BAB I I KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Mudharabah - ANALISIS MANFAAT MUDHARABAH MUQAYYADAH PRODUK PEMBIAYAAN LINKAGE PADA BANK BRI SYARIAH CABANG PURWOKERTO - repository perpustakaan

  a. Pengertian Mudharabah Secara etimologi mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan berpergian, hal ini sesuai dengan firman

  Allah dalam QS. An-Nissa (4) : 101, sebagai berikut : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah

  mengapa kamu meng-qashar shalat

  .” Secara terminologi mudharabah adalah bentuk kontrak

  (perjanjian) antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengguna dana

  (mudharib ) untuk digunakan aktivitas yang produktif di mana

  keuntungan dibagi kedua belah pihak antara pemilik modal dan pengelola dana. Apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (shahibul maal) tidak boleh intervensi kepada pengelola dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya (Mardani, 2012 : 195).

  7 Menurut Ismail (2011) Pembiayaan mudharabah merupakan akad pembiayaan antara bank syariah (shahibul maal) dan nasabah (mudharib) untuk melaksanakan kegiatan usaha, di mana bank syariah memberikan modal seluruhnya dan nasabah menjalankan usahanya. Keuntungan atas pembiayaan mudharabah akan dibagi antara bank syariah dan nasabah dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati kedua belah pihak pada saat akad. Dalam pembiayaan

  

mudharabah , terdapat dua pihak yang melaksanakan perjanjian kerja

  sama yaitu : 1) Bank syariah

  Bank yang menyediakan dana untuk membiayai proyek atau usaha yang memerlukan pembiayaan. Bank syariah menyediakan seluruh modal disebut dengan shahibul maal. 2) Nasabah atau pengusaha

  Nasabah yang memerlukan modal dan menjalankan proyek yang dibiayai oleh bank syariah. Nasabah pengelola usaha dibiayai 100% oleh bank syariah dalam akad mudharabah disebut dengan mudharib (Ismail, 2011: 168-169).

  Menurut Nur Melinda Lestari (2015) mudharabah dalam fiqh berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al-amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam. Ketentuan skema pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut : 1) Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap harus jelas tahapannya.

  2) Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan cara, yakni : (a) Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) (b) Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).

  3) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana. 4) Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah.

  Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, maka ia dapat dikenakan sanksi administrasi (Nur Melinda Lestari, 2015 : 128-129).

  Mudharabah disyariatkan berdasarkan i

  jma’ (kesepakatan) para sahabat dan berdasarkan kesepakatan para imam yang menyatakan kebolehannya. Hal ini berdasarkan dalil yang mengungkapkan bahwa tolong-menolong dalam kebaikan dan saling mencegah dalam hal kemungkaran (Zainuddin Ali, 2006 : 155). Namun, tetap berprinsip pada ketentuan hukum perdata Islam yang diungkapkan sebagai berikut : 1) Harus dilakukan antara sesama muslim yang sudah dianggap sah untuk melakukan jual-beli. Orang kafir dengan orang muslim boleh melakukan mudharabah dengan catatan modal harus dari orang kafir dan kerjanya dari orang muslim, karena seorang muslim tidak dikhawatirkan akan mencari harta yang haram. 2) Modal harus jelas jumlahnya. 3) Bagian pengelola (keuntungan pengelola) harus ditetapkan.

  Apabila tidak ditetapkan, pengelola berhak atas upah kerjanya dan pemilik harta berhak atas seluruh keuntungan. Jika kedua belah pihak sepakat berpendapat bahwa keuntungan dibagi antara mereka, maka pembagian dilakukan dengan dibagi dua.

  4) Jika berselisih dalam hal bagian yang disyaratkan, apakah 25% atau 50%-nya, maka yang harus diterima adalah pendapat pemilik modal asal disertai dengan sumpah. Sebab, diharamkan merugikan sesama muslim, pengelola tidak bisa bekerja sama bagi hasil dengan pihak lain bila akan membahayakan harta pemilik modal, kecuali kalau mendapatkan izinnya.

