ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN.

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM
PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI
SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN
SKRIPSI
Oleh:
Jamilatul Lailia
C51211137

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal al-Syakhsiyyah
Surabaya
2015

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM
PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI
SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN

SKRIPSI
Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam menyelesaikan Program Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh:
Jamilatul Lailia
NIM. C51211137

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal al-Syakhsiyyah
Surabaya
2015

i

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚ Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan

Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛ ini
merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab permasalahan
bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri
setelah pembatalan perkawinan dan bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan
hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan
perkawinan.
Data penelitian disajikan dengan menggunakan metode deskriptif analisis untuk
menggambarkan dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis segala fakta yang
dihadapi, kemudian dianalisis menggunakan pola pikir deduktif yaitu menganalisis
data yang diperoleh berangkat dari suatu yang bersifat umum dan ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Dalam hal ini penulis menggunakan teori yang bersifat umum
tentang pembatalan perkawinan untuk meninjau data yang bersifat khusus yaitu
pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan mengenai status istri setelah
pembatalan perkawinan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut hakim Pengadilan Agama
Pasuruan status istri setelah pembatalan perkawinan ada tiga pendapat. Pendapat
pertama adalah janda, tanpa memandang qobla ad-dukhul atau ba’da ad-dukhul
maupun batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pendapat kedua adalah perawan,
baik qobla ad-dukhul atau ba’da ad-dukhul maupun batal demi hukum atau dapat
dibatalkan. Pendapat ketiga adalah perawan jika perkawinannya batal demi hukum

dan berstatus janda jika pembatalan perkawinannya dengan sebab dapat dibatalkan.
Pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tidak seluruhnya sesuai dengan
yuridis karena apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan,
dan suatu perikatan yang dapat dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak
tanggal ada pembatalan. Berdasar hal tersebut, status istri setelah perkawinannya
batal demi hukum adalah perawan dan perkawinan yang dapat dibatalkan adalah
janda.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran bahwa status istri
setelah pembatalan perkawinan seharusnya diatur dalam perundang-undangan atau
disebutkan dalam pertimbangan hakim penetapan pembatalan perkawinan agar dapat
menyeragamkan pandangan terkait stats istri serta memudahkan KUA untuk
memetakan status antara perawan dan janda. Kepada istri yang perkawinannya
dibatalkan oleh Pengadilan Agama hendaknya paham tentang statusnya setelah ada
penetapan pembatalan menurut hukum perkawinan agar tidak terjadi kesalahan
mengisi data administrasi kependudukan.

vii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ............................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
PENGESAHAN .................................................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TRANSLITERASI .............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah........................................................................... 11
C. Rumusan Masalah .............................................................................. 12
D. Kajian Pustaka ................................................................................... 12
E. Tujuan Penelitian ............................................................................... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................................. 15
G. Definisi Operasional .......................................................................... 16
H. Metode Penelitian .............................................................................. 17
I. Sistematika Pembahasan ................................................................... 21

BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan .................................................................. 22
2. Rukun dan Syarat Perkawinan ...................................................... 27

xi

B. Pembatalan Perkawinan
1. Perspektif Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.......... 31
2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam .............................................. 33
C. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan................................................ 35
D. Pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan ............................. 38
E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ............................................ 39
BAB III PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN
TENTANG

STATUS

ISTRI


SETELAH

PEMBATALAN

PERKAWINAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Pasuruan
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Pasuruan .............................. 46
2. Wewenang Pengadilan Agama Pasuruan ...................................... 47
3. Landasan Hukum Pengadilan Agama Pasuruan ........................... 49
4. Visi dan Misi Pengadilan Agama pasuruan .................................. 49
B. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status
Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ................................................ 50
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM
PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS
ISTRI SETELAH PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Analisis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan
tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ....................... 66
B. Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama
Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan ........ 71
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 77

xii

B. Saran ................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT. sebagai pembawa rahmat
bagi seluruh alam, yang mengatur segala sendi kehidupan manusia di alam
semesta ini, diantara aturan tersebut adalah hukum mengenai perkawinan. Allah
mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

mempertahankan keturunan, manusia terbebani tanggung jawab untuk membina
keluarga dan pendidikan generasi.
Perkawinan berlaku untuk semua makhluk Tuhan, manusia, binatang,
tumbuhan, dan kenyataan pasangan kehidupan lainnya yang ada di muka bumi
ini. Akan tetapi, tidak semua perkawinan dilaksanakan dengan tatacara yang
sama, sebagaimana perkawinan manusia dan binatang. Keduanya sama-sama
melakukan perkawinan, tetapi hukum bagi binatang tidak berlaku bagi manusia.
Sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT., manusia memiliki akal,
peradaban, budaya, dan norma-norma sosial yang berlaku memiliki, bahkan
sistem nilai yang diambil dari suatu agama, misalnya dari Islam.1

1

Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-undang, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), 142.

