Pandangan profetik kuntowijoyo dalam novel pasar, mantra pejinak ular, dan wasripin dan satinah 3890

(1)

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh : Giyato S 840908012

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

ii

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

Disusun oleh : Giyato S 840908012

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. __________ ________ NIP 19440315 197804 1 001

Pembimbing II Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, Hum. __________ ________ NIP 19700716 200212 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001


(3)

iii

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

Disusun oleh : Giyato S 840908012

Telah Disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. _________ _______

Sekretaris Dr. Retno Winarni, M.Pd. _________ _______

Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. _________ _______

Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. _________ _______

Mengetahui, Ketua Program Studi

Direktur Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 131427192 NIP 19440315 197804 1 001


(4)

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini nama : Giyato NIM : S 840908012

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Januari 2010 Yang Membuat Pernyataan,


(5)

v

MOTO

Ver ba volant, scr ipta manent;

Kata-kata mudah sir na, namun tulisan mengabadikannya (Pepatah)

Bukan apa yang sudah, melainkan apalagikah? (Timur Sinar Suprabana)

Bukan sekadar apa yang ter jadi, tetapi bagaimana bisa menjadi? (Penulis)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku, Parto Wiyono dan Ginah, serta kakakku Mbak Gentik sekeluarga yang selalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan doa untukku.

2. Istriku, Ita Nurdevi yang memberi semangat di setiap langkahku. Mengingatkanku di saat aku lalai dan menyemangatiku di saat aku malas. 3. Dixie Arunnisa Sarwanto, Tafiqoh Izza Tazkia,

Alif Ardhiansyah Budi Husada, dan Aryaditya Nurwahid, keponakan-keponakanku yang lucu dan selalu memberi keceriaan


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.

Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta pengesahan laporan penyusunan tesis ini

3. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Pembimbing I dan selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan arahan dengan sabar hingga tesis ini dapat terselesaikan.

5. Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan sabar membimbing dan menasihati penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(8)

viii

6. Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.

7. Bapak dan Ibu, Papi dan Mami, kakak-kakak, dan istri tercinta yang telah memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan laporan penyusunan tesis ini.

8. Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberi semangat, keceriaan, dan motivasi dalam proses penelitian ini; 9. Saudara-saudara seperjuangan di Komunitas Tarbiyah, LP2R Bina Insan

Cendekia, Thulabiy Club, dan Komunitas Pembaca Karanganyar yang telah memicu dan memacu semangat dalam menempuh studi.

Peneliti menyadari bahwa laporan penyusunan tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan guna kesempurnaan laporan penyusunan tesis ini dan demi menambah wawasan pengetahuan peneliti.

Akhirnya, peneliti berharap semoga laporan penyusunan tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia kesusastraan, khususnya pengembangan kajian strukturalisme genetik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel.

Surakarta, Januari 2010


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS... iii

PERNYATAAN... iv

MOTTO... . v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK... xiv

ABSTRACT... . xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORETIS ... 6

A. Landasan Teoretis ... 6

1. Hakikat Novel ... 6

a. Pengertian Novel ... 6

b. Jenis-jenis Novel... ... 8

c. Unsur-unsur Novel ... 10

2. Hakikat Strukturaisme Genetik ... 25

a. Pengertian Strukturaisme Genetik ... 34

b. Struktur Sosial Budaya... 26


(10)

x

d. Kuntowijoyo sebagai Pengarang ... 32

3. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 35

a. Pengertian Nilai………. ... 35

b. Nilai-nilai Pendidikan……….………. . 37

1) Nilai Pendidikan Agama ... 39

2) Nilai Pendidikan Moral ... 39

3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... 41

4) Nilai Pendidikan Sosial ... 42

5) Nilai Pendidikan Kepahlawanan ... 43

c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel ... 44

B. Penelitian Lain yang Relevan ... 50

C. Kerangka Berpikir ... 51

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

B. Metode Penelitian ... 53

C. Pendekatan Penelitian ... 53

D. Sumber Data ... 53

E. Teknik Cuplikan ... 54

F. Prosedur Penelitian ... 54

G. Validitas Data ... 55

H. Analisis Data ... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 57

A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo ... ... 57

2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 73

3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 148


(11)