  5) Keuntungan tidak dibagikan selama perjanjian masih tetap ada, terkecuali kalau kedua belah pihak setuju dan sepakat melakukan pembagian. 6) Apabila hubungan kerja sama telah terputus, namun masih ada harta yang masih menjadi hak orang lain, baik berupa barang atau sisa utang pada seseorang, maka pihak pemilik uang memohon agar barang tersebut diuangkan, atau menjual barang sisa, atau membayar sisa utang pada orang lain dengan uang kontan, atau meminta agar utang dikembalikan maka pekerja harus melakukannya. 7) Laporan dan pengakuan pihak pengelola mengenai kerusakan dan kerugian barang dapat diterima bila dia membawa bukti-bukti dan mau bersumpah, bila tidak demikian, maka laporannya tidak bisa diterima (Zainuddin Ali, 2006 : 155-156).

  b. Landasan Syariah Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini

  (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001 : 95-96).

  1) Al- Qur’an

  “...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari

sebagian karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Muzzammil : 20)

  Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari Q.S al- Muzzammil : 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

  “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka

  

bumi dan carilah karunia Allah SWT...” (Q.S Al-Jumu’ah : 10)

  “Tidak ada dosa (halangan bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu...” (Q.S Al-Baqarah : 198)

  Q.S al- Jumu’ah : 10 dan Q.S al-Baqarah : 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.

  2) Al-Hadits “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Syayidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara

  mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa

  mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)

  “Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda,“ Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, buk an untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah) (Mardani, 2012 : 196).

  Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib Radhiyallahu Anhu,

  “Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk di jual” (HR Ibnu Majah) (Mardani, 2012 : 194).

  3) Ijma Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara

  mudharabah . Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.

  4) Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat (penyiram) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan (pertanian).

  Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal) dianalogikan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogikan dengan pengusaha (entrepreneur). Mengingat dasar hukum muqasat lebih valid dan tegas yang diambil dari sunnah Rasulullah Saw, maka metodologi qiyas dapat dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah (Dimyauddin Diuwani, 2008 : 227).

  c. Jenis-jenis al-Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis : mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.

  1) Mudharabah muthlaqah Transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahubul maal dan mudharib yang cakupnya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan

  ifal ma syi‟ta

  (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.

  2) Mudharabah muqayyadah

  Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah

restricted mudharabah atau specified mudharabah adalah

  kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

  Mudharabah Muqayyadah

  a) Shahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shahibul

  maal . Misalnya, hanya untuk jenis usaha tertentu, tempat

  tertentu, waktu tertentu, dan lain-lain yang sudah ditentukan oleh shahibul maal.

  b) Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah special investment .

  Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah dimana

  pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai dananya, yaitu : 1) Tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya.

  2) Tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan.

  3) Mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga.

  d. Syarat dan Rukun Mudharabah Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun- rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut : 1) Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.

  Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), maka emas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal. 2) Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan

  tasaruf , maka akad akan batal jika dilakukan oleh anak-anak yang

  masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.

  3) Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akad dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

  4) Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.

  5) Melafazkan ijab dari pemilik modal misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola. 6) Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan- persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat al-

  Syaf’i danMalik. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hambal, mudharabah tersebut sah.

  Menurut pasal 231 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syarat

  mudharabah , yaitu sebagai berikut :

  1) Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan/atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha. 2) Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati.

  3) Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad (Mardani, 2012 : 197-198).

  Rukun dan syarat mudharabah menurut fatwa DSN MUI No. 07/ DSN-MUI/VI/2000 tentang Mudharabah.

  1) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola harus cakap hukum. 2) Penyertaan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak

  (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut :

  a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

  b) Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak (akad).

  c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

  3) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut : a) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

  b) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

  c) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 4) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi : a) Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

  b) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus sesuai kesepakatan.

  c) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

  mudharabah , dan pengelola tidak boleh menanggung

  kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

  5) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut : a) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

  b) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikaian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan , yaitu keuntungan.

  mudharabah

  c) Pengelola tidak boleh menyalahi syariah atau hukum islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

  e. Pembatalan Mudharabah

  Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara

  sebagai berikut : 1) Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah .

  Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakan atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian itu menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa pun, kecuali atas kelalaiannya.

