PENDAHULUAN Konformitas Kelompok, Harga Diri dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Perilaku Ketidakjujuran Akademik Pada Siswa MTsN.

1

PENDAHULUAN

Masa sekarang ini banyak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang
menyedihkan didunia pendidikan, yaitu perilaku ketidakjujuran akademik
(academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran
akademik baik dalam bentuk plagiat dan kecurangan pada tes telah mendapatkan
perhatian lagi karena penggunaan internet yang banyak dan kemerosotan moral
pada mahasiswa generasi saat ini yang menyebabkan banyak peneliti
menyimpulkan bahwa ketidakjujuran akademik menjangkau proporsi yang
epidemik (mewabah). Dalam penelitiannya tersebut juga memaparkan data
empiris dan mendukung kesimpulan bahwa ketidakjujuran akademik adalah kasus
yang penting yang mencuat dalam banyak jurusan kuliah. Selanjutnya, Lambert,
Hogan, dan Barton (2003) mengungkapkan bahwa perilaku ketidakjujuran
akademik merupakan ancaman serius bagi sebagian besar perguruan tinggi yang
dapat menggagalkan tujuan pendidikan tinggi dan proses pencarian ilmu.
Dalam dunia pendidikan tinggi, berbagai laporan secara konsisten
mendukung temuan bahwa sejumlah besar mahasiswa terlibat perilaku curang
dalam kegiatan akademik (Austin, Collins, Remillard, Kelcher dan Chuia, 2006).
Perilaku ketidakjujuran akademik menunjukkan kecenderungan peningkatan

secara tajam, yang tersebar luas diberbagai tempat, sebagaimana yang
diungkapkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2000),
Ercegovac dan Richardson (2004), Harding, Donald, Carpenter, Susan &

1

2

Nicholas, (2001), serta Rabi & Zgarrick (2006). Bahkan Lanier (2006)
mengistilahkan ketidakjujuran akademik sebagai wabah kampus. Berbagai
perilaku yang dikategorikan dalam perilaku ketidakjujuran akademik tersebut
diantaranya menyontek (cheating), menjiplak (plagiarism), pemalsuan data
(fabrication), dan sabotase tugas orang lain. Menyontek dijumpai ketika para
mahasiswa mengerjakan ujian, menjiplak terlihat dalam pengerjaan tugas-tugas
rumah, dan pemalsuan data dapat kita temui dalam kegiatan penelitian.
Peningkatan sebaran perilaku ketidakjujuran akademik dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1.
Tren Peningkatan Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Temuan Riset
Peneliti
McCabe dan Trevino


Tahun
2000

Perilaku Ketidakjujuran Akademik (%)
67%

Harding, dkk

2001

69%

Ercegovac dan Richardson

2004

72%

Lanier


2006

75%

Strom

2007

83%

McCabe, Feghali, dan Abdallah

2008

85%

McCabe

2009


88%

Tabel 1 tampak jelas bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan
suatu epidemik, yang angkanya terus meningkat dari waktu kewaktu dan terus
menyebar secara luas.
Fenomena perilaku ketidakjujuran akademik ini juga telah banyak dijumpai
di Indonesia, bahkan perilaku ketidakjujuran akademik tidak hanya terjadi di
perguruan tinggi namun juga telah terjadi pada dunia pendidikan dasar dan
menengah. Berita-berita tentang tertangkapnya perilaku ketidakjujuran akademik
di sekolah dasar dan menengah biasanya marak menjelang akhir tahun pelajaran

3

atau ketika musim ujian tiba. Upaya-upaya “kerjasama” yang semestinya tidak
terjadipun ikut menodai citra pendidikan. Kasus-kasus yang pernah diberitakan di
koran antara lain, guru yang mencuri soal UN sebelum UN dilaksanakan, guru
yang memberikan bocoran jawaban UN pada siswa, pembelian bocoran jawaban
soal ujian oleh anak yang didukung orangtuanya, pemanfaat teknologi IT untuk
menyontek, bahkan pula muncul kasus perjokian. Kasus-kasus tersebut

memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki
tempat yang demikian penting bagi sebagian orang, bahkan nilai-nilai moral yang
seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian tidak diindahkan lagi.
Maraknya kasus ketidakjujuran akademik ternyata juga sudah merambah
dikabupaten Ngawi, Menurut DR selaku guru Bimbingan Konseling disalah satu
MTsN dikabupaten Ngawi, terdapat peningkatan jumlah siswa yang melakukan
ketidakjujuran akademik pada saat ujian ataupun tugas-tugas akademik. Selain itu
peneliti juga telah melakukan survei pendahuluan pada bulan November 2014
dengan memberikan 80 kuesioner terbuka tentang perilaku ketidakjujuran
akademik kepada siswa kelas 7,8,9 di salah satu MTsN tersebut.
Tabel 2.
Persentase bentuk-bentuk perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa salah satu MTsN di
Kabupaten Ngawi
Bentuk Perilaku Ketidakjujuran Akademik
Jumlah
(%)
Bertanya pada teman saat ujian

16


20

Menyalin jawaban teman saat ujian

14

18

Membuka buku secara sembunyi pada saat ujian

13

16

Membuat catatan-catatan dikertas kecil sebelum

10

12


Memberikan jawaban pada teman

6

8

Menggunakan kode/isyarat pada teman saat ujian

6

8

Menyalin PR teman

5

6

ujian berlangsung untuk dibuka saat ujian


4

Memberitahukan soal ujian yang keluar pada kelas

5

6

Menyajikan data palsu dalam pengumpulan tugas

3

4

Memalsukan daftar pustaka

2

2


lain yang belum ujian

Tabel 2 menunjukkan persentase hasil dari skala terbuka tentang bentukbentuk perilaku ketidakjujuran akademik terhadap 80 siswa pada salah satu MTsN
di Kabupaten Ngawi. Bertanya jawaban pada teman saat ujian menduduki tempat
yang paling tinggi dalam perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa. Hal ini
memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki
tempat yang demikian penting bagi sebagian siswa, bahkan nilai-nilai ajaran
Agama Islam yang seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian seperti
kejujuran, bekerja keras dan bersikap terbuka dalam menerima hasil ujian tidak
diindahkan oleh para siswa MTsN tersebut. Seperti diketahui bahwa Madrasah
adalah sekolah yang berdasar ajaran Agama Islam, siswa Madrasah selalu
dianggap memiliki nilai lebih dalam hal agama, tentu saja nilai keagamaan
tersebut seharusnya tercermin dalam perilaku para siswa Madrasah,

adanya

perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa madrasah ini membawa kontraversi
tersendiri karena perilaku ketidakjujuran akademik jelas bertentangan dengan
ajaran Agama Islam.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan

mahasiswa sebagai responden diantaranya; Penelitian oleh Iyer dan Eastman
(2006), subjek penelitiannya adalah mahasiswa Valdostan State University,
Valdosta, Georgia meneliti tentang bagaimana mahasiswa jurusan bisnis
melakukan ketidakjujuran akademik dibandingkan dengan mahasiswa jurusan

5

lain. Selanjutnya McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) melakukan penelitian
dengan menggunakan sebuah sampel dari 3 universitas swasta di Lebanon, dan
membandingkan hasil-hasilnya dengan sebuah sampel dari 7 universitas besar di
AS. Selanjutnya penelitian McCabe (2009) menyebutkan bahwa perilaku
ketidakjujuran akademik juga terjadi pada mahasiswa keperawatan. Beberapa
penelitian tersebut menggunakan subjek penelitian mahasiswa diberbagai jurusan
dari universitas umum, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengangkat
fenomena tentang perilaku ketidakjujuran akademik pada tingkat sekolah
menengah pertama yang terjadi di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri
(MTsN) di kabupaten Ngawi. Adanya perilaku ketidakjujuran akademik pada
Madrasah yang notabene berbasis ajaran Agama Islam ini membuat peneliti
tertarik untuk mengungkapnya dengan pengujian secara empirik.
Ketidakjujuran akademik merupakan masalah etika dan karakter moral

(Bjorklund dan Wenestam, 2000). Lebih lanjut Alhadza (2005) mengungkapkan
bahwa meskipun tidak separah yang dikhawatirkan sebagian orang, apabila
dibiarkan akan merusak kepribadian seseorang dan mengaburkan nilai-nilai moral
dalam masyarakat. Menurut Tibbetts (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003),
academic dishonesty is the intension of person engagin in the dishonest behavior,
yang maknanya adalah kesengajaan seseorang untuk terlibat dalam tindakan tidak
jujur.