1

2


Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir atau jasmani saja, tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani.
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keluarga bahagia
yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang,3 sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21:

ُ‫ف‬
ُ ُ ُ‫ومنُ ُءاياتهُ ُأنُ ُخلقُ ُلكمُ ُمنُ ُأن فسكمُ ُأزواجا ُلتسك وا ُإلي ها ُوُ ُجعلُ ُب ي كمُ ُمودةُ ُوُ ُرْةُ ُإن‬
ُُُ‫ذلكُُأياتُُلقومُُي ت فكرون‬
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.4
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa ketenangan hidup dan cinta kasih
2

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI , (Bandung: Citra Umbara,
2012), 2.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hal.47.
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya (Surabaya:Duta Ilmu, 2005),
572.

3

sayang dapat ditunjukkan melalui perkawinan.
Perkawinan akan tercapai apabila perkawinan itu memenuhi beberapa
syarat, baik syarat yang telah diatur dalam hukum Islam dan syarat yang
berlaku di suatu negara, termasuk Indonesia. Dalam hukum Islam untuk dapat
melakukan perkawinan secara sah, tentu saja perlu adanya antara syarat dan

rukun perkawinan yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri. Sedangkan rukun
perkawinan menurut jumhur Ulama’ terdiri atas:
1. Suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2. Wali dari pihak calon pengantin wanita.
3. Dua orang saksi.
4. S{igat akad nikah.5
Menurut Sayyid Sa@biq pada garis besarnya syarat-syarat sahnya
perkawinan ada dua, yaitu:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang
yang haram dinikahi, baik karena haram dinikah untuk sementara
maupun untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi. 6
Adapun dalam perkawinan di Indonesia, Undang-undang telah mengatur
syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan
5
6

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 65-68.
Sayyid Sa@biq, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Dar al-Hadi@s, 1990), 37.

4

administrasi, prosedur pelaksanaanya dan mekanismenya. 7 Apabila suatu
perkawinan telah memenuhi seluruh syarat dan rukun yang telah ditentukan,
maka perkawinan dapat dikatakan sah. Akan tetapi, selain terpenuhinya syarat
dan rukun perkawinan, perkawinan tersebut harus terlepas dari segala hal yang
menjadi penghalang. Hal ini disebut sebagai larangan dalam perkawinan.
Larangan perkawinan adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan
perkawinan yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini
oleh seorang laki-laki, maupun sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh
dikawin oleh seorang perempuan. Seluruhnya telah diatur dalam al-Qur’an dan
hadis. Larangan perkawinan ini ada dua macam:
1. Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya (Mah{ram

Mu’abbad), yaitu sampai kapan pun dan dalam keadaan apapun antara
laki-laki dan perempuan tidak boleh menikah. Mah{ram mu’abbad ada tiga
kelompok, yaitu: disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan,
adanya hubungan perkawinan (mus{aharah), karena hubungan sesusuan.
Keseluruhannya bersumber dari surat an-Nisa ayat 22, 23, dan 24.
2. Mah{ram ghairu mu’abbad yaitu larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal
tertentu, bila hal itu sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak
berlaku lagi. Mah{ram ghairu mu’abbad antara lain: mengawini dua orang

7

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 40.

5

saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, terikat dalam ikatan
perkawinan, adanya talak tiga, sedang melakukan ihram, karena
perzinaan, dan karena beda agama.8
Apabila terjadi perkawinan yang melanggar larangan perkawinan atau
tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan
tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.
Pembatalan Perkawinan adalah pembatalan ikatan perkawinan oleh
Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan
Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang telah terlanjur menyalahi
hukum perkawinan.9
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan untuk melangsungkan perkawinan.10 Penjelasan

kata ‚dapat‛

dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bila mana
menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan
lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini
berarti dapat

dibatalkan dan batal demi

hukum. Dengan demikian

perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu

8
9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 111-133.
Ibid., 242.

