Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

GITA DWI ANNESSA NIM : 1110044100075

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/ 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim.

Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah,Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

Pandangan hakim pengadilan agama bekasi tentang hak waris anak non muslim dan ketaatan hakim dalam melaksanakan Yurisprudensi MA no 368 K/ AG/ 1995 terhadap hak waris anak non muslim.

Dari penelitian ini tujuannya untuk memberi gambaran bahwasanya anak non muslim merupakan penghalang dalam mewarisi. Supaya senantiasa sebagai muslim kita harus menjaga dan memelihara keimanan, mencengah terjadinya penyimpangan aqidah. Untuk meminimalisir kemurtadtan. Karna beda agama merupakan penghalang untuk saling mewarisi.

Penelitian ini menggunakan metode empiris, sumber data dari hasil wawancara hakim di pengadilan agama bekasi, Khi,Yurisprudensi MA no 368/ K/AG/1995, pengumpulan data wawancara dengan hakim di pengadilan agama bekasi,dan menganalisis data dengan menggunakan data deskriftif analisis.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa hak waris anak non muslim menurut pandangan hakim pengadilan agama bekasi dimana para hakim di pengadilan agama memandang bahwa hak waris anak non muslim ini putusan yang adil ketika diputuskan oleh hakim MA , akan tetapi apabila ada perkara yang sama, para hakim di pengadilan agama bekasi akan menjadikan Yurisprudensi MA ini sebagai rujukan, sebagai acuan, dan bahan pertimbangan dalam memutus perkara yang sama, akan tetapi hakim di pengadilan agama bekasi juga akan melihat dan mempelajari beberapa faktor dan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memutus perkara yang sama supaya tidak keluar dari aturan agama Islam dan dapat memberikan putusan yang adil tanpa adanya perbedaan dimuka hukum.

Kata Kunci: Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tentang Hak Waris Anak Non Muslim.

Pembimbing: Dr. Djawahir Hejjazziey, SH., MA. Daftar Pustaka:Tahun 1967 - 2013


(6)

Segala rasa puji dan kesyukuran penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad serta kerabat dan para sabatnya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Damayanti, SE, dan kepada ayahanda H. Sukyan Nasution beserta kanda tersayang Ferdian Eka Sukmana, S.Pd. yang selalu memberi dukungan, kasih sayang, doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa membalas kasih sayang tulus kapada mereka serta diberi umur yang panjang, amin ya Allah.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan penulis temukan. Syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah,dan izin Allah, serta kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr.Asep Saepudin jahar, MA., Ph. D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA, Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program

Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Khususnya kepada ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag yang senantiasa memperlakukan mahasiswanya selanyaknya anak sendiri, sehingga tanpa kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi kepada penulis serta memberikan saran ataupun kritikan yang membangun demi kebaikan penulis. 5. Ibu Hj Maskufa, MA., sebagai dosen penasehat akademi penulis haturkan

terima kasih yang sebesar-besarnya karna beliau sudah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skrifsi ini.

6. Terima kasih tak terduga penulis sampaikan kepada bapak wakil pengadilan agama bekasi bapak Dr. Drs. H. Sirajuddin Saillellah.SH.,MHI, bapak Drs Amri, SH, Ibu Firris Barlian,S.Ag,MH, dan segenap keluarga besar pengadilan agama bekasi.

7. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam mengadakan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.


(8)

Erliyanti Lubis, Desy Nur Fitria, Sahro Batubara, Futichatussami’ah, Abiyati Adnan.

9. Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan, kebaikan dan kasih sayang yang mereka berikan kepada penulis dengan balasan yang setimpal.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan mamfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membagun senantiasa penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini.

Ciputat, 16 Maret 2015

Penulis


(9)

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan... 6

C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ... 7

D. Review Study Penelitian ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II HUKUM KEWARISAN A. Pengertian Hukum Kewarisan. ... 15

B. Pembagian Waris Muslim 1. Menurut Fuqaha... 25

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 32 C. Pembagian Waris Non Muslim


(10)

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA BEKASI

A. Profil Pengadilan Agama ... 49 B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama ... 53 C. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama. ... 66

BAB IV PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA

A. Pandangan Hakim TerhadapYurisprudensi MA ... 67 B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam

Memutus Perkara Kewarisan Anak Non muslim. ... 68 C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus

Perkara Kewarisan Anak Non Muslim ... 70 D. Analisis Tentang Hak Waris Anak Non Muslim ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Lampiran Hasil Wawancara. ... 98 2. Lampiran Surat keterangan Pembimbing

3. Lampiran Keterangan Penelitian

4. Lampiran Yurisprudensi MA No 368 K/AG/ 1995


(11)

Muhammad Abu Zuhrah,IlmuWarisJakarta, PT.LenteraBasritama 2001.

RahmanHabibiRekontruksiKewarisan Islam Di Indonesia,Jakarta,PT. Al-Bayan 2011.

Dapertemen Agama RI,KedudukanWasiatdalam system

pembagianhartapeninggalan,Jakarta, PT.Kementrian Agama, 2012.

A.KarimMunchit. ProplematikaHukumKewarisan di Indonesia, Jakarta, PT.Puslitbangkehidupankehidupankeagamaan ,2012.

Muhibundan Wahid Abdul.HukumKewarisan Islam,

Jakarta,PT.PerpustakaanNasional, 2009.

SunggonoBambang. MetodelogiPenelitianHukum, Jakarta, PT.Raja GrafindoPersada, 2003.

Ali Zainuddin. MetodePenelitianHukum, Jakarta, PT.SinarGrafika, 2009.

BadanPembinaanHukumNasionalDapertemenHukumdan Ham

RI.TelaahAkademikHukumTentangYurisprudensiPengadilan Agama di

bidangwaris, tahun 2003.

PurnadiPurbacarakadanSoerjonoSoekanto.

Perundang-undangandanYurisprudensi,Jakarta, PT.CitraAditya Bakti,1989.

Ahmad KamildanM.Fauzan.Kaidah-kaidahHukumYurisprudensi ,Jakarta, PT.Prinada Media, 2004.

MarzukiMahmud Peter. PenelitianHukum, Jakarta, PT.KencanaPrenada Media Group, 2007.


(12)

Pressindo,2010.

S.SalmanOtjedanHaffas Mustafa, HukumWaris Islam, Jakarta, PT. RefikaAditama 2006.

SuparmanEman, HukumWaris Indonesia, Jakarta, PT. RevikaAditama 2007. KomiteFakultasSyari’ahUniversitas AL- azharMesir, HukumWaris, Jakarta,

PT.SenayanAbadiPublising 2000.

Harahap yahya, Kedudukan Kewenangan dan acara Peradilan Agama, Jakarta,PT.Sinar Grafika, 2009.

Bisri Hasan, Peradilan Agama di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada,2003. Muhammad syeikh bin shaleh al- Utsaimin, Ilmu Waris, Ash-shaf media, Tegal

jateng.2007.

Parman ali, Kewarisan dalam Al-qur’an, Pt.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 1995.


(13)

A. Latar Belakang

Hukum waris islam merupakan ekspresi penting dalam keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak awal Islam hingga abad pertengahan , zaman modern dan kontemporer serta dimasa yang akan datang.1

Sejak sejarah awalnya(origini) hingga pembentukan dan pemberharuannya

(change and development) dimasa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan

dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non islam. Bahkan juga mewarnai dalam relasinya dengan non muslim, termasuk didalamnya hukum waris Islam2.