McCabe,

Feghali,

dan

Abdallah

(2008)

mengungkapkan

bahwa

ketidakjujuran akademik didefinisikan dalam dua kategori utama yakni: (1)
Penipuan akademis, merupakan pembentukan gambaran palsu untuk memperoleh
manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya. (2) Menjiplak, merupakan

6

penyajian pemikiran atau hasil karya orang lain. Weaver, Davis, Look, Buzzanga,
dan Neal (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mendefinisikan perilaku ini
sebagai bentuk pelanggaran atas kebijakan institusi tentang masalah kejujuran.
Lambert, Hogan, dan Barton (2003) menyimpulkan bahwa
Academic dishonesty was broadly defined as any fraudulent actions or
attempts by a student to use unauthorized or unacceptable means in any
academic work.
Bahwa ketidakjujuran akademik didefinisikan secara luas sebagai tindakantindakan curang atau usaha-usaha siswa untuk menggunakan cara, alat, sumbersumber yang tidak diperkenankan atau tidak dapat diterima pada pengerjaan tugas
akademis.
Bentuk-bentuk ketidakjujuran akademik digolongkan dalam beberapa
kategori. Menurut McCabe (2009) ada empat kategori yang terkandung makna
dalam ketidakjujuran akademik, yaitu: (1) Menyontek dengan mencontoh jawaban
tes teman lain dikelas atau menggunakan barang-barang terlarang pada kegiatan
akademis berbentuk apapun seperti penugasan, ujian, dsb. (2) Penjiplakan,
mengutip bahan baik sebagian maupun keseluruhan tanpa mencantumkan sumber
referensi tersebut. (3) Pemalsuan informasi, referensi, maupun hasil pekerjaan
akademik. (4) Membantu siswa lain yang terlibat dalam perilaku ketidakjujuran
akademik, seperti memfasilitasi siswa lain menyalin hasil pekerjaannya,
mengambil soal ujian, mengingat-ingat dan memberitahukan soal yang keluar
dalam ujian, dsb.
Perkembangan teknologi, seperti keberadaan internet, juga menambah
ragam ketidakjujuran akademik. Internet dapat digunakan oleh siswa untuk

7

mengunduh paper, esai, tulisan, yang merupakan karya orang lain, untuk
digunakan dalam pengumpulan tugas atas nama mereka. Ragam berkembang akan
tetapi memiliki subtansi yang sama yakni ketidakjujuran akademik yang luas ini
barangkali belum dipahami oleh setiap siswa, sehingga dimungkinkan bahwa
siswa melakukan salah satu tindakan ketidakjujuran akademik tanpa mereka
sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu perilaku yang tidak diijinkan.
Dalam laporannya tahun 2001, McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007)
melakukan penelitian terhadap 6000 responden mahasiswa di 31 universitas
Amerika dan telah merangkum jenis-jenis ketidakjujuran akademik yang paling
sering dilakukan diantara bentuk lainnya sebagaimana dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3.
Jenis Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Riset McCabe dan Trevino
Bentuk
Jenis Ketidakjujuran Akademik
Ujian / Tes

- Menyontek jawaban teman
- Memberikan jawaban pada orang lain
- Menggunakan catatan tersembunyi

Tugas Tertulis

- Mengutip tanpa mencantumkan sumbernya
- Menyadur karya orang lain
- Memalsukan daftar pustaka
- Menggunakan bantuan orang lain untuk tugas yang harus
dikerjakan secara individual

McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007)

Motif yang mendorong siswa melakukan tindakan tidak jujur tidak diketahui
secara pasti, dan diduga cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan di Amerika
Utara oleh Anderman, Baird, Davis, Hetherington dan Feldman dalam laporan
Bjorklund dan Wenestam (2000) menyebutkan bahwa obsesi meraih nilai yang
tinggi di sekolah mendorong munculnya tindakan tidak jujur, beban studi yang

8

berlebih juga ditemukan menjadi faktor pendorong ketidakjujuran akademik.
Tingkat stres siswa, sikap dari pengajar, dan meningkatnya ketidakpatuhan
terhadap aturan akademis merupakan faktor utama pendorong perilaku
ketidakjujuran akademik. Secara umum, penjelasan mengenai penyebab perilaku
ketidakjujuran akademik dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor, yaitu
eksternal dan internal seperti terpapar dalam tabel 4.