10

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI , 8.

6

dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan- aturan tertentu.11
Menurut KHI sebab-sebab perkawinan dapat dibatalkan terdapat pada
pasal 71 dan 72 yaitu apabila:12
Pasal 71
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain yang mafqud.
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa ‘iddah dari suami
lain.
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974.
5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang

11

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Study Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi
Hukum Islam), (Kencana: Jakarta, 2006), 106-107.
12
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI , 344.

7

melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih
tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan pembatalan, maka haknya gugur.
Perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan.
Perkawinan batal demi hukum disebabkan oleh perkawinan yang tidak
memenuhi rukun dan syarat perkawinan atau terdapat halangan perkawinan.
Seperti larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya dan larangan
perkawinan yang berlaku haram untuk sementara waktu. Sedangkan perkawinan
yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama secara sederhana ada dua sebab.
Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap
materi perkawinan. Contoh pertama, tidak terpenuhi syarat-syarat wali nikah,
tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan contoh yang

8

kedua adalah perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman, atau terjadi
salah sangka mengenai calon suami dan istri.13
Kenyataan dalam masyarakat masih ada orang-orang yang melaksanakan
perkawinan padahal terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi atau ada
larangan-larangan yang telah dilakukan. Misalnya, salah satu pihak masih
terikat dalam perkawinan, kemudian melangsungkan perkawinan baru tanpa
sepengetahuan atau tanpa seizin istri pertama. Bahkan tidak mengetahui
prosedur dari melaksanakan perkawinan maupun tata cara dari pembatalan
perkawinan, sehingga akibatnya melahirkan perkawinan dibawah tangan, kawin
sirri,

ataupun

perkawinan

yang

tidak

melengkapi

syarat-syarat

dari

perkawinan.14
Apabila terjadi suatu pembatalan perkawinan, ada beberapa masalah yang
akan muncul terkait dengan akibat hukum setelah perkawinan tersebut
dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Akibat hukum tersebut antara lain terkait
dengan kedudukan sah atau tidaknya seorang anak jika pernikahan yang
dibatalkan tersebut menghasilkan anak, harta bersama, masa tunggu (‘iddah)
bagi istri dan nafkah ‘iddahnya, serta yang tak kalah penting adalah status istri
setelah perkawinannya dibatalkan.
Setelah pembatalan perkawinan, status istri menjadi simpang siur. Ada
13

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia (Study Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi
Hukum Islam), 107-108.
14
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang- Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), ( Bumi Aksara: Jakarta, 1996), 86.

9

ketidakjelasan hukum terkait dengan status istri karena belum adanya aturan
khusus yang secara eksplisit mengatur tentang status istri setelah terjadinya
pembatalan perkawinan. Begitu juga mengenai penetapan status atau
kedudukan anak dan harta bersama yang sesungguhnya tidak pernah
tercantum dalam Amar Putusan Pembatalan Perkawinan. Demikian juga
dengan status istri yang tidak pernah tercantum dalam Amar Putusan
Pembatalan perkawinan terkait apakah statusnya disamakan dengan cerai mati
atau cerai hidup yaitu janda. Karena pembatalan perkawinan berbeda dengen
perceraian, tentu terdapat perbedaan antara status istri setelah terjadi
perceraian dengan status istri setelah terjadi pembatalan perkawinan. Hal ini
disebabkan oleh status keabsahan dari perkawinan yang terjadi sebelum
perkawinan itu dibatalkan.
Indonesia sebagai negara hukum bertanggungjawab memberikan kepastian
hukum terhadap setiap warga negaranya melalui Pengadilan Agama dan
menurut pasal 37 Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1994 menyebutkan bahwa batalnya
suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.15
Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman guna
untuk menegakkan keadilan. Dalam menjalankan tugasnya Hakim terkadang
menjadi terompet Undang-undang dalam kasus hukum yang telah jelas

15

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI , 48.