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di sini Al-qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris non muslim, namun di sisi lain tuntunan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya, dialektika antara hukum dan tuntunan

1

Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 14.

2Fathur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, PT Al-ma’arif 1975, H. 95.

1


(14)

perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum waris Islam.3

Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai kalangan, Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal.4

Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia.

Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya hukum islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan, yaitu:

1. Penegak Syari’at Islam (qadi), Polisi,Jaksa,Para pihak,Pengadilan. 2. Mufti.

Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum. Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penetapan hukum, hakim tidak dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara actual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat pencari

3 Habiburahman, “Rekonstruksi Hukum kewarisan Islam di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group, 2011 , h,170

4 Kementrian Agama R.I.,” Kedudukan Wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan”, Jakarta : kemenrian agama ,2012, h.44


(15)

keadialan dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.5

Melalui putusan-putusannya hakim tidak hanya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesungguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum di atur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/ jedge

made law).

Perbedaan agama (muslim dan non muslim) merupakan salah satu alasan yang ada dapat menghalangi praktik saling mewarisi di antara kedua belah pihak.Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Kesepakatan para ulama tentang aturan ini dapat terekam pada sebuah redaksi dalam buku fikih fatwa ,”telah sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu: 1. Perbudakan, 2. Pembunuhan, 3. Dan perbedaan Agama.6

Namun, meskipun demikian kesepakatan para ulama ternyata hanya pada kasus dimana si pewaris adalah muslim mewarisi non muslim, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli waris muslim tidak dapat mewarisi pewaris non muslim,atau pewaris non muslim tidak dapat memberikan kewarisannya pada muslim. Pendapat jumhur ini didasarkan juga pada hadist yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lain seperti Muazd ibn Jabal, Muawiyah, maskuk(generasi sahabat) dan ibn Musayyah (generasi tabiin)

5

Basiq Djalil “Peradilan Agama Di Indonesia”Jakarta: Prenada Media Group 2006,h. 4.

6

Munchit A.Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,Jakarta, publitbang kehidupan keagamaan,2002 h.263.


(16)

serta kalangan syi’ah imamiyah, mengemukakan bahwa ahli waris muslim dapat mewarisi pewaris non muslim.7

Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris non muslim yaitu putusan Mahkamah Agung nomor : 368k/AG/1995 dan no : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.

Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan no 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris, dan mendapatkan bagian sama dengan ahli waris muslim. Dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.

Dari dua putusan diatas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim.

Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim. Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam pertimbangan hukumnya baik dalam perkara No 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 maupun nomor 51 K/ AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat wajibah.

7

H. Moh Muhibbin dan Abdul Wahid” Hukum Kewarisan Islam:, Jakarta: Sinar Grafika Offset. H. 78


(17)

Dengan munculnya dua putusan tersebut di atas jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim8. Dalam kontek ini perlu disinggung bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Dalam ilmu hukum cara ini disebut dengan istilah contra legem. Dalam menggunakan contra legam hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar sebagaimana dasar putusan yang memiliki kasus serupa disebut hukum yurisprudensi tujuannya adalah untuk menghindari adanya disparatas putusan hakim dalam perkara yang sama.

Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai sejauh mana ketaatan hakim dalam menggunakan putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan warisan bagi anak non muslim,dengan judul”

Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim”

8

Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h.159.


(18)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Pembatasan pada penelitian ini hanya pada pandangan hakim pengadilan agama bekasi, terhadap kewarisan anak non muslim. Apakah hakim di bekasi sudah menjalankan putusan Mahkamah Agung atau tidak memberikan warisan kepada anak non muslim karna salah satu penghalang saling mewarisi adalah non muslim.

2. Rumusan Masalah

Menurut Hukum Islam dan KHI Anak Non Muslim tidak mendapat warisan, akan tetapi Yurisprudensi MA memberikan kewarisan terhadap anak non muslim. Dari batasan masalah tersebut, maka permasalahannya dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim?

b. Bagaimana Pandangan hakim Pengadilan terhadap kewarisan anak non muslim?

c. Bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan?

C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut:


(19)

a. Untuk mengetahui sikap hakim dalam menjalankan Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim.

b. Untuk mengetahui pandangan para hakim terhadap kewarisan anak non muslim.

c. Untuk mengetahui tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan.

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksana hukum baik secara teoritis dan praktis, maka sekiranya penelitian ini bermamfaat diantaranya:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dengan adanya penulisan ini mengharapkan dapat bermamfaat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam.

b. Bagi Instansi Pengadilan

Informasi bagi Masyarakat mengenai kewarisan bagi anak non muslim dalam kejelasan dan ketetapan hukum yang seadil-adilnya.

D. Review studi Terdahulu

Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga kebenaran dari penelitian ini, penulis telah melakukan


(20)

review kepustakaan terlebih dahulu.Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Warisan beda agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Oleh: Abdurahman, Konsentrasi Peradilan Agama, skripsi ini membahas analisis penetapan perkara no.158/Pdt.p/2009/pajs. Penelitian lebih fokus tentang hak waris beda agama berdasarkan dua penetapan majlis hakim pengadilan agama jakarta selatan yang telah mengabulkan dan menetapkan non muslim menjadi ahli waris yang mustahik dan sah secara Islam.

2. Wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim (study analisa penetapan perkara no.176/pdt.p/P.A.JP).

Oleh Muhammad Syafrudin Bahri, skripsi ini membahas mengenai penelitian wasiat wajibah kepada ahli waris yang beda agama, penetapan perkara no.01/76/pdt.P/2012/P.A.JP

Dari dua study review terdahulu, Peneliti berbeda dengan Peneltian Sebelumnya, dimana peneliti lebih menekankan kepada beberapa rumusan masalah yaitu: Bagaimana pandangan hakim pengadilan tentang hak waris anak non muslim, bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan, apakah hakim pengadilan agama sudah melaksanakan Yurisprudensi MA, apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara hak waris anak non muslim, fator-faktor hakim dalam memutus perkara anak non muslim.


(21)

E. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulisan menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum Empiris atau sering disebut penelitian hukum non doktrinal merupakan penelitian yang bertitik tolak pada data primer yakni data yang diperoleh langsung dari objek penelitian.9 Penelitian hukum Empiris umumnya mencari jawaban terhadap kesenjangan (gap) natara hukum yang seharusnya (das sollen) dengan hukum senyatanya (das sein) didalam masyarakat.Dengan kata lain penelitian ini menekankan kepada pencarian jawaban terhadap fenomena sosial yang terjadi terhadap pemberlakuan hukum, sehingga akan menjawab pernyataan signifikansi sosial-hukum dan/atau efektifitas hukum. Dengan jenis penelitian kualitatif, yang difokuskan kepada pemahaman hakim pengadilan agama bekasi terhadap Yurisprudensi MA tentang kewarisan anak non muslim.

2. Sumber Data

a. Data Primer: yakni data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada hakim di Pengadilan Agama Bekasi, KHI (Kompilasi Hukum Islam),Yurisprudensi MA. NO perkara: 368 K/AG/1995, dan NO perkara: 51 K/AG/1999.

9 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, :Uin Press,2010,h.32


(22)

b. Data Sekunder: Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa buku-buku yang terkait dengan bahasan, artikel yang terkait dengan tema penelitian.

3. Pengumpulan data

a. Wawancara Yaitu dialog10 yang dilakukan dengan semua hakim di Pengadilan Agama Bekasi tentang kewarisan anak non muslim.

b. Dukumentasi yaitu: Data-data yang terkait dengan penelitian dalam bentuk Perundang-undangan, Laporan, Putusan Hakim, Yurisprudensi MA, Khi.