xi

4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak

Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 162

B. PEMBAHASAN 1. Religius Profetik sebagai Pandangan Kuntowioyo... ... 167

2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 179

3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 182

4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 199

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. ... 201

A. Simpulan... ... 201

B. Implikasi... 203

C. Saran... .. 209

DAFTAR PUSTAKA ... 210 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 52


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman Kerangka berpikir ... 51 Bagan Model Interaktif Miles & Huberman ... 57


(14)

xiv

ABSTRAK

Giyato. S 840908012. “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Kuntowijoyo dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; dan (4) nilai pendidikan novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah;.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data.

Berdasarkan analisis data melalui pendekatan strukturalisme genetik, dapat disimpulkan: (1) Pandangan dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan moral; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang; (3) struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi proses kreatif, latar sosial budaya masyarakat (religiusitas dalam masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, mitos masyarakat Jawa, perilaku dan kesenangan masyarakat Jawa, penggunaan bahasa dalam masyarakat, prinsip hidup masyarakat Jawa, interaksi sosial dalam masyarakat Jawa, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik), penokohan sebagai perwujudan sosok masyarakat Jawa; (4) dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi nilai pendidikan agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.


(15)

xv

ABSTRACT

Giyato. S840908012. The World Vision of Kuntowijoyo in Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah (A Study of Genetic Structuralism and Education Value). Thesis: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret.

The aim of this research is to describe : (1) the world vision of Kuntowijoyo in in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (2) the Text Structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (4) education value of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah.

The qualitative descriptive research was done using content analysis method. Data source of this research is novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah written by Kuntowijoyo, other literatures of Kuntowijoyo, Kuntowijoyo’s biography, comments from other authors, articles from books, newspapers, and internet which is supported to research problem. Sampling technique of this research was purposive sampling. Validity of research data was done using triangulation theory. The technique of data analyze in the research is using flow model of analyze that cover three components, that is: (1) data reduction; (2) data display; (3) conclusion drawing. Data analysis technique was done by dialectical model. The research was done in 3 steps, including : (1) exploration and general description, (2) focused exploration, (3) data validity checking.

Based on data analysis by genetic structuralism approach, concluded that : (1) Kuntowijoyo’s world vision comprises prophetical religious vision includes art, social, culture, politic, economy, education, and moral value; (2) text structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah includes theme, plot, figure, background, and point of view; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah which includes creative process, sociocultural background of society (religiousness in Javanese society, Javanese art and culture, Javanese society’s myth, attitude and pleasure of Javanese society, language practice in society, life principal of Javanese society, social interaction in Javanese society, leadership inheritance, critic telling) characterization as figure realization of Javanese society; (4) education value in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah comprises religion education value, moral, tradition, social, and heroic.


(16)

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat John F Kennedy begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini mengatakan, “Ketika Politik Bengkok, Sastra akan Meluruskannya”.

Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma kemudian mengafirmasi pernyataan John F. Kennedy dengan membuat adagium “Ketika Jurnalisme Dibungkam, maka Sastralah yang akan Berbicara”. Seno Gumira Adjidharma tidak main-main dengan statement-nya, kumpulan Cerpen “Saksi Mata” terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah “saksinya”. Seluruh cerpen dalam kumpulan ini merupakan “pembocoran” fakta peristiwa kekerasan yang terjadi di Dili, Timor Lorosai saat itu. (Teguh Trianton, 2008: 3)

Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya


(17)

xvii

menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang.

Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra, pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.

Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptanya. Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa


(18)

sifat-xviii

sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra dengan cara pandang yang berbeda yaitu strukturalisme genetik.

Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra yang dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.

Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dengan pendekatan strukturalisme genetik adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan alasan: (1) Kuntowijoyo seorang sastrawan besar pencetus sastra profetik, (2) novel-novel tersebut merupakan cermin realitas masyarakat; dan (3) kajian strukturalisme genetik dan nilai pendidikan terhadap ketiga karya sastra tersebut belum pernah dilakukan

Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(19)

xix

1. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

2. Bagaimana struktur teks novel Pasar, Mantra P ejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan profetik Kuntowijoyo dan totalitas makna novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. 2. Mendeskripsikan struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan

Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

3. Mendeskripsikan struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

4. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.


(20)

xx

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian ilmu sastra, khususnya pengkajian prosa fiksi (novel) dengan pendekatan strukturalisme genetik.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini yaitu:

a. Menambah pengetahuan pengkajian prosa fiksi para pembaca khusunya pada novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo.

b. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berniat menganalisis lebih lanjut karya sastra khususnya melalui pendekatan strukturalisme genetik.

c. Menjadi pengalaman yang cukup berarti bagi peneliti dan hasilnya dapat digunakan dalam usaha pembinaan apresiasi sastra di sekolah terutama dengan penanaman nilai-nilai pendidikan


(21)

xxi

BAB II

LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teoretis

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga, dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca (misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).

Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam. Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa Prancis disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama yaitu prosa yang agak panjang dan sederhana karena hanya menceritakan


(22)

xxii

maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya.

Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari kata Latin novellus yang berarti diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru” karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut Robert Liddell (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.

Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra. Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.

Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.

Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang sangat rumit,


(23)

xxiii

hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan dengan cerpen. Yang lebih menarik lagi dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.

Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra yang kompleks dan memiliki unsur pembangun berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

b. Jenis-jenis Novel

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas


(24)

xxiv

dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127).

Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi.

Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik, faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan


(25)

xxv

juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.

Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis.

Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki. Kenney (1966: 6-7) berpendapat,

“ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole” .

Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.

c. Unsur-unsur Novel

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23) menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.


(26)

xxvi

Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik. 1) Tema

Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert Stanton (207: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan.

Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk, misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya.

Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja, misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan


(27)

lain-xxvii

lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita dengan tekun dan cermat.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantara, 2009:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang dengan kehidupan nyata.

Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang ’itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga


(28)

xxviii

mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan tema tambahan atau tema minor.

Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (200: 77-84) juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, yaitu manusia sebagai individu.

Namun Herman J Waluyo(2002:12) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik.

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat fisik, organik, sosial, egoik, dan tema ketuhanan.


(29)

xxix 2) Alur/Plot

a). Pengertian alur

Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya.

William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:

“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” .

Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat. Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas maka itu bukanlah plot.

Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua peristiwa utama.


(30)

xxx

Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat.

Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi (lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama ke peristiwa pelengkap

Herman J. Waluyo (2008: 21) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:

1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;

2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwa-periatiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;


(31)

xxxi

3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita tokoh-tokohnya;

4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas.

b). Penahapan Alur

Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.


(32)

xxxii

Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition, inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement

c) Jenis Plot

Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu:

- Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.

- Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.

- Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur. Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155).

Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan kepadatannya menjadi dua, yaitu:

- Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya.


(33)

xxxiii

- Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160).

Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002: 153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi.

Plot sebuah novel dikatakan progresif jka peristiwa-peristiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa-peristiwa oertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back.

Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot.

Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak


(34)

xxxiv

dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana.

Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, dan perasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga ada plot rapat dan renggang.

3) Tokoh dan Penokohan

a) Pengertian Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wahyu Wibowo (2003: 46-47) mengungkapkan


(35)

xxxv

bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.

The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would.

(

http://encarta.msn.com/encyclopedia_761560384_5/Novel.html) Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata.

b). Teknik Penokohan

Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui.


(36)

xxxvi

Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri.