10

ditentukan sehingga Hakim tinggal menerapkannya, tetapi pada saat yang lain
hakim harus menafsirkan Undang-undang. Yakni dalam kasus yang hukumnya
tidak atau belum jelas sehingga memerlukan penafsiran yang dikenal dalam
ilmu hukum. Pada saat yang lain hakim dituntut untuk menemukan hukumnya,
yakni saat Undang-undang belum secara khusus mengatur atas kasus tersebut.16
Adapun terkait status istri setelah pembatalan perkawinan ada pihak yang
mengatakan bahwa status istri kembali pada status semula sebelum adanya
perkawinan, yakni apabila sebelum menikah berstatus perawan maka setelah
perkawinannya dibatalkan kembali lagi ke perawan, meskipun dalam
perkawinan yang dibatalkan tersebut telah menghasilkan anak. Pihak yang
mengatakan kembali ke status semula, berargumen bahwa hal ini dianalogikan
dengan sholat, apabila ditengah-tengah sholatnya batal, maka orang tersebut
dianggap belum pernah melakukan sholat dan harus melakukan sholat lagi.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa statusnya
adalah janda. Pihak yang mengatakan janda ini berpendapat bahwa karena pada
kenyataannya wanita tersebut sudah pernah melakukan suatu perkawinan
walaupun pada akhirnya perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama dan
tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang melakukannya sendiri, yaitu
istri yang perkawinannya dibatalkan tersebut berpendapat bahwa statusnya
adalah janda karena merasa bahwa dirinya telah melakukan suatu perkawinan.
16

Wildan Sayuti, Etika Profesi Kode Etik Hakim, ( Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Mahkamah Agung, 2001), 4.

11

Terlebih lagi jika dalam perkawinan tersebut menghasilkan anak, yang mana
telah diketahui bersama bahwa tidak mungkin seorang yang masih perawan bisa
melahirkan seorang anak.
Dari pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji bagaimana
pandangan hakim tentang status istri setelah perkawinannya dibatalkan oleh
Pengadilan Agama. Oleh karena itu penulis menulis skripsi ini dengan judul
‚ANALISIS YURIDIS TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN
AGAMA

PASURUAN

TENTANG

STATUS

ISTRI

SETELAH

PEMBATALAN PERKAWINAN‛

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka
dapat ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam.
2. Sebab-sebab perkawinan yang dapat dibatalkan dan batal demi hukum.
3. Orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
4. Akibat hukum pembatalan perkawinan.
5. Pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah
pembatalan perkawinan.

12

6. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan
tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
Dari identifikasi masalah tersebut penulis membatasi masalah, yaitu:
1. Pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah
pembatalan perkawinan.
2. Analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan
tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.

C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah yang telah penulis paparkan di atas,
maka dapat ditulis rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status
istri setelah pembatalan perkawinan?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama
Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini digunakan untuk mengetahui apakah sudah ada
penelitian yang sama sebelumnya. Adapun pembahasan pada penelitian ini
adalah masalah pembatalan perkawinan.

13

Sebenarnya sudah banyak literatur yang membahas tentang Pembatalan
Perkawinan. Tetapi, dalam hal ini peneliti melakukan pembahasan tentang
‚Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan

tentang Status Istri Setelah Pembatalan Perkawinan‛.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, ada beberapa penelitian
yang serupa mengkaji tentang pembatalan perkawinan. Penelitian tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
Skripsi Agung Yusfantoro yang berjudul ‛Akibat Hukum Pembatalan
Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta Bersama (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Kelas 1A Kabupaten Kediri)‛. Skripsi ini menyimpulkan
bahwa status anak yang lahir sebagai akibat pembatalan perkawinan dianggap
sebagai anak sah dan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut bagi
anak yang lahir sebelum adanya pembatalan, sehingga berhak atas pemeliharaan,
pembiayaan serta waris dari kedua orang tuanya. Adapun terkait harta bersama
dalam putusan ini untuk pembagiannya diserahkan sesuai dengan kesepakatan
masing-masing.17
Skripsi Nur Afifah yang berjudul ‛ Studi Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak dari Pembatalan Perkawinan
No. 1433/Pdt.G/2008/PA.Jbg‛. Pembahasan dalam penelitian ini adalah

17

Agung Yusfantoro, ‛ Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Anak dan Harta
Bersama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kelas 1A Kabupaten Kediri)‛ (Skripsi--Universitas
Islam Kadiri, Kediri, 2012).

