MUSIK DIHARAMKAN DALAM ISLAM SEBUAH PERB
MUSIK DIHARAMKAN DALAM ISLAM?; SEBUAH PERBANDINGAN
PENDAPAT DIANTARA PARA ULAMA
Dalam Islam, banyak ulama, khususnya ulama Salafi yang menyatakan bahwa
memainkan atau mendengarkan musik haram hukumnya. Tetapi fakta lainnya
menunjukan bahwa masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia tidak terlepas
dari bantuan seni dan musik, dalam konteks ini, seni dan musik telah dijadikan
alat untuk melakukan dakwah.
Bagi penulis sendiri, haram halalnya musik tidaklah bersifat mutlak dan belum
menjadi keputusan yang bulat di kalangan para ulama, karena di pihak lain
terdapat sebagian ulama yang menolak pandangan bahwa musik haram
hukumnya.
Sebagai bahan kajian, berikut ini penulis kutip sebagian besar tulisan dari admin
Berita Islam Terkini yang membahas secara umum perbedaan pendapat tentang
halal-haramnya musik dalam Islam:
Bagaimana Islam membahas terhadap nyanyian dan musik? untuk memutuskan
hukum dalam 2 perkara ini, halal ataupun haram, mesti betul-betul berlandaskan
dalil yang shahih (bener) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yaitu hanya tunduk dan
menjejaki sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur`an, Sunnah yang shahih
serta Ijma`. Bukan terpengaruh dengan karakter ataupun kecenderungan
perorangan dan adat-istiadat maupun budaya suatu rakyat.
Dan sekali lagi dikarenakan ini perkara fiqih, kembali ulama beda pendapat
mengenai status hukum nyanyian dan musik. Sebelum berbicara perbedaan
pendapat para ulama terhadap 2 perkara ini dan pembahasan dalilnya. Kami
harus mendudukkan 2 perkara ini. Nyanyian dan musik di dalam Fiqh Islam
termasuk dalam kategori muamalah ataupun urusan dunia dan bukan ibadah.
Hingga terikat oleh kaidah: Hukum dasar dalam sesuatu (muamalah) merupakan
halal (mubah) hingga datang dalil yang melarangnya.
Sehingga yang memutuskan hukum haram dalam perkara muamalah termasuk
nyanyian dan musik mesti didukung dengan landasan dalil yang shahih dan
sharih. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah `Aza wa Jalla sudah
menetapkan tanggung jawab, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud,
jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau perbuat. Dan
diam atas sesuatu, menjadi rahmat untukmu dan bukan sebab lupa, oleh sebab
itu jangan engkau cari-cari (hukumnya) ` (HR Ad-Daruqutni).
Demikian pula di dalam salahsatu hadits diterangkan : Halal merupakan sesuatu
yang Allah halalkan di dalam kitab-Nya. Dan haram merupakan sesuatu yang
Allah haramkan di dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu
merupakan sesuatu yang dima`afkan` (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Perbedaan ulama pada menghukumi nyanyian yang tidak diiringi musik
a. Pendapat yang melarang
Golongan ulama ini melarang secara mutlak bernyanyi baik diiringi oleh suara
musik maupun tidak. Pendapat inilah yang dipegang oleh ulama’ ulama Hijaz
misalnya Bin Baaz Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dan Utsaimin. Sedangkan
Sebagian Madzhab Maliki, asy-Syafi`i dan sebagian Hambali berpendapat yakni
mendengar nyanyian merupakan makruh. Apabila mendengarnya dari wanita
asing maka makin makruh. Berdasarkan Maliki yakni mendengar nyanyian
merusak muru`ah. Adapun menurut asy-Syafi`i lantaran mengandung lahwu.
Dan Ahmad mengomentari melalui ungkapannya:`Saya tidak menggemari
nyanyian sebab melahirkan kemunafikan pada hati.’
b. Pendapat yang membolehkan
Jumhur ulama bersepakat bolehnya bernyanyi (bernasyid) melalui lantunan bait
syair yang berisi ajakan bagi taat, shalawat kepada nabi SAW, nyanyian yang
baik, menggugah antusiasme kepahlawanan dan perkara - perkara mubah.
Ulama bersepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok
dan cabul. Seperti perkataan lainnya, secara umum yang kotor dan jorok
diharamkan di dalam Islam.
Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, seperti yang dijelaskan oleh imam
An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in diantaranya :
'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah, Saad bin Abi
Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah
bin Zaid, Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat
bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, Al-Mughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah
binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih ramai lagi dari kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama misalnya Said bin AlMusayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan, Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli,
Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi Rabah,
Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim AzZuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya luar biasa banyak, di antaranya
Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah, dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam AsySyaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Sehingga secara umum bisa disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi
umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik apabila terbebas dari semua
jenis yang diharamkan seperti dijelaskan di atas.
Hukum nyanyian yang diiring alat musik
Sedangkan hukum yang terikat oleh nyanyian yang memakai alat musik dan
mendengarkannya, para ulama juga berselisih pendapat. Sebagian
mengharamkan dan sebagian memakruhkan alat musik. Seperti dalam beberapa
hadits di antaranya, seperti berikut:
1. Sungguh akan muncul di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina,
sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
2. Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, lalu ia
menutupi telingannya dengan 2 jarinya dan mengalihkan kendaraannya
dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apa engkau dengar?`. Aku
menjawab:`Ya`. Lalu melanjutkan berjalanannya hingga aku
berkata:`Tidak`. Lalu Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan yang lain dan berkata: Aku melihat Rasulullah saw.
mendengar seruling gembala kemudian melakukan semacam ini` (HR
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
3. Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata mengenai umat
ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dalam kaum
muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Apabila
biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi)
Akan tetapi para ulama juga mendiskusikan dan memperselisihkan hadits-hadits
mengenai haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan dari
Imam Bukhari di dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy`ari ra. Hadits ini
meskipun terdapat di dalam hadits shahih Bukhori, namun para ulama
memperselisihkannya. Banyak di antara mereka yang mengatakan yakni hadits
ini merupakan mualaq (sanadnya terputus), di antaranya disebutkan oleh Ibnu
Hazm. Di samping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad
hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa hadits
ini shohih, dikarenakan terdapat di dalam hadits shohih Bukhori, namun nash
pada hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan
namanya. Batasan yang ada ialah apabila ia melalaikan.
Hadits kedua disebutkan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun
hadits ini shohih, hingga Rasulullah saw. tidak terang mengharamkannya. Malah
Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana pula yang dilakukan oleh Ibnu
Umar. Sedangkan hadits ketiga merupakan hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain
yang terikat oleh hukum musik, apabila diteliti rupanya tidak ada yang shohih.
Adapun ulama yang menghalalkan musik seperti diungkapkan oleh Imam sySyaukani di dalam kitabnya, Nailul Authar ialah seperti berikut: Ulama Madinah
dan yang lain, misalnya ulama Dzahiri dan jama`ah ahlu Sufi memberi
keringanan dalam nyanyian meskipun dengan gitar dan biola`. Juga diriwayatkan
oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i di dalam kitabnya yakni Abdullah bin
Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, terlebih-lebih membolehkan
budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan
suaranya. Dan perihal tersebut terjadi pada masa khilafah Amirul Mukminin Ali
ra. Begitu pula Abu Manshur meriwayatkan perkara serupa pada Qodhi Syuraikh,
Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Imam Al-Haramain di dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang
menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair mempunyai
budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar sempat ke rumahnya ternyata di
sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah
saw. lalu Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian
berkata:` Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?`. Berkata Ibnu Zubair:`
Dengan ini akal seseorang bisa seimbang`. Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani
dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan
alat musik.
Alat musik yang dipermasalhkan ulama disini ialah keseluruhan alat musik.
Sedangkan bagi dub (rebana) dalil yang kuat ialah yang menyatakan
kebolehannya. Perkara ini berlandaskan hadits :
1. Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku saat saya menikah.
Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya layaknya jarak
tempat dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan
pernikahan kami, sebagian gadis tetangga kami menabuh rebana dan
menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan para pahlawan Perang Badar.
Selagi mereka asik bernyanyi, muncul salah seorang di antara mereka
yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang memahami
tentang apa yang akan timbul besok.’ Mendengar syair seperti itu Nabi
berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan semacam itu! Bernyanyilah
semacam nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari)
2. Hadits dari Muhammad bin Hathib, yakni Rasulullah SAW bersabda:
"Pembeda antara perkara halal dengan yang haram dalam pesta
pernikahan ialah rebana dan nyanyian.
3. Dan hadits -hadits lainnya
Demikianlah pendapat ulama mengenai mendengarkan alat musik. Dan apabila
diteliti dengan seksama, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat
musik hal ini karena mereka mengambil sikap waro`(hati-hati). Mereka melihat
kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik sebab mereka mencermati
memang tidak datang dalil baik dalam Al-Qur`an ataupun hadits yang terang
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Maka dari itu kepada umat Islam dalam mendengarkan nyanyian dan musik
hendak memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.