Tabel 4.
Faktor Eksternal dan Internal yang mempengaruhi Perilaku Ketidakjujuran Akademik
Peneliti
Faktor Eksternal
Faktor Internal
Baird

-

Posisi tempat duduk
Arti penting tes yang diujikan
Tingkat kesulitan tes
Tes yang tidak fair
Penjadwalan
Pengawasan

- Kemalasan
- Kekhawatiran perolehan
prestasi dibanding siswa
lain
- Nilai sebelumnya yang
buruk
- Kegagalan dimasa lalu
- Harapan akan keberhasilan

Davis

- Kelas yang terlalu besar, terlalu
ramai
- Bentuk soal pilihan ganda
- Pertimbangan ekonomis

- Berkeinginan membantu
teman

Hetherington &
Feldman

- Tingkat kesulitan soal
- Lemahnya pengawasan
- Pembelajaran yang tidak efektif

- Agar dapat diterima secara
sosial

(di ringkas dari berbagai laporan penelitian yang dikutip oleh Bjorklund & wenestam, 2000)

Dalam tabel 4, peneliti memilah faktor pendorong perilaku ketidakjujuran
akademik ke dalam dua kelompok, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal merupakan faktor- faktor luar individu berupa lingkungan,
sistem, situasi dan kondisi. Faktor internal bersumber dari dalam individu dan
bersifat psikis terkait dengan persepsi harapan, penerimaan sosial, dan sikap-sikap
altruistic atau keinginan untuk membantu orang lain. Sementara penerimaan

9

sosial merupakan upaya individu untuk menyelaraskan diri dan dapat diterima
dilingkungannya.
Penelitian oleh Alapare dan Onakoya (2002), menyatakan bahwa seringkali
para siswa mempelajari perilaku ketidakjujuran akademik dari teman mereka atau
ikut-ikutan dan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi dan mendorong
perilaku ketidakjujuran akademik adalah adanya konformitas kelompok. Hal ini
sejalan dengan pendapat Petress (2003) dan McCabe, Feghali, dan Abdallah
(2008) yang menyebutkan bahwa konformitas kelompok sangat berpengaruh
terhadap perilaku ketidakjujuran akademik, bahwa semakin tinggi konformitas
kelompok semakin tinggi pula perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan.
Menurut Cialdini dan Goldstein (Taylor, Peplau, & Sears, 2009),
konformitas kelompok merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan
kelompok, terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan
perilakunya dengan kelompok sehingga dapat terhindar dari celaan maupun
keterasingan. Strang (dalam Mighwar 2006), menyatakan bahwa konformitas
kelompok merupakan kecenderungan bertingkah laku yang sesuai dengan norma
kelompok, untuk menghindari hukuman, meskipun perilaku tersebut berbeda
dengan keyakinannya sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Santrock (2003)
yang menyatakan bahwa Konformitas kelompok muncul ketika individu meniru
sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang
dibayangkan.
Konformitas kelompok memiliki aspek-aspek antara lain (1) Kekompakan,
yaitu kekuatan yang dimiliki kelompok acuan, menyebabkan remaja tertarik dan

10

ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan
kelompok acuan disebabkan oleh perasaan suka antara anggota kelompok serta
harapan memperoleh manfaat dari anggotanya. Semakin besar rasa suka anggota
yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk
memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan
mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. Indikator dari
kekompakan yaitu

penyesuaian diri dan perhatian terhadap kelompok. (2)

Kesepakatan, Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat
sehingga anggota kelompok harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan
pendapat kelompok. Indikator dari kesepakatan adalah kepercayaan, persamaan
pendapat, dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok. (3) ketaatan, tekanan
akan tuntutan kelompok acuan pada remaja menyebabkan dirinya rela melakukan
tindakan walaupun remaja tersebut tidak menginginkannya. Indikator ketaatan
meliputi tekanan karena ganjaran, ancaman, hukuman dan harapan orang lain
(Sears, 2004).
Sears (2004) menyebutkan ada 4 faktor yang mempengaruhi konformitas
kelompok, antara lain ; (a) Rasa takut terhadap celaan sosial, Alasan utama
konformitas adalah demi memperoleh persetujuan, disukai atau menghindari
celaan kelompok. (b) Rasa takut terhadap penyimpangan, Rasa takut dipandang
sebagai individu yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua
situasi sosial. (c) Kekompakan kelompok, Kekompakan yang tinggi menimbulkan
konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang
merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan

11

bagi mereka untuk mengakui. (d) Keterikatan penilaian bebas, Keterikatan sebagai
kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan
suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu
penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian
kelompok yang berlawanan.
Alapare dan Onakoya (2002) juga memaparkan bahwa tingkatan harga diri
juga dapat berpotensi memunculkan perilaku ketidakjujuran akademik. Akan
menjadi wajar bagi siswa yang memiliki harga diri rendah cenderung khawatir
akan gagal. Jadi, daripada berusaha kemudian gagal, mereka merasionalisasi diri
bahwa kegagalan disebabkan karena minimnya usaha mereka, sehingga mereka
melakukan perilaku ketidakjujuran akademik. Sejalan dengan ini penelitian yang
dilakukan oleh

Iyer dan Eastman (2006) menyebutkan bahwa secara umum

mahasiswa yang memiliki harga diri yang rendah biasanya melakukan
ketidakjujuran yang lebih tinggi.
Harga diri dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.
Tokoh-tokoh tersebut diantaranya; Baron dan Byrne (dalam Hurlock, 2005)
menyebut harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu
dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi
pembanding. Sedangkan Monks (2002) harga diri adalah penilaian diri yang
dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain
terhadap individu. Santrock (2003) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan
evaluasi positif dan dan negatif tentang diri sendiri. Gecas dan Rosenberg (dalam

12

Hurlock, 2005) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi positif yang
menyeluruh tentang dirinya.
Beberapa aspek harga diri menurut Coopersmith (dalam Ghufron &
Risnawati, 2010) antara lain pertama yaitu, Proses belajar, proses belajar
merupakan istilah yang digunakan oleh Coopersmith untuk menggambarkan
bagaimana individu menilai keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang
diamatinya. Kedua, Penghargaan, harga diri mempunyai hubungan dengan
bagaimana corak dasar remaja dalam menghadapi lingkungan. Ketiga,
Penerimaan, keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak.
Penerimaan keluarga yang positif akan sangat berpengaruh pada perkembangan
harga diri anak pada masa dewasa kelak dan cara orangtua memperlakukan anak
sangat mempengaruhi pembentukan harga diri. Keempat, interaksi dengan
lingkungan, remaja dengan harga diri yang tinggi memiliki sejumlah karakteristik
kepribadian yang dapat mengarah pada kemandirian sosial dan kreativitas yang
tinggi.
Monks (2002) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi
harga diri seseorang, yang pertama yaitu Lingkungan keluarga, lingkungan
keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak, perlakuan adil,
pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis di dapat pada
anak yang memiliki harga diri yang tinggi dan kedua, Lingkungan Sosial,
lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi pembentukan harga diri.
Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan
lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya

13

akan menurunkan harga diri, sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan
akan meningkatkan harga diri.
Selanjutnya, rendahnya kemampuan yang dimiliki individu (efikasi diri
rendah) untuk melakukan suatu tugas juga dapat memunculkan perilaku mencari
jalan pintas dan menerabas. Analisis yang dilakukan terhadap 128 penelitian yang
berlangsung pada tahun 1990-an membawa pada temuan adanya hubungan antara
efikasi diri, konsep diri, dan prestasi akademis. Pajares dan Schunk (2001)
melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara persepsi efikasi diri, proses
belajar akademis dan prestasi akademis. Ditemukan bahwa efikasi diri
berpengaruh terhadap self regulatory processes seperti penetapan tujuan, monitor,
evaluasi diri, dan strategi yang dipergunakan dalam belajar. hal ini juga sejalan
dengan Papalia, Olds, dan Feldman (2009) yang menyatakan bahwa siswa yang
memiliki efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka dapat menguasai tugas-tugas
dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, serta paling mungkin mencapai
prestasi akademik yang baik disekolah. Chemers (dalam Elias, 2009) menyatakan
bahwa tuntutan eksternal lingkungan dapat dilihat sebagai tantangan atau
ancaman, individu dengan efikasi diri tinggi akan menganggab bahwa tugas-tugas
tersebut sebagai tantangan daripada sebagai ancaman. Berpijak pada hal ini,
peneliti menduga perilaku ketidakjujuran akademik akan rendah pada diri siswa
yang memiliki efikasi diri tinggi.
Efikasi diri adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk
menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu (Ormrod, 2009).
Baron dan Byrne (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menjelaskan bahwa efikasi