14

pembatalan perkawinan terjadi karena istrinya masih terikat perkawinan dengan
laki-laki lain. Oleh karena itu Pengadilan Agama membatalkan perkawinan
tersebut dengan bukti-bukti outentik yang sudah diperiksa oleh para hakim.
Adapun tentang status hukum anak dari pembatalan perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
bahwa anak tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena hukum
tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
dibatalkan tersebut. Sedangkan menurut pendapat fuqoha’ masih terdapat
ikhtilaf diantaranya ada yang berpendapat bahwa anak itu dinasabkan kepada
kedua orang tuanya dan ada yang berpendapat lain mengatakan bahwa anak
tersebut dinasabkan kepada ibunya saja.18
Skripsi Mujayanah yang berjudul ‚Pindah Agama Sebagai Alasan
Pembatalan Perkawinan (Studi Komparatif Antara Undang-undang No. 1 tahun
1974 dan Hukum Islam)‛. Dalam skripsi tersebut menyimpulkan bahwa dalam
UU no. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara jelas mengenai masalah
pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh suami murtad, sedangkan dalam
hukum Islam diatur secara jelas dan rinci. Sebab-sebab perkawinan yang dapat
dibatalkan menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat perkawinan, sedangkan dalam hukum Islam sebab-sebab

18

Nur Afifah, ‚Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jombang tentang Status Anak
dari Pembatalan Perkawinan No. 1433/Pdt.G/2008/PA.Jbg‛ (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
2009).

15

perkawinan

dapat

dibatalkan

selain

tidak

terpenuhinya

syarat-syarat

perkawinan, juga ada sebab lain yang diatur lebih jelas dan rinci.19
Sedangkan dalam pembahasan dalam penelitian ini berbeda dengan
pembahasan yang dilakukan sebelum-sebelumnya, karena selama melakukan
peninjauan pustaka ini penulis sama sekali belum menemukan penelitian tentang
pandangan hakim tentang status istri setelah Pembatalan Perkawinan. Maka,
penulis membahas masalah tersebut dengan judul ‚Analisis Yuridis terhadap

Pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah
Pembatalan Perkawinan‛.

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status
istri setelah pembatalan perkawinan.
2. Mengetahui analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama
Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal
berikut:

19

Mujayanah, ‚Pindah Agama Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan (Studi Komparatif Antara
Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Hukum Islam)‛ (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
2007).

16

1. Kegunaan teoritis: penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah
dalam bidang hukum perkawinan, khususnya tentang status istri setelah
perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama.
2. Kegunaan praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat praktis terhadap pihak-pihak yang membutuhkan, baik sebagai
pegangan selanjutnya maupun sebagai bahan penyuluhan dalam bidang
perkawinan khususnya terkait dengan status istri setelah pembatalan
perkawinan.

G. Definisi Operasional
Skripsi ini penulis beri judul ‚Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim

Pengadilan Agama Pasuruan tentang Status Istri Setelah Pembatalan
Perkawinan‛
Guna memahami maksud dari penelitian ini, juga untuk menghindari
kesalahpahaman dalam menginterpretasikan judul ke dalam penelitian, maka
perlu dijelaskan bahwa pengertian kata-kata yang terdapat dalam judul ini
adalah sebagai berikut:
Analisis Yuridis : Penguraian atau

kupasan tentang status istri setelah

pembatalan perkawinan menurut hukum. Dalam hal ini menurut Undangundang No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan pakar hukum.

17

Pandangan Hakim : Pendapat yang berdasar pada pengetahuan hakim-hakim
di Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri setelah pembatalan
perkawinan.20
Status Istri : Keadaan atau kedudukan istri setelah perkawinannya dibatalkan
oleh Pengadilan Agama yaitu dikembalikan status awal sebelum adanya
perkawinan (perawan) atau janda.
Pembatalan Perkawinan: Pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan
Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan
Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang telah terlanjur menyalahi
hukum perkawinan.
Dari penjelasan tersebut, maka maksud dari judul di atas adalah bagaimana
pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status istri yang
perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama.

H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu data
yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah fakta-fakta yang berkaitan
langsung dan tidak langsung dengan pandangan hakim Pengadilan Agama
Pasuruan tentang status istri setelah perkawinannya dibatalkan. Adapun
penulisan skripsi ini menggunakan metode pembahasan sebagai berikut ini:
20

Departemen Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3,
Cet. Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1205.

