HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dan Harga Diri Dengan Subjective Well Being.

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN
HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING

NASKAH PUBLIKASI

NUR FADHILAH AL-KARIMAH
S 300 130 004

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN
HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Psikologi dalam Ilmu Psikologi


NUR FADHILAH AL-KARIMAH
S 300 130 004

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI
DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING

Nur Fadhilah Al-Karimah1)
Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris: 1) hubungan antara
penyesuaian diri dengan meningkatnya subjective well being pada penyandang
tunadaksa; 2) hubungan antara harga diri dengan meningkatnya subjective well
being pada penyandang tuna daksa; 3) hubungan antara penyesuaian diri dan

harga diri dengan meningkatnya subjective well being pada penyandang tuna
daksa. Subjek penelitian yaitu siswa-siswi penyandang tuna daksa di BBRSBD
Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, Jawa Tengah berjumlah 140 siswa. Metode
pengumpulan data menggunakan skala penyesuaian diri, skala harga diri dan
skala subjective well being. Metode analisis data menggunakan analisis regresi
ganda. Hasil analisis data menyatakan ada hubungan yang sangat signifikan antara
penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being pada siswa-siswi
penyandang tuna daksa. Aspek variabel penyesuaian diri memiliki pengaruh yang
lebih kuat pada subjective well being dari pada harga diri, sedangkan aspek yang
paling kecil pengaruhnya adalah aspek harga diri. Implikasi bagi psikologi
pendidikan menjadi bahan evaluasi serta dibutuhkan peranan ilmu psikologi
dalam upaya meningkatkan subjective well being dikalangan penyandang tuna
daksa.

Kata kunci: penyesuaian diri, harga diri, subjective well being

1)

Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta


THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF ADJUSTMENT AND SELFESTEEM WITH SUBJECTIVE WELL BEING

Nur Fadhilah Al-Karimah2)
Master of Science Psychology Post-Graduate School

ABSTRACT

The aims of this research are to prove empirically: 1) relationship between self
adjustment with the increasing of subjective well being in people with disability;
2) relationship between self-esteem with the increasing of subjective well being in
people with disability; 3) relationship between self adjustment and self-esteem
with the increasing of subjective well being in people with disability. The subjects
of this research are students with disability in BBRSBD Prof. Dr. Soeharso,
Surakarta, Central Java about 140 students. Data collection method used self
adjustment scale, self-esteem scale and subjective well being scale. The method of
analysis data used multiple regression analysis. The result of data analysis
suggests that there is a significant relationship between self adjustment and selfesteem with subjective well being in students with disability. The aspect of self
adjustment variable has the most dominant influence towards subjective well
being more than self esteem, while the least influenced aspect is self-esteem
aspect. Implications for psychological science education that is the subject of the

evaluation as well as the necessary role of psychology to increase subjective well
being.

Keywords: self adjustment, self-esteem, subjective well being

2)

Student of Master of Science Psychology in Muhammadiyah University Surakarta

1

PENDAHULUAN
Individu dapat mencapai tujuan hidup apabila merasakan kebahagian,
kesejahteraan, kepuasan, dan positif terhadap kehidupannya. Kebahagiaan yang
dirasakan oleh setiap individu dapat bersumber dari berbagai macam hal dan sifatnya
subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang bersifat
subjektif inilah dikenal dengan istilah sebagai subjective well being.
Subjective well being yang tinggi akan berdampak pada kondisi yang lebih
baik pada kesehatan, kinerja, hubungan sosial, dan perilaku etis. Dengan kondisi
Subjective well being yang tinggi diharapkan individu dapat menjadi produktif,

khususnya pada individu yang memasuki usia dewasa dimana seseorang harus bisa
hidup mandiri. Subjective well being meliputi evaluasi subjektif seseorang terhadap
keadaan dirinya saat ini dan merupakan kombinasi antara adanya afek positif atau
ketiadaan afek negatif serta kepuasan hidup secara umum (Diener, 2008).
Berdasarkan BPS tahun 2004, individu tunadaksa selalu merasa tertekan dan
didiskriminasi oleh masyarakat, diantaranya sikap masyarakat mengejek atau
menertawakan sebanyak 69,9%, sikap masyarakat menolak kehadiran mereka
sebanyak 35,5%, sikap acuh tak acuh sebanyak 15%, dan sikap masyarakat terlalu
protektif sebanyak 13,7% (BPS, 2004 dalam Gladys, 2010). Data-data tersebut
sejalan dengan temuan-temuan data awal di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso. Data
tersebut adalah sebagai berikut :