14

diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya
untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Efikasi
diri oleh Bandura (1994) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan untuk
mengorganisasikan dan melakukan sejumlah tindakan yang diperlukan untuk
mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Menurut Myers (2007) efikasi diri
berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu
hal. Menurut Pajares dan Schunk (2001) efikasi diri merupakan keyakinan
terhadap kemampuan diri. Amalia dan Basuki (2008) menyatakan bahwa siswa
dengan kemampuan dan keyakinan diri yang lebih, mampu mengatasi kejenuhan
dengan sekejab dan cara yang baik, sebaliknya siswa dengan kemampuan yang
sedang dan memiliki keyakinan yang kurang, lebih cenderung santai dan
membiarkan masalahnya.
Efikasi

diri

memiliki

aspek-aspek

antara

lain

(1)

Tingkatan

(Magnitude/level), aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika
individu merasa mampu untuk melakukannya, individu akan melakukan tindakan
yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan menghindari tugas-tugas yang
berada dibawah kemampuan yang dimilikinya. (2) kekuatan (strenght), aspek ini
berkaitan

dengan

tingkat

kekuatan

dari

keyakinan

individu

mengenai

kemampuannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh
pengalaman-pengalaman yang memperlemahkannya, sedangkan seseorang yang
memiliki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya
meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahkannya. (3) Keluasan
(Generality), aspek ini berkaitan dengan luasnya bidang tingkah laku, dimana

15

individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu merasa yakin terhadap
kemampuan dirinya, apakah terbatas pada suatu aktifitas dan situasi tertentu
ataukah pada serangkaian aktifitas dan situasi yang bervariasi. (Bandura, 1997).
Menurut Bandura (1994), ada empat faktor yang mempengaruhi Efikasi diri,
yang pertama adalah Pengalaman berhasil, Keberhasilan akan meningkatkan
keyakinan akan kemampuan diri, sebaliknya kegagalan dapat menurunkan
keyakinan akan kemampuan diri. Keberhasilan yang pernah dicapai dan prestasi
yang pernah diraih dapat membuat seseorang merasa yakin bahwa dia akan
mampu menyelesaikan tugas ataupun mengatasi hambatan yang muncul. Kedua,
Pengalaman orang lain, orang-orang yang ada dilingkungan sosial dapat dijadikan
model atau contoh yang dapat menguatkan efikasi diri dengan membandingkan
usaha yang mampu dilakukan orang lain, prestasi yang mampu dicapai orang lain,
akan memberikan keyakinan untuk berusaha mencapai suatu prestasi tertentu.
Ketiga, Persuasi sosial, orang yang menerima persuasi verbal bahwa dia memiliki
kemampuan melakukan dan mencapai sesuatu akan mendorong munculnya usaha
yang lebih besar dari sebelumnya. Persuasi ini akan memompa usaha lebih keras
dalam meraih suatu capaian tertentu. Keempat, Kondisi fisik dan emosi, orang
yang merasa tertekan dan berada dalam keadaan stres akan berpikir memiliki
kemampuan yang rendah, suasana hati juga turut berperan bagi derajat efikasi diri.
Suasana hati yang sedang baik akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan
diri, sebaliknya suasana hati yang buruk akan menurunkan efikasi diri .

16

Konformitas
Konformitas
Kelompok
Kelompok

Harga
Harga Diri
Diri

Perilaku
Perilaku
Ketidakjujuran
Ketidakjujuran
Akademik
Akademik

Efikasi
Efikasi Diri
Diri

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Berdasarkan uraian diatas disebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran
akademik merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya konformitas
kelompok, harga diri, serta efikasi diri pada siswa (lihat gambar 1).
Siswa yang memiliki konformitas kelompok tinggi akan berperilaku sama
dengan kelompoknya supaya diakui dan terlihat kompak, selain itu siswa tersebut
akan segera menyesuaikan diri terhadap kebiasaan kelompoknya termasuk
perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan kelompoknya. Siswa yang
mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok juga akan dapat
meningkatkan ketergantungan individu terhadap kelompoknya. Siswa yang tidak
sependapat dengan kebiasaan perilaku ketidakjujuran akademik otomatis akan
dianggap menyimpang dari kelompoknya dan dia akan ditolak atau dikucilkan
oleh kelompoknya oleh karena itu siswa akan berusaha berperilaku tidak
menyimpang dari kesepakatan kelompoknya agar tetap diterima dalam
kelompoknya. (Sears, 2004).

