REPRESENTASI PERNYAIAN DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH

  

REPRESENTASI PERNYAIAN

DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH

STUDI PASCAKOLONIAL MENGENAI CERITA NYAI

TESIS

  Diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  

Linda

NIM : 05632006

  

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  

PRAKATA

  Belajar di IRB bagi saya adalah sebuah perjalanan dan menulis tesis merupakan bagian dari perjalanan itu. Jika awalnya menulis adalah sebuah kegemaran yang mengasyikkan maka dalam proses penulisan tesis ini ada saat- saat di mana menulis menjadi keterpaksaan yang menegangkan. Tak jarang saya mengalami writer’s block yang membuat saya berhenti sejenak, menghela nafas untuk kemudian bergerak lagi. Ringkasnya, tesis ini merekam aneka pergulatan saya yang bergerak dari titik satu ke titik-titik lainnya di dalam sebuah spektrum hingga akhirnya “menggapai cahaya.”

  Di dalam perjalanan yang cukup panjang ini, ada begitu banyak orang yang terlibat bersama-sama saya, masing-masing mendukung saya dengan caranya tersendiri. Untuk itu, kepada mereka pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih.

1. Mama, Papa, dan Santi, juga Mena dan segenap keluarga yang telah menyemangati dan menguatkan saya sepanjang penulisan tesis.

  2. Ibu dan Bapak di Klepu dengan kasih sayang dan doanya yang tak kunjung putus, Mba Wati dan Mas Willy di Japos serta nona-nona kecilku: Fani, Fiera dan Femi, tempat berteduh sejenak di kala lelah dan putus asa.

  3. St. Sunardi yang telah begitu sabar dan selalu membangkitkan rasa percaya diri saya ketika seringkali saya menemui “jalan buntu.” Terima

  Katrin Bandel, sahabat dan guru, yang selalu bersedia menjadi tempat berbagi gagasan dan perasaan tatkala saya bimbang dan ragu. Terima kasih untuk bahan-bahan yang amat membantu di awal penulisan tesis, masukan-masukan, juga obrolan ringan dan diskusi yang selalu membawa pencerahan. Tanpa Mba Katrin sulit dibayangkan tesis ini menemukan wujudnya yang sekarang.

  4. Segenap dosen pascasarjana: Robert H. Imam, Tri Subagya, George Aditjondro, Budiawan, Nicholas Warouw, Romo G. Subanar, Romo A.

  Sudiarja, Romo Hary Susanto, Romo Agung Wijayanto, Romo Baskoro T. Wardoyo, Novita Dewi, Stefani Haning, Devi Ardhiani, beserta para dosen tamu. Terima kasih telah menjadi oase intelektual yang menyegarkan selama saya berkelana di IRB.

  5. Asia Research Institute – National University of Singapore (NUS) yang telah memberikan kesempatan residensi selama tiga bulan di Singapura dan akses terhadap pelbagai sumber pustaka yang amat membantu penelitian ini. Secara khusus, terima kasih kepada mentor saya, Dr. Jan van der Putten, serta Dr. Kay Mohlman yang memberikan pengetahuan baru mengenai penulisan akademis dalam bahasa Inggris. Juga teman- teman yang saling menyemangati, teristimewa Tessa Guazon, Yustina dan Kang Herry.

  6. Teman-teman seperjuangan: Mba Yeni, Iyus, Kak Aleida, Sujud, Bang Samsul, Mas Yudi, dan Mas Hagung. Juga anak-anak IRB lintas generasi:

  Mba Melati, Mba Iim, Mas Ferdi, Mas Dedi, Retno, Hasan, Mba Dona, dan teman-teman lainnya yang telah turut memberikan berbagai dukungan.

  7. Mba Henki di sekretariat IRB yang selalu siap membantu, juga teman- teman di perpus pasca: Lia, dkk.

  8. Dosen-dosen EEC dan teman-teman belajar: Siska, Diana, Wiro, Rani, Angga, Mail, Mas Aan, Ade, dan lainnya.

  9. Teman-teman di Hidup, khususnya Bunda Sulis, Mba Etty, dan Pak Sihol.

  10. Teman-teman di kosan lintas generasi: Agek, Echa, Yudha, Yuli, Meita, Yoe, Vitha, Ifen, Jie Ayu, Lia, Elen, Keling, Emichta dan semua. Juga kepada Tante dan Om Isnu, Gede dan Detta, serta Yu Mur.