4. Analisis Data

Dalam penganalisisan data, menggunakan data deskriptif analisis11 yaitu teknik analisa untuk menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis yang di dapat dari kepustakaan.

Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dalam buku pedoman karya Ilmiah skripsi, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar Penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skrifsi ini disusun dalam lima bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:

10 Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h.45

11Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, : Sinar Grafika, 2009, h.175.


(23)

BAB I Pendahuluan,Yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Hukum Kewarisan

A. Pengertian hukum tentang kewarisan B. Pembagian Waris Muslim

C. Pembagian Waris Non Muslim BAB III Profil Pengadilan Agama Bekasi

A. Profil Pengadilan Agama

B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama C. Tugas dan Kewenamgan Pengadilan Agama BAB IV Pandangan Hakim Pengadilan Agama

A. Pandangan Hakim Terhadap Yurisprudensi MA

B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam Memutus Perkara Kewarisan Anak Non Muslim

C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus Perkara Kewarisan Anak non muslim

D. Analisis Penulis

BAB V Penutup

A. Kesimpulan B. Saran


(24)

A. Pengertian Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama12. Dalam literatur hukum islam ditemui istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam: Faraid, Fikih Mawaris dan Hukum

al- waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah

yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah faraid. Kata ini digunakan oleh an-nawawi dalam kitab fikih Minhaj al- Thalibin.

Oleh al- Mahalliy dalam komentarnya atas matan Minhaj, disebutkan alasan penggunaan kata tersebut:

“Lafazh Faraid merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafazh

faridhah yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan

muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di

dalam ketentuan kewarisan Islam terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid”.13

Dengan demikian penyebutan Faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.

Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup.

12

Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam “ Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 12.

13

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:, Prenada 2004 h.5.

12


(25)

Sebab, kata mawaris merupakan bentuk plural dari kata miwrats yang berarti mauruts, harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata yang diperlukan dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warist artinya adalah orang pewaris.14

Dalam literature hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan,Yang menggunakan nama hukum “waris”, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Untuk maksud terakhir ini ada yang member nama dengan “Pusaka” yaitu nama lain dari harta yang dijadikan objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.

Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan , dengan mengambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata waris itu sendiri dapat berarti oleh pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti pertama mengandung makna “hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup”. Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.15

Penggunaan kata”hukum” diawalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung arti” dasar yang menjadi rujukan”. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum Kewarisan Islam itu dapat di artikan dengan: “Seperangkat peraturan tertulis

14

Amir Syarifuddin” Hukum Kewarisan Islam” h. 8

15

Hasby ash- Shiddieqy” Fiqhul Mawaris” Jakarta: Bulan Bintang 1967. H. 43


(26)

berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang mati kepada yang hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.16

1. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama ( Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah Nabi.17 Ayat-ayat al- qur’an dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan itu adalah sebagai berikut:

a. Ayat-ayat Al-qur’an: QS.An-nisa (4) : 7























































)

ﺎﺴﻨﻟا

٤

/

٧

(

Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan.”( QS.An-nisa(4) : 7)

QS.An-nisa (4) : 8





























ا

ﺎﺴﻨﻟا)

٤

/

٨

(

Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada perkataan yang baik.”( QS.An-nisa(4): 8)

16

KH Asyhari Abta dan Drs Djunaidi Abd Syakur” Ilmu Waris Al-faraid: Jakarta, Pustaka Hikmah Perdana 2005 h.7

17

Sayuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 69


(27)

QS.An-nisa (4) : 9



























)

ا

ﺎﺴﻨﻟ

٤

/

٩

(

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”( QS.An-nisa(4) : 9)

B. Pembagian Waris Muslim

1. Menurut Fuqaha

Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.18

Kalau diperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum kewarisan, terlihat bahwa untuk harta warisan Allah SWT. Menggunakan kata” apa-apa yang ditinggalkan” oleh si meninggal. Kata-kata seperti ini didapat 11 kali disebutkan dalam hubungan kewarisan, yaitu dua kali dalam surah al-Nisa” ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176.

18 Asyhari abta dan djunaidi abd syakur” Ilmu Faraid “ Jakarta: Bulan Bintang, h. 206


(28)

Setiap kata-kata “ ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut di atas didahului oleh kata “ apa-apa”. Dalam Bahasa Arab kata “maa” itu disebut al-mawshul yang hubungannya dengan maknanya mengandung pengertian ini kata “ apa-apa yang ditinggalkan” itu adalah umum. Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir ayat 7 surah al-Nisa” yang terjemahannya ialah”….. baik apa yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak….”.19

Bahwa tidak keseluruhan dari “ apa-apa yang ditinggalkan” pewaris itu menjadi hak ahli waris dapat dipahami dari kaitannya pelaksanaan pembagian warisan itu kepada beberapa tindakan yang mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal yaitu membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan segala utang yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat 11 sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga kali.20

Bila diperhatikan bahwa utang si pewaris adalah hak penuh dari orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi yang diberi wasiat, sedangkan keduanya itu merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembagian warisan, maka tindakan pertama terhadap harta peninggalan pewaris itu memurnikan untuk membebaskannya dari keterkaitannya kepada hak orang lain didalamnya.21

19

Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang 1996, h. 12.

20

Moh Muhibbun dan Abdul Wahid” Hukum Waris Islam” jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 23.

21

Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an”Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995, h. 30.


(29)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain didalamnya. Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafi.

Ulama Fikih lainnya mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau hak-hak.22

Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak berbeda antara harta warisan dengan harta peninggalan.23

Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaannya selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah dalam ayat 11 dan 12 surah al-Nisa”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kedua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja.24

Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain. Di antara usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu

22

Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang, h. 14.

23

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-azhar “ Hukum Waris “ Jakarta: Senayan Abadi Publising 2004, h. 30.

24

Sajuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008,h. 92.


(30)

dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta peninggalan orang yang meninggal, diantaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang membawa kepada kematian.25

Pewaris adalah suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak milik dari pewaris kepada ahli waris. Peralihan hak milik hanya dapat berlaku menurut harta itu dimiliki bendanya dan miliknya pula jasa atau mamfaatnya.26

Bila seseorang hanya memiliki mamfaat dari harta yang ada ditangannya dan tidak memiliki benda atau zat harta itu maka harus itu tidak dinamakan hak milik pribadinya. Dalam hal ini barang yang disewa, barang yang dipinjam,barang titipan dan lain-lain yang bendanya masih merupakan hak milik asal, bukan milik penuh dari yang menyewa, atau yang meminjam atau yang menerima titipan. Termasuk ke dalam hal ini harta pusaka yang terdapat di lingkungan adat Minangkabau.Harta pusaka dalam pengertian adat Minangkabau adalah harta kaum yang digarap oleh anggota kaum sebagai hak pakai dan bukan hak milik. Sebagai bukti bukan hak milik dari anggota kaum yang menggarap ialah si penggarap tidak dapat menjual harta yang ada ditangannya itu. Si penggarap hanya berhak memamfaatkan hasil dari tanah pusaka yang

25

Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basriutama 2001, h. 42.

26

Sayuti Thalib, “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008, h. 92.