2

Tabel 1. Hasil Quesioner terbuka Siswa Penyandang Tunadaksa di BBRSBD (26-27 November
2014)
1

Kepuasan hidup siswa


Sangat

puas

Puas 10%

5%
2

puas

50%

35%

puas

Bersama

Bersama


Bersama

Sendirian

menimbulkan kepuasan

teman 45%

keluarga

pasangan 8,3%

8,3%

Sendirian

Tidak punya

28,3%


keluarga

38,3%

Hal yang sering

Tidak punya

Tidak

punya

menimbulkan perasaan

teman 55%

pacar 8,3%

tidak puas

4

Tidak

Hal yang sering

hidup
3

Cukup

8,3%

Kenyamanan hidup

Sangat

Nyaman

Cukup nyaman


Tidak

siswa

nyaman 6,7%

11,7%

48,3%

nyaman
33,3%

5

6

Hal yang mengganggu


Masa

pikiran siswa

suram 45%

Hal

yang

membuat

siswa bahagia

depan

Tidak

Tidak

Diasingkan

pasangan

mempunyai

oleh keluarga

16,7%

teman 30%

8,3%

Bersama

Bersama

teman 66,7%

keluarga

punya

33,3%
7

Hal

yang

siswa sedih

membuat

Merasa tidak

Diasingkan

Jauh

dari

berguna

keluarga

keluarga 25%

41,7%

16,7%

Berpisah
dengan
teman 16,7%

Berdasarkan hasil quesioner terbuka diperoleh kesimpulan bahwa siswa
penyandang tuna daksa merasa cukup puas dengan kehidupannya saat ini dan yang
dapat menimbulkan kepuasan hidup ketika bersama dengan teman-temannya. Siswa
penyandang tuna daksa beranggapan bahwa dirinya merasa tidak berguna di
masyarakat dan memiliki masa depan yang suram.
Hasil temuan data awal diatas sesuai dengan pendapat Hallahan (2006) bahwa
efek besar yang dialami oleh individu dengan physical disability (tunadaksa) dalam
bidang akademik adalah kurangnya pengalaman pendidikan dan tidak bisa

3

memanipulasi materi sekolah dan merespon tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh
orang-orang kebanyakan.
Dianawati (2005) menambahkan bahwa pada umumnya individu tunadaksa
kurang memiliki pengalaman yang positif dikarenakan mereka tidak memiliki posisi
yang menguntungkan dalam hubungan sosial sehingga mereka menjadi inferior.
Perasaan inferioritas pada individu tunadaksa adalah penerimaan yang buruk
mengenai diri sendiri, rendah diri sehingga menyebabkan kurangnya kepercayaan
diri, sifat malu pada diri sendiri yang kemudian mengarahkan individu pada usaha
mengisolasi dirinya sendiri dan akibatnya individu tersebut cenderung merasa
berbeda secara negatif.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri
dengan subjective well being?”. Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik hubungan penyesuaian diri dan
harga diri dengan subjective well being.
Penelitian mengenai subjective well being pada remaja telah banyak
dilakukan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Diantaranya adalah penelitian
Riyanto (2010) dengan subjek siswa Sekolah Menengah Atas kelas X-XII, sebanyak
299 siswa. Penelitian ini mengungkap pengaruh self esteem dan pola pendidikan
terhadap well being remaja. Hasil penelitian ini menemukan bahwa self esteem dan
pola pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap well being remaja.
Penelitian mengenai subjective well being juga telah dilakukan di luar negeri.
Penelitian Luhman, Eid, Hofmann & Lucas (2012) tentang subjective well being dan
adaptasi pada peristiwa kehidupan: sebuah studi meta analysis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peristiwa hidup memiliki efek yang berbeda pada kesejahteraan
afektif dan kognitif dan sebagian besar peristiwa memiliki efek yang lebih kuat dan
lebih konsisten pada kesejahteraan kognitif. Perbedaan peristiwa hidup berbeda pada
efek subjective well being pada masing-masing individu tetapi efek-efek ini bukan
merupakan fungsi untuk menduga peristiwa seperti yang diinginkan.