  2) Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.

  3) Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal (Mardani, 2012 : 203-204).

  f. Ketentuan Pembiayaan Mudharabah.

  Ada beberapa ketentuan yang harus dimengerti dan dipatuhi oleh masing-masing pihak yang melaksanakan akad mudharabah.

  Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pada akad mudharabah mutlaqah, pengelola modal (mudharib) tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari ketentuan syara’.

  2) Pada akad mudharabah muqayyadah, pengelola modal (mudharib) dalam pengelolaan modal tidak boleh menjalankan modal di luar usaha yang telah ditentukan bersama dengan pemilik modal. 3) Bagi pengelola modal (mudharib) tidak diperbolehkan mengambil atau berhutang dengan menggunakan uang modal untuk keperluan lain tanpa seizin pemilik modal. 4) Bagi pengelola modal (mudharib) tidak diperbolehkan membeli komoditi atau barang yang harganya lebih tinggi dari modal yang telah disediakan. 5) Bagi pengelola modal (mudharib) tidak diperbolehkan mengalihkan modal kepada orang lain dengan akad

  mudharabah , atau dengan kata lain mengoper modal untuk akad mudharabah .

  6) Bagi pengelola modal (mudharib) tidak diperbolehkan mencampur modal dengan harta miliknya.

  7) Pengelola modal (mudharib) hendaknya melaksanakan usaha sebagaimana mestinya (Imam Mustofa, 2016 : 158).

  g. Tindakan setelah matinya pemilik modal Pemilik modal (sahibul maal) meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan pengelola modal mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.

  Pengelola modal (mudharib) wajib menjamin (mengembalikan), kemudian jika modal itu menguntungkan kemudian keuntungannya dibagi dua.

  Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk

  „urud (barang dagangan), pemilik modal (shahibul mal)

  dan pengelola modal (mudharib) menjual atau membaginya karena harta tersebut itu adalah milik hak berdua antara shabibul mal dan

  mudharib . Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan

  penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat m azhab Syafi’i dan Hanbali (Hendi Suhendi, 2013 : 142).

  h. Aplikasi mudharabah dalam lembaga keuangan syariah 1) Pengertian (dalam konteks pembiayaan)

  a) Keuntungan usaha dibagi berdasarkan perbandingan nisbah yang telah disepakati dan apada akhir periode kerja sama nasabah harus mengembalikan semua modal usaha lembaga keuangan.

  b) Dalam hal terjadinya kerugian, maka akan menjadi tanggungan lembaga keuangan, kecuali bila kerugian diakibatkan oleh kelalaian nasabah. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kerugian, lembaga keuangan harus memahami karakteristik risiko usaha tersebut dan kerja sama dengan nasabah untuk mengatasi berbagai masalah.

  2) Aplikasi (dalam konteks pembiayaan)

  a) Pembiayaan modal kerja; modal bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, pedagang, dan jasa.

  b) Pembiayaan investasi; untuk pengadaan barang-barang modal, aktiva tetap dan sebagainya.

  c) Pembiayaan investasi khusus; bank bertindak dan menempatkan diri sebagai arranger yang mempertemukan kepentingan pemilik dana, seperti yayasan dan lembaga keuangan non bank, dengan pengusaha yang memerlukan.

  3) Praktik Pembiayaan Mudharabah Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan berakad jual beli maupun syirkah atau kerja sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (

  ba‟ bil tsaman al- ajil dan murabahah), maka bank akan mendapatkan margin

  keuntungan. Pembagiannya tidak begitu rumit.

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak dalam pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yaitu (a) nisbah bagi hasil yang disepakati, (b) tingkat keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh karena itu, bank sebagai pihak yang memiliki dana akan melakukan perhitungan nisbah yang ada dijadikan kesepakatan pembagian pendapatan (Imam Mustofa, 2016 : 163-164).

  1) Pengertian pembiayaan Pengertian pembiayaan (pada bank syariah) menurut

  Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pada

  pasal 1 disebutkan bahwa : pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah berdasarkan persetujuan antara bank dengan mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Undang-undang No. 10/1998 tentang Perbankan).