  11. Teman-teman di Aksara-IVAA dan para mentor yang telah berproses bersama selama beberapa bulan dan memperluas wawasan saya tentang dunia seni.

  12. Edwid yang setia menemani di hari-hari yang sulit baik dengan rumpian maupun diskusi seriusnya.

  13. Sahabat-sahabat: Maman dan Budi (what a long journey!), Elis, Hendar, Mas Agus dan Gangan.

  14. Mba Yani yang selalu bersedia diganggu dengan curhat-curhat saya.

  15. Mba Kristin dan Mas Priyo di Bandung, juga Mba Maria, Jenong dan Ibu- Bapak Pdt. Poniman di Jember.

  16. Segenap karyawan di lingkungan kampus Sanata Dharma.

  17. Invisible assistants in these years: Mba-Mba dan Mas-Mas di warung- warung makan, bis-bis kota, tempat fotokopi yang semuanya telah turut melancarkan segala pekerjaan saya.

18. The last but not the least, this work is dedicated to the letterblind millions who have so much past but so very little history.

DAFTAR ISI

  46

  32

  3. Tentangan terhadap pergundikan

  33

  3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak

  35

  3.1.1. Di Belanda

  35

  3.1.2. Di Hindia Belanda

  37

  4. Berakhirnya pernyaian

  42 Bab III Konteks sastra masa kolonial

  1. Bahasa dan sastra Melayu Rendah

  1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah

  29

  46

  1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar

  51

  1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya 54

  1.4. Cerita tentang pernyaian

  59

  2. Politik bahasa pemerintah kolonial

  60

  2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur

  61

  2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar

  68 Bab IV Ambivalensi pascakolonial dalam cerita nyai

  2.2. Pergundikan di barak

  Persetujuan pembimbing ii

  Lembar pengesahan iii

  11

  Keaslian karya iv

  Lembar persetujuan publikasi karya ilmiah v Prakata vi

  Daftar isi x

  Abstrak xii

  Bab I Pendahuluan

  1. Latar belakang

  1

  2. Perumusan masalah

  10

  3. Tujuan penelitian

  11

  4. Relevansi penelitian

  5. Tinjauan pustaka

   28

  11

  6. Landasan teori

  16

  7. Sumber data dan metode penelitian

  19

  8. Sistematika penulisan

  19 Bab II Latar belakang sosio-historis pernyaian

  1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC

  23 1. 1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi 23

  1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan

  26

  2. Berlanjutnya pernyaian sebagai necessary evil

  2.1. Pergundikan di perkebunan

  3. Ras

  94

  4. Perkawinan dan pernyaian 109

  5. Hubungan nyai dan tuan 119

  6. Kesimpulan 124

  Bab V Kesimpulan 127

  Daftar pustaka 130

  

ABSTRAK

  Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat

  

Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra

  yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

  Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi. Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa pemerintah kolonial.

  Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi. Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang

  Dalam perkuliahan “Sastra Etnik” saya berkenalan dengan khazanah sastra

  1

  yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca, atau sering juga disebut Melayu

2 Rendah. Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni

  Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat komunikasi lisan antar pelbagai bangsa dan suku di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya, ia dipergunakan dalam surat kabar dan berbagai media tertulis lainnya.

  Yang mengherankan ialah kenyataan bahwa karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh

  3 kalangan Pribumi, peranakan Tionghoa, maupun peranakan Eropa/Belanda.

  Menurut penemuan peneliti Perancis Claudine Salmon, karya yang ditulis

  1 Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut

karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau

sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe

Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9-11. Akan tetapi, dalam bagian

selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer

dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis. 2 Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press,

  4

  peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis. Ditinjau dari aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra

  5 tradisional-konvensional lama, yakni pernyataan diri pribadi (self expression).

  Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra Indonesia pada periode selanjutnya.