(31)

digarapnya tetapi tidak berwenang untuk mengalihkan kepada orang lain, termasuk diwariskan kepada anaknya.27

Begitu pula sebaliknya, bila seseorang hanya memiliki zat atau bendanya saja dan tidak memiliki mamfaatnya seperti harta yang masih dalam konrak sewa atau menjadi jaminan suatu utang. Harta itu baru dapat menjadi harta miliknya secara penuh untuk dapat diwariskan bila telah berakhir kontrak atas mamfaat harta tersebut.Bila harta tersebut bukan hak milik secara penuh bagi seseorang, maka harta itu tidak memenuhi syarat untuk menjadi harta warisan.28

Harta yang tercampur di dalamnya hak orang lain, baik sedikit atau banyak, menjadikan harta itu tidak sepenuhnya menjadi milik seseorang.Harta itu belum semuanya dapat dikatakan harta warisan sebelum dibesihkan dari campuran hak orang lain itu. Dalam hal ini hukum Islam menentukan milik pribadi supaya jangan sampai seseorang muslim memakan hak orang lain secara tidak sah, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S.al-Baqarah (2): 188 yang artinya:”Janganlah kamu memakan harta diantaramu secara tidak sah”.

Ahli waris terdiri dari 5 (lima) pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak laki-laki, dan ana perempuan. Keberdaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima waris.Dengan kata lain,

27

Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 24.

28

Otje Salaman dan Mustafa haffas, Hukum Waris Islam, Jakarta,: Refika Aditama 2006 ,h.50.


(32)

mereka secara bersama akan menerima waris dengan bagian yang telah ditentukan.29

Janda. ibu, dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti, anak laki-laki menerima waris waris dengan bagian yang tidak pasti (sisa) dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti (sisa).Oleh sebab itu, jika ada anak laki-laki dan bapak maka dapat dipastikan bahwa tirkah akan habis dibagi di antara para ahli-waris utama dan para ahli-waris pengganti tidak akan menerima bagian sedikit pun (melalui cara waris).

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang jumlah ahli waris yang termasuk dalam dzawil al-arham. Di antara para ulama fikih, ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka ada empat. Sementara itu, ada juga yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada sepuluh atau sebelas orang. Namun, secara umum mereka termasuk dalam dhawi al- arham.30

Para Ulama berbeda pendapat tentang warisan dhawi al- arham, karena tidak ada nash qath’i, yang memberikan kepastian, apakah mereka dapat mewarisi atau tidak.Secara umum, ada dua mazhab atau pendapat mengenai hal tersebut. Berikut ini kedua mazhab yang dimaksud.

Menurut mazhab ini, dhawi al-arham tidak dapat memperoleh warisan sedikitpun.Ada pun ulama termasuk dalam mazhab ini, yang mengungkapkan hal yang sama, adalah Zaid bin Tsabit,Ibnu Abbas, Said

29

Eman Suparman” Hukum Waris Indonesia” Jakarta: Refika Aditama 2005, h. 20.

30

Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta, .Senayan Abadi Publising 2000.h. 342.


(33)

bin Musayyab, dan Said bin Jubair. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama Malikiyyah, Syafiiyyah31.Mereka mendasarkan pendapatnya pada dalil dan argumentasi sebagai berikut ini.

a. ‘Atha’ bin Yasir meriwayatkan bahwa pada suatu hari,Rasulullah saw. Menunggang kuda ke Quba. Beliau memohon petunjuk kepada Allah tentang paman dan bibi dari pihak bapak dan ibu. Lalu menurunkan wahyu yang menyatakan bagi mereka berdua tidak bisa mendapatkan warisan.

b. Persoalan waris-waris tidak boleh ditetapkan oleh seseoran, kecuali ada nash atau ijma’ulama mengenai warisan dhawi al-arham.Allah swt. Telah menjelaskan dalam ayat-ayat waris tentang siapa saja yang termasuk dalam ash-hubul firudh dan ashabah. Apabila dhawil

al –arham mendapatkan bagian, tentu nash yang menerangkan hal

tersebut.

c. Persoalan ini dapat juga dilihat dengan qiyas al-jaly, yakni anak perempuan saudara kandung, yang ada bersama anak laki-laki saudara kandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak laki-laki dari saudara kandung yang mendapatkan warisan. Apabila anak perempuan dari saudara kandung itu tidak bisa mewarisi-walaupun anak laki-laki yang sederajat dan sama kuat dengannya-bibi dari pihak bapak, yang ada bersama paman dari pihak bapak,

31

Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an” Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995,h.92.


(34)

juga tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya seorang diri,tidak bersama paman.

Mazhab kedua, menurut mazhab ini, dhawil al-arham dapat mewarisi jika tidak ada ash- habul fufudh dan ashabah.32

Adapun para ulama yang termasuk dalam mazhab ini adalah Umar ibnul Khattab r.a, Abdullah ibnu Abbas r.a, Mu’adz bin Jabal generasi sesudah sahabat, juga mengatakan hal yang sama. Mereka dari kalangan tabiin itu antara lain: Syuraih, Ibnu Sirin,” Atha, Mujahid, Alqamah,an- Naksa”i dan Hasan.33

Mazhab kedua ini juga didukung oleh kalangan Hanafiyah, Hanabilah, Zaidiyah,Ibnu Abi Laila, dan Ishaq bin Rahawaih.Pendapat ini juga di pegang oleh al-Mazani dan Ibnu Suraij berikutnya juga mengatakan hal ini pada permulaan abad ke-3 H, dan ulama Fikih Syafi’iyyah pun mengatakannya pada akhir abad ke-4 H, ketika kerusakan sudah mengakar di baitulmal

Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam mazhab ini adalah sebagai berikut.

a. Firman Allah swt,,” dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab

Allah…”(Al-ahzab(33) : 6). Ayat ini menjadi dalil bahwa Allah swt,

memberikan keutamaan untuk mewarisi bagi dhawil al-arham.

32

Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar” Hukum Waris” Jakarta: Senayan Abadi Publishing 2004,h. 50.

33

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy: Fiqh Mawaris,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.


(35)

Mereka adalah kerabat secara umum. Sedangkan orang yang paling dekat hubungannya adalah ash-habul furudh dan “ashabah, dimana bagian untuk mereka masing-masing telah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash.Jika salah satu dari kerabat terdeka itu tidak ada, kerabat yang diutamakan adalah kerabat yang masih mempunyai hubungan rahim, sekali pun nasabnya. Sebab, berdasarkan ayat di atas, mereka masih dipandang sebagai kerabat yang berhak mendapatkan warisan, jika tidak ada ahli waris lain.

b. Firman Allah swt…..”bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi wanita ada hak bagian

(pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”

(an-Nisa:7)

c. .Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan berdasarkan lafal umum ayat di atas, sekalipun mereka bukan ash-habul furudh dan ashabah.

d. Para ulama dalam mazhab ini juga berargumentasi dengan hadist Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Miqdam bin Ma’dikarib. Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya. Aku bisa mengikat dan mewarisi. Paman dari pihak ibu adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dia bisa mengikat dan mewarisi.

Abu Umamah Ibnu Sahl meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang memanah laki-laki yang lain dan menewaskannya. Ia


(36)

tidak mempunyai ahli waris ataupun paman dari pihak ibu. Oleh karna itu, Abu Ubaidillah bin Jarrah menulis surat kepada Umar r.a. Dalam surat yag tidak balasan itu Umer menuliskan bahwa Nabi saw ,”pernah bersabda,”Allah dan Rasul-Nya adalah ahli waris bagi mereka yang tidak mempunyai ahli waris,”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw.menjanjikan warisan anak al-mula’anah (anak durhaka) untuk ahli waris ibunya.Mereka itulah yang termasuk dhawil al-arham.