18

1. Data yang Dikumpulkan
Sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, agar dalam
pembahasan skripsi ini nantinya bisa di pertanggung jawabkan tentang
kualitas mutunya, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data yang terkait pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan
tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
b. Data yang terkait dasar hukum hakim Pengadilan Agama Pasuruan
tentang status istri setelah pembatalan perkawinan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut
dapat diperoleh.21 Dari data yang akan dikumpulkan di atas, maka sumber
data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer:
Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau orang
yang memerlukannya.22 Sumber data primer dalam skripsi ini adalah
hakim-hakim dan panitera dan putusan Pengadilan Agama Pasuruan.
b. Sumber Data Sekunder

21

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2010), 172.
22
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 93.

19

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada,
baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.23
Data sekunder dalam skripsi ini adalah:
1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2) Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975.
3) Kompilasi Hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview), yaitu teknik memperoleh data dengan tanya
jawab langsung secara lisan dengan Hakim-hakim Pengadilan Agama
Pasuruan. Wawancara ini dilakukan dengan pokok pertanyaan yang
telah disiapkan kemudian dilanjutkan dengan variasi wawancara yaitu
pengembangan dari wawancara guna memperoleh data yang diperlukan.
b. Dokumen (Dokumenter), yaitu memperoleh data dengan menelusuri
dan memperoleh dokumen yang berupa buku-buku yang relevan dengan
status istri setelah perkawinannya dibatalkan.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara-cara sebagai
berikut:

23

Ibid., 94.

20

a. Editing (pemeriksaan data) yaitu memeriksa kembali semua data yang
diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai
segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya,
keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.24
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan
masalah.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis ‚Deskriptif Analisis‛, yaitu metode yang menggambarkan dan
menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga diperoleh pemahaman
yang mendalam dan menyeluruh.25 Kemudian menggunakan pola pikir
deduktif yaitu menganalisis data yang bertitik tolak dari teori yang bersifat
umum tentang pembatalan perkawinan untuk meninjau data yang bersifat
khusus yaitu pandangan hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status
istri setelah pembatalan perkawinan.

I. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab
mempunyai sub-bab pembahasan sebagai berikut:
24
25

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 91.
Moh. Nazhir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 62.

21

Bab pertama merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian
Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional,
Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi pengertian perkawinan,s
yarat sahnya perkawinan, pengertian umum tentang pembatalan perkawinan
menurut Undang-undang Perkawinan dan KHI, sebab-sebab perkawinan yang
dapat dibatalkan dan batal demi hukum, pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan, akibat hukum pembatalan perkawinan.
Bab ketiga menguraikan tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran
umum Pengadilan Agama Pasuruan, yang meliputi letak geografis, wilayah
yurisdiksi, struktur organisasi, uraian tentang pandangan Hakim tentang status
istri setelah pembatalan perkawinan serta dasar hukumnya.
Bab keempat merupakan bab yang membahas kajian analisis Yuridis
terhadap pandangan Hakim-hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang status
istri setelah Pembatalan perkawinan.
Bab kelima merupakan bagian terakhir dari skripsi ini. Bab ini memuat
kesimpulan dan saran.

22

BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN SECARA YURIDIS

A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang
laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata ‚kawin‛ yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan
lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Secara bahasa
arti kata nikah berarti ‚bergabung‛ (ُ‫)ضم‬, ‚hubungan kelamin‛ (ُ‫)الوطء‬, dan
juga berarti ‚akad‛ (ُ‫ )عقد‬.Adanya dua kemungkinan ini karena dalam alQuran mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 230:
ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ 
ُُُُُُُُُُُ ُُُُُُُ
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dna istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukumhukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
1

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 7.

22

23

menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas
bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang dzalim.2
Maksud dari kata ‚nikah‛ dalam ayat ini adalah bersetubuh3 dan bukan
hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah
akad nikah dengan laki-laki kedua, perempuan itu belum boleh dinikahi oleh
mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya
hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Adapun dalam al-Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad, yaitu
terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 22:
ُُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ 
ُُُُُُ

Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah
dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.
Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburukburuk jalan (yang ditempuh).4
Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh
ayah itu haram dinikahi, dengan semata karena ayah telah melangsungkan

2

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 336.
M. Shaleh al-Utsaimin dan A. Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan dalam Islam, Dasar Hukum
Hidup Berumah Tangga, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 28.
4
Ibid, 136.