4

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada metode
penelitian, fokus kajian dan subjek yang digunakan. Dalam penelitian yang telah ada
dengan menggunakan metode meta analysis, sedangkan penelitian ini menggunakan
analisis regresi ganda. Fokus kajian dalam penelitian terdahulu adalah peristiwa
hidup, jenis kelamin, dan stress, sedangkan dalam penelitian ini fokus kajiannya pada
penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. Subjek yang digunakan
pada penelitian terdahulu dengan menggunakan mahasiswa, sedangkan subjek yang
digunakan pada penelitian ini adalah tuna daksa di BBRSBD Prof Dr. Soeharso
Surakarta, dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang
telah dipaparkan sebelumnya.
Subjective Well Being
Subjective well being dalam bahasa sehari-hari disebut dengan kebahagiaan.
Namun, para peneliti lebih memilih untuk menyebut subjective well being karena
istilah happiness (kebahagiaan) memiliki bermacam-macam arti yang masih
diperdebatkan. Carr (2004) memberikan definisi yang sama antara kebahagiaan dan
subjective

well

being,

yakni

sebuah

keadaan

psikologis

positif

yang

dikarakteristikkan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya
tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif. Subjective well being atau
bisa disebut kesejahteraan subjective didefinisikan sebagai suatu fenomena evaluasi
secara kognitif dan emosional dari individu mengenai kehidupannya seperti yang
disebut orang awam yaitu kebahagiaan, ketentraman, dan kepuasan hidup (Diener &
Suh, 2000; Pavot & Diener, 2004; Diener & Biswas-Diener, 2008).
Aspek-aspek subjective well being menurut Jayawickreme, Forgeard &
Seligman (2012) antara lain: emosi positif yaitu perasaan positif yang diperoleh dari
hasil pengalaman masa lalu dan harapan di masa yang akan datang, keterlibatan yaitu
ikut serta dan menikmati tugas yang diberikan, relasi sosial, kebermaknaan yaitu
kesadaran tentang kekuatan dan bakat yang dimiliki, dan pencapaian yaitu penilaian
atau prestasi seseorang terhadap keberhasilan dalam memenuhi keinginan atau
kebutuhannya.

5

Menurut Diener, Oishi & Lucas (2002) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi subjective well being antara lain: diantaranya harga diri, tujuan hidup,
kepribadian, hubungan sosial, kesehatan, demografi, sumber pemenuhan kebutuhan,
budaya, adaptasi, kognitif, dan religiunitas/spiritualitas. Menurut Fafchamps dan
Kebede (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara kecacatan dengan Subjective Well Being. Keadaan tubuh yang cacat
dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, frustasi, merasa diri tidak berguna, dan
menarik diri dari lingkungan yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi
pencapaian kebahagiaan dalam hidupnya.
Penyesuaian Diri
Menurut Kartono (2008) penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk
mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan,
dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif yang lain sebagai
respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat dihilangkan. Penyesuaian
diri merupakan proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu
agar terjadi hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya.
Hurlock (2008) menambahkan aspek-aspek penyesuaian diri yaitu; mampu
menilai situasi dan kondisi secara realistik, dapat bertanggung jawab, mampu menilai
diri untuk berprestasi ataupun ketika gagal tetap optimis, mampu untuk hidup
mandiri. Schneiders (2008) berpendapat bahwa faktor kondisi fisik, perkembangan
dan kematangan unsur-unsur kepribadian, pengalaman, kondisi lingkungan dan peran
kebudayaan (keyakinan dan agama) dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu.
Harga Diri
Definisi harga diri yaitu evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara
positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya
sendiri, dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya.
Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan terhadap keberadaan dan keberartian diri
(Dariyo & Ling, 2002; Baron & Byrne, 2004; Chaplin, 2004).