Hukum yang berhubungan dengan lirik ini ialah semacam hukum yang diberikan
kepada tiap ucapan dan ungkapan yang lain. Maksudnya, apabila muatannya
baik berdasarkan syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bilamana muatanya
buruk berdasarkan syara`, maka diharamkan.
2. Alat Musik yang Dipakai.
Seperti sudah diungkapkan di muka yakni, hukum dasar yang berlaku di dalam
Islam merupakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada
larangan yang terang. Dengan peraturan ini, oleh sebab itu alat-alat musik yang
dipakai buat mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan.
Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama ialah ad-dhuf
(alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk
mendengarkannya, para ulama berselisih pendapat satu sama lainnya. Satu
perihal yang disepakati adalah keseluruhan alat itu diharamkan apabila
melalaikan.
3. Cara Penampilan.
Mesti dijaga cara penampilannya selalu terlindung dari perkara yang diharamkan
syara` misalnya pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan.
Meskipun sesuatu itu mubah, akan tetapi jika diduga kuat mengakibatkan
perkara yang diharamkan misalnya melalaikan shalat, munculnya ulah penonton
yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, oleh sebab itu sesuatu
tersebut jadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup
pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh ataupun Keserupaan Dengan Orang Kafir.
Perangkat khusus, panduan penyajian dan design khas yang sudah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, mesti
dihindari supaya tidak terperangkap di dalam tasyabbuh dengan suatu kaum
yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang menyerupai
suatu kaum maka ia termasuk mereka` (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Kesimpulan
Kesimpulannya di dalam problem ini, kami cendrung pada pendapat yang
mengharamkan nyanyian yang berupa ungkapan cinta, mengumbar hawa nafsu
dll seperti Yang banyak merajalela jaman ini. Adapun nasyid dan syair yang berisi
kebaikan ialah mubah malah berpahala apabila hal ini dimanfaatkan sebagai
sarana dakwah. Yang amat baik dari keduanya ialah yang tidak menggunakan
alat musik. Sedangkan nyanyian yang berisi perkataan yang mubah hukumnya
boleh selama tidak melalaikan dari kewajiban agama.
Wallahu a''lam bishshawab.
Sumber: http://beritaislamiterkini.blogspot.co.id/2014/09/hukum-nyanyian-danmusik-dalam-islam.html
PENDAPAT DIANTARA PARA ULAMA
Dalam Islam, banyak ulama, khususnya ulama Salafi yang menyatakan bahwa
memainkan atau mendengarkan musik haram hukumnya. Tetapi fakta lainnya
menunjukan bahwa masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia tidak terlepas
dari bantuan seni dan musik, dalam konteks ini, seni dan musik telah dijadikan
alat untuk melakukan dakwah.
Bagi penulis sendiri, haram halalnya musik tidaklah bersifat mutlak dan belum
menjadi keputusan yang bulat di kalangan para ulama, karena di pihak lain
terdapat sebagian ulama yang menolak pandangan bahwa musik haram
hukumnya.
Sebagai bahan kajian, berikut ini penulis kutip sebagian besar tulisan dari admin
Berita Islam Terkini yang membahas secara umum perbedaan pendapat tentang
halal-haramnya musik dalam Islam:
Bagaimana Islam membahas terhadap nyanyian dan musik? untuk memutuskan
hukum dalam 2 perkara ini, halal ataupun haram, mesti betul-betul berlandaskan
dalil yang shahih (bener) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yaitu hanya tunduk dan
menjejaki sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur`an, Sunnah yang shahih
serta Ijma`. Bukan terpengaruh dengan karakter ataupun kecenderungan
perorangan dan adat-istiadat maupun budaya suatu rakyat.
Dan sekali lagi dikarenakan ini perkara fiqih, kembali ulama beda pendapat
mengenai status hukum nyanyian dan musik. Sebelum berbicara perbedaan
pendapat para ulama terhadap 2 perkara ini dan pembahasan dalilnya. Kami
harus mendudukkan 2 perkara ini. Nyanyian dan musik di dalam Fiqh Islam
termasuk dalam kategori muamalah ataupun urusan dunia dan bukan ibadah.
Hingga terikat oleh kaidah: Hukum dasar dalam sesuatu (muamalah) merupakan
halal (mubah) hingga datang dalil yang melarangnya.