Sedangkan Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2) secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan terdahulu.

Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan


(37)

xxxvii

sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui dialog-dialog pelakunya.

Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro, 2002:178-179).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik penokohan terdiri atas teknik monolog interior tak langsung, teknik interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.

4) Latar

a) Pengertian Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu:

(1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di


(38)

xxxviii

lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut.

b) Fungsi Latar

Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: 1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu,

tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.

2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.

3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.

Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35) menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan memberi tekanan pada tema cerita.

Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita novel.

c) Unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) Latar waktu, berhubungan dengan maslaah “kapan”


(39)

xxxix

peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial, menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan. (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333).

5) Sudut Pandang

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113) mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif.

Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Namun, pandangan para pakar tersebut pada dasarnya


(40)

xl

memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang


(41)

xli

pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’ hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.

External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view).

Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan teknik point of view ini.

Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

2. Hakikat Strukturalisme Genetika a. Pengertian Strukturalisme Genetik

Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra dengan cara pandang yang berbeda yang dikenal dengan pendekatan strukturalisme genetik.


(42)

xlii

Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu bentuk pendekatan sosiologi sastra yang dicetuskan oleh Lucien Goldmann. Menurutnya, pendekatan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pandangan dunia pengarang, stuktur teks, dan struktur sosial. Karya sastra dipandang sebagai fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari ciri-ciri dasar perilaku manusia.

The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. Human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world arround him in order to archive a better balance between himself (as subject) and the world. (Goldmann, 1981: 40)

Goldmann, dengan pendekatan strukturalisme genetik, mengembangkan konsep tentang pandangan dunia. Sebagaimana dikatakan Faruk (2003: 43) bahwa teori strukturalisme genetik Goldmann mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya.

Atas dasar hal-hal di atas, Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.


(43)

xliii

Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004: 44) mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum.

Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek. (Herman J. Waluyo, 2002 : 54).


(44)

xliv

Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004: 40).

c. Pandangan Dunia Pengarang

Menurut Lucien Goldmann pandangan dunia pengarang merupakan istilah yang paling tepat dan cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya.

World views are historical and social facts. They are totalities of ways of thinking, feeling, and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups. Through these latter, it is clear that new world views do not appear all at once. (Goldmann: 1981: 112)

Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan dunia merupakan sebuah sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. “ia” akan menggerakkan aktivitas hidup dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.


(45)

xlv

Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 59).

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat problematic hero merupakan struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini akan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia ini tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoretis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 61).

Pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang munkgin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin dibedakan dari kesadaran yang nyata. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat. Individu-individu itu menjadi anggota berbagai pengelompokkan dalam masyarakat, seperti keluarga, kelompok sekerja, dan sebagainya. Ditambah dengan kompleksnya kenyataan masyarakat, individu-individu itu jarang sekali mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku, dan emosi-emosi kolektifnya (Faruk, 2003: 16).


(46)

xlvi

Dalam esainya yang berjudul “ The Epistemology of Sociology” Godlmann (1981: 55-74) mengemukakan pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yakni (1) karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) dalam usahanya mengekspresikan pandangan dubia pengarangnya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Selanjutnya Goldmann mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.

Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Namun, dalam karya sastra, hal ini amat berbeda dengan kedaan nyata. Kesadaran tentang pandangan dunia ini adalah kesadaran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa karyawa sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan dunia yang imajiner.

Secara garis besar, ciri-ciri genetis karya seni, khususnya karya sastra, yang melekat pada struktur sosial, dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah persamaan, antara lain: (1) sama-sama dicirikan oleh adanya totalitas dan unsur, (2) persamaan dalam eksplorasi tokoh-tokoh dan peristiwa, (3) persamaan dalam penggunaan simbol-simbol sebagai alat, (4) persamaan tujuan, yaitu transedensi dan transformasi, dan (5) persamaan hakikat, yaitu abstraksi dari rekonstruksi ide-ide, sastra dalam bentuk rekonstruksi naratif, struktur sosial dalam bentuk rekonstruksi perilaku. Di sinilah analisis sosiologi sastra menunjukkan kelebihannya di antara ilmu sosial yang lain, yaitu dalam


(47)

xlvii

menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 233)

d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik

Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50 judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah Subversi (1999) Pasar (2000), Fabel Mengusir Matahari (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003).

Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), 2001. Tiga kali berturut-turut Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan “Anjing-anjing yang Menyerbu Kuburan” (1997). Hingga ia pernah menelepon redaksi Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang layak untuk menang lagi.

Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan SEA Write Award (1999) dari Pemerintah Thailand.


(48)

xlviii

Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari, kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu optimal.

Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo— Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi. Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra (Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya.

Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”. Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah. (Ibnu Anwar, 2008: 2)


(49)

xlix

Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo (2005: 80) menegaskan idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.”

Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya sampai detik-detik terakhir hayatnya. Ia masih sempat memberi kata pengantar kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu Pengalaman Sejarah (Historical Experience) dan Sejarah Eropa Barat (pengembangan skripsinya pada 1969), serta ide tulisan untuk Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. (Ekky, 2009: 4)

Kuntowijoyo sebagai pencetus maklumat sastra profetik tentu mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh komunisme, sastra memilih realisme sosialis dengan agresif dan berusaha


(50)

l

mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. (Kuntowijoyo, 2005: 10)

Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang Prophet. Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.

Menurut Kuntowijoyo (2005: 10-11) konsep etika profetik ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”

Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi (’amar ma’ruf), Liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah). Liberalisme memilih humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya.

Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat. (Sabili, 2003: 134)

Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam ’amar-ma'ruf nahi


(51)

li

mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.” (www.muhammadiyah-online.com)

Menurut Suminto A. Sayuti, (2005: 5) Etika profetik yang digagas Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.”

Menurut Moh. Wan Anwar (2005: 29) persoalan manusia dan kehidupan masyarakat modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat, kepercayaan orang-orang Jawa yang irasional dan emosional dihayati Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut, tanpa membenturkannya.

Sastra Profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya. Kaidah-kaidah tersebut adalah:


(52)

lii

1. Epistemologi Strukturalisme Transendental (berdasar kitab suci yang transenden dan mempunyai struktur yang utuh, khususnya dalam terminologi Islam)

2. Sastra sebagai ibadah (Islam adalah agama yang utuh, kaffah, (QS. Al-Baqarah: 208. Seorang muslim tidak dikatakan Islamnya kaffah jika dia mengamalkan rukun Islam dengan tertib, tetapi pekerjaannya tidak diniatkan sebagai ibadah)

Keterkaitan antar-kesadaran (Tugas kemanusiaan sastra profetik adalah memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. Hablumminallah dan hablumminannas.)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika profetik Kuntowijoyo mengarah pada pandangan religius. Pandangan religius tersebut bukan religius sufistik, melainkan religius profetik yakni mengarah pada keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.

3. Nilai Pendidikan dalam Novel a. Pengertian Nilai

Menurut Max Scheler (dalam Paulus Wahana, 2004: 5) manusia tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai sesuatu yang membuat berharga layak diingini, dijunjung tinggi, dicita-citakan sebagai pemandu dan pengarah dalam kehidupan manusia. Filsafat nilai Max Scheler memberi kontribusi dalam mengelola realitas pluralitas yang ada untuk dilihat sebagai perbedaan bukan pertentangan.


(53)

liii

Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pngalaman total pada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filasafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan kehidupan.

Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang lewat rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan pengarangnya.

Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu dan berbobot akan selalu mengandung bermacam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun secara fungsional mempunyai ciri yang mampu membedakan antara satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindakdemi mencapai tujuan hidupnya.

Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu berupa ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Wiyatmi (2006: 73), nilai berarti suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan dasar penentu tingkah laku


(54)

liv

seseorang, karena suatu yang menyenangkan (profitable) atau merupakan suatu sistem keyakinan (believe).