6

Menurut coopersmith (1967) aspek-aspek harga diri meliputi: Self values,
diartikan sebagai nilai-nilai pribadi individu yaitu isi dari diri sendiri, harga diri
ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang
sesuai dengan dirinya. Leadership popularity, yaitu individu yang memiliki harga diri
yang tinggi cenderung mempunyai kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan
(leadership), sedangkan popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya
sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan
sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam harga diri,
sehingga semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi.
Menurut Mruk (2006) faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain:
hubungan yang berkenaan dengan orangtua, jenis kelamin, orientasi budaya, faktor
sosial dan nilai. Argyle (2008) menambahkan faktor yang mempengaruhi harga diri
antara lain: reaksi dari orang lain, peran sosial dan identifikasi.
Tuna Daksa
Pengertian tuna daksa adalah bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot,
tulang dan persendian yang bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilitas dan gangguan perkembangan
keutuhan pribadi (Fafchamps & Kebede 2008).
Hubungan Antara Penyesuaian Diri dan Harga Diri dengan Subjective Well
Being
Individu penyandang tuna daksa kadang mengalami perlakuan yang kurang
nyaman dimana orang-orang sebenarnya melihat mereka tetapi menganggap mereka
tidak ada. Hal ini diperparah oleh persepsi negatif publik yang menyatakan bahwa
individu tuna daksa itu berbeda, aneh, terasing dari kehidupan sosial, dan lain-lain
yang intinya membedakan individu tuna daksa dengan orang-orang normal.
Stigma-stigma negatif tentang tuna daksa yang tidak berhasil dikelola,
membuat individu tuna daksa menjadi terasing sehingga merasakan ketidakberdayaan
pada dirinya. Kecanggungan yang tampak pada tuna daksa memperjelas bahwa
sulitnya diterima seperti layaknya individu normal. Lingkungan yang kurang

7

mendukung merupakan bukti rendahnya dukungan sosial, hal ini sangat menghambat
inisiatif penyandang tuna daksa untuk bergaul memperluas penyesuaian dirinya (Nur,
2012).
Tingkat penyesuaian diri yang rendah pada penyandang tuna daksa turut
didukung dengan hambatan internal yang berasal dari diri individu tuna daksa seperti
rendah diri, sensitif, tidak mandiri, dengan begitu maka individu tuna daksa semakin
menarik diri dari masyarakat. Menarik diri dari kehidupan berpengaruh pada kondisi
psikologis yang memperburuk seperti berkurangnya ketrampilan sosial, rendahnya
keinginan berkompetisi dan apatis dengan keadaan sekitar. Selain itu, afek negatif
seperti perasaan kesepian dan tidak puas dengan kehidupan semakin intens dirasakan.
Jika hal ini tidak diatasi maka akan mengarah pada keadaan depresi (Steels & Ones,
2002).
Individu yang mengalami cacat fisik dapat berpengaruh pada keadaan
mentalnya dan tidak jarang dapat menimbulkan masalah psikologis yang dapat
mengganggu dalam pergaulan sehari-hari. Masalah-masalah tersebut diantaranya
rendahnya harga diri, rasa malu yang dapat menghambat interaksi sosial serta emosiemosi negatif yang mendominasi akibat masih sulit menyesuaikan diri dalam
menjalani hidup dengan kekurangan fisiknya, terutama bagi penyandang tuna daksa
akibat kecelakaan (Fafchamps & Kebede, 2008).
Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang mempunyai arti sebagai
suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap
yang dapat bersikap positif maupun negatif (Baron dan Bryne, 2004). Harga diri yang
positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan
kemampuan diri, rasa berguna serta yakin kehadirannya diperlukan di dunia ini.
Individu yang memiliki harga diri rendah akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak
mampu dan berharga (Tambunan, 2001).
Setiap individu tentu saja berkeinginan memiliki kepribadian yang sehat
termasuk penyandang tuna daksa, dengan harapan kepribadian yang sehat akan
muncul perilaku yang positif. Tentu saja penyesuaian diri menjadi bagian yang