  Di sini perlu disimak juga bagaimana situasi masyarakat pada masa kolonial Hindia Belanda. Secara umum masyarakat—khususnya di daerah perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo (peranakan Eropa-Asia) dan peranakan Tionghoa hidup berdampingan dengan bangsa Eropa.

  Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya, baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun waktu tersebut.

  Dalam khazanah sastra yang merepresentasikan kehidupan di Hindia Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa

6 Belanda dan bahasa Melayu. Karya berbahasa Belanda umumnya diterbitkan di

  4 Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang

  

teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73

naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya

terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine

Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography

(Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981), 10. 5 Toer, Tempo Doeloe, 12.

  Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah (the

colonizer) dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior.

  Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis sebagaimana dipelopori Emile Zola. Karya-karya pengarang berbahasa Belanda ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam lingkungan akademi di Belanda.

  Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium

  7

  bahasa yang dipakai dalam penuturannya. Karya-karya berbahasa Melayu Rendah kerap disubordinasikan dari karya sastra berbahasa Melayu Tinggi (klasik) yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar- benar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita mengisahkan kasus kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan sebagainya.

7 Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu

  

Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya

dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14

  Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat, karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan sehari- hari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima (G. Francis),

  

Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Tjerita Njai Ratna (Raden Mas Tirto Adhi

  Soerjo), Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Soemirah (Thio Tjhin Boen), dan Hikajat Siti Mariah (Haji Mukti). Balai Poestaka sebagai alat sensor pemerintah berupaya meminggirkan kisah-kisah nyai ini dan menggolongkannya sebagai “roman picisan” karena dianggap tidak bernilai sastra dan tidak mendidik. Di antaranya dengan mempromosikan buku-buku terbitan Balai Pustaka yang dikampanyekan sebagai bacaan “bermutu.” Banyaknya cerita yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam

  8 khazanah sastra pra-Indonesia, yakni genre cerita nyai.

  Sebagaimana telah disebutkan di atas, struktur masyarakat pada masa kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan masyarakat Pribumi sebagai kelas terbawah dari stratifikasi sosial. Golongan Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata yang terpuruk pada posisi paling bawah dalam stratifikasi ini.

  Diskriminasi rasial ini pada akhirnya melahirkan serangkaian konsekuensi yang menyudutkan masyarakat Pribumi. Segala bentuk pelayanan publik mulai dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain sebagainya diatur menurut stratifikasi tadi. Selain itu, kolonialisme menggandeng 8 Setidaknya istilah ini ditemukan dalam kajian Tineke Hellwig sebagaimana dikutip Thomas feodalisme, khususnya di Jawa, untuk makin memantapkan penindasannya kepada kaum bumiputera. Pejabat kolonial menggunakan tangan pejabat priyayi untuk memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini

  9

  dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial. Tak ayal, para penguasa lokal ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan kekuasaan kolonial. Adapun Tanam Paksa (Cultuurstelsel) bermula dari kebangkrutan perekonomian negeri Belanda akibat membiayai upaya menumpas pelbagai pemberontakan dan perang di negeri jajahan. Di antaranya, Perang Diponegoro dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi masalah ekonomi di dalam negeri Belanda, pemerintah kolonial di Hindia mewajibkan rakyat jajahan membayar pajak sebanyak kira-kira seperlima dari

  10 luas tanah di seluruh desa di Jawa.

  Penderitaan rakyat negeri jajahan yang luar biasa memunculkan kecaman dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda mendesak dihapuskannya monopoli pemerintah dan digantikan dengan sistem persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu, para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di negeri jajahan. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang disahkan pada 9 April 1870 menjawab persoalan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing (baik Belanda maupun golongan Eropa lainnya). 9 Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma 10 (Oktober

  Pada kurun waktu inilah lahir perkebunan-perkebunan swasta yang kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain mempekerjakan rakyat bumiputra, perusahaan swasta pun mendatangkan orang-orang Eropa. Sebagian besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta keluarganya karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan. Karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa di negeri jajahan dibandingkan dengan

  11

  jumlah laki-laki yang datang, pergundikan atau pernyaian (concubinage) makin meningkat.

  Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan sosial, ia seolah-seolah disangkal keberadaannya karena kepentingan golongan yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat berpengaruh dalam “membungkam” keberadaan institusi yang bisa jadi mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu, pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orang- orang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi tersebut. Meskipun demikian, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan kepentingan dan tuntutan keadaan pada waktu itu.

  Fenomena pernyaian pun mengalami perubahan bentuk dari waktu ke

  12

  waktu. Awalnya, kata “nyai” merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya terpandang dalam masyarakat kolonial, baik pejabat kolonial maupun kalangan swasta, antara lain opsiner dan (bahkan) administratur perkebunan. Namun, fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah, khususnya para tentara yang hidup di barak/tangsi maupun rumah-rumah bedeng di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang

13 Cina biasa.

  Sampai pada usia tertentu, sang tuan akan menikahi perempuan sebangsanya yang dianggap pantas menjadi pendamping hidup dan mampu melaksanakan peran sosial di tengah pergaulan masyarakat kolonial. Nyai tersebut pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya

12 Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam

  

berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab

2.

  14

  menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pribumi lainnya. Pada situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru makin rendah statusnya.

  Pandangan pemerintah kolonial tentang pergundikan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu kasus, pergundikan di kalangan tentara Eropa tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi sehingga secara ekonomis cukup mapan untuk membiayai hidup keluarganya.

  Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus sering dimutasi dari satu tempat ke tempat lain.

  Dalam perkembangan selanjutnya, masalah pergundikan ini sempat diperdebatkan oleh berbagai kalangan, baik di negeri Belanda maupun di negeri jajahan Hindia Belanda. Penentangnya terutama dari kalangan agamawan yang mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun dipandang tidak menguntungkan karena perkawinan campuran ini menghasilkan generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka sering dianggap sebagai golongan yang “tanggung,” bukan pribumi maupun Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahan- lahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam bentuk meluasnya kemiskinan di kalangan Indo. Memang pada akhirnya, 14 Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai fenomena pergundikan menyurut seiring dengan didatangkannya banyak perempuan kulit putih ke Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke-20.

  Sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra masa kolonial khususnya yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari kolonialisme yang terlupakan atau sengaja ditutup-tutupi. Meskipun demikian, jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam— mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer memunculkan Nyai Ontosoroh yang mengelola perkebunan dan justru tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita

  

Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi

  tentang seluk-beluk penerbitan oleh Boesono, seorang mahasiswa kedokteran STOVIA yang bekerja dalam dunia pers.

  Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa, anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak melakukan skandal—apalagi dalam perkara seksual. Maraknya studi pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks sastra.

2. Perumusan masalah

  Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:

  

Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah?

  Persoalan tersebut dapat diuraikan ke dalam beberapa pokok persoalan, antara lain:

  1. Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian?

  2. Bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial?

3. Tujuan penelitian

  Sesuai dengan pokok-pokok persoalan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian.

  2. Menganalisis posisi cerita nyai tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

  4. Relevansi penelitian

  Adapun relevansi penelitian ini ialah:

  1. Bagi kajian sastra di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, khususnya mengenai karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang selama ini belum banyak dikaji.

  2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian budaya, khususnya studi poskolonial, serta kajian gender.

  5. Tinjauan pustaka

  Sejauh penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat beragam kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak meneliti persoalan sastra Indonesia, dalam tulisannya “Njai Dasima, A Fictional

15 Woman” membahas bagaimana karakter perempuan berfungsi di dalam suatu

  cerita dan bagaimana karakter-karakter tersebut direpresentasikan. Cerita yang diteliti ialah Tjerita Njai Dasima. Di dalam tulisannya tersebut, Hellwig membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita (Tjerita Njai

  

Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek) yang ditulis oleh G. Francis

  (1896) dengan bentuk syair (“Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian

  

di Batawi, terpoengoet tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima”) yang masing-

  masing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok (1897). Tulisan itu menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi cerita ditempatkan secara sentral.