Rasulullah saw, juga pernah memberikan warisan tsabit bin Dahdah untuk anak saudara perempuan nya yang bernama Abu Lubabah bin Mundhir. Diriwayatkan bahwa ketika Tsabit bin Dahdah wafat, Nabi saw.bersabda,”Apakah kalian mengetahui bahwa dia mempunyai

hubungan nasab atau kerabat?” Qais bin “Ashim bin “ Ady

berkata,”Dia adalah orang asing dan kami tidak mengenal kerabatnya yang lain, kecuali anak saudara perempuannya yang bernama Abu Lubadah bin Munzhir.”Rasulullah saw, lalu memanggil Abu Labadah bin Munzhir dan membetikan kepadanya harta warisan dan betermasuk kerabat”.bersabda,”Anak saudara perempuan termasuk kerabat”.

e. Para ulama yang termasuk dalam mazhab kedua ini berdalih dengan logika: Apabila dhawil al-arham tidak mewarisi dar kerabat mereka yang tidak mempunyai ahli waris ash-habul furudh dan ashabah,


(37)

muslimin Dalam persoalan ini, kita mendapati keduanya - baitulmal dan kerabat dekat- mempunyai ikatan yang sama, yaitu yang ikatan agama.Sementara itu, selain ikatan agama, dhawi al-arham juga mempunyai ikatan lain, yakni hubungan kekerabatan yang harus didahulukan. Oleh karna itu, harta waris diberikan kepada dhawil

al–arham, jika tidak ada ahli waris yang lebih utama dari mereka.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Faraid dan Kompilasi Hukum

Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan telah menjadi buku hukum lembaga peradilan agama34. Kalau dulu hukum kewarisan itu berada dalam kitab-kitab fiqih yang tersusun dalam bentuk buku ajaran, maka saat ini, kompilasi tersebut telah tertuang dalam format perundangan-undangan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan Agama dalam merujuknya.35

Apakah dengan demikian hukum kewarisan dari fikih mawaris atau faraid telah digantikan oleh Kompilasi Hukum Islam? Suatu hal

34

Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada2013, h. 102.

35

Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.


(38)

yang dapat dipastikan ialah bahwa hukum kewarisan islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau faraid itu dijadikan salah satu bahkan sumber utama dari Kompilasi. Sumber lainnya adalah hukum perundang-undangan tentang kewarisan yang terdapat pada BW yang sampai waktu itu masih berlaku, dan kenyataan yang berlaku di tengah masyarakat yang tertuang dalam Yurisprudensi Pengadilan Agama.

Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan antara fikih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam gambaran berikut:

Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a). menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang berbeda. Anak Pasal b). membicarakan tentang pewaris dengan syarat beragama Islam dan anak pasal c). membicarakan tentang ahli waris yang di samping mensyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam36.

Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Anak pasal d dan e. Juga tidak berbeda dengan fikih.Anak angkat dan baitul mall telah disinggung sebelum ini. Dengan demikian keseluruhan pasal ini sejalan dengan fikih.

36 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, : Akademik Pressindo 2010, h.155.


(39)

Pasal 172 yang membicarakan identitas ke-Islam-an seseorang hanya hal yang bersifat administratif, walaupun tidak disinggung dalam fikih, dengan rumusan:

Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap37, dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dinyatakannya pembunuhan sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fikih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fikih mazhab mana pun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama.38 Fikih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti Hadist Nabi. dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan

37

Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010.h. 156.

38

Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basritama 2001, h. 90.


(40)

namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu diperkatakan.39

Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan dengan fikih faraid sebagaimana diuraikan dalam Bab IV.40

Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikan harta tersebut kepada ahli waris terhadap harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih mawaris, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV.

Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih faraid.

Pasal 177 tentang bagian ayah dirumuskan sebagai berikut:

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.

Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara substansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan dengan al- Qur’an, maupun rumusannya dalam fikih. tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam al- Qur’an, tidak tersebut

39

Habiburrahman” Rekonruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI, h. 85.

40

Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” h.151.


(41)

dalam kitab fikih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam kompilasi. Kalau al-Qur’an dan fikih yang dijadikan ukuran, pasal ini jelas salah secara substansial.

Pasal 178 tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pasal 179-180 tentang tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih, sebagaimana dijelaskan sebelum ini.41

Pasal 181 tentang bagian seibu dan pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan dengan al- Qur’an dan rumusannya dalam fikih sebagaimana diuraikan di atas.

Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam dalam kitab-kitab fikih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fikih, namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.

41

Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta Akademika Persindo 2010, h.158


(42)

Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisannya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak al-Qur’an surah al-Nisa ayat’5, pasal ini dapat diterima:

a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut pada pasal 173.

b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal ini memerlukan perhatian:

Anak pasal 1) secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di Timur Tengah- pun belum ada Negara yang mengakukan hal seperti itu, sehingga mereka perlu merampungkannya dalam lembaga wasiat

wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini

menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. (penjelasan tentang ini telah diuraikan sebelumnya pada IV-C).42

42

Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”h. 80.


(43)

Anak pasal secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan sifat diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlu Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan Adat Minangkabau yang justru menggunakan nama” cucu"untuk anak dari anak perempuan tersebut.

Anak pasal 2) menghilangkan kejanggalan penerima adanya ahl waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan.

Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fikih yang menempatkan hanya menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu, sebagaimana diuraikan sebelumnya (IV-C)Pasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan untuk pembagian harta warisan dan pasal 189 berkenaan dengan pewaris tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fikih, namun karena hal-hal ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.


(44)

Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono-gini secara tidak menyangkut hak kewarisan dan kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi pewaris, tidak menyalahi ketentuan fikih dan diuraikan terdahulu.(IV-d).

Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fikih faraid. Tentang ahli waris yang tidak memiliki keturunan telah diuraikan sebelumnya pada masalah sisa harta (III-d), sedangkan ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya dijelaskan fikih pada kewarisan mafqud

yang telah disebutkan sebelum ini.(IV-d).

Pasal 192 tentang penyelesaian secara” aul dan pasal 193 tentang penyelesaian secara radd secara panjang lebar dibicarakan dalam fikih dan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini. (III-d dan IV-d).

Dari uraian pasal demi pasal yang berkenaan dengan ketentuan kewarisan dapat dikatakan bahwa pada umumnya pasal-pasal kewarisan dari Kompilasi Hukum Islam, kecuali beberapa hal krusial seperti dijelaskan di atas, meskipun mungkin di sana-sini ada perbedaan dengan kitab fikih, dapat ditempatkan sebagai Hukum Kewarisan Islam dalam bentuknya yang baru. Sedangkan beberapa poin krusial tetap dikembangkan dalam wacana.

Adapun pasal-pasal berikutnya yaitu 194 sampai dengan pasal 209 tentang wasiat dan pasal-pasal 210 sampai dengan 214 tentang hibah, memang berada di luar wilayah kewarisan. Namun tidak salahnya


(45)

dianggap menumpang dalam buku II tentang kewarisan, karena adanya titik kesamaan yaitu peralihan hak milik dari seseorang kepada orang lain.

C. Pembagian Waris Non Muslim

1. Menurut Fuqaha

Para ahli fiqih telah sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi antara satu agama dengan syari’at yang berbeda.43

Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir,44 sebagaimaa sabda Nabi saw, berrbunyi.