3

24

akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun diantara keduanya belum
berlangsung hubungan kelamin.5
Terkait dengan arti dari kata nikah terdapat perbedaan pendapat di
antara ulama’. Ulama’ Sha@fi’iyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad
dalam arti yang sebenarnya (hakiki), yang mengatakan:
6

ُ‫عقدُُي تضمُنُُإباحةُُالوطءُُبلفظُُاأنكاحُُاوالت زويج‬

Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha atau zawaja.
Sedangkan dapat juga berarti untuk hubungan kelamin untuk arti yang
bukan sebenarnya (majazi). Sebaliknya, ulama’ H{ana@fiyah berpendapat
bahwa kata ini mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin,
berarti pula untuk yang lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi
yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. Ulama’ H{ana@bilah
berpendapat penunjukan kata nikah untuk kemungkinan tersebut adalah
dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam dua contoh ayat yang
disebutkan sebelumnya.7
Menurut

Hazairin

inti

perkawinan

adalah

hubungan

seksual.

Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan
seksual diibaratkan bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 36.
Jala@luddi@@n al-Mahally, Syarh Minhaj al-Tha@libi@n, (Beirut: Dar Ihya@ al-Kutub al-Kubra,tt), 206.
7
Ibid. 37.
5

6

25

tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (‘iddah) untuk menikahi lagi
bekas istri itu dengan laki-laki lain. Sedangkan menurut Ibrahim Hosen,
nikah dalam arti sebenarnya dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedang menurut arti lain adalah
bersetubuh.8
Menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pasal 1
Undang-undang Perkawinan ini bukan hanya memuat pengertian saja, tetapi
juga mencantumkan tujuan dan dasar hukum perkawinan. Pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan motivasi agama merupakan dasar bagi
perkawinan dan oleh karenanya perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanaya itu. Kepercayaan ini
bukan kepercayaan yang terlepas dari agama, melainkan kepercayaan yang
berhubungan dengan agama atau dinamakan dengan kepercayaan agamanya.
Sehubungan dengan itu, dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
8

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 2-3.

26

dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing.9
Berdasarkan pengertian tersebut maka unsur-unsur perkawinan adalah:
a. Ikatan lahir batin,
b. Antara seorang pria dan wanita,
c. Sebagai suami istri,
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat aspek formal semata, tetapi juga dilihat
dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan
perkawinan, sedangkan aspek formal menyangkut aspek administratif, yaitu
pencatatan di KUA dan pencatatan sipil. Pelaksanaan perkawinan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri
Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II pasal 2 (1) PP No. 9 Tahun 1975
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut agama
Islam dilakukan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana
Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan talak dan rujuk.

9

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 270.

27

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai
peranan yang penting.10

2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama yaitu keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu perkawinan rukun dan syarat
tidak boleh tertinggal, dalam artian bila rukun dan syarat tidak ada atau
tidak lengkap, maka perkawinan tersebut tidak sah. Rukun adalah sesuatu
yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya
dan tidak merupakan unsur. Syarat ada yang berkaitan dengan rukun dalam
arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula
syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur
rukun.11

10
11

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 3.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 59.

28

Rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:
a. Adanya suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. S{igat akad nikah.12
Menurut jumhur Ulama’ rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
a. Calon suami, syarat-syaratnya:
1) Beragam Islam,
2) Laki-laki,
3) Jelas orangnya,
4) Dapat memberikan persetujuan,
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Calon istri, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam,
2) Perempuan,
3) Jelas orangnya,
4) Dapat dimintai persetujuan,
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
12

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 65-68.

29

1) Laki-laki,
2) Dewasa,
3) Mempunyai hak perwalian,
4) Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki,
2) Hadir dalam ijab qabul,
3) Dapat mengerti maksud akad,
4) Islam,
5) Dewasa.
e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya adalah:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali,
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai,
3) Menggunakan kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata
tersebut,
4) Antara ijab dan qabul bersambungan,
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya,
6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan
umrah,
7) Majlis ijab dan qabul minimal harus dihadiri empat orang, yaitu calon
mempelai atau yang mewakilinya, wali dari mempelai perempuan, dan

30

dua orang saksi.13
Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membahas tetang rukun
perkawinan. Undang-undang Perkawina hanya membicarakan syarat-syarat
perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan
dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan yaitu terdapat pada pasal 6 dan 7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan KHI secara jelas
mencantumkan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14
yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madhab Sha@fi’i dengan tidak
memasukkan mahar dalam rukun.
Rukun dan syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi, apabila ada yang
tidak terpenuhi maka perkawinannya tidak sah. Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-