  Ismail mendefinisikan pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya kepada penerima dana, bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti akan terbayar. Penrima pembiayaan mendapat kepercayaan dari pemberi pembiayaan, sehingga penerima pembiayaan berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam akad pembiayaan (Ismail, 2011 : 105-106). 2) Jenis-jenis Pembiayaan

  Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2015) dalam menjalankan bisnis pembiayaan, bank syariah mempunyai beberapa macam modal transaksi yang dibedakan sebagi berikut :

  a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah .

  b) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.

  c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

  Istishna‟.

  d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e) Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa (Ikatan Bankir Indonesia, 2015 : 48).

  3) Unsur-unsur pembiayaan Ada beberapa unsur pembiayaan yang harus diperhatikan menurut Ismail (2011), yaitu :

  1) Bank syariah Merupakan badan usaha yang memberikan pembiayaan kepada pihak lain yang membutuhkan dana.

  2) Mitra usaha atau partner Merupakan pihak yang mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, atau pengguna dana yang disalurkan oleh bank syariah. 3) Kepercayaan (Trust)

  Bank syariah memberikan kepercayaan kepada pihak yang menerima pembiayaan bahwa mitra akan memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana bank syariah sesuai dengan jangka waktu tertentu yang diperjanjikan. Bank syariah memberikan pembiayaan kepada mitra usaha sama artinya dengan bank memberikan kepercayaan kepada pihak penerima pembiayaan, bahwa pihak penerima pembiayaan akan dapat memenuhi kewajibannya.

  4) Akad Akad merupakan suatu kontrak perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan antara bank syariah dan pihak nasabah atau mitra. 5) Risiko

  Setiap dana yang disalurkan atau diinvestasikan oleh bank syariah selalu mengandung risiko tidak kembalinya dana.

  Risiko pembiayaan merupakan kemungkinan kerugian yang akan timbul karena dana yang disalurkan tidak dapat kembali.

  6) Jangka waktu Merupakan periode waktu yang diperlukan oleh nasabah untuk membayar kembali pembiayaan yang telah diberikan oleh bank syariah. Jangka waktu dapat bervariasi antara lain jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Jangka pendek adalah jangka waktu pembayaran kembali pembiayaan hingga 1 tahun. Jangka menengah merupakan jangka waktu yang diperlukan dalam melakukan pembayaran kembali antara 1 hingga 3 tahun. Jangka panjang adalah jangka waktu pembayaran kembali pembiayaan yang lebih dari 3 tahun. 7) Balas jasa

  Sebagai balas jasa atas dana yang disalurkan oleh bank syariah, maka nasabah membayar sejumlah tertentu sesuai dengan akad yang telah disepakati antara bank dan nasabah.

  4) Fungsi Pembiayaan Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah berfungsi membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan usahanya, masyarakat merupakan individu, pengusaha, lembaga, badan usaha, dan lain-lain yang membutuhkan dana.

  Secara perinci pembiayaan memiliki fungsi antara lain : 1) Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar-menukar barang dan jasa.

  Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar barang, hal ini seandainya belum tersedia uang sebagai alat pembayaran, maka pembiayaan akan membantu melancarkan lalu lintas pertukaran barang dan jasa.

  2) Pembiayaan merupakan alat yang dipakai untuk memanfaatkan idle fund .

  Bank dapat mempertemukan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Pembiayaan merupakan satu cara untuk mengatasi gap antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang membutuhkan dana. Bank dapat memanfaatkan dana yang idle untuk disalurkan kepada pihak yang membutuhkan. Dana yang berasal dari golongan yang kelebihan dana, apabila disalurkan kepada pihak yang membutuhkan dana, maka akan efektif, karena dana tersebut dimanfaatkan oleh pihak ynag membutuhkan dana.

  3) Pembiayaan sebagai alat pengendali harga.

  Ekspansi pembiayaan akan mendorong meningkatnya jumlah uang yang beredar, dan peningkatan peredaran uang akan mendorong kenaikan harga. Sebaliknya, pembatasan pembiayaan, akan perpengaruh pada jumlah uang yang beredar, dan keterbatasan uang yang beredar di masyarakat memiliki dampak pada penurunan harga.