ا ﻲﺿ ر ل ﺎﻗ ﮫﻨﻋ ہ ا ﻲﺿ ر ﺪٮز ﻦﺑ ﮫﻣ ﺎﺳ ا ﻦﻋ

ثﺮﯾ ﻻ و ﮫﯿﻠﻋ ہ ا ﻲﻠﺻ ہ

ﻢﻠﺴﻤﻟ ا

ﺮﻓﺎﻛا

ﻢﻠﺴﻤﻟا ﺮﻓﺎﻛ ا ﻻ و

Artinya: Dari Usamah Ibnu Zaid ra, ia berkata,Rasulullah Saw bersabda”Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan

orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” ( HR

Jamaah, kecuali An-Nasai”).

Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan ahli fiqih sebagai pengamalan dari keutamaan hadist di atas. Bila seseorang meninggalkan anak laki-laki yang kafir dan paman yang muslim, niscaya harta

43

Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia:

Jakarta:Kemenrian Agama RI 2011,H. 190.

44

Moh Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam”Jakarta: Sinar Grafika 2011,h. 78.


(46)

peninggalan si mayit semuanya diberikan untuk paman, sehingga anak laki-laki yang kafir tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya. Contoh lain adalah bila seorang istri kitabiyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk anak laki-lakiyang muslim dan paman yang kafir, dan anak laki-laki si mayit tidak mendapatkan apa-apa dari harta peninggalan ayahnya karena berlainan agama, antara anak dan orang tua.45

Namun, sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa orang Islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pertimbangan itu, jika seorang istri kitabiyah mati meninggalkan suami muslim, niscaya suami tersebut dapat mewarisi harta peninggalan istrinya, tapi suami tersebut dapat mewarisi harta peninggalan istrinya, tapi tidak sebaliknya46. Beberapa alasan yang dijadikan argumen dalam masalah ini adalah hal-hal berikut.

a. Berdasarkan hadist Nabi saw, ” Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang.”

b. Dalam melihat hadist ini, mereka seolah-olah berpendapat bahwa hak mewarisi seorang muslim dari orang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap harta orang kafir merupakan suatu kekurangan. Mereka

45 Komite Fakultas Syari’ah Unuversitas Al- Azhar, mesir, Jakarta, : Senayan Abadi Publishing, h. 47.

46

Chuzaimah T.Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary AZ.MA” Problem Hukum Islam Kontemporer” Jakarta: Pustaka Firdaus 2008,h. 39.


(47)

juga berargumen dengan hadits “Islam itu tinggi, dan ketinggiannya

tidak dapat diungguli.” Dengan hadits ini, mereka berpendapat

bahwa termasuk dari makna ketinggian adalah seorang muslim dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir, tapi orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.

c. Mereka juga berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta harta rampasan perang, yakni ini sebagian orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir, sebagai mana kita bisa menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan dari perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.

Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah pendapat kebanyakan ulama dibantah dan dijawab ulama mengatakan bahwa seorang muslim dan kafir secara mutlak tidak dapat saling mewarisi, karena kuat dan kelugasan dalil yang disampaikan oleh mereka.

Dalil-dalil yang menyimpang dari pendapat kebanyakan ulama dibantah dan dijawab Islam bertambah dengan penaklukan beberapa negeri dan ia tidak berkurang dengan kemurtadan orang-orang muslim, sebenarnya orang yang murtat hanyalah minoritas, sedangkan yang masuk kedalam agama Islam merupakan mayoritas.

Pada hadist kedua, maksud dari ketinggian Islam, sesuai dengan hujjah atau sesuai dengan penaklukan, yakni pada akhiran kemenangan bagi orang-orang muslim.


(48)

Sedangkan dalil analogi (qiyas) yang dikemukakan oleh mereka yang menentang pendapat kebanyakan ulama harus ditolak, karena seorang hamba dapat menikah seorang hurrah “perempuan yang merdeka” dan hamba tidak dapat mewarisi harta peninggalan hurrah. Demikian pula seorang muslim dapat memperoleh harta rampasan perang orang kafir harbiy.

Dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan kafir

harby. Sebab, nikah dilakukan berdasarkan keinginan untuk terus

meneruskan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan waris-mewarisi berdasarkan atas muwalah(memperkuat ikatan perwalian)

dan munashara ( saling tolong-menolong). Keduanya ( antara nikah dan

waris-mewarisi ) berbeda illat-nya , sehingga analoginya tentu menjadi tidak tepat.47

Orang-orang kafir yang berlainan Agama atau kepercayaan

Para ahli fiqih bersepakat bahwasanya orang-orang kafir dapat saling mewarisi satu sama lain ketika mereka berada pada satu kepercayaan, misalnya mereka sama-sama beragama Nasrani, Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., Secara implisit, hadist ini memiliki arti bahwa orang-orang kafir dapat saling mewarisi atau satu sama lain. Demikian pula hadist Nabi yang artinya.

ہ ا ﻲﻠﺻ ہ ل ﻮﺳ ر ل ﺎﻗ ﮫﻨﻋ ہ ا ﻲﺿ ر وﺮﺴﻋ ﻦﺑ ہ ا ﺪﺒﻋ ﻦﻋ

ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ

ﻲﺘﺳ ﻦﯿﺘﻠﻣ ﻞھ ا ث ر ا ﻮﺘﯾ ﻻ

18

Komite fakultas syari’ah Universitas Al-azhar h.49.


(49)

Dari Abdullah bin Amr ra, dia berkata, Rasulullah Saw, bersabda:Tidlak dapat

saling mewarisi dua orang pengikut agama yang berbeda-beda.”( HR

Ahmad,Abu Daud dan Ibnu Majah).

Hadist tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa pemeluk satu kepercayaan dapat mewarisi satu sama lainnya. Para ulama berselisih pendapat dalam hal waris-mewarisi antar sesama nonmuslim manakala terjadi ketidaksamaan agama (Kepercayaan) mereka, seperti Yahudi dengan Nasrani atau Majusi. Perselisihan ini bermuara pada perbedaan mereka dalam memandang. Apakah agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan tersebut dianggap sebagai satu agama atau beberapa agama yang terdiri masing-masing.Dalam masalah ini timbul tiga pendapat, yakni sebagai berikut.48

Pertama, pendapat kebanyakan ulama ( jumhur ulama’) seluruh

agama atau kepercayaan selain Islam itu dianggap satu. Dengan pendapat ini, maka orang-orang kafir satu sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak karena seluruh agama selain Islam pada dasarnya dalam kesesatan, dan agama-agama tersebut bagaikan satu agama. Allah swt berfirman,



























)

/ﺲﻧﻮﯾ ۱۰ / ۳۲ (

“…. Tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan…(Yunus

(10): 32)

48

M. Ali Hasan” Hukum Waris Dalam Islam”, Jakarta,PT Bulan Bintang 1996 h.31


(50)

Hal ini dikarenakan soal warisan antara orang tua dan anak atau sebaliknya, sudah disebutkan di dalam kitab Allah secara umum ( baik Taurat,Injil, maupun Al-Qur’an). Dengan demikian, tidak sesuatu pun yang ditinggalkan, melainkan sesuatu yang dikecualikan oleh syari’at . Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syari’at. Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syari’at, tetap berada pada keumumannya.49

Kedua, pendapat kalangan Malikiyyah. Menurut kalangan

Malikiyyah, golongan lain yang tidak beragama Islam terbagi menjadi tiga, yaitu Yahudi, Nasrani, dan agama-agama yang lainnya, yang dianggap satu agama. Hal tersebdut ditetapkan karena mereka tidak mempunyai satu kata untuk mereka sendiri. Dengan demikian, orang yang beragama Yahudi tidak dapat mewarisi dari orang yang beragama Nasrani, dan salah satu dari mereka tidak dapat mewarisi dari orang yang beragama Majusi dan Watsniy.