Sehingga yang memutuskan hukum haram dalam perkara muamalah termasuk
nyanyian dan musik mesti didukung dengan landasan dalil yang shahih dan
sharih. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah `Aza wa Jalla sudah
menetapkan tanggung jawab, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud,
jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau perbuat. Dan
diam atas sesuatu, menjadi rahmat untukmu dan bukan sebab lupa, oleh sebab
itu jangan engkau cari-cari (hukumnya) ` (HR Ad-Daruqutni).
Demikian pula di dalam salahsatu hadits diterangkan : Halal merupakan sesuatu
yang Allah halalkan di dalam kitab-Nya. Dan haram merupakan sesuatu yang
Allah haramkan di dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu
merupakan sesuatu yang dima`afkan` (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Perbedaan ulama pada menghukumi nyanyian yang tidak diiringi musik
a. Pendapat yang melarang
Golongan ulama ini melarang secara mutlak bernyanyi baik diiringi oleh suara
musik maupun tidak. Pendapat inilah yang dipegang oleh ulama’ ulama Hijaz
misalnya Bin Baaz Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dan Utsaimin. Sedangkan
Sebagian Madzhab Maliki, asy-Syafi`i dan sebagian Hambali berpendapat yakni
mendengar nyanyian merupakan makruh. Apabila mendengarnya dari wanita
asing maka makin makruh. Berdasarkan Maliki yakni mendengar nyanyian
merusak muru`ah. Adapun menurut asy-Syafi`i lantaran mengandung lahwu.
Dan Ahmad mengomentari melalui ungkapannya:`Saya tidak menggemari
nyanyian sebab melahirkan kemunafikan pada hati.’
b. Pendapat yang membolehkan
Jumhur ulama bersepakat bolehnya bernyanyi (bernasyid) melalui lantunan bait
syair yang berisi ajakan bagi taat, shalawat kepada nabi SAW, nyanyian yang
baik, menggugah antusiasme kepahlawanan dan perkara - perkara mubah.
Ulama bersepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok
dan cabul. Seperti perkataan lainnya, secara umum yang kotor dan jorok
diharamkan di dalam Islam.
Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, seperti yang dijelaskan oleh imam
An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in diantaranya :
'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah, Saad bin Abi
Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah
bin Zaid, Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat
bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, Al-Mughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah
binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih ramai lagi dari kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama misalnya Said bin AlMusayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan, Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli,
Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi Rabah,
Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim AzZuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya luar biasa banyak, di antaranya
Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah, dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam AsySyaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Sehingga secara umum bisa disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi
umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik apabila terbebas dari semua
jenis yang diharamkan seperti dijelaskan di atas.
Hukum nyanyian yang diiring alat musik
Sedangkan hukum yang terikat oleh nyanyian yang memakai alat musik dan
mendengarkannya, para ulama juga berselisih pendapat. Sebagian
mengharamkan dan sebagian memakruhkan alat musik. Seperti dalam beberapa
hadits di antaranya, seperti berikut:
1. Sungguh akan muncul di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina,
sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
2. Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, lalu ia
menutupi telingannya dengan 2 jarinya dan mengalihkan kendaraannya
dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apa engkau dengar?`. Aku
menjawab:`Ya`. Lalu melanjutkan berjalanannya hingga aku
berkata:`Tidak`. Lalu Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan yang lain dan berkata: Aku melihat Rasulullah saw.
mendengar seruling gembala kemudian melakukan semacam ini` (HR
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
3. Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata mengenai umat
ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dalam kaum
muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Apabila
biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi)
Akan tetapi para ulama juga mendiskusikan dan memperselisihkan hadits-hadits
mengenai haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan dari
Imam Bukhari di dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy`ari ra. Hadits ini
meskipun terdapat di dalam hadits shahih Bukhori, namun para ulama
memperselisihkannya. Banyak di antara mereka yang mengatakan yakni hadits
ini merupakan mualaq (sanadnya terputus), di antaranya disebutkan oleh Ibnu
Hazm. Di samping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad
hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa hadits
ini shohih, dikarenakan terdapat di dalam hadits shohih Bukhori, namun nash
pada hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan
namanya. Batasan yang ada ialah apabila ia melalaikan.
Hadits kedua disebutkan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun
hadits ini shohih, hingga Rasulullah saw. tidak terang mengharamkannya. Malah
Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana pula yang dilakukan oleh Ibnu
Umar. Sedangkan hadits ketiga merupakan hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain
yang terikat oleh hukum musik, apabila diteliti rupanya tidak ada yang shohih.