8

penting bagi individu. Dengan kata lain apabila penyesuaian dirinya baik maka
individu tersebut akan dapat menyesuaikan diri dan berperilaku baik di dalam
lingkungannya.
Menurut Kartono (2008) individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang
memuaskan apabila dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi
dan konflik yang dihadapinya. Dapat pula dikatakan apabila individu memiliki
penyesuaian diri yang baik dan di dukung oleh lingkungan keluarga dan sekolahnya
maka individu akan dapat menampakkan perilaku yang sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Sebaliknya apabila individu kurang mampu menyesuaikan
diri, maka individu akan menampakkan perilaku yang negatif. Perilaku negatif
tersebut selain dapat merugikan diri sendiri juga dapat merugikan lingkungan
sekitarnya.
Individu dapat mencapai tujuan hidup dan cita-citanya apabila perasaannya
bahagia, sejahtera, puas, serta positif terhadap kehidupannya. Individu yang memiliki
perasaan tersebut merupakan individu yang memiliki subjective well being yang baik.
Rasa bahagia, sejahtera, puas serta positif akan berdampak pada kondisi yang lebih
baik pada kesehatan, kinerja, hubungan sosial, dan perilaku etis (Kasebir & Diener,
2008). Perasaan tersebut didapatkan penyandang tuna daksa ketika dukungan
sosialnya baik. Penerimaan diri seorang tuna daksa didapat dari penyesuaian diri yang
dilakukan dengan sesama tuna daksa ketika mengikuti program rehabilitasi atau
pelatihan-pelatihan di BBRSBD “Prof Dr. Soeharso” Surakarta. Dengan kondisi
subjective well being yang baik diharapkan individu dapat menjadi produktif, terlebih
pada individu yang memasuki usia dewasa dimana individu tersebut harus bisa hidup
mandiri.
Hipotesis
Berdasarkan telaah pustaka yang telah di uraikan, maka hipotesis yang penulis
ajukan adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis mayor:

9

Ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well
being.
2. Hipotesis minor:
a. Ada hubungan positif antara penyesuaian diri dengan subjective well being.
b. Ada hubungan positif antara harga diri dengan subjective well being.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi penyandang tuna daksa di
BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta dan jumlah siswa terdiri dari 230 siswa.
populasi atau keseluruhan dari subyek yang akan diteliti dalam pembahasan ini
adalah

seluruh

siswa penyandang tuna daksa di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso

Surakarta yang mengikuti keterampilan reparasi sepeda motor 22 siswa, pertukangan
las 10 siswa, penjahitan 33 siswa, salon kecantikan 12 siswa, elektro 13 siswa,
photografi 20 siswa, percetakan 18 siswa, komputer 22 siswa, handycraft 45 siswa,
bordir 12 siswa, tataboga 12 siswa, pertukangan kayu 11 siswa. Jumlah total populasi
dalam penelitian ini adalah 230 siswa.
Dalam menentukan jumlah sampel, Arikunto (2005) memberikan pendapat
“jika peneliti memiliki beberapa ratus subjek dalam populasi, maka mereka dapat
menentukan kurang lebih 25-30% dari jumlah tersebut.” Diperoleh perhitungan
sebagai berikut: 30% dari 230 siswa yaitu 70 siswa-siswi penyandang tuna daksa di
BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta.
Pengambilan sampel penelitian berdasarkan kelas kursus yang diikuti oleh
siswa penyandang tuna daksa sehingga teknik pengambilan sampel pada penelitian
ini menggunakan cluster random sampling, dimana semua siswa mendapat peluang
yang sama untuk menjadi sampel bukan siswa secara individual atau perseorangan,
melainkan secara kelompok (Suryabrata, 2009).
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis data menyatakan bahwa: (1) ada hubungan yang sangat
signifikan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being; (2)
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan

10

subjective well being. Semakin tinggi penyesuaian diri, maka semakin tinggi
subjective well being pada siswa; (3) ada hubungan positif yang sangat signifikan
antara harga diri dengan subjective well being. Semakin tinggi harga diri, maka
semakin tinggi subjective well being.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya, maka hipotesis yang
diajukan oleh peneliti dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa “ ada hubungan
antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being” diterima. Nilai
koefisien korelasi yang diuji melalui analisis regresi berganda dengan menggunakan
program SPSS 21.0 for Windows, menunjukkan bahwa R = 0,478; F regresi = 62,702; p
= 0,000 (p < 0,01). Berarti ada hubungan signifikan antara penyesuaian diri dan harga
diri dengan subjective well being di panti rehabilitasi penyandang tuna daksa
BBBRSBD Prof. Dr. Soeharso.
Perolehan data menunjukkan subjective well being tergolong sangat tinggi,
dengan nilai rerata empirik sebesar 137,7. Berdasarkan hasil analisis diketahui
variabel penyesuaian diri memiliki rerata empirik 108,05 lebih besar dari rerata
hipotetik 75 yang berarti penyesuaian diri siswa sangat tinggi. Sedangkan peranan
atau sumbangan efektif penyesuaian diri terhadap subjective well being sebesar =
34,3%. Hasil tersebut sama halnya dengan penelitian dari Fafchamps dan Kebede
(2008) yang menunjukkan bahwa kesejahteraan dari penyandang cacat di Ethiopia
dapat berawal dari adaptasi (penyesuaian diri) dari seseorang penyandang. Setelah
terdapat pengontrolan untuk peringkat kekayaan, pengaruh kecacatan pada
kesejahteraan menghilang. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara dua variabel
pada dasarnya memiliki pengaruh adaptasi dari kecacatan pada kesejahteraan
material.
Pendapat lain dari Luhman (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
peristiwa kehidupan yang berbeda-berbeda dalam efek subjective well being, tetapi
dalam efek ini tidak berfungsi dugaan keinginan tentang peristiwa. Hasil dibahas
sehubungan dengan implikasi teoritis mereka, dan rekomendasi untuk studi di masa
depan dengan adaptasi yang diberikan.

11

Sehingga dari situ dapat dijelaskan bahwa adaptasi dalam penelitian ini
penyesuaian diri sangat dibutuhkan dalam menunjang kehidupan sehari-hari, sebab
penyesuaian diri merupakan proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah tingkah
laku individu agar terjadi hubungan yang harmonis antara individu dengan
lingkungannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kartono (2008) bahwa
penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mencapai harmoni pada diri sendiri
dan pada lingkungan, sehingga energi-energi negatif yang ada di individu tersebut
dapat dihilangkan.
Harga diri memiliki rerata empirik 123,81 lebih besar dari rerata hipotetik 90,
hal ini berarti bahwa harga diri siswa tergolong sangat tinggi. Sedangkan sumbangan
efektif harga diri terhadap subjective well being sebesar = 13,5%. Dalam penelitian
Glenna dan John (2014) Pengaruh enkulturasi, harga diri, kesejahteraan subjektif, dan
dukungan sosial pada ketahanan antara perkotaan American Indian (AI) remaja dari
wilayah Tengah Selatan dari AS dieksplorasi. 30% dari varians dalam ketahanan
dipertanggungjawabkan oleh enkulturasi, harga diri, dan dukungan sosial, sementara
34% dari varians dalam ketahanan disumbangkan oleh enkulturasi, kesejahteraan
subjektif, dan dukungan sosial. Namun, dukungan sosial dari teman tetap menjadi
prediktor terkuat dalam mempengaruhi subjective well being individu tersebut.
Hasil analisis diatas sesuai dengan beberapa teori yang menjelaskan tentang
bagaimana penyesuaian diri dan harga diri mempengaruhi subjective well being yang
mengacu pada persepsi individu tentang keberadaan dirinya atau melihat secara
subjective pengalaman hidup individu tersebut. Menurut Diener, Oishi dan Lucas
(2002) bahwa persepsi individu akan subjective well being dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain yaitu penyesuaian diri dan harga diri. Bagi penyandang tuna daksa,
keadaan tubuh yang cacat dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, merasa diri
tidak berguna dan menarik diri dari interaksi social, hal ini senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fafchamps dan Kebede (2008) yang mengatakan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kecacatan dengan subjective well
being.

12

Hasil penelitian lain yang menunjukkan keseluruhan sumbangan efektif
variabel penyesuaian diri dan harga diri terhadap subjective well being sebesar 47,8%
yang ditunjukkan oleh koefisien determinan (