Nilai-nilai berarti tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma atau susila. Nilai-nilai ditunjukkan oleh perilaku baik yang sesuai dengan norma-norma atau aturan yang ada dan pelanggaran nilai-nilai berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik serta melanggar norma atau aturan yang ada. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu konsep, yaitu pembentukan mentalita yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya. Nilai-nilai menyediakan prinsip umum dan yang menjadi acuan serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan, dan tujuan tertentu bagi para anggota suatu masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya yang tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma atau susila.

b. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Sastra

Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai


(55)

lv

pendidikan moral, agama, sosial, kepahlawanan maupun estetis (keindahan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.

Ahmadi dan Uhbiyati (1991: 69) berpendapat bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Mudji Sutrisno (1997: 63) juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa manusia, keberadaannya di dunia dan di dalam masyarakat; apa itu kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam refleksi konkret fenomenal berdasar fenomena eksistensi manusia dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi.

Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacanya itu menyentuh dirinya, maksudnya menyentuh perasaannya.

Berdasar pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk


(56)

lvi

dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi dating adri kesadaran bahwa karya sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu juga adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang sastrawan dalam menciptakan keindahan juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran, pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Apa yang hendak disampaikan pengarang itu merupakan nilai-nilai pendidikan.

Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai didik di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walaupun masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Sastra memiliki nilai didik kesusilaan, mengandung nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar.

Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra di atas ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, and sebagainya.


(57)

lvii

Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sehingga dari pendidikan ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:327) menyatakan:

“Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada tuhan hukum-hukum resmi. Religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.”

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:145) bahwa makin ia taat menjalankan syariat agama, maka makin tinggi pula tingkat religiusitasnya. Di lain pihak, Dojosantoso (dalam Tirto Suwondo, dkk, 1994:63) menyatakan bahwa “religius” adalah “keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan”. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan cermin sikap manusia religius.

Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap agama tertentu, Darsono Wisadirana (2004: 60) memberikan pernyataan bahwa orang-orang zaman dahulu, terutama orang-orang pedesaan, bersifat sangat religious. Sifat ini tampak atau ditandai dengan berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara-upacara keagamaan atau ritual biasanya dilakuakan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur, yaitu berupa selamatan, bersih desa, melakukan sesaji untuk roh-roh penunggu atau leluhur yang telah meninggal. Doa bersama juga dilakukan dalam rangka meminta hujan ketika musim kering yang dipimpin oleh seseorang tokoh atau tokoh agama


(1)

ialah rasionalisme berpikir dalam menyelesaikan problematika kehidupan, bukan dengan mitologi.

11.Cermin edukasi masyarakat

Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Pasar, MPU, dan WS ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat. Demikian juga tokoh-tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui. Masyarakat pembaca pun dapat belajar dari interaksi social yang positif dari cerita yang diperlihatkan dalam novel tersebut.

Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem kemasyarakatan yang baik.

C. Saran

Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan pengajaran dengan sistematika yang runtut dan detail agar mudah dipahami


(2)

terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa.

2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour.

3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks.

4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di masyarakat.

5. Para cendekiawan sebaiknya meneladani sosok Kuntowijoyo berkenaan pandangan positifnya tentang etika profetik dengan mengembangkannya dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka memberikan solusi efektif terhadap permasalahan yang muncul di masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini. 2003. ”Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia” dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia Edisi November

Ahmadi dan Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta.

Anis Matta. 2004. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center Anonim. 2009. “Technique Novel” dalam http://www.victorianweb.org diunduh

tanggal 1 Agustus 2009 pukul 16.13 WIB

Black, Sharon. 1999. “Using Polynesian Legends and Folktales to Encourage Culture Vision and Creativity”, Journal Of Culture Education, Vol. 75 Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GMU Press Carver, Rebecca L. and Richard P. Enfield.2006. “Philosophy of Education Is

Alive and Well”, Journal education and culture, Volume 22

Darsono Wisadirana. 2004. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural Masyarakat Pedesaan. Malang: UMM Press.