Madhahib al-Arba’ah disebutkan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah tidak
sah.14

13

Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), 71.
Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazha@hib al-Arba’ah, Juv IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982),
118.
14

31

B. Pembatalan Perkawinan
1. Perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Apabila terjadi suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat
pada pasal 22-28 UU No. 1 Tahun 1974, berarti perkawinan ini batal. Akan
tetapi, karena perkawinan tersebut telah dilaksanakan, menurut Undangundang Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
sebagaimana terdapat dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974.15
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas menyatakan adanya
pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat
dibatalkan, hanya saja ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya
perkawinan dan tata cara permintaan pembatalan perkawinan serta alasanalasan yang diperbolehkan mengajukan pembatalan perkawinan yaitu pasal
22 sampai pasal 28 Undang-undang Perkawinan. Adapun substansi dalam
praktik pembatalan perkawinan yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah
kurangnya rukun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu
perkawinan.16

15
16

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 106.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 41.

32

Dengan demikian, secara tersirat dapat diketahui bahwa pembatalan
perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat dibatalkan diakui
eksistensinya

dalam

Undang-undang

Perkawinan

dan

Peraturan

Pelaksanaannya, meskipun tidak secara tegas dinyatakan bahwa perkawinan
yang batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan merupakan suatu
institusi yang berdiri sendiri. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya
pasal-pasal dalam kedua perundang-undangan tersebut menggunakan katakata pembatalan perkawinan yang substansinya adalah sama dengan
ketentuan perkawinan yang batal demi hukum dan perkawinan yang dapat
dibatalkan.17
Terdapat kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak adanya
fungsi pengawasan dari pihak keluarga maupun pejabat yang berwenang,
sehingga perkawinan tersebut tetap terlaksana walaupun pada akhirnya
ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1994 tentang
perkawinan maupun hukum perkawinan Islam. Setelah hal ini terjadi, maka
Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut. Adapun pihakpihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UU tentang
perkawinan adalah para keluarga pada garis lurus ke atas dari suami atau istri

17

Ibid.

33

dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan
tersebut.18
Adapun

hikmah

dibolehkannya

pembatalan

perkawinan

adalah

memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang
menempuh hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan mungkin
ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan
perkawinan, yaitu kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah, atau
perkawinan itu akan merusak hubungan antar keduanya atau dalam masa
perkawinannya itu ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin
melakukan perkawinan, namun kenyataannya telah terjadi. Hal-hal yang
memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah perceraian.19

2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syaratsyarat dan rukun perkawinan perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan
yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila di kemudian hari
ditemukan penyimpangan terhadap syarat perkawinan maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam
disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh

18
19

Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 71.
Ibid.

34

sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah merusakkan atau
membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.20 Fasakh
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Disebabkan oleh adanya hal-hal yang mem

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN SEBAGAI AKIBAT SALAH SANGKA TERHADAP STATUS SUAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ketapang Nomor 198/Pdt.G/2011/PA.Ktp)

0 18 17

Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim

0 11 0

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA ADANYA PENIPUAN OLEH PIHAK ISTRI (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama Wonosari Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)

0 8 99

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN PMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP ISTRI Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian Pmbatalan Perkawinan Terhadap Istri Yang Telah Memiliki Janin Dari Orang Lain Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta.

0 3 23

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PENIPUAN PIHAK LAKI-LAKI Tinjauan Yuridis Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Pihak Laki-Laki (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 3 17

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN Tinjauan Yuridis Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Pihak Laki-Laki (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 2 12

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Pihak Laki-Laki (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 6 15

Analisi Yuridis terhadap pandangan Hakim Pengadilan Agama Pasuruan tentang Penerapan Putusan MK No: 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin.

0 1 25

Analisis yuridis terhadap pandangan hakim pengadilan agama di Jawa Timur tentang status istri dan anak pasca penolakan perkara isbat nikah poligami : Studi putusan pengadilan Agama Probolinggo nomor: 0164/pdt.G/2013/PA.Prob.

0 1 88

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA NGANJUK TENTANG HIPERSEKSUAL SEBAGAI ALASAN UNTUK MENGAJUKAN PERCERAIAN.

2 4 95