) 0,478. Hal ini berarti terdapat

52,2% variabel lain yang mempengaruhi subjective well being diluar variabel
penyesuaian diri dan harga diri.
Variabel lain yang dimaksudkan antara lain yang mempengaruhi subjective
well being menurut Jayawickreme, Forgeard dan Seligman (2012) antara lain: emosi
positif yaitu perasaan positif yang diperoleh dari hasil pengalaman masa lalu dan
harapan di masa yang akan datang, keterlibatan yaitu ikut serta dan menikmati tugas
yang diberikan, relasi sosial, kebermaknaan yaitu kesadaran tentang kekuatan dan
bakat yang dimiliki, dan pencapaian yaitu penilaian atau prestasi seseorang terhadap
keberhasilan dalam memenuhi keinginan atau kebutuhannya. Emosi negatif yang
terdapat pada diri siswa penyandang tuna daksa membuat siswa penyandang tuna
daksa menjadi sering merasa terasing dari kehidupan sosialnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Penyesuaian diri dan harga diri bersama-sama memiliki kontribusi positif
terhadap subjective well being pada siswa penyandang tuna daksa di BBRSBD
Prof. Dr. Soeharso. Artinya, penyesuaian diri dan harga diri dapat menjadi
prediktor subjective well being.
2. Sumbangan

efektif

yang

diberikan

dari

masing-masing

variabel

independen/prediktor terhadap subjective well being adalah sumbangan efektif
penyesuaian diri sebesar = 34,3% dan sumbangan efektif harga diri terhadap
subjective well being sebesar = 13,5%.
3. Kategorisasi dari setiap variabel dalam penelitian ini bergerak pada level sangat
tinggi.

13

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian beberapa saran yang diberikan
oleh peneliti adalah :
1. Bagi siswa penyandang tuna daksa
Diharapkan :
Untuk meningkatkan penyesuaian diri, harga diri yang masih rendah
dengan cara :
a. Meningkatkan kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman
masa lalu, bersikap realistik dan objektif setiap menghadapi problemproblem, dan meningkatkan kontrol emosi secara positif.
b. Selalu berpikir positif, sikap dan penerimaan yang positif terhadap perlakuan
orang lain terhadap dirinya
2. Bagi keluarga siswa penyandang tuna daksa
Diharapkan :
Untuk selalu mensupport dan memotivasi siswa agar kepercayaan dirinya
dapat meningkat sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya dengan penuh percaya diri dan mereka tidak menjadi
individu yang introvert, rendah diri yang dapat mengakibatkan siswa penyandang
tuna daksa menarik diri dari lingkungan sosial.
3. Bagi BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta
Diharapkan :
Untuk lebih intensif lagi dalam mengembangkan serta mempertahankan
kegiatan-kegiatan balai yang produktif sehingga ketika lulus nanti siswa
penyandang tuna daksa dapat memenuhi tuntutan lingkungan baik secara fisik
maupun sosial.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan :
Untuk menyempurnakan hasil penelitian ini dengan cara memperbarui
metode penelitian dan pengumpulan data atau menambah variabel-variabel lain
yang belum diungkap. Dengan menggunakan pendekatan mix method data yang

14

diperoleh menjadi semakin terpercaya karena saling mendukung antara kualitatif
dengan kuantitatif dalam penelitian, selain itu hasil penelitian akan lebih
mendalam dari pada hanya menggunakan metode kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdo, H. A., & Alamudin, R. (2007). Predictors of subjective well being among
college youth in Lebanon. Journal of Social Psychology, 147 (3), 265-284.
Ardhian, R. P. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri
pada remaja difabel. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Argyle, M. (2008). Sosial encounters: Contributions to social interaction. Aldine
Transaction.
Arikunto, S. (2005). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktis. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Baron, R. A., & Bryne, D. (2004). Psikologi sosial (ed. 1). Jakarta: Erlangga.
Branden, N. (2001). Kiat jitu meningkatkan harga diri. Jakarta: Delaprasata.
Calhoun, J.F., & Acocella, J. R. (1995). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan
kemanusiaan. Semarang: Press Semarang.
Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human strengths.
New York: Brunner-Routledge.
Cast, D. A. & Burke, P. J. (2002). A theory of self esteem. Journal of Social Force,80
(3), 115-130.
Compton, W. C. (2005). Introduction to positive psychology. New York: Thomson
Wodsworth.
Damayanti, S., & Rostiana. (2003). Dinamika emosi penyandang tuna daksa pasca
kecelakaan. Jurnal Ilmiah Psikologi Arkhe, 8 (1).
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