Ekky. 2008. “Berprestasi dengan Satu Jari”. Dalam http://ekkyij.multiply.com diunduh tanggal 22 Agustus 2009 pukul 15.45 WIB

Faruk.. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Franz Magnis Suseno. 2000. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. Goldman, Lucien. 1977. Towards A Sociology of The Novel. London: Tavistock

Publication Limited

Gunawan. 2010. ”Syafi’i Ma’arif dan Pembaharuan Pemikiran Islam.” dalam www.gunawan.multiply.com diunduh tanggal 23 Februari 2010 pukul 15.00 WIB

Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi dan Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widya


(4)

Ibnu Anwar. 2008. “Sastra Profetik Kuntowijoyo” dalam http://ibnuanwar.wordpress.com diunduh tanggal 20 Agustus 2009 pukul 16.05 WIB

Iswanto. 2001. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dal Jabrohim dan Ari Wulandari (Ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya

Jamal T. Suryanata. 1999. “Sastra yang Tercerahkan: Optimisme Menatap Kegamangan Abad ke-21” dalam Horison Edisi April 1999”

Joko Widagdo. 2001. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen P dan K

Jujun S. Sumantri. 2001. Filasafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press Koentjaraningrat. 1985. Budaya, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia

Kundera, Milan. 2009. “The Art of Novel” dalam http://encarta.msn.com diunduh tanggal 1 Agustus 2009 pukul 14.43 WIB

Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas _______. 2002. Pasar. Yogyakarta: Bentang Budaya _______. 2003. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Kompas

_______. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005

Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Moh. Wan Anwar. 2005. “Kuntowijoyo: Menjejak Bumi, Menjangkau Langit” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005

Mudji Sutrisno. 1997. Sari-sari pencerahan. Yogyakarta: Kanisius.

Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia bulan November 2003

Nugragheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS Press


(5)

Nuri. 2010. ”Apa dan Bagaimana Cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro” dalam www.disiniakuada.multiply.com diakses tanggal 23 Februari 2010 pukul 16.00 WIB

Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Orr, John. 1977. “Tragic Realism and Modern Society: Studies in the Sociology of the Novel” Journal of European Studies. Volume, 9 No. 36

Paulus Wahana. 2004. Nilai: Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.

Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM

Stamm, Liesa. 2009. ”A Novel Window on the Academy” Journal of College & Character Volume X, NO. 7, November 2009

Robert Stanton. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suminto A. Sayuti. 2005. “Selamat Jalan Kuntowijoyo” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori, dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Uns Press

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teguh Trianton. 2008. “Problem Pengajaran Sastra di SMK” dalam www.antonaktualita.blogspot.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 10.40 WIB

Tirto Suwondo, dkk. 1994. Nilai Budaya Sastra Jawa. Jakarta: Depdikbud

Tremanie, Louis. 1978. “Literary Sociology and the African Novel: The Theories of Sunday Anozie and Lucien Goldmann” Journal African Literatures Volume, 9 No. I

Wahyu Wibowo. 2003. Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban Kosmopolitan. Jakarta: Gramedia

Wemmy Al-Fadhli. 2005. “Analisis Strukturalisme Genetik-Semiotik Faruk terhadap Roman Siti Nurbaya” dalam www.bohewimian.com diunduh


(6)

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

www.detikNews.com 23/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 15.45 WIB

www.isai.or.id, diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB

www.muhammadiyah-online.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB

www.rumahbacacendekia.wordpress.com diunduh tangga 28 Oktober 2008 pukul 13.45 WIB

www.sinarharapan.co.id 2/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB

Zurmailis. 2008. “Dadaisme: Mencari JalanPulang.” Dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya, IBDA Vol. 6 No. 1. Purwokerto : P3M STAIN Purwokerto