya .
Data mengenai pengaruh Hindu Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai abad ke-10, sangatlah kurang. Beberapa candi dan monumen memang memberikan gambaran sekilas mengenai alat musik periode tersebut. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra, menggambarkan adanya beberapa alat musik India kuno, yaitu seruling, gendang berbentuk kerucut, dan alat musik petik seperti lute, tetapi alat-alat ini sudah tidak ada lagi di Jawa.
Memang ada alat musik yang menyerupai kethuk dan saron yang ada sekarang,
8
tetapi kepastiannya masih perlu ditegaskan kembali . Orang Jawa mengklaim bahwa musik gamelan sudah ada jauh sebelum periode Prambanan dan
9 Borobudur .
Beberapa ahli memperkirakan bahwa absennya gamelan pada relief candi
10 Borobudur dikarenakan alasan politis . Pada masa itu, Jawa dikuasai oleh bangsa
India. Maka, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, termasuk alat musik, tidak boleh ditampilkan. Alasan ini masih perlu dibuktikan 6 validitasnya, karena tidak ada data yang secara lengkap dan gamblang yang 7 P. J. Zoetmuder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, 152, 154. 8 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 19. 9 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359.
Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University
10 Press, Singapore-Oxford-New York 1986, 3-4.
Mantle Hood seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan mengatakan bahwa Jawa pernah dijajah oleh India. Gagasan mengenai Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh India, ditolak. Laporan sejarah lebih menunjuk
11 pada proses Indianisasi yang menekankan kekuatan adaptasi lokal .