  Berbeda dengan studi Hellwig tentang cerita nyai yang mengisahkan gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the

  16 Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies” mengisahkan nyai yang

  tinggal dengan lelaki Tionghoa. Dengan membandingkan kedua bagian cerita tersebut dengan konteks historis yang melingkupinya, Maier menggarisbawahi adanya perubahan kesadaran akan identitas kecinaan di kalangan komunitas peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak didefinisikan dalam kerangka perbedaan budaya, bahasa, maupun rasial, tetapi

  15 Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 26, 1 (Winter 1992), 1-20. 16 HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan.

  Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels

  17

  by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum,” Gerard Termorshuizen juga melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A. Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel

  

Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual,

  jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai Ontosoroh yang mandiri secara ekonomi. Di dalam tulisannya ini, Termorshuizen lebih berfokus pada deskripsi tokoh-tokoh nyai.

  Sementara itu, Brenda Fane dalam tulisannya “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai

18 Stories” mengulas hubungan antara perempuan yang menjadi nyai melintasi

  batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh ayah—pada akhirnya membawa kesusahan ataupun penyakit pada perempuan tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada

17 Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by

  

Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to

Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering (Townsville: James

Cook University, 1995), 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial. tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia akan merasakan kebahagiaan dan bisa bersatu kembali dengan keluarganya.

  Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and

19 Film” menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi

  tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis (1896), narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama (1926), narasi yang ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan (1965) serta film yang diproduksi Chitra Dewi Productions (1970). Dari pembacaannya terhadap keempat karya tersebut, Taylor mengungkapkan bahwa seluruh versi tersebut menunjukkan keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa sesudah kemerdekaan mengkonstruksi identitas kelompok berdasarkan ikatan pada bangsa (nation) beserta idealisasi tentang tatanan masyarakat yang dibayangkan.

  Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai

  20 Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.” Di dalam

  tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai 19 Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam

  

Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears (Durham and London: Duke

University Press, 1999), 225-248. 20 Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam

  

Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya

  Pramoedya Ananta Toer. Bandel menunjukkan hubungan intertekstual di antara kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain sudut pandang penceritaan dan penokohan, Pramoedya berhasil menghadirkan sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa dan kolonialisme, serta ambivalensi pengalaman pascakolonial.

  Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat menjadi titik berangkat untuk penelitian lanjutan. Dalam bukunya, Adjustment

  

and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (1994),

  Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa kolonial. Di dalamnya termasuk cerita-cerita yang mengisahkan tentang kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara khusus berfokus pada tokoh nyai itu sendiri.

  Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the

  

Indies: An Analysis of the Representation of Njais in a Selection of Pre-World

War II Malay Language Literature, yang merupakan tesisnya (yang belum

  diterbitkan) untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University (1995). Penelitian Fane ini berfokus pada relasi gender dengan melihat konstruksi nyai di dalam diskursus komunitas/masyarakat dan keluarga. Fane menggunakan pendekatan pascastrukturalis, antara lain Jacques Derrida (penggunaan grammar), Michel Foucault (sejarah diskursus) dan Jacques Lacan (psikoanalisis). Dalam analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang diungkapkan melalui penggunaan penokohan/karakterisasi, plot, tema dan bahasa yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan.

  Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai. Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian.

  Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.

6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial

  Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pascakolonial. Istilah “pascakolonial” sendiri memang mengundang perdebatan panjang. Sebagaimana disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, problematisnya konsep-konsep dasar dari teori pascakolonial itu sendiri, antara lain oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Kedua, terminologi

  21

  “pascakolonial” yang menggabungkan kata “pasca” dan “kolonialisme.” Namun demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial

  22

  adalah pendekatan pascastruktural yang diterapkan pada topik khusus. Kendati meminjam pelbagai teori dan konsep dari pendekatan pascastruktural, pendekatan ini justru secara bersamaan merupakan tanggapan atas ketidakpuasan para intelektual dari Dunia Ketiga terhadap teori-teori pascastruktural, terutama yang

  23 digagas Derrida dan Barthes.