Adapun ulama yang menghalalkan musik seperti diungkapkan oleh Imam sySyaukani di dalam kitabnya, Nailul Authar ialah seperti berikut: Ulama Madinah
dan yang lain, misalnya ulama Dzahiri dan jama`ah ahlu Sufi memberi
keringanan dalam nyanyian meskipun dengan gitar dan biola`. Juga diriwayatkan
oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i di dalam kitabnya yakni Abdullah bin
Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, terlebih-lebih membolehkan
budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan
suaranya. Dan perihal tersebut terjadi pada masa khilafah Amirul Mukminin Ali
ra. Begitu pula Abu Manshur meriwayatkan perkara serupa pada Qodhi Syuraikh,
Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Imam Al-Haramain di dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang
menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair mempunyai
budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar sempat ke rumahnya ternyata di
sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah
saw. lalu Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian
berkata:` Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?`. Berkata Ibnu Zubair:`
Dengan ini akal seseorang bisa seimbang`. Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani
dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan
alat musik.
Alat musik yang dipermasalhkan ulama disini ialah keseluruhan alat musik.
Sedangkan bagi dub (rebana) dalil yang kuat ialah yang menyatakan
kebolehannya. Perkara ini berlandaskan hadits :
1. Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku saat saya menikah.
Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya layaknya jarak
tempat dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan
pernikahan kami, sebagian gadis tetangga kami menabuh rebana dan
menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan para pahlawan Perang Badar.
Selagi mereka asik bernyanyi, muncul salah seorang di antara mereka
yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang memahami
tentang apa yang akan timbul besok.’ Mendengar syair seperti itu Nabi
berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan semacam itu! Bernyanyilah
semacam nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari)
2. Hadits dari Muhammad bin Hathib, yakni Rasulullah SAW bersabda:
"Pembeda antara perkara halal dengan yang haram dalam pesta
pernikahan ialah rebana dan nyanyian.
3. Dan hadits -hadits lainnya
Demikianlah pendapat ulama mengenai mendengarkan alat musik. Dan apabila
diteliti dengan seksama, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat
musik hal ini karena mereka mengambil sikap waro`(hati-hati). Mereka melihat
kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik sebab mereka mencermati
memang tidak datang dalil baik dalam Al-Qur`an ataupun hadits yang terang
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Maka dari itu kepada umat Islam dalam mendengarkan nyanyian dan musik
hendak memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.
Hukum yang berhubungan dengan lirik ini ialah semacam hukum yang diberikan
kepada tiap ucapan dan ungkapan yang lain. Maksudnya, apabila muatannya
baik berdasarkan syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bilamana muatanya
buruk berdasarkan syara`, maka diharamkan.
2. Alat Musik yang Dipakai.
Seperti sudah diungkapkan di muka yakni, hukum dasar yang berlaku di dalam
Islam merupakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada
larangan yang terang. Dengan peraturan ini, oleh sebab itu alat-alat musik yang
dipakai buat mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan.
Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama ialah ad-dhuf
(alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk
mendengarkannya, para ulama berselisih pendapat satu sama lainnya. Satu
perihal yang disepakati adalah keseluruhan alat itu diharamkan apabila
melalaikan.
3. Cara Penampilan.
Mesti dijaga cara penampilannya selalu terlindung dari perkara yang diharamkan
syara` misalnya pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan.
Meskipun sesuatu itu mubah, akan tetapi jika diduga kuat mengakibatkan
perkara yang diharamkan misalnya melalaikan shalat, munculnya ulah penonton
yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, oleh sebab itu sesuatu
tersebut jadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup
pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh ataupun Keserupaan Dengan Orang Kafir.
Perangkat khusus, panduan penyajian dan design khas yang sudah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, mesti
dihindari supaya tidak terperangkap di dalam tasyabbuh dengan suatu kaum
yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang menyerupai
suatu kaum maka ia termasuk mereka` (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Kesimpulan
Kesimpulannya di dalam problem ini, kami cendrung pada pendapat yang
mengharamkan nyanyian yang berupa ungkapan cinta, mengumbar hawa nafsu
dll seperti Yang banyak merajalela jaman ini. Adapun nasyid dan syair yang berisi
kebaikan ialah mubah malah berpahala apabila hal ini dimanfaatkan sebagai
sarana dakwah. Yang amat baik dari keduanya ialah yang tidak menggunakan
alat musik. Sedangkan nyanyian yang berisi perkataan yang mubah hukumnya
boleh selama tidak melalaikan dari kewajiban agama.
Wallahu a''lam bishshawab.
Sumber: http://beritaislamiterkini.blogspot.co.id/2014/09/hukum-nyanyian-danmusik-dalam-islam.html