Ketiga , pendapat kalangan Hambaliyyah. Orang kafir

mempunyai agama yang beraneka ragam, maka pemeluk suatu agama (selain Islam) tidak dapat mewaririsi dari pemeluk agama yang berbeda. Ulama yang memegang pendapat ini, termasuk Dalil hadist yang digunakan oleh penentang pendapat kebanyakan ulama dijawab, bahwa maksud dari hadist: “ Tidak dapat saling mewarisi dua orng pengikut

agama yang berbeda-beda.” Salah satunya adalah agama Islam dan yang

satunya lagi ialah agama orang-orang kafir. Hadist ini menyerupakan

49 Teungku Muhammad ash shiddieqy, Fiqh Mawaris,( Jakarta, PT: Pustaka Riski putra, 2001), h.44.


(51)

hadist, “ Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang

kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” Kesimpulan dari hal-hal

tersebut adalah agama yang berlainan merupakan salah satu penghalang mewarisi bagi kedua belah pihak.50

D. Pembagian Waris Non Muslim.

1. Menurut Fuqaha Mazhab

Kitab-kitab fiqh memberi judul dengan : Beberapa penghalang Mendapat Warisan, Penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan.Salah satunya adalah beda agama. Berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan penerima waris merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam.51 Para ahli fikih telah sepakat dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir- ulama fikih berbeda pendapat, yakni ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.

Dalam hadist Rasulullah SAW dinyatakan:

ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ہ ا ل ﻮﺳ ر لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ہ ا ﻲﺿ ر ﺪﯾز ﻦﺑ ﮫﻣ ﺎﺳ ا ﻦﻋ

ﻢﻠﺴﻤﻟا ﺮﻓﺎﻛاا ﻻو ﺮﻓﺎﻛاا ﻢﻠﺴﻤﻟا ثﺮﯾﻻ

Dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: Muslim tidak mempusakai orang kafir dan kafir tidak

mempusakai orang muslim.( HR.Jamaah, kecuali An-Nasai).

50

. Drs.Amin Husain Nasution, “Hukum Kewarisan” Jakarta,PT. Raja Grafindo Persada 2012.h. 78.

51 Habiburrahman “ Rekonsruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Kementrian Agama RI 2011,H.190 .


(52)

Mencermati kesimpulan Ulama fikih dititik dari sudut pandang

Grand Theory kedaulatan Tuhan, bahwa kesimpulan tersebut atas dasar

hadist yaitu muttafaq’ alaihi, maka dapat diyakini kebenarannya, karena apa yang diucapkan Rasulullah SAW diyakini kebenarannya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala.52

Ulama-ulama Mujtahid sepakat atas dasar nash-nash hadist tersebut, bahwa keluarga dekat (anak kandung sekalipun) yang tidak muslim muslimah bukan ahli waris.Non muslim masuk kategori penghalang untuk mendapatkan warisan, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh al- syathiby dalam teori maqasid al-syari’ah nya, yang artinya: Syari’at dibuat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia,

baik di dunia maupun di akirat.53

Mengacu kepada teori maslahah dalam pelaksanaan pembagian waris, menolak hadist muttafaq alaih dan memiliki pola pikir hukum Adat, sama saja dengan mengedepankan adat dari pada syari’at.Sehingga pendapat Hazairin yang mengatakan dengan terminologi, apakah sesuatu yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia dapat dibenarkan bila tujuannya sama dengan mashlahah al-ummah, tidak sepenuhnya bisa diterima jika ia bertrntangan dengan nash.54

Di sinilah konsep maqasid al-syari’ah yang mempertimbangkan aspek pemeliharaan agama (hifdz al-din) merupakan tujuan utama

52

Habiburrahman ” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia”h. 19.

53

Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Baristama 2001,h. 83.

54

Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta, PT.Senayan Abadi Publising 2000.) h.45.


(53)

syari’atkan hukum kewarisan dalam islam, yakni untuk menguji keimanan umat manusia, khususnya yang menyakinkan al-qur’an sebagai wahyu Allah. Apakah mereka tetap beriman dan mengikuti hukum Allah dengan menyatakan sami’na wa atha’na atau menolaknya dengan menyatakan sami’na wa’ashoina.

Menurut Imamiyah

Imamiyah telah menetapkan bahwa perbedaan agama menghalangi non- muslim dan orang yang murtad untuk mewarisi dari muslim, namun tidak menghalangi Muslim untuk mewarisi dari non-muslim dan murtad. Maka, bila seorang non-non-muslim mempunyai seorang anak Muslim, maka anaknya mewarisinya,bahkan anaknya itu menghalangi ahli waris lainnya yang non- muslim untuk mendapatkan warisan. Penghalangan ini berlaku bahkan bila si muslim memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh daripada si non- muslim. Misalnya, bila seseorang mempunyai anak non- muslim dan budak yang telah bebes itu,bila seorang mempunyai ayah non- muslim dan maula

muwalat atau, dalam istilah Imamiyah, dhaman al- jarirah yang

Muslim55, maka warisannya untuk dhaman al- jarirah. Oleh karena itu, di dalam al- Qawa’id disebutkan tentang warisan non-muslim, “Bila bersama mereka (para ahli waris non-muslim, maka seluruh warisan diserahkan kepada si muslim, baik dia lebih dekat maupun jauh, termasuk jika dia itu maula ni’mah atau bahkan dhaman al-jarirah.

55 Muhammad Abu Zuhrah “Hukum Waris”(Jakarta, PT: Lentera Basritama 2001),h.82.


(54)

Atas dasar itu, menurut Imamiyah ada tiga masalah:

Pertama, non- muslim tidak Mewarisi Muslim. Ini disepakati oleh jumhur Muslimin. Oleh karena itu, terdapat ijmak di kalangan fukaha muslim secara menyeluruh bahwa non-muslim sama sekali tidak mewarisi Muslim.56

Kedua, Muslim mewarisi non-muslim. Atas dasar ini,Muawiyah bin Abi Sofyan memerintahkan para hakimnya untuk memberikan hak waris bagi Muslim dari non- muslim dan tidak sebaliknya. Syarih adalah seorang tabi’in sekaligus hakimKufah. Ia biasa menyertakan vonisnya dengan kata-kata.” Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya”. tetapi, dalam masalah ini, dia biasa berkata, “Ini adalah keputusan Amirul Mukminin Muawiyah.

Ketiga, bila ada seorang muslim meskipun tingkatan-nya jauh, dia harus didahulukan atas non- muslim meskipun tingkatannya lebih dekat. Dalam masalah ini, kami tak mengetahui ada orang lain yang berpendapat demikian selain Syiah Imamiyah.

Imamiyah telah menjelaskan alasan di balik dari muslim. yaitu tidak adanya pewaris non- muslim. Yaitu, warisan itu adalah kekuasaan (wilayah) dan pengalihan (khilafah), dan tidak ada wilayah bagi non- muslim atas muslim. Tetapi seorang kafir dzimi ketika ahli warisnya terdiri Muslim dan non- muslim.57

56 Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI 2011, H. 192.