  Tony Day dan Keith Foulcher mengemukakan bahwa pendekatan pascakolonial yang diterapkan dalam kajian sastra berupaya mengungkap jejak- jejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisi- kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk

  24

  pengalaman manusia sejak awal mula imperialisme Eropa. Dengan demikian, pendekatan pascakolonial di sini bisa dilihat sebagai: “suatu strategi membaca yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang membantu mengidentifikasi jejak-jejak kolonialisme, serta menilai sifat

  25

  dan signifikansi berbagai efek tekstual dari jejak-jejak ini; sebuah pendekatan kritis untuk memahami efek-efek yang masih

  26 21 berlangsung dari kolonialisme dalam teks;

Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam

  

Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius

22 dan Lembaga Studi Realino, 2008), 15-31.

  

Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana

23 (Post-) Kolonial,” Kalam 2 (1994): 62. 24 Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62.

  

Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature

Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian pembacaan kritis atas berjalin kelindannya beragam kekuatan (sebagian global, sebagian lainnya lokal), yang memberi bentuk dan makna terhadap

  27

  teks-teks sastra.” Singkatnya, bisa dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial menawarkan paradigma, metode dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan yang kurang bisa dikaji dengan teori lainnya.

  Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari teori pascakolonial, yakni ambivalensi yang digagas oleh Homi K. Bhabha.

  “Ambivalensi” yang diadaptasi oleh Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial, menggambarkan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan

  

(attraction toward) dan penolakan (repulsion from) yang menandai hubungan

  antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek terjajah tidaklah pernah hanya semata-mata dan sepenuhnya menentang penjajahnya. Menurut Bhabha, keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance)

  28

  merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah. Selain itu, ambivalensi juga menandai cara bagaimana wacana kolonial terhubung dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan memberdayakan, atau menampilkan dirinya seolah-olah memberdayakan, pada

  29

  saat yang bersamaan. Dengan konsep “ambivalensi” ini saya berupaya menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) tidaklah 26 sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari 27 Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3. 28 Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.

  

Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London: sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk memberdayakan diri kaum terjajah.

  7. Sumber data dan metode penelitian Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis.

  Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap cerita- cerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa sebagai tokoh utamanya.

  Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini.

  Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.

  8. Sistematika penulisan

Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi

  latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain munculnya pernyaian pada zaman VOC, berlanjutnya pernyaian sebagai akibat kebijakan kependudukan pemerintah kolonial, langgengnya pernyaian sebagai sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra Melayu Rendah, politik bahasa pemerintah kolonial melalui pendirian Balai Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta problematisasi kategori “liar” tersebut. Bab IV akan menganalisis ragam representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan pendekatan pascakolonial. Bab V memuat kesimpulan penelitian ini.

BAB II LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut

  muncul bersamaan dengan kedatangan gadis-gadis Bali ke Batavia yang, selama kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau

  29

concubine orang Eropa. Sementara itu, Tineke Hellwig mengungkapkan bahwa

  kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan (muda), saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid,

  30 sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci.

  Pendapat lain berasal dari Elsbeth Locher-Scholten yang membandingkan beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van

  

Nederlandsch-Indie (Njahi 1919), ia menyebutkan bahwa nyahi (nyai) ialah gelar

  31 terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya. 29 30 Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 (1983): 71.

  Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (Ontario: Netherlandic Press, 1994), 33. Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam pengertian “pengurus rumah tangga orang Eropa” sudah dipergunakan setidaknya pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama. Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa nyai (pengurus rumah tangga) dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh terhadap posisi sang nyai. Kemungkinan besar, menurutnya, hal itu mengindikasikan devaluasi dari gelar tersebut.

  Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada

32 Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dijadikan acuan. Kamus tersebut menyebutkan definisi kata “nyai” sebagai berikut.

  nyai n 1 panggilan utk perempuan yg belum atau sudah kawin; 2 panggilan utk perempuan yang usianya lebih tua dp orang yg memanggil; 3 gundik orang asing (terutama orang Eropa) nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing

  Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta juga menyebutkan definisi poin (3), sedangkan dua definisi

  33

  lainnya masing-masing “panggilan kepada perempuan tua” dan “adinda.” Dari berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai”