MENELUSURI EPISTEMOLOGI SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO.
MENELUSURI EPISTEMOLOGI SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO
SKRIPSI
Oleh :
MOH. NABIL ARROMIZY NIM. E01209027
JURUSAN FILSAFAT AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN dan FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAKSI
Judul : Menelusuri Epistemologi Sosial Profetik Kuntowijoyo Penulis : Moh. Nabil Arromizy
Pembimbing : M. Helmi Umam, S. Ag., M. Hum
Kata Kunci : Epistemologi, Sosial Profetik, Strukturalisme Transendental, Kuntowijoyo.
Tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah (1) Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, (2) Menganalisis bangunan epistemologi Sosial Profetik Kuntowijoyo. Adapun masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, (2) Bagaimana Ilmu Sosial Profetik ditinjau dalam epistemologi umum. Dalam menjawab permasalahan penelitian ini,
peneliti menggunakan metode analisis deskriptif (deskriptif analysis), untuk
mendiskripsikan pemikiran Kuntowijoyo mengenai Sosial Profetik dan ditinjau dalam epistemologi umum yang berkembang di dunia Barat. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan gagasan penting Kuntowijoyo yang bertujuan untuk transformasi sosial dengan paradigm profetik yang merumuskan tiga pilar sebagai pijakan yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Metode strukturalisme digunakan dalam menganalisis realitas sosial yang mengakui bahwa secara epistemologi, ada tiga sumber pengetahuan yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Bangunan epistemologis tersebut lebih dekat dengan filsafat kritisisme Immanuel Kant dengan pandangan dualistiknya seperti dalam ajarannya tentang moral. Dari moral inilah Kant berusaha membawa manusia menuju sebuah kesadaran akan adanya realitas yang mampu memahami nomena, sebuah spirit transenden yang dapat melihat setiap fenomena dan
(7)
(8)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAKSI ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I: MENELUSURI EPISTEMOLOGI SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Penegasan Judul ... 5
E. Kajian Pustaka ………... ... 6
F. Metode Penelitian ... 7
G. Sistematika Pembahasan ... 11
BAB II: EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT ... 13
A. Sejarah Epistemologi ... 13
(9)
C. Epistemologi David Hume (1711 – 1776 M) ... 19
D. Epistemologi Immanuel Kant (1724 – 1804 M) ... 21
E. Epistemologi Kontemporer ... 29
BAB III: BIOGRAFI PEMIKIRAN SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO ... 32
A. Biografi ... 32
1. Riwayat Hidup Kuntowijoyo . ... 32
2. Latar Belakang Pendidikan Kuntowijoyo. ... 34
B. Karya-karya Tulis Kuntowijoyo ... 37
C. Gagasan dalam Perkembangan Keilmuan ... 41
1. Gagasan Sejarah Sosial ... 41
2. Objektifikasi ... 42
3. Ilmu Sosial Profetik ... 42
D. Metode Strukturalisme Transendental dalam Pemikiran Kuntowijoyo ... 45
BAB IV: ANALISIS ... 55
Epistemologis Strukturalisme Transendental Kuntowijoyo dalam Kajian Filsafat Barat ... 55
BAB V: PENUTUP ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
(10)
(11)
BAB I
MENELUSURI EPITEMOLOGI SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu cabang filsafat, epistemologi membahas tentang sumber pengetahuan
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Seperti yang dijelaskanRunnes dalam kamusnya
(1971) bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure,
methods and validity of knowledge.1Oleh karena itu epitemologi selalu menjadi bahan yang
menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang
diperoleh manusia menjadi bahan pijakan.Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang
pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada
struktur pengetahuan yang membentuknya. Sebagaimana “Ilmu Sosial Profetik” dalam wacana
pemikiran kontemporer sangat menarik untuk diteliti karena ia menawarkan paradigma baru
dalam bangunan epistemologisnya.
Kehadiran Ilmu Sosial Profetik (untuk selanjutnya ditulis ISP) dari Kuntowijoyo yang
menawarkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan (sosial) tidak terlepas dari realitas
ilmu-ilmu sosial Barat yang masih mengalami kemandekan (stagnasi). Menurut Kuntowijoyo,
Ilmu-ilmu sosial tidak boleh berhenti pada penjelasan fenomena sosial, namun juga lebih pada upaya
mentransformasikannya.Oleh karena itu Kuntowijoyo mencoba menawarkan “Ilmu Sosial
1
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 23.
(12)
Profetik (ISP)” sebagai alternatif untuk memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu
dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa.2
Berangkat dari kesadaran itulah, ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan
memahami realitas apa adanya tetapi lebih kepada mentransformasikannya menuju cita-cita yang
diidamkan masyarakatnya. ISP merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus
menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi
dan trasendensi yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Ali
Imran [3] ayat 110 : Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.3
Merujuk pada pemikiran Thomas Kuhn tentang paradigma dalam bukunya yang berjudul
the Structrure of Scientific Revolution.Paradigma yang dipahami Kuhn bahwa pada dasarnya
realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thougt atau mode of inquiry tertentu, yang pada
gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula.4Maka sejatinya ISP dengan
strukturalisme transendentalnya telah melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu
reorientasi terhadap mode of thougt dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu
terdiri dari realitas empiris, rasio dan wahyu.Bangunan epistemolgi inilah yang menjadi
eksplorasi dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, dalam memahami kerangka epistemologis dari ISP. Maka perlu difahami
pula paradigma-paradigma (transformasi sosial) teoritis Ilmu-ilmu Sosial Modern, yang dianggap
Kuntowijoyo penting untuk melihat perbedaan dan persamaan dari perspektif komparatif dengan
paradigma Islam yang ia bangun. Paradigma Ilmu Sosial Modern tersebut adalah teori Marxian,
Weberian dan Durkheimian yang akan dibandingkan pada tingkatan meodologis, dengan
2
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 288. 3
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 87. 4
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 327.
(13)
anggapan bahwa teori Islam, sebagaimana teori-teori Barat tersebut juga bersifat
empiris.5Dengan demikian dapat dianalisis bagaimana relevansi Ilmu Sosial Profetik dalam
kajian epistemologi pada umumnya.
Sebagai bangungan keilmuan, metodologi menempati ruang penting dalam kajian Ilmu
Sosial Profetik sehingga apakah pemikiran ini dapat disandingkan dengan Ilmu-ilmu sosial yang
mendahuluinya dan ia benar-benar sebagai produk keilmuan yang telah mencapai kemapanannya
(?). Sebagaimana Thomas Kuhn mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada, yang sudah menjadi
suatu paradigma (disebut normal science), akan mengalami krisis, lalu timbul revolusi ilmu.
Kemudian ilmu yang memberontak itu menjadi normalscience, menjadi suatu paradigm baru.6
Ilmu Sosial Profetik yang telah digagas oleh Kuntowijoyo memiliki keberpihakan bahwa
kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).Peranan kesadaran ini
membedakan etika Islam dari etika materialistis.Pandangan kaum Marxis bahwa superstructure
(kesadaran) ditentukan oleh structure (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan
pandangan Islam tentang independensi kesadaran.Demikian pula pandangan yang selalu
mengembalikkan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme)
berntentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi
Tuhan.Demikian juga segala bentuk sekularisme bertentangan dengan kesadaran ilahiah.7
Ilmu Sosial Profetik sebagai sebuah gagasan (ide), tentu saja bukanlah ide yang
benar-benar murni baru. Sebuah ide adalah hasil dari interaksinya dengan berbagai macam ide lain
dalam setting sosio-kultural dan peristiwa-peristiwa sejarah yang mengiringinya.Begitu pula
dengan Ilmu Sosial Profetik dari Kuntowijoyo ini, sejatinya istilah profetik lebih banyak diilhami
5
M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak- jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 152-153.
6
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 57-58. 7
Ibid, 91-92.
(14)
dari pemikiran Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy.Teologi transformatif dari Moeslim
Abdurrahman pun turut memberikan andil dalam kelahiran ISP sekalipun Kuntowijoyo sendiri
sedapat mungkin menghindari istilah “Teologi” dalam pemikirannya ini.Oleh karena itu dalam
penelitian ini juga perlu dikaji pendekatan semantik yang digunakan sebagai langkah awal untuk
menelusuri bangunan epistemologinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, maka yang akan dibahas
dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo ?
2. Bagaimana Ilmu Sosial Profetik ditinjau dalam epistemologi umum ?
C. Tujuan Penelitian
Secara teoritis, penulis mengadakan penelitian pemikiran ini untuk menambah wawasan
dan khazanah keilmuan tentang epistemologi Ilmu Sosial Profetik dari Kuntowijoyo.
Secara praktis, penulis memiliki tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mencapai dan
menemukan jawaban dalam pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah, diantaranya :
1. Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.
2. Menganalisisbangunan epistemologi Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.
(15)
Penelitian ini berjudul “Menelusuri Epitemologi Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo”.
Maka agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam memahami penelitian ini, penulis merasa perlu
untuk menjelaskan beberapa kata kunci yang terdapat pada judul penelitian ini :
Epistemologi : membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan.Runnes dalam kamusnya (1971) bahwa epistemology is the branch of philosophy
which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge.8Istilah epistemologi
untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 (Runes,
1971:94).Oleh karena itu epitemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena
disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi
bahan pijakan.
Profetik : berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga menjadi icon
dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Amerika Latin.
Filosof Muslim, Muhammad Iqbal menguraikan etika profetik, mengutip dari perkataan Abdul
Quddus, seorang mistikus Islam dari Gangga, “Muhammad dari Jazirah Arab ke Mi’raj, ke
langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah akau bersumpah, jika sekiranya akau sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali lagi ke bumi.”9
Kuntowijoyo : lahir pada tanggal 18 September 1943 di Bantul, Yogyakarta. Ayahnya
seorang dalang dan pembaca macepat, sedangkan eyang buyutnya seorang Khathath (penulis
mushaf Al-Qur’an dengan tangan).Posisi ayahnya sebagai dalang dan eyang buyutnya sebagai
penulis mushaf Al-Qur’an agaknya berpengaruh terhadap perkembangan pribadinya.10
8
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 23.
9
M. Abdul Halim Sani, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011), 40-41. 10
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya (Jakarta: PT Grasindo, 2007), 3.
(16)
E. Kajian Pustaka
Penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang pemikiran Kuntowijoyo sudah
pernah dilakukan, baik dalam bentuk buku, skripsi, jurnal maupun artikel.Namun yang
membahas secara khusus penelusuran epistemologi Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo dan
penganalisisannya terhadap epistemologi umum belum pernah dilakukan.
Pemikiran Kuntowijoyo sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, karena itu telah banyak
tulisan mengenai pemikirannya.Dalam bentuk skripsi penelitian mengenai pemikirannya telah
dilakukan oleh mahasiswa Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya oleh Sukmawati Wahyu,11
Ahmad Muhibbudin,12 Zaim Fathoni,13 dan Imam Nawawi.14
Dengan memperhatikan semua tulisan terdahulu tersebut, maka di sini penulis semakin
yakin kalau pemikiran Kuntowijoyo khususnya tentang Ilmu Sosial Profetik ini memang layak
untuk terus diteliti dan dikembangkan demi memperkarya wacana dan menjawab tantangan umat
Islam dan kemanusiaan. Untuk itu dalam penelitian kali ini penulis lebih memfokuskan pada
bangunan epistemologi dari pemikiran Ilmu Sosial Profetik dan relevansinya terhadap
epistemologi umum.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi sebagai cabang filsafat pengetahuan yang membicarakan mengenai cara-cara
kerja ilmu merupakan perangkat utama dalam sebuah penelitian.Untuk dapat mencapai hasil
11
Sukmawati Wahyu,”Pemikiran Kuntowijoyo tentang Historiografi Islam di Indonesia”, (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2012).
12
Ahmad Muhibbudin,”Islam Transformatif: Studi Komparatif Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman”,(Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2007). 13
Zaim Fathoni,”Islam Transformatif: Studi tentang Pemikiran Kuntowijoyo”,(Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel,1998).
14
Imam Nawawi,”Nilai- nilai Profetik dalam Pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo”, (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2011).
(17)
yang optimal, sistematis dan metodis serta secara moral dapat dipertanggungjawabkan, penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu, sebagai sistem aturan yang
menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan.15
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (libraryresearch).Penelitian ini
dilakukan dengan bertumpu pada data kepustakaan tanpa diikuti uji empiris.Jadi studi pustaka ini
adalah teks yang seluruh substansinya diolah secara filosofis atau teoritis.16 Studi teks menurut
Noeng Muhajir mencakup ; pertama, telaah teoritik suatu disiplin ilmu yang perlu dilanjutkan
secara empiris untuk memperoleh kebenaran secara empiris pula. Kedua, studi yang berupaya
mempelajari seluruh subtansi objek penelitian secara filosofis dan teoritik dan terkait dengan
validitas.Ketiga, studi yang berupaya mempelajari teori linguistic.Keempat, studi sastra.17
Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.Paradigma penelitian kualitatif
di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pemabahasan holistik,
sistemik, dan menggunakan makna dibalik fakta empiris sensual. Secara epistemologis,
metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik agar obyek yang diteliti tidak dilepaskan
dari konteksnya ; atau setidaknya obyek yang diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu,
tetapi tidak mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah Moeleong (1989), penelitian kualitatif
bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris
terjadi suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena
sosial harus diungkap secara holistik.18
Data yang telah dikumpulkan melaui sumber kepustakaan, diolah dan dianalisis
menggunakan teori yang berkaitan dengan obyek kajian.Sementara itu dalam teknis menganalisis
15
Anton Bekker, Metode- metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 10 16
Noeng Muhajir, MetodeKualitatif (Yogyakarta: Rakesa Rasia, 1996), 158-159 17
Ibid
18
Muhammad Shofa, Tahapan- tahapan Eksistensi Manusia ; Studi Komparasi Soren Kierkegraard dan Ali Syari’ati
(skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), 13.
(18)
data menggunakan analisis isi.Sebagai upaya penelusuran bangunan epistemology pemikiran
Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik kemudian direlevansikan dengan epistemologi umum
dalam kajian filsafat.
1. Sumber dan Jenis Data
a. Sumber Data
Penulisan ini merupakan penulisan kepustakaan, karenanya data yang digunakan adalah
buku-buku atau tulisan-tulisan yang disusun oleh Kuntowijoyo terutama yang terkait dengan
penelitian ini. Selain itu, penulis melakukan pengumpulan data dengan jalan mempelajari
literature dari buku- buku lain yang mendukung pendalaman dan ketajaman analisis.
Sumber data yang dimungkinkan juga diperoleh dari dokumen, yaitu laporan dari
kejadian- kejadian yang berisi pandangan serta pemikiran manusia masa lalu,19 berupa majalah,
artikel, dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan skripsi ini.
Secara garis besar, sumber data tersebut terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Sumber Pilihan (primer)
Sumber data primer dalam penelitian ini meliputi karya-karya tulis Kuntowijoyo serta buku yang
dipakai sebagai bahan analisis seperti :
a. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (Bandung : PT Mizan, 1991)
b. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2006)
c. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid : Esai- esai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan, 2001)
2) Sumber Tambahan (sekunder)
19
Moh. Nazir, MetodePenelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), 57.
(19)
Data sekunder merupakan sumber pendukung karya yang ditulis oleh para tokoh yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yakni yang membahas tentang
Sosial Profetik Kuntowijoyo, diantaranya;
a) M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak- jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta : Pilar Religia, 2005)
b) Wan Anwar, Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya (Jakarta : PT Grasindo, 2007)
b. Jenis Data
Penulisan ini merupakan studi kepustakaan (librarystudy), yaitu menjadikan bahan
pustaka sebagai sumber (data) utama.Sehingga penulisan karya ini lebih sebagai penulisan
documenter (documenterlibrary).
2. Teknik Penggalian Data
a) Editing, yaitu upaya penyeleksian dengan memeriksa kembali semua data yang diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, keserasian satu dengan lainnya
dan relevansi data.
b) Organizing, yaitu dengan menyusun dan mensistematisasikan data- data yang diperoleh
sesuai dengan rumusan masalah.
3. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif (deskriptifanalysis)
(20)
menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan
merekam sebanyak mungkin aspek yang diteliti.20
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai apa yang dibahas, skripsi disusun dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab satu merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab dua membahas kajian epistemologi secara umum serta teori yang berkaitan dengan
penelusuran epistemologi.
Bab tiga membahas tentang biografi dan pemikiran Sosial Profetik Kuntowijoyo.
Bab empat membahas tentang analisis penelusuran epistemologi Sosial Profetik
Kuntowijoyo ditinjau dalam epistemologi umum.
Bab lima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran untuk penelitian- penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kajian epistemologi dalam penelitian ini.
20
Moh. Nazir, Metode Penelitian, 16.
(21)
BAB II
EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT A. Sejarah Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan.Secara
sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.1Dilihat dari segi bahasa, epistemologi
merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa Yunani, episteme, berarti pengetahuan, dan
logos, berarti ilmu.2Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang
pengetahuan.Penekanan epistemologi adalah pengetahuan manusia, sebagai makhluk berakal dan
berperadaban.Kajian epistemologi meliputi pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan
secara rasional.Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta
bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran pengetahuan diartikan
sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide dan gagasan yang berhubungan dengannya,
seperti indera, memori, persepsi, bukti-bukti, kepercayaan dan kepastian.
Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan kemungkinan
dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan batas-batas, dan memberikan
kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki dari pengetahuan.Epistemologi juga
menentukan aspek kesadaran manusia ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan
terutama dengan diri pribadi manusia itu sendiri.
Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi signifikan dalam
wacana filsafat Barat.Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan para filsuf, sejak zaman klasik
ribuan tahun silam seolah tidak menemukan kepastian.Perbedaan itu kiranya menjadi ajang
1
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Book Ltd., 2000), 174
2
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology. artikel diakses pada 30 April 2010
(22)
pertarungan ide dan gagasan yang menandai nuansa zamannya.Meskipun menjadi masalah yang
cukup menguras energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang
dikaji dalam kajian filsafat Barat.Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi persoalan yang
pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat.Seperti Thales (645-545 SM) yang
konsen pada ranah ontologi yaitu tentang pokok penyusun alam semesta.3Ia berusaha untuk
menemukan suatu realitas primordial, yang disebutnya arche.4 Sedangkan Parmenides (lahir 540
SM.) yang dianggap sebagai pionerr kelompok rasionalis dan Heraklitos (540-480 SM.)
termasuk kelompok empiris, akan tetapi masih belum menjadi perdebatan epistemologi pada
saat itu karena penalaran mendalam terkait dengannya dianggap belum terbentuk secara utuh.
Akan tetapi mereka memainkan peranan yang cukup signifikan dalam wacana filsafat
dikemudian hari.Mereka kerap dianggap mewakili dua kecenderungan yang saling
berlawanan.Pemahaman tentang pengetahuan tersebut tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya
dalam pola pikir masyarakat Yunani sampai berabad-abad berikutnya.Sampai akhirnyadi abad
ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh kritikan tajam kaum Sofis.
Kaum Sofis adalah kalangan terpelajar yang memulai penyebarluasan filsafat ke
tengah-tengah masyarakat; keluar dari sekolah menuju pasar.5Mereka adalah para guru dan teladan
berilmu.Seni berdebat adalah salah satu yang diajarkan Sofis, dan menjadi mata pelajaran
favorit.Meskipun tidak memunculkan terobosan baru menyangkut pengembangan ilmu
pengetahuan, kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang
saintifik yang sudah ada di Yunani.Mereka dianggap sebagai pembawa pertama dan terutama
3
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New York: Dover Publication Inc., 1956), 37.
4
http;//en.wikipedia.org/wiki/Arche, artikel diakses pada 01 Mei 2010.
5
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, 110.
(23)
terjadinya pencerahan Yunani.6 Kaum Sofis memelopori perdebatan dan pengujian sejumlah
tradisi yang sudah taken for granted oleh masyarkat. Mereka juga mempersoalkan hakikat
pengetahuan manusia.
Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi, sehingga apa
yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu sandungan kaum Sofis.Persoalan
epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan
ini.Perdebatan antara yang universal dan yang relatif.Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya
dari Gorgias (483-375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan
pengetahuan.Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak
mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan pengetahuan
tentang realitas itu.7 Namun ia pun pada akhirnya tidak memberikan penyelesaian terkait
persoalan ini.
Karena sikap dan pendirian kaum Sofis yang demikian, masyarakat Yunani
berangsur-angsur beralih memihak Socrates (470-399 SM.), dan para muridnya.Sebuah perjuangan yang
melelahkan dengan harga yang teramat mahal—bahkan harus mengorbankan nyawa Socrates
sendiri dengan meminum racun.Wacana epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih
jelas oleh Plato (428-347 SM.)—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang pertama kali
mengajukan pertanyaan mendasar tentang epistemologi: “apa yang bisa kita
ketahui?”8Pertanyaan sederhana ini yang menandai babak baru diskursus filosofis. Di kemudian
hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya beragam gagasan dan ide
6
Ibid., 111.
7
D. W. Hamlyin, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), 9.
8
Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction (New York: McGraw-Hill Company, 1965), 14.
(24)
bermuara untuk memecahkan kerumitan seputar pertanyaan tentang di manakah pengetahuan itu
benar-benar dapat diperoleh, dan sebanyak apa pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan
sebanyak apa pengetahuan itu bisa kita pikirkan? Apakah indera menyediakan
pengetahuan?Bisakah akal memberikan pengetahuan?Apa hubungan antara pengetahuan dan
kepercayaan yang benar? Sederetan pertanyaan inilah yang dibahas Plato dan para filsuf dalam
diskursus filosofis di masa-masa berikutnya.
Paparan epistemologi dalam pembahasan selanjutnya, lebih diarahkan kepada masa
tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman modern.Periodesasi ini
dipilih, mengingat akar kemunculannya sangat diperlukan guna memetakan perkembangannya
dari awal, dan zaman di saat perdebatan itu begitu ramaiketika Immanuel Kant hidup.Tidak
dijelaskannya perdebatan epistemologi di zaman pertengahan, karena perhatian pemikir pada
masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri.Sebagaimana
disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah kendali agama
Kristen.Filsafat digunakan untuk membentengi agama, sebagai alat penalaran yang
memperkokoh iman.9 Kebanyakan pemikir modern kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi
filsafat sebagai kajian dogmatis tidak membawa kebaikan sama sekali.
B. Rasionalisme
Istilah rasionalisme berasal dari bahasa Latin ratio, bermakna akal.10Dalam diskursus
filsafat, rasionalisme merujuk pada suatu kecenderungan para filsuf yang lebih menitikberatkan
kemampuan akal sebagai kemampuan dalam menggapai pengetahuan.Akal dijadikan sumber
9
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: Geoege Allen and Unwin Ltd., 1961), 303-306.
10
Bernard Wiliams, “Rationaism,” in Paul Edward, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), 69.
(25)
utama dalam memperoleh pengetahuan.Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Parmenides
sempat menyinggung pandangan semacam ini.Namun, gagasan yang paling jelas dan luas baru
bisa dilacak di zaman klasik pada pemikiran Plato.
Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari dunia ide.Alam
ide merupakan sumber segala sesuatu.Ia bersifat abadi, kekal, dan tidak dapat diubah. Alam ide
bersifat transenden.Segala sesuatu yang ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam
ide. Pengetahuan yang dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyikapan atas apa yang
ada di alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal.Ia menjadi prototype
sesuatu di dunia. Jika a disebut “rumah” misalnya, maka sebenarnya konsep “rumah” sudah
terdapat di dunia ide.Yang Nampak di dunia adalah bayang-bayang atas konsep rumah yang
abadi di alam ide.Pengetahuan bersifat universal.Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato,
pengetahuan berbeda dari keyakinan yang benar. Tetapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar
(logos),11 meskipun dalam prakteknya baik pengetahuan maupun keyakinan yang benar
mengandung unsur kebaikan.Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera.
Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini.12Opini tidak dianggap
sebagai pengetahuan valid serta universal.Opini tidaklah netral, dan karenanya perlu dilakukan
pengujian.Pengujian dilakukan dengan kontemplasi mendalam. Hasil kontemplasi merupakan
bentuk pencitraan atas apa yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka
orang perlu mengembangkan kemampuan penalarannya.Hal-hal yang dipikirkan manusia,
sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu mengingatkan
jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh pengalaman; hakikat
benda-benda.
11
D.W. Hamlyn, “Epistemoloy,”12
12
D.W. Hamlyn,”Epistemology,” 10.
(26)
Manusia yang sudah terbebaskan dari unsur inderawi, mampu memahami hakekat segala
sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan yang berada dalam gua,
membelakangi api, menghadap ke dinding. Para tawanan mengira realitas yang sebenarnya
adalah apa yang ditangkap oleh indera. Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap
indera; mereka tertipu dengan informasi inderawi.Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar
ruang tahanan.Dunia yang sangat luas, tidak terangkau oleh indera.Plato mengisahkan bahwa
seorang tawanan berhasil kabur.Ia keluar, dan menemukan kelapangan dunia. Ia kaget. Ia sadar
bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawan-kawannya dalam tahanan.
Karena tergerak kata hatinya,ia pun kembali untuk menyadarkan mereka. Tetapi di saat kembali
dan menceritakan kebenaran,ia malah dibenci. Mereka tidak mempercayaiapa yang
dikatakannya. Akhirnya ia pergi keluar seorang diri.13Begitulah kisah orang yang berusaha
memberikan penjelasan tentang hakikat kebenaran.Ia akan menghadapi perbagai macam
rintangan, misalnya masyarakat yang tidak mampu berpikir sejauh pengalaman mereka. Mereka
selalu mencela ketika dikabarkan kebenaran.
Di abad Modern, rasionalisme menemukan sentuhan baru dalam pemikiran Rene
Descartes (1596-1650 M).Bapak filsafat Modern ini menjadi pelopor rasionalisme dalam
perdebatan epistemologi.Bahkan, pengaruhnya masih dirasakan sampai zaman Kant pada abad
ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap rasionalisme antara lain ditujukan untuk menjawab
gagasan yang diajukan olehnya.14Sistem epistemologi Descartes dimulai dengan sikap
keragu-raguan.Pandangan semacam ini merupakan upaya sungguh-sungguh mencari akar yang kuat dan
13
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, 41.
14
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes (Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969), 20
(27)
pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan.Sistem Descartes disebut keraguan metodis (la
doute methodique).15
Keraguan metodis adalah meragukan segala hal, termasuk prinsip-prinsip matematika,
Tuhan bahkan mencakup eksistensi manusia.Pribadi manusia sebagai makhluk hidup, mungkin
sekali tidak nyata.Mungkin kehidupan yang dialami saat ini hanya mimpi.Mungkin manusia
tertipu, misalnya oleh setan yang sangat jahat.16 Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang
dialami bebas dari tipu muslihat. Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap
skeptis terhadap realitas.Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari dalam diri
manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar.Keraguan ini menemukan legitimasinya dalam
kerja pikiran manusia yang sadar.Kesadaran adalah hal pokok yang mendasari filsafat Barat pada
masa ini.Kesadaran dibentuk dalam skema berpikir. Pikiran manusia diupayakan menemukan
suatu asas yag pasti dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh. Apa yang disadari adalah
kenyataan yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia yang
sadar diri.Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan, bahkan oleh orang yang
paling ragu sekalipun.Keraguan itu dirumuskannya dalam kalimat,”Cogito ergo sum: saya
berpikir, maka saya ada”.
Descartes beranggapan bahwa manusia memiliki sebuah perangkat ide dalam
dirinya.Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut berjumlah tiga: ide bawaan
(innate), ide yang didapat dari luar (adventitious), dan ide yang diciptakan (factitious).17Ide
bawaan berfungsi membentuk seperangkat aturan dalam mendapatkan kepastian, kebenaran,
yang berdasarka asas-asas a priori dalam diri subjek.Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas
15
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 38
16
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed), Seventeenth-Century Rationalism, 120
17
F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, 130
(28)
benda-benda yang ada di luar diri subjek.Semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan,
melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya.Ide ketiga adalah pemikiran yang dihasilkan subjek.
Dari ide yang dipaparkan di atas, Descartes melanjutkan suatu pembagian tentang
substansi.Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi.18Ketiga hal tersebut adalah
klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan substansi-substansi berbeda.Pikiran manusia
diketahui sebagai wujud substansi yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir.Materi
dalam bentuk tubuh manusia juga tidak dapat disangsikan keberadaannya, maka pendirian
tentang keberadaannya tidak dapat diragukan.Sedangkan ide Tuhan disebutnya pula bagian dari
ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan.Tuhan adalah titik tolak untuk mencapai
kebenaran. Model pembagian seperti iniditentang keras oleh tokoh rasionalis lain, misalnya
Baruch de Spinoza (1632-1677 M).
Spinoza menawarkan monism yang mengatasi system Descartes.Ia mengajukan satu
prinsip tunggal, substansi. Substansi menjadi sumber segalanya. Ide tentang Tuhan, materi, dan
pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil bahwa terdapat ketiga substansi yang
berbeda-beda, karena segala sesuatunya berada dalam kuasa Tuhan.Dengan begitu, semuanya adalah satu
substansi.Tuhan tidak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi.Tuhan yang
menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya.Oleh karena itu, yang ada adalah
kesatuan dari substansi. Tuhan tidak lain dari alam, alam tidak lain dari Tuhan. Spinoza
menyebutnya, Deus sive Natura(Tuhan atau alam).19Tidak ada perbedaan yang jelas antara
Tuhan da alam.Kedua hal itu hanya mewakili dua perspektif yang berbeda dalam melihat
substansi tersebut.Dengan ini Spinoza menggugat kemapanan pandangan agamawan ortodoks,
dan mengajukan konsep panteisme.
18
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (Redland: American Book Company, 1951), 115
19
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, 48
(29)
Dari kritikan panteismenya, Spinoza memiliki pandangan berbeda tentang
epistemologi.Pengetahuan manusia menurutnya memiliki tiga tahap.Pertama tahap inderawi,
tahap akal budi, dan tahap intuisi.Tahap inderawi memainkan peranan sebagai penghasil
beragam opini.Opini membentuk seperangkat pandangan yang dihasilkan dari kemampuan
inderawi.Namun, opini tidak bisa dijadikan pegangan.Untuk itulah dibutuhkan kemampuan akal
budi untuk menentukan batas-batas sebuah informasi bisa dianggap sebagai pengetahuan.
Dengan daya akal budi, manusia dapat memilah apa yang dirasa sesuai dengan penalaran
rasionya. Rasio memainkan peran cukup signifikan sebagai pembentuk arah yang benar,
terutama karena rasio membentuk fondasi bagi kaidah matematis; melalui akal manusia dapat
mencapai pemahaman tentang keniscayaan dunia.Setelah itu, taraf intuisi memberikan jaminan
terhadap hasil penalaran yang sudah mencapai tahap kepastian.Dalam taraf intuisi tidak ada
kesalahan yang kerap kali terjadi dalam penalaran.Taraf intuisi bersifat seketika, dan melalui ini
manusia mampu memahami kebenaran Tuhan.Namun, tahap intuisi ini jarang dikenakan pada
seperangkat pengetahuan.Spinoza menjelaskan bahwa sangat sedikit sekali aspek-aspek dalam
kehidupan yang bisa diketahui melalui tahap yang terakhir ini.20 Motif Spinoza sama seperti
Descartes, mencoba menawarkan fondasi kokoh dalam pengembangan pengetahuan.
Kedua pemikiran rasionalis di atas mendapat serangan dari Gottfried Wilhelm von
Leibniz (1646-1716 M).Leibniz menyempurnakan kedua system sebelumnya. Bagi Leibniz,
konsep tiga substansi yang digagas Descartes, maupun kesatuan substansi adalah kurang tepat.
Yang terdapat di alam sebenarnya adalah banyak substansi.Substansi-substansi itu tak terhingga,
sebagai penyusun segala sesuatu.Substansi di sini merupakan suatu kekuatan primitif, yang tidak
dapat diukur seperti halnya benda-benda fisik.Leibniz menyebutnya Monad.Monad adalah
substansi sederhana, yang menjadi penyusun segala sesuatu.Setiap benda memiliki monad.
20
Frederick Mayer, A History of Modern Philosopy, 140
(30)
Ketika terjadi sesuatu, maka monad benda-bendalah yang berinteraksi satu sama lain. Monad
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun keberadaannya dapat dipahami secara rasional.
Leibniz mengajukan rumusan baru dalam masalah epistemologi. Bagi Leibniz, konsep
pengetahuan terbagi menjadi dua: pengetahuan tentang kebenaran abadi, dan pengetahua tentang
kebenara yang tergantung observasi indera (based onsense observation).21Meskipun melakukan
pembagian pengetahuan, kunci pemikiran Leibniz adalah deduksi rasional, dan bukan observasi
empiris.
Pengetahuan model pertama memberikan kejelasan proporsi yang dibentuk dari
prinsip-prinsip kepastian, dan kontradiksi.Dua hal itu dapat langsung diketahui dengan hanya melihat
putusan yang membentuk suatu pernyataan.Koherensi antar kalimat dengan kalimat menjadi
tolok ukur benar tidaknya suatu pernyataan.Kebenaran dihasilkan dengan menelusuri kesesuaian
premis-premis dalam susunan kalimat, dengan suatu pembuktian-diri (self-evident).Pengetahuan
yang termasuk kategori pertama misalnya ilmu logika dan matematika.Dalam logika dan
matematika, segala kebenaran tidak didapatkan dari hasil penelusuran di luar
prinsip-prinsipnya.Tidak perlu mencari kesesuaian antara teori dengan fakta.Yang dicari dalam
menentukan benar tidaknya suatu kesimpulan adalah memeriksa susunan argumentasi, yang
membuktikan suatu rumusan ilmiah.Hasil akhir rumusan itu terlepas dari observasi atas fakta
alamiah.Dengan begitu, pengetahuan ini tidak memberikan masukan apapun atas fenomena
alamiah, tapi hanya bisa diterapkan secara sementara pada batas-batas eksistensi.22
Sedangkan pengetahuan model kedua, didapatkan dengan meneliti dan menelusuri
sejumlah fakta.Kebenaran pengetahuan ini diperoleh melalui observasi inderawi.Dengan begitu,
pengetahuan model kedua ini sangat berbeda dari yang pertama.Analisis fakta-fakta sangat
21
Ibid, 156
22
Ibid, 155
(31)
diperlukan guna menghasilkan kebenaran.Pengetahuan ini tidak hanya didapat dengan susunan
proposisi pembuktian diri, meskipun dituntun dengan suatu kaidah rasional.Leibniz sependapat
dengan para rasionalis pada umumnya, tentang ide-ide bawaan. Tetapi, baginya kemampuan
indera bukan sama sekali tidak memiliki andil dalam membentuk pengetahua. Kemampuan
indera bisa menyampaikan hal-hal particular, dan spesifik.Namun, indera menghadirkan
penglihatan sekilas yang suram tentang kebenaran intelaktual.Sebaliknya, rasio, lebih menjamin
kejelasan dan keselarasan. Bagi Leibniz, kebenaran tidak didapat melalui penelusuran dari
ketiadaan. Secara potensial, kebenaran telah tertanam dalam diri manusia. Kerja pikiran adalah
sebuah proses penyelidikan, yang sebenarnya mrupakan aktualisasi kapasitas sifat dasar
manusia.23
Dari uraian di atas, pemikir kalangan rasionalis telah menanamkan pengaruhnya secara
signifikan terhadap proses berpikir induktif. Penalaran semacam ini dimulai dari hal khusus,
untuk kemudian dikembangkan kepada hal-hal yang bersifat umum.Model pemikiran seperti ini
sangat menentukan dalam pengembangan matematika.Namun, kerangka rasionalisme juga
mencakup bidang ilmu-ilmu lainnya, semisal teologi.Teologi sebagai sebuah keyakinan,
dijelaskan dalam kerangka berpikir rasional.Para agamawan berusaha meneguhkan kebenaran
agama mereka dengan pembuktian kepastian matematis.Dengan begitu, mereka yakin dapat
mensejajarkan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Kelak cara berpikir semacam ini
ditentang oleh Kant. Kant sama sekali tidak menganggap teologi menemukan klaim
kebenarannya, untuk dianggap sejajar dengan ilmu pengetahuan, dengan cara seperti itu. Tetapi,
Kant lebih jauh menempatkan agama berada di luar bingkai ilmu pengetahuan.
C. Empirisme
23
Ibid, 156
(32)
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, empirea, diterjemahkan Latin menjadi
experientia, yang darinya diturunkan kata dalam bahasa Inggris experience
(pengalaman).24Dalam kajian filsafat, empirisme adalah sebuah aluran filsafat yang meyakini
bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman. Pengalaman memainkan peranan
penting dalam proses terciptanya pemahaman; munculnya pengetahuan didapat dari hasil
observasi inderawi; kebenaran didapat dari analisis dan penelusuran fakta-fakta. Di zaman
klasik, pandangan semacam ini dijelaskan secara sistematis dalam pemikiran Aristoteles
(384-322 SM).
Kendati telah menjadi murid Plato selama 20 tahun, landasan berpikir Aristoteles sangat
berbeda dari gurunya.Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki pandangan yang justru sangat bertolak
belakang dari Plato.Aristoteles lebih meminati bidang biologi ketimbang matematika. Aristoteles
sama sekali tidak terpengaruh-bahkan mengkritik-pemikiran Plato. Bagi Aristoteles, gagasan
Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam ide hanyalah
sebuah “omong kosong”.Tidak ada pembuktian memadai tentang hal itu. Kekeliruan Plato sama
persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya.
Aristoteteles menganggap bahwa pengetahuan bersifat universal.25Sama halnya dengan
kebenaran dan kesalahan. Pengetahuan manusia sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu
yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa memandang status, dan lepas dari
unsur-unsur adikodrati.
Bagi Aristoteles, pengetahuan dirumuskan dalam suatu keputusan yang berkaitan dengan
penangkapan hubungan esensial. Mengetahui tentang sesuatu berarti mengetahui sesuatu dapat
dimasukkan dalam genus, dan secara lebih spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial
24
D.W Hamlyn,”Empiricism,” in PaulEdward, ed., The Encyclopedia of Philosophy, 498
25
McKeon (ed), Introduction to Aristotle, 70
(33)
darinya.26Hal yang esensial ini adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda
dari sesuatu yang bukan pengetahuan.Genus dan spesies merupakan istilah yang digunakan
Aristoteles, guna merujuk seperangkat dalam tata tertib tersebut.
Pengetahuan ilmiah meniscayakan adanya hubungan sebab akibat antara suatu keadaan,
dengan keadaan lainnya. Aristoteles membagi sebab dalam penyelidikan ilmiah menjadi empat:
1) bentuk yang dapat didefinisikan; 2) bagian yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa
diartikan juga sebagai sebab material); 3) sebab efisien; 4) tujuan.27Keempat sebab ini menjadi
dasar kokoh suatu kaidah pengetahuan ilmiah, dalam berbagai macam disiplin keilmuan.
Bagi Aristoteles, pengetahuan diperoleh lewat daya tangkap jiwa terhadap bentuk
benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual.Tetapi, sebuah substansi
dalam pengertian yang berkesesuaian dengan formula definitive esensi sesuatu.28Jiwa adalah
ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu.Setiap makhluk bernyawa memiliki jiwa.Jiwa mengatur
seperangkat aturan fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata.Penglihatan adalah jiwanya, atau
esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi.Mata berkesesuaian dengan formula yang
mengaturnya.Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat. Tanpa jiwa, mata hanya menjadi
sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.29
Tubuh memiliki organ-orga indera yang cukup beragam, tidak hanya penglihatan.Dengan
kemampuan indera, jiwa dapat memperoleh tangkapan partikular atas bentuk beragam macam
benda.Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa sebuah gambaran atau imajinasi.30 Aristoteles
menjelaskan bahwa proses munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil
mata, dalam suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil
26
D.W. Hamlyin,”Epistemology,” 13
27
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, 88
28
Ibid, 172
29
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, 173
30
Ibid, 223
(34)
modifikasi tersebut pada jiwa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan suatu makna
tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera lainnya, dengan perangkatanya
masing-masing.
Kemampuan indera adalah sebuah potensial organ tubuh.Organ ini bekerja dengan aturan
yang ada dalam tubuh manusia.Setiap indera memiliki objek dan kemampuannya sendiri.Indera
tidak dapat diberlakukan layaknya sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang
jelas.Setiap indera memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti.Indera
penglihatan memiliki kemampuan khusus untuk dapat memperoleh pencerapan terhadap objek
warna, ukuran dan bentuk.
Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern adalah Joh Locke
(1632-1704 M).Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis, misalnya tentang ide-ide
bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan. Bagi Locke, pikiran manusia ketika
dilahirkan adalah dalam keadaan kosong, tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah
persoalan, semisal perbedaan antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki
kesempatan sama dalam menggapai pengetahuan.31Pengetahuan manusia berkembang seiring
dengan interaksi dan pendidikan yang diraih.Menurutnya, pikiran manusia ketika lahir semacam
kertas putih, kosong.Pikiran mendapat pengetahuan setelah manusia mulai menggunakan
inderanya.
Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak dari
penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi sebuah bentuk
kompleks.Ide dengan begitu dibentuk dalam ruang yang berasal dari faktor eksternal. Menurut
Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan refleksi. Dengan sensasi manusia bisa
31
John Locke, An Essay Concerning Human Understading in Focus, Garry Fuller, etc.m ed., (London: Routledge, 2000), 50
(35)
mengetahui hal-hal semacam warna, suara, cuaca, dan sebagainya.Melalui refleksi, manusia
dapat menjadi sadar terhadap keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan
seterusnya.32Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi
kedua unsur tersebut dapat menghasilkan pemahaman yang mendalam.Melalui penyatuan itu,
manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lain-lain.Hal itu semuanya
dibentuk dalam susunan kerja pikiran.
Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya. Hasil kerja
pikiran tersebut disebut ide.Apa yang diterima pikira, tetap tidak sama dengan sesuatu yang
sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama dalam proses pengetahuan. Ide
dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide sederhana dan kompleks.33Ide sederhana
adalah informasi yang dihasilkan pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular.Data partikular
ini kemudian menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks.Ide
kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide particular yang diangkat menjadi skala luas,
misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia.Manusia terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe
yang berbeda-beda.Ada tipe kurus, gemuk, tinggi dan pendek.Ini disebut fakta-fakta
partikular.Dari data itu kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep
manusia secara umum.Hasil terakhir ini disebut ide kompleks.Dalam kinerja untuk menghasilkan
ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersmbunyi yang bersifat metafisik.Kekuatan ini
disebut dengan kualitas.Locke membagi kualitas primer dan kualitas skunder.Kualitas primer
merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan diubah.Sedangkan
kualitas skunder adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri manusia berupa berbagai macam
sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas skunder.
32
Ibid, 67-68
33
Ibid, 71
(36)
Pembagian Locke atas ide da kualitas, tidak bisa diterima oleh George Berkeley
(1685-1753 M)—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan pengalaman adalah sama. Tidak ada
perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan pengalaman.Objek-objek disebut ada, karena
keberadaannya yang bisa dipersepsi indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak
berwujud, karena tidak bisa diketahui lewat indera.terkenal dictum dari Berkeley :Esse est
percipi (to be is tobe perceived).34
Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya, David Hume
(1711-1776 M).Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik.Ia sepakat dengan kedua tokoh
empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap
kecenderungan yang masih menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah
substansi, istilah-istilah metafisika, dan kausalitas.Mengenai masalah substansi yang masih
diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi.Konsep substansi yang
diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda material.Yang mampu
diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut,35 dan tidak lebih.Objek di luar kesadaran
manusia tidak termasuk yang dipikirkan.Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan
yang jelas antara persepsi dengan objek-objek yang diindera.Bukti-bukti keterkaitan antara objek
dengan persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas.Yang kemudian dijelaskan Hume
adalah bagaimana sebenarnya mekanisme kerja pikiran dalam menghasilkan keberadaan
konsep-konsep substansi.
Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi dengan
benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat. Dari situ pikiran menangkap
kesatuan konsep tentang bola tersebut.Pada dasarnya keberadaan substansi bola itu sebatas ada
34
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, 66
35
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, 218
(37)
dalam pikiran.Persepsi yang yang dialami subjek bersifat khayali.Susbtansi adalah kumpulan
persepsi atas benda.Begitu pula misalnya dengan keadaan manusia.Ke-aku-an dipahami sebagai
faktor penunjang keberadaan manusia yang sadar.Kesadaran ini pada gilirannya
bermasalah.Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-persepsi
bekerja.Kesadaran hanya keadaan sementara.Ketika tidur, atau setelah meninggal, orang tidak
lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi menghilang.36Hume memandang bahwa
kesadaran manusia pun termasuk kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.37
Serangan keras Hume berikutnya adalah tentang kausalitas.Hume menolak adanya ketetapan standar hukum ini. Baginya mustahil dijelaskan secara empiris saling ketergantungan suatu kejadian terhadap kejadian lain. Pemahaman sebab-akibat pada dasarnya berasal dari
kesan-kesan inderawi.38Suatu peristiwa yang terjadi diiringi peristiwa lainnya, tidak bisa langsung
disimpulkan ketetapan hukum universal. Yang justru terjadi adalah keberurutan peristiwa, mislanya api membakar kertas. Pada peristiwa itu tidak bisa disimpulkan terdapat hukum bahwa api membakar kertas yang niscaya. Hal itu hanya berada dalam batas kemungkinan. Peristiwa terbkarnya kertas ketika bersentuhan dengan api, tidak bisa dijadikan standar adanya kausalitas yang pasti.
36
David Hume, A Treatise of Human Nature (Middlesex: Penguin book, 1985), 300
37
Ibid, 220
38
Ibid, 131
(38)
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO A. BIOGRAFI
1. Riwayat Hidup Kuntowijoyo
Kuntowijoyo terkenal sebagai seorang sejarawan dan sastrawan, sekaligus dikenal
sebagai budayawan.Putra pasangan H. Abdul Wahid Sastroatmojo dan Hj. Warasti ini dilahirkan
di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta, namun masa Kuntowijoyo lebih banyak dilewatkan
di Klaten dan Solo. Di Klaten, Kuntowijoyo tinggal di sebuah desa bernama Ngawonggo, di
wilayah Kecamatan Ceper.1
Berdasarkan latar belakang ini, Kuntowijoyo mengaku bahwa dirinya mewarisi dua
budaya sekaligus, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.Sekalipun terdapat kesamaan (sama-sama
mempunyai budaya kejawen) tetapi antara keduanya terdapat nuansa perbedaan.Perbedaan
tersebut menurut Kuntowijoyo, disebabkan anggapan sebagian orang bahwa budaya Yogyakarta
bersifat serba seadanya-gagah-maskulin-aktif, karena dilahirkan oleh seorang prajurit
“pemberontak” orang terusir.Sedangkan budaya Surakarta lebih kenes-penuh
bunga-feminis-kontemplatif, karena terlahir di tengah kemapanan dan kenyamanan.2Kedua corak budaya inilah
yang nantinya memberikan warna pada pemikiran Kuntowijoyo.
Dari garis keturunannya, Kuntowijoyo berasal dari struktur kelas priyayi.Kakeknya
seorang lurah, yang juga seniman, ulama, petani, pedagang, bahkan seorang tukang.Keluarga
Kuntowijoyo juga terdiri dari orang-orang Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).Dengan
1
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 29.
22
Wawancara Arif Subhan dengan Kuntowijoyo yang dimuat dalam, Jurnal Ulumul Qur’an, NO.4, Vol. V, Th. 1994), 92-93. Dengan judul “Dr. Kuntowijoyo: al-Qur’an Sebagai Paradigma” Sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam Islam Transendental, 30.
(39)
latar belakang yang unik ini, tidak heran jika ada yang menyebutnya sebagai seorang modernis,
tradisionalis, reformis, dan konserfatif.3
Kehidupan Kuntowioyo dengan keluarganya berpola hidup sederhana. Meskipun menjadi
Guru Besar tapi sejak 1985, ia bersama istri dan anak-anaknya hanya menempati ruang bertipe
70 di Jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta, rumah dengan seharga 4,5
juta, yang diperluas ukurannya menjadi 180 meter persegi berlantai dua ini, tidak ditemukan
perabotan mahal ataupun ada lukisan pun tidak ditemukan, di ruang tamu yang berukuran 4x5
meter hanya ada meja dan kursi tamu yang berwarna coklat tua. Harta yang paling mahal dalam
rumah tersebut hanyalah sebuah tumpukan buku dan piala-piala penghargaan untuk karya-karya
tulisannya.4
Namun sejak awal tahun 1990-an Kuntowijoyo menderita sakit yang di Indonesia
tergolong langka, ia terkena radang selaput otak, yang dalam istilah medis disebut meningo
enshephslitis. Hal ini, justru membuat Kuntowijoyo memperoleh penghargaan pada tahun 1999,
dalam bidang sastra yang bergengsi di Asia Tenggara yaitu SEA Write Award, dikarenakan
banyak kalangan menilai bahwa tulisan Kuntowijoyo setelah ia mengalami sakit, justru semakin
jernih.5
Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005
pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit; sesak nafas, diare dan ginjal. Jenazah dikebumikan
esoknya pada hari Rabu, 23 Februari 2005, di Makam Keluarga UGM di Sawitsari,
Yogyakarta.Kuntowijoyo meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih, MA., beserta dua
putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE, M.Sc., dan Alun Paradipta.6
3
M. Fahmi, Islam Transendental, 30.
4
Ibid, 38.
5
Lihat Arif Subhan, “Dr. Kuntowijoyo:…”, 92.
6
M. Fahmi, Islam Transendental, 38.
(40)
2. Latar Belakang Pendidikan Kuntowijoyo
Masa kecil Kuntowijoyo adalah masa ketika bergolaknya agresi Belanda; 1947 dan
1948.Pada tahun 1950, Kuntowijoyo masuk Sekolah Rakyat Negeri Ngawonggo dan
menamatkan Sekolah Dasar, pada tahun 1956.Sejak kecil, Kuntowijoyo aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan keagamaan.Sepulang sekolah sehabis dzuhur sampai selepas ashar
sebagaimana lazimnya anak-anak desa pada waktu itu, Kuntowijoyo pergi ke surau untuk belajar
agama, yang oleh Kuntowijoyo dan teman-temannya disebut sekolah Arab. Malamnya, sehabis
maghrib hingga Isya’, ia kembali ke surau untuk mengaji sastra. Di Surau pula, Kuntowijoyo
mulai belajar menulis puisi, berdeklamasi dan mendongeng pada Saribi Arifin (kemudian dikenal
sebagai penanda tangan Manifes Kebudayaan) dan M. Yusmanam (pengarang) yang kemudian
dikenal sebagai sastrawan nasional.Keterkaitan pada dunia seni yang dimulai sejak dini tersebut
dikembangkan dengan bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia, semasa di sekolah
rakyat. Pada akhirnya, di sinilah ia belajar berdeklamasi, bermain drama, dan menulis puisi.7
Saat mengaji di surau, secara kebetulan Kuntowijoyo juga mengenal Muhammadiyah
lantaran surau tersebut milik Muhammadiyah.Ia pun akhirnya terlibat dalam aktivitas organisasi
kepanduan milik Muhammadiyah yang bernama HW (Hizbul Waton). Tapi Kuntowijoyo merasa
kesulitan untuk menunjukkan secara garis persis kapan ia masuk Muhammadiyah, walaupun
ayahnya pernah mengusahakan kartu anggota menjelang Muktamar tahun 1990, di Yogyakarta.
Semua itu tidak hanya berkat tempat ia belajar tapi juga pada siapa ia belajar, dua gurunya yang
juga menjadi inspirasinya dalam keinginannya terus belajar dan berkader dalam sebuah
organisasi. Pak Mustajab, seorang pengajar yang juga pemimpin pandu, pemain sandiwara,
dagelan, dan suka berpidato mengenai agama dan politik. Di sinilah Kuntowijoyo mulai belajar
7
Ibid, 32.
(41)
deklamasi.Dan yang menjadi gurunya yang kedua adalah aktivis Masyumi yang pada zaman
Orde Baru kabarnya menjadi anggota MDI (Majelis Dakwah Islamiyah), sebuah organisasi
dakwah di bawah naungan Golkar.Sejak itulah pandangan Kuntowijoyo terhadap arti organisasi
berubah, bahwa wadah tidak jadi persoalan bagi dirinya.8
Di luar kegiatannya mengaji dan deklamasi, Kuntowijoyo juga gemar menyimak siaran
Radio RRI Surakarta yang menggelar siaran sastra. Pada siang hari, Kuntowijoyo sering
menyempatkan diri pergi ke Kota Kecamatan, memasuki gedung perpustakaan (konon miliknya
Masyumi), di situlah Kuntowijoyo (siswa Madrasah Ibtidaiyah dan SRN) sudah melahap
kisah-kisah Karl May, pengarang cerita-cerita petualangan di negeri Balkan dan suku Indian.9
Pada usia SMP, ia membaca karya-karya Nugroho Notosusasto, Sitor Situmorang, dan
karya-karya yang dimuat dalam majalah Kisah. Demikian masa SR-SMP dijalani Kuntowijoyo
dengan berbagai ketertarikan terhadap dunia bacaan dan sastra.Sewaktu duduk di bangku SMP 1
Klaten, Kuntowijoyo mulai belajar menulis.Ia mulai mengenal apa yang disebut dengan cerita
pendek (cerpen). Kemudian setamat SMP (1959), ia mengikuti salah seorang mbah ciliknya,
seorang pedagang batik yang hidup di Solo. Mbah cilik ini memiliki sebuah almari yang
menyimpan banyak buku sastra ensiklopedi.Di masa SMA itulah Kuntowijoyo melahap
karya-karya Charles Dickers dan Anton Chekov. Bermula dari usia SMP berlanjut ke SMA, ia menulis
cerita dan synopsis yang bertuliskan tangan.10
Kegemaran Kuntowijoyo telah muncul sejak kecil. Waktu itu ia rajin membaca di
perpustakaan Masyumi yang sering ia kunjungi, dan melahap hampir semua bacaan yang
tersedia di sana. Setamat SMA pada tahun 1962, Kuntowijoyo diterima di Fakultas Sastra UGM
dan S1 diselesaikan pada tahun 1969. Pada tahun yang sama, langsung diangkat menjadi staf
8
M. Fahmi, Islam Transendental, 32.
9
Ibid.,33.
10
Ibid.,33-34.
(42)
pengajar pada almamater tersebut. Gelar MA diperoleh pada tahun 1974 dari University of
Connecticut atas beasiswa dari Fulbirght. Sedangkan Ph.D, diraih dari Columbia University pada
tahun 1980 dengan desertasi berjudul Social Change In an Agrarian Sociaty; Madura
1850-1940. Pada tahun yang sama, Kuntowijoyo menikah dengan Susilaningsih yang kini menjadi
dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berkat
keuletannya, Susilaningsih berhasil meraih gelar MA di bidang Psikologi ketika Kuntowijoyo
studi Amerika. Gelar MA sang istri diperoleh dengan biaya hasil kerjanya sebagai penjaga
toko.11
Semasa Kuntowijoyo menjadi mahasiswa, bersama teman-temannya mendirikan Leksi
(Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam) yang lazimnya organisasi kesenian pada masa itu
bernaung di bawah PERTI. Lembaga ini menurut Kuntowijoyo nantinya akan membawa manfaat
bagi perkembangan pribadi, intelektualitas dan keseniannya. Sedangkan setelah melewati masa
kuliah, aktivitas kesehariannya selain sebagai staf pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM)
dan aktif menulis, Kuntowijoyo juga katif di sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun
profesi. Misalnya di Muhammadiyah, Kuntowijoyo pernah menjadi anggota Majelis
Pertimbangan PP Muhammadiyah. Kuntowijoyo juga terlibat dalam pendirian Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan menjadi anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan
Studi Kebajikan), sebuah pusat studi di Yogyakarta yang dipimpin oleh Amien Rais.12
B. Karya-karya Tulis Kuntowijoyo
Karya-karya dalam pemikiran Kuntowijoyo yang kental dengan budaya jawa, khususnya
budaya dalang dan Islam, bukan tidak nungkin merupakan sebuah tumpukan pengalaman yang
11
Ibid.,34.
12
M. Fahmi, Islam Transendental, 36.
(43)
sekian lama terpendam dalam dirinya. Kuntowijoyo sendiri mengaku banyak dari karyanya
sendiri merupakan pengalaman sendiri atau pribadi, entah pengalaman berpindah-pindah tempat
tinggal, kedekatannya denga surau, persentuhannya dengan pasar, kereta api, selain pengalaman
bacaannya (baik sastra maupun pengetahuan umum) yang amat luas.13
Kuntowijoyo seorang cendekiawan yang produktif dan banyak menghasilkan karya tulis,
sejumlah identitas dan julukan Kuntowijoyo, sedangkan antara lain sebagai emeritus (Guru Besar
Ilmu Budaya) FIB UGM, sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis kolumnis, intelektual
muslim, aktivis, khatib, dan sebagainya. Karya-karya Kuntowijoyo lebih dari 50-an buku,
diantaranya sebagai berikut:
a. Bidang sejarah, agama, politik, sosial, budaya, antara lain:
1. Dinamika sejarah umat ISLAM (1985)
2. Budaya dan masyarakat (1987)
3. Paradigm Islam; interpretasi untuk aksi (1991)
4. Radikalisasi petani (1994)
5. Demokrasi dan budaya birokrasi (1994)
6. Pengantar ilmu sejarah (1994)
7. Metodologi sejarah (1997)
8. Pengantar ilmu sejarah (1997)
9. Identitas politik umat Islam (1997)
10.Muslim tanpa masjid; esei-esei agama, budaya, dan politik dalam bingkai strukturalisme
transendental (2001)
11.Selamat tinggal mitos, selamat datang realitas; esai-esai budaya dan politik (2002)
12.Perubahan sosial dalam masyarakat agraris; Madura 1850-1940 (2002)
13
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), 3.
(44)
13.Raja, priyayi, dan kawula; Surakarta 1900-1915 (2004)
14.Islam sebagai ilmu; epistemology, metodologi dan etika (2004)
b. Karya-karya di bidang sastra meliputi naskah drama dan puisi, antara lain;
1. Rumput-rumput danau bento (1996)
2. Tidak ada waktu bagi nyonya fatma, barda dan cartas (1972)
3. Topeng kayu (1973)
4. Isyarat (1976)
5. Suluk awing-uwung (1976)
6. Daun Makrifat, makrifat daun (1995)
c. Novel, antara lain;
1. Kereta api yang berangkat pagi hari (1996)
2. Pasar (1972)
3. Khotbah di atas bukit (1976)
4. Impian amerika (1997)
5. Mantra pejinak ular (2000)
6. Waspirin dan satinah (2003)
d. Cerpen, antara lain;
1. Dilarang mencintai bunga-bunga (1993)
2. Pistol perdamaian (1995)
(45)
4. Anjing-anjing menyerbu kuburan (1997)
5. Mengusir matahari; fable-fabel politik (1999)
6. Hampir sebuah subversi (1995)
e. Penghargaan yang diperoleh
Karya-karya tulis Kuntowijoyo yang berupa sastra, novel, serta yang lain mendapatkan
penghargaan, diantaranya:
1. Hadiah pertama dari majalah sastra 1968 dan penghargaan penulisan sastra dari pusat pembinaan
bahasa 1994 untuk cerpen”Dilarang mencintai bunga-bunga”.
2. Hadiah harapan dari badan Pembina teater nasional Indonesia (BPTNI) untuk naskah drama
rumput-rumput danau bento 1968.
3. Hadiah dari dewan kesenian Jakarta untuk naskah drama tidak ada waktu lagi bagi nyonya fatma,
barda, certas 1972, dan topeng kayu 1973.
4. Hadiah dari panitia buku internasional untuk novel pasar 1972.
5. Secara berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, cerpen-cerpennya yaitu pistol perdamaian,
laki-laki yang kawin dengan peri, anjing-anjing menyerbu kuburan, meraih predikat cerpen
terbaik kompas.
6. Penghargaan sastra Indonesia dari pemda DIY 1986.
7. Penghargaan kebudayaan ICMI 1995.
8. Asean Award on culture 1997.
9. Mizan Award 1998.
10.Kalyanakretya Utama untuk teknologi sastra dan materi riset dan teknologi 1999.14
C. Gagasan dalam Perkembangan Keilmuan 14
M. Fahmi, Islam Transendental, 72.
(46)
1. Gagasan Sejarah Sosial
Sejarah sosial banyak memberi penjelasan mengenai berbagai peristiwa yang lebih
“mendekati keyakina sebenarnya” setidaknya sejarah sosial dapat memberikan peluang bagi
penafsiran sejarah dari sudut rakyat walaupun itu sulit dicapai.Sebab, keterangan-keterangan
mengenai hal tersebut biasanya ditulis oleh elit yang melihat dari sudutpandang penguasa. Ini
dilihat dari penulisan sejarah masa lalu, sejarah itu diduga akan bias terhadap apresiasi penguasa.
Bahkan penulisan semacam ini kerap kali menghasilkan mitos-mitos tentang golongan elit
tertentu.15
Peranan sejarah sosial banyak memberikan penjelasan tentang berbagai peristiwa rakyat
sendiri yang sering berbeda dengan versi penguasa. Penulisan sejarah sosial akan membuka
perspektif penguasa. Kuntowijoyo adalah salah satu sejarawan yang mempunyai kepedulian bagi
penulisan yang semacam ini. Bahwa Kuntowijoyo, menyajikan sejarah tidak hanya untuk
kepentingan deskriptif, dan tidak hanya sebuah analisis saja, namun sekaligus hendak
menumbuhkan kesadaran sejarah.
2. Objektifikasi
Objektifikasi berasal dari bahasa Inggris Objectification, kata benda bentukan dari kata
kerja objectify. Dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary disamakan dengan
objectivication.16Sehingga keduanya dapat saling dipertukarkan.Namun, bagi Kuntowijoyo
keduanya memiliki makna yang berbeda, objectivikasi menurut Kuntowijoyo adalah memandang
sesuatu objek atau benda.Objektivikasi terhadap manusia berarti membedakan manusia atau
15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 327.
16
M. Fahmi, Islam Transendental, 50.
(47)
memandang manusia sebagai benda.Sedangkan objektivikasi, bagi Kuntowijoyo adalah membuat
sesuatu menjadi objektif. Sesuatu dikatakan objektif jika keberadaannya independen atau tidak
bergantung kepada pada pikiran sang objek.17
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah jika objektifikasi merupakan suatu
perilaku atau suatu proses menngobjektifkan suatu gagasan yang abstrak menjadi suatu gagasan
yang bersifat eksternal dari pikiran subjek penggagas. Dengan demikian, gagasan tersebut
memperoleh status objektif sebagai eksistensi yang berdiri sendiri di luar subjek.
3. Ilmu Sosial Profetik
Dalam buku karya M. Fahmi bahwa, dijelaskan bahwa asal mula atau latar belakang Ilmu
Sosial Profetik, Kuntowijoyo terinspirasi dari tulisan-tulisan Roger Garaudy dan Muhammad
Iqbal.Dari pemikiran Garaudy, Kuntowijoyo mengambil filsafat profetiknya.Filsafar Barat tidak
mampu memberikan tawaran yang memuaskan karena hanya terombang-ambing dalam dua
kutub pemikiran yaitu idealis dan materialis.Filsafat Barat lahir dari pertanyaan bagaimana
pengetahuan itu dimungkinkan.Sementara Garaudy menawarkan saran agar mengubah
pertanyaan itu menjadi kenabian atau wahyu itu dimungkinkan? Filsafat Barat tidak membunuh
Tuhan dan manusia, karena itu ia mengajukan filsafat kenabian dengan mengakui wahyu.18
Sedangkan dari pemikiran Iqbal, Kuntowijoyo mengambil etika profetiknya dalam buku
The Reconstruction of Religious Thought In Islam, Iqbal mengutip kata-kata Abdul Quddus
bahwa “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah,
bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”.Abdul Quddus
sendiri adalah seorang mistikus Islam dari Ganggah.Hal inilah menurut Iqbal, mistikus tersebut
17
Kuntowijoyo, “Objectifikasi”, 62.
18
Roger Garaudy, Janji-janji Islam, alih bahasa H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, 39-168, sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam Islam Transendental, 57 )
(48)
tampaknya tidak memiliki kesadaran sosial.Iqbal dapat menyimpulkan adanya perbedaaan
psikologi yang tajam antara kesadaran “dunia Rosul” dan “dunia mistik”.Nabi bukanlah seorang
mistikus, oleh karena itu nabi kembali ke realitas dan menghadirkan diri dalam kancah zaman,
dengan maksud hendak mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan menciptakan dunia
baru.19Inilah yang disebut etika profetik bagi Muhammad Iqbal.
Etika profetik seperti apa yang dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, mendasari lahirnya
Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik dihadirkan sebagai sebuah alternatif kreatif di
tengah konstelasi ilmu-ilmu sosial yang mempunyai kecenderungan positivistik dan hanya
berhenti pada usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas secara deskriptif untuk
kemudian memaafkan keberadaannya.20Ilmu sosial memang selayaknya menjadi kekuatan
intelektual dan moral manusia. Oleh karena itu, Ilmu sosial tidak hanya berhenti pada penjelasan
mengenai realitas atau fenomena sosial apa adanya. Tapi lebih lanjut, lebih dari itu, ilmu sosial
mampu melakukan transformasi.
Ilmu Sosial Profetik menampilkan format sebagai ilmu sosial yang tidak hanya
memberikan penjelasan tentang realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi juga dapat
menujuarah dan tujuan dari transformasi. Dengan kata lain, Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar
merubah demi perubahan itu sendiri, tapi merubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik
tertentu.21Di sini manusia sebagai sentral pembahasan bahwa, Ilmu Sosial Profetik tidak hanya
menampilkan realitas sosial dari diri manusia saja, tapi lebih dari itu, nilai profetiknya, tujuannya
manusia sendiri itu untuk apa (keberadaannya).
19
Muhammad Iqbal, Rekontruksi Pemikiran Agama dalam Islam, trj. Ali Audah dkk., prolog Ahmad Syafi’I Ma’arif (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), 204-295. Sebagaimana dikutip oleh M. Fahmi dalam Islam Transendental, 58.
20
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, Desember 1997, 6. Sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam Islam Transendental, 59.
21
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Aksi, 28.
(49)
Kuntowijoyo merumuskan tiga pilar Ilmu Sosial Profetik, yang mana ketiga pilar ini
digunakan untuk menganalisis eksistensi manusia, yaitu; humanisasi, liberasi, transendensi.
Rumusan ini merupakan suatu cita-cita profetik yang direlevansikan dari misi historis manusia
sendiri dalam pandangan Islam, sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat
110.
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah,….”(Q.S. Ali
‘Imran [3]:110)22
D. Metode Strkuralisme Transendental dalam Pemikiran Kuntowijoyo
Strukturalisme Transendental sebagai sebuah gagasan (ide) baru dalam ranah pemikiran
Islam, menurut Kuntowijoyo di dalam buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, yang
berarti adanya sebuah pengakuan terhadap adanya Struktur Transendental sebagai referensi
untuk menafsirkan realitas. Artinya, terdapat sebuah pengakuan tentang adanya ide yang murni,
yang sumbernya berada di luar manusia.atau lebih spesifik lagi, terdapat pengakuan bahwa
Al-Qur’an harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transcendental, sebuah orde, atau
sistem gagasan yang otonom dan sempurna.23
Perumusan Strukturalisme Transendental ini berhubungan erat dengan konstruksi teori
Al-Qur’an (Qur’anic theory building) dalam pemikiran Kuntowijoyo tentang Paradigma
Al-22
Alqur’an dan terjemahnya, Depag RI (Semarang: CV. Toha Putra, 1989)
23
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 331.
(50)
Qur’an dalam rangka memahami realitas (khususnya problem epistemologis). Menurut
Kuntowijoyo, dalam epistemologi Islam “wahyu” itu sangat penting, berbeda dengan
cabang-cabang epistemologi Barat seperti Rasionalisme dan Empirisme, yang mengakui sumber
pengetahuan hanya berasal dari akal saja atau observasi saja. Karena dalam epsitemologi Islam,
unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu yang juga menjadi sumber pengetahuan yang
penting atau pengetahuan yang a priori. Wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk
konstruk tentang realitas, karena wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan
pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang muslim.24
Penggunaan istilah StrukturalismeTransendental oleh Kuntowijoyo karena ia ingin
menerapkan ajaran-ajaran sosial Islam, bukan memahami Islam (sebagaimana hermeneutik
(ilmu tafsir) yang memahami Islam sebagai agama).25 Hal ini sengaja dilakukan oleh
Kuntowijoyo karena sejak awal ia ingin menjadikan Islam sebagai agama yang obyektif (untuk
siapa saja tanpa memandang predikatnya, atau memandang sesuatu sebagai sebenarnya, tanpa
dipengaruhi keyakinan pribadi)26 akan semakin banyak mendapatkan ujian dari berbagai macam
konsentrasi akademik. Hal ini diakui sendiri oleh Kuntowijoyo ketika memosisikan ISP sebagai
“gerilya intelektual” yang tidak populer dibawah dominasi ilmu-ilmu sosial empiris-analitis,
sehingga memiliki hambatan yang bersifat mental dan rasa rendah diri intelektual.27Dengan
demikian Kuntowijoyo sejak awal menghindari istilah hermenutik sebagaimana Hassan Hanafi
dan teologi sebagaimana Moeslim Abdurrahman dalam teologi transformatifnya.
24
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 330-331.
25
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esei-esei Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), 10.
26
Kuntowijoyo, “Periodesasi Kesadaran Sejarah Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Jurnal Media Inovasi, (nomor 2 tahun XI/2002), 105.
27
Kuntowijoyo, Muslim, 358.
(1)
Locke, John., Garry Fuller, etc.m ed. 2000. An Essay Concerning Understanding in Focus. London: Routledge.
Mautner, Thomas (ed). 2000. The Penguin Dictionary of Philoshopy. London: Penguin Book Ltd.
Mayer, Frederick. 1951. A History of Modern Philosophy. Redland: American Company.
Muhajir, Noeng. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta: Rakesa Raisa.
Munitz, Milton K. 1981. Contemporary Analytic Philosophy. New York:
MacMillan Publishing Co.IN.
Nazir, Moh. 1989. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Russel, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: Geoege Allen and Unwin Ltd.
Sani, M. Abdul Halim. 2011. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik.
Yogyakarta: Samudra Biru.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wildelband, W. 1956.History of Ancient Philosophy ter. Herbert Ernest
Chushman. New York: Dover Publication Inc.
William, Bernard. 1972. “Rationaism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press.
B. Jurnal
Kuntowijoyo, “Periodesasi Kesadaran Sejarah Keagamaan Umat Islam
Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Jurnal Media Inovasi, (nomor 2 tahun XI/2002).
(2)
Fathoni, Zaim. 1998. “Islam Transformatif: Studi tentang Pemikiran
Kuntowijoyo,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel).
Muhibbudin, Ahmad. 2007. “Islam Transformatif: Studi Komparatif Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
Nawawi, Imam. 2011.”Nilai-nilai Profetik dalam Pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
Shofa, Muhammad. 2012.”Tahapan-tahapan Eksistensi Manusia: Studi Komparatif Soren Kierkegraard dan Ali Syari’ati,”Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakuktas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
Wahyu, Sukmawati. 2012.”Pemikiran Kuntowijoyo tentang Historiografi Islam di Indonesia,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel).
D. Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology. artikel diakses pada 30 April 2010
(3)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Abdullah, Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ackermann, Robert. 1965. Theories of Knowledge: A Critical Introduction. New York: Mc Graw-Hill Company.
Al Quran dan Terjemahnya. 1989. Departemen Agama RI. Semarang: CV. Toha Putra.
Anwar, Wan. 2007. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.
Bekker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Cantor, Norman F and Peter L. Klein (ed). 1969. Seventeeth-Century Rationalism: Bacon and Descartes. Walltham: Blaisdell Publishing Company.
Dicker, Georges. 2004. Kant’s Theory of Knowledge : An
Analytical Introduction. Oxford : Oxford University Press.
Ewing, A. C. 1984. A Short Commentary on Kant’s Critique of
Pure Reason. Chicago: Chicago University Press.
Fahmi, M. 2005. Islam Transendental: Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pilar Religia.
Garaudy, Roger. 1982.Janji-janji Islam ter. H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamlyin, D. W. 1972. “Epistemolgy,” in Paul Edwards, ed., The
Encyclopedia of Philosophy, vol., III. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press.
(4)
Hume, David. 1985. A Treatise of Human Nature. Middlesex: Penguin book.
Iqbal, Muhammad. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ter. Ali Audah, dkk. Yogyakarta: Jalasutra.
Kant, Immanuel. 2000. Critique of Pure Reason trans., Paul Gayer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esei-esei Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 2006. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Locke, John., Garry Fuller, etc.m ed. 2000. An Essay Concerning Understanding in Focus. London: Routledge.
Mautner, Thomas (ed). 2000. The Penguin Dictionary of Philoshopy. London: Penguin Book Ltd.
Mayer, Frederick. 1951. A History of Modern Philosophy. Redland: American Company.
Muhajir, Noeng. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta: Rakesa Raisa.
Munitz, Milton K. 1981. Contemporary Analytic Philosophy. New York: MacMillan Publishing Co.IN.
Nazir, Moh. 1989. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Russel, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: Geoege Allen and Unwin Ltd.
(5)
Sani, M. Abdul Halim. 2011. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta: Samudra Biru.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wildelband, W. 1956.History of Ancient Philosophy ter. Herbert Ernest Chushman. New York: Dover Publication Inc.
William, Bernard. 1972. “Rationaism,” in Paul Edwards, ed., The
Encyclopedia of Philosophy, vol., III. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press.
B. Jurnal
Kuntowijoyo, “Periodesasi Kesadaran Sejarah Keagamaan Umat
Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Jurnal Media Inovasi, (nomor 2 tahun XI/2002).
C. Skripsi
Fathoni, Zaim. 1998. “Islam Transformatif: Studi tentang
Pemikiran Kuntowijoyo,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan SKI
Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel).
Muhibbudin, Ahmad. 2007. “Islam Transformatif: Studi Komparatif Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
Nawawi, Imam. 2011.”Nilai-nilai Profetik dalam Pemikiran Ilmu
Sosial Profetik Kuntowijoyo,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
Shofa, Muhammad. 2012.”Tahapan-tahapan Eksistensi Manusia: Studi Komparatif Soren Kierkegraard dan Ali Syari’ati,”Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Aqidah Filsafat Fakuktas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel).
(6)
Wahyu, Sukmawati. 2012.”Pemikiran Kuntowijoyo tentang
Historiografi Islam di Indonesia,” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya:
Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel).
D. Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology. artikel diakses pada 30 April 2010