  4) Pembiayaan dapat mengaktifkan dan meningkatkan manfaat ekonomi yang ada.

  Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang diberikan oleh bank syariah memiliki dampak pada kenaikan makro-ekonomi. Mitra (pengusaha), setelah mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, akan memproduksi barang, mengolah bahan baku menjadi barang jadi, meningkatkan volume perdagangan, dan melaksanakan kegiatan ekonomi lainnya. 5) Fasilitas Pembiayaan

  Berdasarkan tujuan penggunaanya, fasilitas pembiayaan dibedakan menjadi : a) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana usaha bagi pembelian atau pengadaan atau penyediaan unsur-unsur barang dalam rangka perputaran usaha.

  b) Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pengadaan sarana atau prasarana usaha (aktiva tetap).

  c) Pembiayaan multiguna, yaitu pembiayaan yang dapat digunakan untuk sewa suatu barang, talangan dana, maupun biaya jasa suatu pengurusan dan lain-lain.

  d) Pembiayaan sindikasi, yaitu pembiayaan yang dilakukan secara

  musyarakah

  dengan lembaga keuangan syari’ah lainnya kepada mitra yang jumlah kebutuhan pembiayaannya melebihi kemampuan bank (Adiwarman A Karim, 2011 : 322). 6) Analisis Pembiayaan

  Merupakan suatu proses analisis yang dilakukan oleh bank syariah untuk menilai suatu permohonan pembiayaan yang telah diajukan oleh calon nasabah. Dengan melakukan analisis permohonan pembiayaan, bank syariah akan memperoleh keyakinan bahwa proyek yang akan dibiayai layak (feasible).

  Bank melakukan analisis pembiayaan dengan tujuan untuk mencegah secara dini kemungkinan terjadinya default oleh nasabah.

  Analisis pembiayaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bangi bank syariah dalam mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak permohonan pembiayaan. Analisis yang baik akan menghasilkan keputusan yang tepat. Analisis pembiayaan merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai acuan bagi bank syariah untuk meyakini kelayakan atas permohonan pembiayaan nasabah (Ismail, 2011 : 108-120).

  1) Linkage Program

  a) Pengertian linkage program

  Linkage Program adalah program kerjasama antara

  bank umum termasuk bank umum peserta KUR dengan koperasi dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) (Peraturan Menteri No. 03/Per/M.KUKM.III/2009).

  Jadi linkage program adalah program pembiayaan yang bersifat kemitraan. Pembiayaan ini disalurkan lewat perusahaan mitra. Perusahaan mitra yang menjadi partner Bank Syariah bisa berupa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), multifinance dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) seperti Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) .

  Pembiayaan linkage pada BRI Syariah bisa diartikan sebagai pembiayaan kepada kopkar atau KPRI, yang pengertiannya sebagai berikut :

  (1) Pembiayaan yang ditujukan kepada karyawan suatu perusahaan atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) suatu instansi yang memiliki pendapatan bulanan berupa gaji. (2) Pemberian pembiayaan tersebut tidak dilakukan secara langsung kepada masing-masing individu karyawan atau PNS melainkan melalui kopkar atau KPRI dengan mekanisme secara executing.

  (3) Mekanisme executing adalah kondisi dimana kopkar atau KPRI bertindak secara badan hukum yang melakukan perjanjian pembiayaan dengan bank BRI Syariah sehingga kopkar atau KPRI bertanggung jawab penuh terhadap pengembalian pembiayaan tersebut kepada Bank BRI Syariah, namun kopkar atau KPRI tetap berkewajiban untuk menyalurkan pembiayaan tersebut yang diterimanya kepada karyawan atau PNS yang menjadi anggotanya.