17

Kemudian, siswa yang memiliki harga diri yang rendah akan cenderung
melakukan ketidakjujuran akademik. Menurut Brown (dalam Santrock, 2003)
individu yang merasa tidak yakin atas apa yang dilakukannya akan merasa cemas
terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya, dalam konteks sekolah seorang siswa
yang takut akan kegagalan maka dia akan cemas dengan hasil yang akan diperoleh
maka siswa tersebut akan melakukan ketidakjujuran akademik demi keberhasilan
mencapai nilai yang tinggi. Harga diri yang tinggi pada siswa dapat menurunkan
tingkat perilaku ketidakjujuran akademik. Karakteristik individu yang memiliki
harga diri tinggi diantaranya mereka memiliki rasa percaya diri, selalu merasa
puas dan bangga dengan dirinya sendiri, dapat menerima kegagalan dan dapat
bangkit kembali, optimis, bersikap positif

pada orang lain, dan memiliki

pendirian

terpengaruh

tetap,

sehingga

tidak

mudah

akan

konformitas

kelompoknya.
Selanjutnya,

dengan

memiliki

efikasi

diri

yang

tinggi,

perilaku

ketidakjujuran akademik akan rendah pada siswa. Siswa dengan efikasi diri yang
tinggi cenderung memilih untuk berupaya mengerjakan tugas yang sulit, gigih
dalam berupaya, percaya diri, tenang dan tidak cemas ketika menghadapi tugas,
dan mengelola pikiran dalam pola analisis, oleh karena itu pada saat ujian ataupun
saat pengerjaan tugas akademik siswa yang memiliki efikasi diri tinggi ini akan
mengandalkan kompetensinya dan tidak melakukan ketidakjujuran akademik.
Sebaliknya, Siswa yang memiliki efikasi diri rendah akan cenderung melakukan
perilaku ketidakjujuran akademik, karena mereka merasa tidak memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas, mudah menyerah ketika

18

menghadapi situasi sulit, cemas dalam pelaksanaan tugas, sering gagal dan tidak
bisa berperilaku tenang dan analitis (Bandura 1997).
Konformitas kelompok yang rendah, harga diri dan efikasi diri yang tinggi
diharapkan akan dapat mengurangi perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa
MTsN. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara
empiris apakah konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan
prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa MTsN. Hipotesis
penelitian ini yaitu konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan
prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik.

Dokumen yang terkait

KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU Konformitas Kelompok, Harga Diri dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Perilaku Ketidakjujuran Akademik Pada Siswa MTsN.

0 2 22

KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU Konformitas Kelompok, Harga Diri dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Perilaku Ketidakjujuran Akademik Pada Siswa MTsN.

0 4 16

DAFTAR PUSTAKA Alapare, A.I. dan Onakoya, A. Y. (2002). Correlates of Examination Cheating Konformitas Kelompok, Harga Diri dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Perilaku Ketidakjujuran Akademik Pada Siswa MTsN.

0 7 5

EFIKASI DIRI, KETIDAKNYAMANAN TERHADAP TUGAS, DAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA SEBBAGAI Efikasi Diri, Ketidaknyamanan Terhadap Tugas, dan Konformitas Teman Sebaya Sebagai Prediktor Prokrastinasi Akademik.

0 1 25

EFIKASI DIRI, KETIDAKNYAMANAN TERHADAP TUGAS, DAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA Efikasi Diri, Ketidaknyamanan Terhadap Tugas, dan Konformitas Teman Sebaya Sebagai Prediktor Prokrastinasi Akademik.

0 2 14

PENDAHULUAN Efikasi Diri, Ketidaknyamanan Terhadap Tugas, dan Konformitas Teman Sebaya Sebagai Prediktor Prokrastinasi Akademik.

0 2 17

DAFTAR PUSTAKA Efikasi Diri, Ketidaknyamanan Terhadap Tugas, dan Konformitas Teman Sebaya Sebagai Prediktor Prokrastinasi Akademik.

0 5 5

Blue print skala prokrastiinasi akademik ASPEK Efikasi Diri, Ketidaknyamanan Terhadap Tugas, dan Konformitas Teman Sebaya Sebagai Prediktor Prokrastinasi Akademik.

0 4 46

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF Hubungan Antara Harga Diri Dan Konformitas Dengan Perilaku Konsumtif.

0 1 17

KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA

0 0 11