57

Muhammad Abu Zuhrah “ Hukum Waris “ h.86


(55)

Setelah mereka sepakat dengan jumhur fukaha dalam hal non- muslim tidak mewarisi Muslim, Imamiyah berpendapat bila non-muslim masuk Islam sebelum pembagian tirkah maka dia memperoleh warisan bersama-sama ahli waris muslim. Di dalam kitab Tabshirah

al-Muta’allimin disebutkan, “ Bila non-muslim masuk Islam sebelum

pembagian tirkah, maka dia memperoleh warisan bersama-sama ahli waris lain yang Muslim. bila tingkatannya paling tinggi, bila si mayit Muslim ataupun non-Muslim. Bila ahli warisnya cuma seorang, dan si kafir itu masuk Islam, maka dia tetap tidak mewarisi.”

Sebagai milik ahli waris sebelum dilakukan pembagian tirkah. Dengan demikian kepemilikan tidak dimulai saat kematian si mayit, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fiqih jumhur fuqaha. Tetapi, kepemilikan itu dihukumi berada pada si mayit sampai pewaris terlaksana dengan dilakukan-nya pembagian dan setiap seorang memperoleh (menguasai) bagiannya. Jika demikian, maka bila non- muslim masuk Islam, dia mewarisi tirkah kerabatnya yang muslim, karena dengan keislamannya itu dia telah mewujudkan sebab pewarisan dan menghilangkan halangannya sebelum masa kepemilikan tiba, yaitu masa terlaksananya pembagian.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, keberadaan hadist tersebut telah dimentahkan oleh KHI, yakni jika dalam kitab-kitab fikih


(56)

diberi judul mawani al- irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena berbeda agama dapat ditentukan menurut putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht).

Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa: seseorang terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,58 dihukumi karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

58

Abdurrahma” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.


(57)

A. Profil Pengadilan Agama

Institusi Pengadilan Agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Dan seiring waktu wilayah Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13'' dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan batas-batas :

1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta.

2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan. 3. Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu.


(58)

4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.

Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.59

Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004( UU no 3 tahun 2006, UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman( lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 8, tambahan lembaran negara Republik Indonesia no 4338) tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana pengadilan agama bekasi sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu:”Visi

Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat

menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi :

Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang

diajukan oleh umat islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat,

sederhana dan biaya ringan”.

59

. PA Bekasi”sejarah Pengadilan Agama Bekasi”,diakses pada tangga 2 Februari 2015 dari www. Pabekasi.pta-bandung.net.


(59)

DAFTAR HAKIM PENGADILAN AGAMA BEKASI

Nama : Drs. H.Mamat Ruhimat, SH.MH Tempat/ tanggal lahir : Cibaga/ 11 Agustus 1966

Nip : 196608111992031008 Jabatan : Ketua

Golongan : IV/b

TMT : 12/ 11/2012

Nama : Dr.Drs.H.Sirajuddin Saillellah, SH,MH Tempat/ tanggal lahir : Sungguminasa/ 13 Januari 1968

Nip : 19680113.199303.1.003 Jabatan : Wakil

TMT : 09/09/2013

Nama : Dr.M.Amin Muslish.Az.SH.MH. Tempat/ tanggal lahir : Purwokerto/ 20 Februari 1960 Nip : 19600220.198203.1.007 Jabatan : Hakim Madya Muda Jabatan : IV/c

TMT : 01/ 11/ 2010

Nama : Praptiningsih,SH

Tempat/ tanggal lahir : Pemalang/ 3 Desember 1975 Nip : 195712031990032001 Jabatan : Hakim Madya Muda Golongan : IV/ b

TMT : 26/ 08/ 2013

Nama : Dra. Hj. Salnah, SH,MH Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 12 Maret 1980 Nip : 1957806565907007


(60)

Jabatan : Hakim Pratama Utama Golongan : IV/ b

TMT : 29/ 06/2012

Nama : H. M.Arif,SH,MH Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 27 Juni 1964 Nip : 19640627.199203.1.006 Jabatan : Hakim Pratama Utama Golongan : IV/ a

TMT : 01/11/ 2011

Nama : Drs. Amri,SH

Tempat/ tanggal lahir : Timbang Lawang/ 17 Mei 1968 Nip : 19680517.199303.1.004

Jabatan : Hakim Madya Pratama Golongan : IV/a

TMT : 01/ 11/ 2010

Nama : Dra.Hj.Nadirah,MH

Tempat/ tanggal lahir : Kota ujung pandang/ 19 Nopember 1966 Nip : 1966199.199303.2.002

Jabatan : Hakim Pratama Utama Golongan : IV/a

TMT : 02/ 01/ 2012

Nama : Firris Barlian, S.Ag.MH. Tempat/ tanggal lahir : Bumiayu/ 19 Februari 1974 Nip : 19740219.200312.2.003 Jabatan : Hakim Pratama Madya Golongan : III/c


(61)

VISI adalah Berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan Agama Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan lainnnya serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum di tengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya syari’at Islam secara efektif.60

MISI adalah Optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas keadilan, kepastian hukum dan mamfaat.Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaraan Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dan Meningkatkan pemahaman kepada masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga resmi dalam penyelenggaraan sengketa antara ummat Islam terutama dalam halkasus rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian perceraian secara di bawah tangan.61

60

Pa Bekasi” Profil Pengadilan Agama Bekasi” diakses pada tanggal 2 Februari 2015, dari www pabekasi-pta-bandung.net.

61

Pa Bekasi” Profil Pengadilan Agama bekasi” Visi Misi Pengadilan Agama” Diakses pada tanggal 2 Februari 2015 dari www.pabekasi.pta-bandung.net.


(62)

(63)

Menurut Yahya Harahap, gambaran dari susunan organisasi Pengadilan Agama. Pada bagan kiri, yaitu hakim, panitera pengganti, dan juru sita, merupakan suborganisasi fungsional peradilan yang berfungsi dan berwenang melaksanakan peradilan. Sedangkan bagan sebelah kiri juga yang terdapat dalam kotak panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut membantu kelancaran tugas pejabat fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan.

Bagan sebelah kanan yang distrukturkan dibawah wakil sekretaris adalah jabatan struktural pendukung umum seluruh organisasi peradilan. Bagan ini merupakan soborganisasi yang tidak terikat dengan fungsi peradilan atau penegak hukum. Namun demikian, sub bagian ini mempunyai peran yang sangat besar dalam menyokong kelancaran organisasi.62

Dalam bagan terlihat bahwa, jabatan fungsional peradilan dihubungkan dengan garis putus-putus. Maknanya adalah hubungan antara pejabat fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural, tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat fungsi peradilan. Dalam UU no 7 tahun 1989 pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa ketua dan wakil ketua hanya mempunyai hubungan struktural dengan panitera/sekretaris, wakil panitera, wakil sekretaris atau eselon yang distrukturkan di bawah wakil panitera atau wakil sekretaris.63

Sedangkan pasal 11 ayat ( 1) menentukan bahwa hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.Oleh karena itu terhadap hakim, ketua, dan wakil ketua mempunyai hubungan fungsional. UU no 50 tahun 2009. Pasal 53 ayat (1) menegaskan bahwa secara organisatoris, ketua, dan wakil ketua

62 Sulaikin Lubis, Wismar,dkk,” Hukum acara perdata peradilan Agama Di

Indonesia”Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006, h.85

63

Musthotha” Kepaniteraan Peradilan Agama” Jakarta: Prenada Media 2005, h. 22.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)