15

Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2008). Subjective well being anak dari orang tua yang
bercerai. Jurnal Psikologi, 35 (2), 194-212.
Diener, E. (2000). Subjective well being: The science of happiness and proposal for
national index. Journal of American Psychologist, 55 (1), 34-43.
Diener, E., & Suh, E. (2000). Culture and subjective well being. Cambridge: MIT
Press.
Diener, E., & Oishi, S. (2005). Subjective well being: The science of happiness and
life satisfaction. Dalam C. R. Synder, & S. J. Lopez (Eds). Handbook of
possitive psychology (hal. 63-73). New York, NY: Oxford University Press.
Diener, E., Biswas-Diener, R. (2008). Happines: Unlocking the mysteries of
psychological wealth. USA: Blackwell Publishing.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective wellbeing: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Review of
Psychology, 54, 403-425. doi: 10.1146/annurev.psych.54.101601. 145056.
Fafchamps, M., & Kebede, B. (2008). Subjektive well-being, disability and
adaptation: Acase study from rural Ethiopia. Journal of Development
Economics, 71 (2), 261-287.
Glenna, S. R & John S. C. R. (2014). Resilience among urban american indian
adolescents: exploration into the role of culture, self-esteem, subjective wellbeing, and social support. American Indian and Alaska Native Mental Health
Research Copyright: Centers for American Indian and Alaska Native Health
Colorado School of Public Health/University of Colorado Anschutz Medical
Campus (www.ucdenver.edu/caianh).
Hadi, S. (2000). Metodologi reseach untuk penulisan paper, skripsi, thesis, dan
disertasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Hadi, S. (2007). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset.
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Iskar, A. (2010). Examing psychological well being and self esteem levels of turkish
student gaining identity agains role during conflict periodes. Journal of
instractional psychology, 39 (1), 41-50.

16

Jayawickreme, E., Forgeard, M. J.C., & Seligman, M. E. P. (2012). The engine of
well-being. Journal of American psychological association, 16 (4), 327-342.
doi: 10.1037/a0027990.
Kartono, K. (2008). Bimbingan anak dan remaja yang bermasalah. Jakarta: Rajawali
Pers.
Khalek, A. A., & Lester, D. (2013). Mental health, subjective well being, and
religiosity: significant associations in Kuwait and USA. Journal of Muslim
Mental Health, 7 (2), 1-14.
Luhman, M., Eid, M., Hofmann, W., & Lucas, R. E. (2012). Subjective well being
and adaptation to life events: A meta-analysis. Journal of Personality and
social psychology, 102 (3), 592-615. doi:10.1037/a0025948.
Mruk, C. J. (2006). Self esteem research, theroy, and practice, toward a positive
psychology of self esteem. New York: Springer Publishing Company.
Nur, D. P. (2012). Hubungan antara body image dan self esteem pada dewasa awal
tuna daksa. Jurnal ilmiah psikologi, 1 (1), 1-9.
Pagan-Rodriguez, R. (2012). Longitudinal analysis of the domains of satisfaction
before and after disability: Evidence from the German socio-Economic Panel.
Journal of Social Indicator Research, 26 (108), 365-385.
Pratisti, W. D. (2015). Model kesejahteraan subjective remaja. (Disertasi sedang
dalam proses penerbitan). Program Doktor Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ryff, C. D., & Siner, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: A
eudaimonic approach to psychological well being. Journal of Happiness
Studies, 4 (9), 13-39.
Schimmack, U., & Diener, E. D. (2003). Predictive validity of explicit and implicit
self esteem for subjective well being. Journal of Research in personality, 37,
100-106. doi:10.1016/S0092-6566(02)00532-9.
Schneiders, A. A. (2008). Personal adjustment and mental health. New York: Holtt
Renchart and Winston Inc.
Suryabrata, S. (2009). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

17

Ulfah, K. (2012). Hubungan antara dukungan orangtua, dukungan sosial teman, dan
harga diri dengan prestasi akademik siswa kms pada jenjang sekolah
menengah pertama di kota Yogyakarta. (Tesis tidak dipublikasikan). Fakultas
Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Vacek, K. R., Coyle, L. D., & Vera, E. V. (2010). Stress, self-esteem, hope,
optimism, and well-being in urban ethnic minority adolescents. Journal of
Multicultural Counseling And Development 26 (38), 99-111.