  2) Model Linkage Program Model Linkage Program antara bank umum dengan koperasi, dilakukan dalam bentuk : a) Executing

  Pinjaman yang diberikan oleh bank umum kepada koperasi dalam rangka pinjaman atau pembiayaan untuk disalurkan kepada anggota koperasi. Pencatatan di bank umum sebagai pinjaman kepada koperasi, sedangkan pencatatan di koperasi sebagai pinjaman kepada anggota koperasi.

  b) Channeling Pinjaman yang diberikan oleh bank umum kepada anggota koperasi melalui koperasi yang bertindak sebagai agen dan tidak mempunyai kewenangan memutus kredit kecuali mendapat surat kuasa dari Bank Umum. Pencatatan di Bank Umum sebagai pinjaman kepada anggota koperasi, sedangkan pencatatan di koperasi pada off balance sheet.

  c) Joint Financing Pembiayaan bersama oleh bank umum dan koperasi terhadap anggota koperasi. Pencatatan outstanding credit bagian bank umum dan bagian koperasi sebesar porsi pembiayaan kepada anggota koperasi.

  3) Tujuan Linkage Program Adapun tujuan linkage program menurut Peraturan

  Menteri No. 03/Per/M.KUKM/III/2009, yaitu :

  a) Memperluas dan meningkatkan akses UMKM terhadap fasilitas kredit atau pembiayaan modal kerja dan atau investasi melalui linkage program antara bank umum dengan koperasi. b) Mengembangkan kerjasama antara bank umum termasuk bank umum peserta KUR dengan koperasi.

  c) Meningkatkan peran KSP atau USP-koperasi dan KJKS atau UJKS-koperasi sebagai lembaga keuangan mikro yang mampu melayani UMK dalam mendukung upaya perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan, terutama untuk daerah-daerah yang jauh dari pelayanan perbankan. 4) Kode Etik Peserta Linkage Program Pola Syariah

  Kode etik peserta linkage program pola syariah menurut Peraturan Menteri No. 03/Per/M.KUKM.III/2009, yaitu :

  a) Bagi anggota atau mitra pembiayaan KJKS atau UJKS yang telah naik kelas (dari debitur mikro menjadi kecil) dan memerlukan dan pembiayaan yang lebih besar, namun KJKS atau UJKS-Koperasi tidak mampu membiayai, maka BUS atau UUS dapat membiayai anggota KJKS atau UJKS- Koperasi dimaksud dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat.

  b) BUS atau UUS dan KJKS atau UJKS-Koperasi harus transparan dalam memberikan dan menyampaikan informasi yang terkait dengan linkage program sejauh tidak melanggar ketentuan yang berlaku (seperti laporan keuangan, struktur pendanaan, dan profil koperasi company profile ). c) Bagi KJKS atau UJKS-Koperasi, satu jaminan hanya untuk dijaminkan kepada satu shahibul maal mitra pembiayaan (BUS atau UUS).

  d) BUS atau UUS dan KJKS atau UJKS-Koperasi yang melaksanakan linkage program dengan pola joint financing dan channeling, tidak diperkenankan membebani debitur dengan marjin atau nisbah bagi hasil yang lebih tinggi dari harga pasar untuk sektor usaha UMK yang dibiayai.

  e) KJKS atau UJKS-Koperasi yang mengikuti linkage program harus memelihara predikat penilaian kesehatan.

  f) Setiap pelanggaran kode etik di atas oleh BUS atau UUS dan KJKS atau UJKS-Koperasi dilaporkan kepada Bank Indonesia dan Kementrian Negara Koperasi dan UKM (Peraturan Menteri No. 03/Per/M.KUKM.III/2009).

B. Penelitian Terdahulu

  1. Skripsi Siti M aesaroh (2011), yang berjudul “Efektifitas Linkage

  Program Bank Syariah Mandiri dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga

Keuangan Mikro” ini memberikan hasil bahwa lembaga keuangan mikro yang menjalin linkage program dengan Bank Syariah Mandiri

  mengalami peningkatan aset, modal dan jumlah nasabah, akan tetapi terjadi penurunan laba. Hal ini disebabkan karena peningkatan sumberdaya manusia yang dibutuhkan Bank Syariah Mandiri dalam melayani nasabah. Sehingga disaat kegiatan Bank Syariah mengalami peningkatan diikuti juga dengan peningkatan tenaga kerja, hal ini berakibat pada menurunnya laba yang diperoleh Bank Syariah Mandiri.

  2. Skripsi J ubaedah (2009), yang berjudul “Peran Strategis Linkage

  Program Bank Syariah Terhadap Penguatan Lembaga Keuangan Mikro

  (Studi Pada Bank Muamalat Indonesia” skripsi ini menjelaskan bahwa

  linkage program melalui pola executing lebih berperan karena lebih

  signifikan bagi BPRS, dan permasalahan yang dihadapi BMI adalah ketidaksesuaian potensi dan kopetensi antara BPRS dan BMI, strateginya yaitu penguatan manajemen, administrasi dan operasional BPRS dan memantapkan sistem, SDM, pendampingan yang maksimal dari BMI, penggunaan yang maksimal atas infrastruktur perbankan syariah Indonesia.

  Linkage Koperasi dengan Prinsip Mudharabah (Studi pada BRI Syariah

  cabang Malang)” skripsi ini menjelaskan bahwa Bank BRI Syariah dalam menjalankan linkage program berusaha sesuai syariat Islam walaupun belum sepenuhnya. Dalam pembiayaan masih ada kekurangan yang dianalisa sehingga masih terdapat permasalahan saat pembiayan tersebut sudah diberikan kepada koperasi, yaitu seringnya terjadi ketidaksesuaian antara dokumen dan informasi yang diterima dengan keadaan di lokasi.

  Banyak penyalahgunaan dana yang diberikan untuk hal yang lain tanpa diketahui pihak bank dan tidak sesuai dengan kesepakatan diawal perjanjian antara koperasi dan pihak bank.

  4. Skripsi Ahmad Al- ghazali (2013), yang berjudul “Tingkat Kompotitif Pola-pola Linkage

  Program Pada Bank Syariah” skripsi ini menganalisis tingkat kompotitif masing-masing pola linkage program dari segi risiko, profit dan dari segi pembiayaan. Juga menjelaskan pada setiap pola-pola yang dijalankan pada bank Muamalat Indonesia, dimana setiap pola yang dijalankan berbeda satu dengan yang lainnya.

  5. Skripsi Siti Masniah (2007), yang berjudul “Pembiayaan Mudharabah pada Koperasi Bitulmal Wa Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah

Studi Kasus pada BMT Sidogiri Pasuruan” skripsi ini menyatakan bahwa strategi yang digunakan oleh BMT ini dengan penyaluran 5C, dan 1S

  dimana 5C adalah caracter, capacity, condition, collateral, capital, sedangkan 1S adalah syariah. Jenis pembiayaan yang dilakukan oleh BMT ini adalah untuk kepentingan usaha saja. Pembiayaan ini dilakukan dengan nisbah bagi hasil dengan pertimbangan produktivitas usaha yang dilakukan. Mekanisme dalam pembiayaan yang dilakukan oleh BMT Sidogiri ini sangat mudah bagi nasabah dan masyarakat disekitar ikut merasakan manfaatnya, karena proses yang sangat cepat, mudah dan layanan yang ramah menjadi kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA PT BANK BNI SYARIAH KANTOR CABANG JEMBER

5 18 95

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG MALANG

10 64 19

ANALISIS PENERAPAN AKUNTANSI PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI Tbk CABANG MALANG

0 9 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPANAN AKAD MURABAHAH PADA PRODUK PEMBIAYAAN KPR DI BANK BRI SYARIAH KC. S. PARMAN - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 10

PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG GUBENG SURABAYA - Perbanas Institutional Repository

0 0 23

PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG GUBENG SURABAYA - Perbanas Institutional Repository

0 0 15

1 BAB I PENDAHULUAN - PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG GUBENG SURABAYA - Perbanas Institutional Repository

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN PERLAKUAN AKUNTANSINYA PADA BANK SYARIAH (STUDI KASUS PADA PT. BANK MUAMALAT INDONESIA TBK. CABANG SURABAYA) - Perbanas Institutional Repository

0 0 28

ANALISIS PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU BANYUMANIK TUGAS AKHIR - ANALISIS PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU BANYUMANIK - Test Repository

1 1 90

ANALISIS PEMASARAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH DALAM UPAYA PENCAPAIAN TARGET PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG NUSUKAN SOLO - iainska repository

0 1 138